Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 28 Maret 2012

Pantai Berpasir Hitam

LUTHFIYAH NURLAELA

AKU tegak mematung di balkon hotel dengan sea view yang luar biasa indah. Laut membentang luas di hadapanku. Sejauh mata memandang, adalah warna kebiruan berselang-seling hijau dan abu-abu. Ombak berkejar-kejaran riuh rendah, pohon nyiur bergoyang-goyang. Karang-karangnya hitam menghampar. Angin berdesis-desis, mengelus wajah, membawa aroma anyir laut yang khas.
            Sekitar dua puluh menit yang lalu aku tiba di hotel ini. Masuk ke deluxe room-nya yang menghadap laut, yang membuatku berdecak-decak kagum. Laut, bukan sesuatu yang asing bagiku. Aku hidup di dekat kampung nelayan selama masa kecil dan remajaku. Meskipun ayahku bukan seorang nelayan, dan tentu saja juga tidak terlalu pandai mencari ikan di laut, namun laut dan segala dinamikanya sangat akrab dalam kehidupanku. Menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masa laluku. Bahkan sampai saat ini pun, bila aku pulang kampung, maka laut menjadi salah satu tujuan utamaku. Merasakan pasirnya yang lembut di kaki. Bermain dengan riaknya yang berbuih-buih. Berlari-lari menantang ombak yang datang berlomba. Atau sekedar duduk-duduk di bibir pantai yang berpasir hitam, berbasah-basah, memandangi samudra nan luas menghampar, dan membiarkan hayalan demi hayalan menjelajah langit dan cakrawala…..
            Selalu dan selalu, memandang laut lepas seperti ini membawaku pada suasana yang melankolis. Menenggelamkanku dalam riuh-rendah gemuruhnya masa lalu. Aku sudah menjelajah dan melihat begitu banyak laut dengan berbagai ragam pesonanya. Puluhan pulau telah kusinggahi, namun laut  selalu memberikan pesona tersendiri bagiku. Menarikku ke kedalamannya yang penuh misteri. Membangunkan gugusan nostalgi yang menumpuk di sudut-sudut ruang hatiku. Menjeratku dalam kenangan dan jalinan  benang-benang cinta putih yang tak sampai….
            Tegar. Nama itu menderu-deru di telinga batinku. Bertalu-talu. Lengkap dengan sosoknya yang memang tegar. Mata kelabunya yang tajam namun lembut adalah perpaduan antara keteduhan laut di sore hari dan sorot mata camar yang perkasa. Senyum tipisnya adalah cakrawala tertimpa matahari pagi yang jingga. Kegelisahannya yang meluap-luap adalah kabut tebal yang menyelimuti keluasan samudra yang menutupi kaki langit yang tak berbatas.
            Lebih dari dua puluh lima tahun yang lalu. Ya. Begitu cepatnya waktu berlalu. Dan selama itu, telah begitu banyak suka duka kehidupan yang kualami. Melarikan luka cinta sampai ke ujung dunia. Kupikir aku akan mudah melupakannya setelah menemukan tambatan hati yang lain. Dan memang itulah yang terjadi. Tegar hilang dari benakku. Hilang musnah. Kecuali jika kemudian aku ada di suatu tempat di mana laut membentang di hadapanku. Laut dan Tegar. Seperti dua keping mata uang. Tak terpisahkan.
            Kaki-kakiku akhirnya menapaki pantai berpasir hitam itu. Hangat. Aku menikmati desiran angin yang memporak-porandakan rambutku. Beberapa meter di  depanku kulihat seseorang berlari-lari kecil. Menjauh dari hadapanku tapi dengan wajah menghadap kepadaku. Berteriak-teriak lantang mengimbangi suara debur ombak. ”Aku cinta kamu, apa kamu dengar?” Rambut ikalnya menutupi sebagian kening dan mata coklatnya. Tapi tetap bisa kulihat kilau matanya yang mengobarkan cinta. Berkilat-kilat. Merobek-robek hati dan jiwaku. Aku mengangguk. Berlari mengejarnya. Dia menjauh, menggodaku. Semakin menjauh.....sampai akhirnya benar-benar tak bisa kulihat dia. Mataku tak menjangkaunya. Laut yang dalam telah menenggelamkannya.....
            Aku tersenyum kecut. Aku menghayal lagi. Menghayalkan Tegar. Laut selalu menghadirkan dia dalam berbagai lagak dan ekspresinya. Kadang dia menari-nari di atas ombak, lengkap dengan lambaian tangannya yang menggoda. Kadang senyum tipisnya yang mengejekku, timbul tenggelam di antara rerimbunan nyiur. Tak jarang pula suaranya berdesau-desau seiring dengan derit sekelompok camar. Tapi yang sering kulihat adalah jejak-jejak kakinya di sepanjang pantai yang berpasir hitam....
            Pantai  berpasir hitam. Tidak. Sesungguhnya pantai ini—pantai yang sedang kutapaki ini—tidak berpasir hitam. Bahkan pasirnya cenderung putih. Berbulir-bulir kecil, menghampar. Sebagian butirannya berkilat-kilat bak permata. Ah, cantik sekali. Di beberapa sudutnya menjulang batu-batu karang. Beberapa sejoli sedang berfoto-foto berlatar belakang karang itu, juga matahari jingga yang mulai tenggelam. Dan....ya, Tegar ada di sana. Melambai-lambai memintaku segera mendekat untuk menjangkau matahari sebelum dia sembunyi di kaki langit. Dia tertawa-tawa melihatku yang tak kunjung bisa menggapainya. Sampai akhirnya aku menyerah. Hanya diam, menatapnya dari kejauhan. Dan sirnalah ia bersama matahari jingga itu....
            Ya, pantai ini tidak berpasir hitam. Tapi itu setelah kulihat lekat-lekat. Dan berkata pada diri-sendiri kalau memang pantai ini tidak berpasir hitam. Memang tidak. Seperti kebanyakan pantai yang lain, pasirnya berwarna coklat kekuningan, bahkan putih kekuningan. Bergemirisik ketika kaki-kaki menapakinya. Tidak lembut seperti pantai berpasir hitam yang pernah kukenal. Bahkan serpihan-serpihan tajamnya menyakiti kakiku yang telanjang. Beda, beda sekali dengan pantaiku. Pasirnya yang hitam sangat lembut. Tidak berbutir-butir kasar. Setiap kaki yang menapakinya akan menyentuh kehangatan dan kelembutan. Namun begitu, di manapun, di pantai mana pun, berpasir hitam atau tidak, Tegar selalu hadir....
            Aku berbalik. Mengayun langkah kembali ke hotel. Sebelum lebih jauh terseret dalam lingkaran hayalan yang semakin menggila. Menenggelamkanku dalam dunia di antara bayang-bayang dan kenyataan, antara mimpi-mimpi dan harapan, antara masa lalu dan masa sekarang.... Fokus, fokus. Kembalilah ke dunia nyata. Dunia dengan setumpuk harapan dan kerja keras. Dunia di mana kumiliki asa yang sebenar-benarnya.....
            Satu setengah jam lagi acara lokakarya yang diselenggarakan oleh sebuah LSM itu akan dimulai. Aku diminta untuk menjadi salah satu narasumbernya. Kutatap pantai berpasir hitam itu dari kejauhan, sedetik, sebelum kuayun langkah menuju hotel. Sejenak sebelum kututup jendela kamar, sekali lagi kupandangi pantai, lantas bergumam. ”Jangan menyeringai seperti itu, Tegar, kamu tahu aku tidak suka itu...” Dan jendela benar-benar kututup. Rapat. Tak peduli apakah Tegar akan tetap berdiri congkak di atas karang itu, atau akan kembali bersembunyi di balik cakrawala. Toh sebentar lagi malam akan menemaninya......

***

TENTU saja aku tidak pernah berniat untuk tidak jatuh cinta lagi sepeninggal Tegar. Tidak. Hidupku harus terus berlanjut. Tegar hanyalah sekelumit kisah cinta masa remajaku yang pasti akan kandas dengan sendirinya. Ditelan waktu. Seperti kisah-kisah cinta monyet yang lain. Aku menertawakan masa itu—masa di mana aku seperti orang yang kehilangan segalanya ketika Tegar pergi. Dunia seolah telah selesai bagiku. Semangatku lenyap. Selera berkaryaku terbang entah kemana. Aku kehilangan imajinasi, kehilangan inspirasi, dan kehilangan waktu dengan percuma demi memanjakan diri merenungi nasib. Membiarkan detik demi detikku berlalu tanpa makna. Sampai akhirnya aku menyadari betapa tololnya aku. Telah membelenggu diri dengan keputus-asaan. Sementara Tegar—laki-laki itu—orang yang telah menenggelamkanku dalam situasi tak berarti itu, pergi begitu saja tanpa perasaan berdosa. Huh, bodoh benar aku. Memangnya dia siapa? Berani-beraninya mencampakkanku sedemikian rupa? Tak akan kubiarkan diri ini jatuh hanya demi menangisi laki-laki tak berarti sepertinya.
            Aku pun bangkit. Memunguti serpihan asaku. Menghimpunnya dalam genggamanku, menatap dunia dengan sepenuh hati dan harapan baru. Aku terlalu berharga untuk terus-menerus merasa terpuruk. Tuhan memberiku hidup tidak untuk kusia-siakan seperti ini. Tidak untuk kuisi dengan kesedihan tak beralasan. Ya, tak beralasan. Bahkan untuk seorang Tegar sekali pun....
            Sampai akhirnya kutemukan dia. Laki-laki itu. Tambatan hati yang luar biasa istimewa. Bersamanya kuuntai hari demi hari, detik demi detik. Mengukir langit dengan tinta warna-warni, berpendar-pendar penuh cahaya, gemerlap, memenuhi angkasa raya hati dan jiwaku. Dia bagai hujan yang tiba-tiba jatuh membasahi tanah gersang di padang tandus. Menghadirkan kesejukan yang tak terbayangkan. Menyulap ladang kering kerontang menjadi lembah yang hijau merona, berselingan dengan aneka rupa warna bunga. So colorfull. Hidup itu indah, sangat indah....
            Kujatuhkan kepalaku di bahu mas Surya. Suamiku. Laki-laki itu. Kami sedang menikmati ”Ketika Cinta Bertasbih” di ruang keluarga. Berdua saja. Tangannya meraih kepalaku, mengelus rambutku, membetulkan posisi kepalaku agar bisa senyaman mungkin bersandar di bahunya. Selalu begitu. Sikapnya selalu pada posisi siap sedia melayaniku, memenuhi kebutuhanku, menyediakan apapun yang aku perlukan. Di mana pun ketika kami sedang berjalan, berdua atau bersama anak kami, mas Surya selalu memegang tanganku. Memijit-mijit telapak tanganku. Kalau aku kesakitan, dia akan berkata dengan lembut, bahwa aku harus bertahan karena dia sedang berusaha menghilangkan kelelahanku. Telapak tangan yang sakit ketika dipijit adalah indikator kelelahan, katanya.
Banyak hal yang membuatku begitu mencintainya. Dada bidangnya adalah tempatku menumpahkan segala suka cita sekaligus kegundahanku. Mata teduhnya adalah telaga nan luas di mana aku bisa berenang di dalamnya sesuka hati. Lengan kekarnya ibarat tangan malaikat yang selalu menjaga dan merengkuhku senantiasa dalam pelukannya. Ya. Mas Surya sangat melindungi. Dia selalu memastikan aku akan tahu jalan pulang ketika aku pergi.  Membiarkan aku terbang ke mana pun aku mau, asal aku yakin aku akan baik-baik saja, dan pulang kembali ke rumah dengan sebongkah pengalaman baru, yang akan kubagikan padanya dan anak kami, dan tentu saja....dengan sepenuh cinta dan kerinduan yang tak pernah lekang. 
Untuk hal-hal kecil yang aku lakukan untuknya, membuatkan jus buah segar untuk mengawali paginya, menyiapkan pakaian kantornya menjelang dia berangkat kerja, mengingatkannya apakah kunci, dompet, dan surat-surat penting sudah dibawanya....selalu membuatku mendapatkan hadiah kecupan manis di keningku. ”Terimakasih, sayang, aku bangga padamu...” Kata-kata yang sering diucapkannya. ”Kamu sendiri sibuk, kamu sendiri harus segera berangkat, tapi kamu selalu ingat menyiapkan semua keperluanku....” dan dia pergi setelah menghadiahiku lagi sebuah kecupan, sejenak setelah kucium tangannya.
Lalu dia akan mengucap salam.
’Assalamualaikum, sayang, mas berangkat.” Dia melemparkan senyum. ”Kamu hati-hati di jalan ya....banyak baca sholawat”. Begitu selalu pesannya.
Dua puluh satu tahun bahtera ini kukayuh bersamanya. Dia adalah pemimpinku. Di luar aku boleh saja menjadi perempuan kuat, mandiri, tak kenal lelah. Tapi di sisinya, aku luruh. Aku menikmati menjadi perempuan manja yang tak berdaya. Bertekuk lutut memasrahkan diriku untuk dibimbingnya, dibawanya ke mana pun dia inginkan. Mas Surya adalah laki-laki berpendirian, berprinsip. Baginya, aku dan anak kami adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkannya. Dunia akhirat. Maka dengan caranya, dia menunjukkan pada kami tentang apa yang seharusnya kami lakukan, jalan mana yang harus kami lalui, sisi mana yang harus kami pilih. Begitu kuatnya mas Surya memimpin kami. Sekaligus betapa lembutnya dia memperlakukan kami. Menyediakan dirinya sebagai sosok yang akan selalu ada kapan pun kami perlukan. Memanjakan kami dengan kebahagian dan keceriaan. Menjadikan hidup begitu berarti dan penuh kesyukuran...
”Sayang, ada waktu untuk makan siang?” Mas Surya seringkali meneloponku di saat jam istirahat kantor. Dan seperempat jam kemudian dia akan berada di hadapanku. Menggamit lenganku, membawaku ke suatu tempat di mana kami bisa menikmati makan siang berdua. Cukup setengah jam. Karena setelah itu dia akan kembali ke kantornya lagi. Mengantarkan aku lebih dulu ke tempatku bekerja, dan kemudian pergi setelah menanggalkan satu senyumnya untukku. Sebuah kencan yang manis.
Tentang Tegar? Mas Surya tahu semuanya. Bahwa dialah cinta pertamaku, mas Surya sangat menyadari hal itu. Di mana rumah Tegar, di mana tempat-tempat favoritku menghabiskan waktu bersamanya, mas Surya tahu. Tegar, anak pantai itu, memiliki laut yang indah dan pantai yang berpasir hitam. Banyak nyiur menjulang di sepanjang pantainya. Karang-karang yang kokoh dan kicau camar melengkapi keindahannya.
Setiap orang punya masa lalu, dan mas Surya ingin menghormati masa laluku.

***
MENGHORMATI masa lalu.
 ”Apakah mas akan bisa menerima, jika suatu ketika aku ketemu Tegar, dan aku masih merasa bergetar?” Tanyaku suatu ketika.
”Ya, sayang, menurutku itu wajar.”
Aku termangu. Merasakan ketulusan hatinya.
”Mas tidak cemburu?”
Dia hanya tersenyum.
”Mungkin karena mas tidak cinta aku....”
Kali ini dia tertawa. ”Kamu lucu deh, pertanyaanmu lucu. Apa lagi yang harus mas buktikan kalau mas cinta kamu hah....?” Tanyanya pura-pura galak.
Kalau sudah seperti itu aku yang diam. Ya, apa lagi? Orang bilang cinta tidak cukup hanya dengan kata-kata, tapi juga diwujudkan dalam bentuk tindakan. Mas Surya sudah melakukan semuanya. Hampir setiap hari dia bilang ’ilu’—singkatan dari ’I love you’, baik ucapan maupun via SMS dan telepon. Dan semua yang dilakukannya untukku dan anak kami adalah bukti cintanya. Ya, apa lagi?
 Sebagai perempuan, aku sudah memiliki semuanya. Keluarga dengan suami yang sangat mencintai,  dan seorang anak yang hebat. Aku juga punya karir yang cukup bagus di tempat kerja. Mas Surya tidak pernah pedulikan berapa gajiku dan berapa uang yang kuperoleh dari setiap aktivitasku. Itu adalah uangku, seperti itulah prinsipnya. Aku mau gunakan untuk apa pun, yang penting halal dan bermanfaat, adalah urusanku. Namun jika aku akan menggunakannya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, itu akan manjadi shodaqoh yang menyenangkan. Begitulah kami menjalani hidup. Aku juga sangat menyadari, semua yang kulakukan di luar, tak akan berarti apa pun bila tanpa izin dan doa restu mas Surya. Justru karena kesadaran itu, aku menghayati setiap rezeki yang kuperoleh adalah rezeki keluarga. Karena aku bukan siapa-siapa dan tak bisa melakukan apa-apa, tanpa dukungan keluarga. Terutama mas Surya, suami dan pemimpinku.
Hidup kami seperti air. Mengalir menuju muaranya. Kadang harus melewati jalan berkelok-kelok, menghantam cadas, beriak-riak di antara onak dan duri. Semua bisa dilalui dengan baik, dengan sangat baik. Mas Surya selalu mengingatkan kami dengan kata-kata ”do your best, let God does the rest.” Tentu kami sangat memahami kata-kata itu. Menghiasi hidup penuh dengan mimpi-mimpi dan harapan, mewarnainya dengan perjuangan dan kerja keras, dan mengandalkan sholat dan doa sebagai sandaran. Semua itu membuat hidup menjadi lebih mudah, lebih menyenangkan, lebih indah...
Sampai suatu ketika kulihat perubahan pada diri mas Surya. Shubuhnya selalu lebih awal, dzikirnya menjadi lebih lama, dan hampir setiap malam dilaluinya dengan terjaga. Semua berawal ketika mas Surya menemukan catatan kecil di sebuah lembar buku kerjaku.

Ya Allah, kenapa aku masih suka mengingatnya?
Bersihkan alam bawah sadarku, Tuhan...
Dari bayang-bayangnya
Jangan biarkan cinta ini berpaling
Sedetikpun jangan
Kabulkan, Tuhan....

Puisi singkat itu kutulis begitu saja ketika aku berada di suatu tempat. Ketika aku menemukan laut dengan pantainya yang hitam. Ketika—seperti biasa—bayang-bayang Tegar bermunculan di setiap titik di laut itu. Dia menari-nari di atas ombak, berayun-ayun di ketinggian nyiur, bersiul-siul bersama camar, dan berlarian di sepanjang pantai.....
Sesungguhnya aku tidak ingin percaya tentang apa yang dikatakan banyak orang, bahwa ’ first love is never die’. Setelah kukenal mas Surya, bagiku kata-kata itu hanyalah omong kosong. Hari-hariku yang dipenuhi dengan kasih sayang mas Surya menjadikanku tak pernah memikirkan cinta lain. Cinta Tegar? Tak ada seujung kuku pun dibandingkan dengan cinta mas Surya. Tak berarti.
Seperti itulah yang terjadi.
Ya, kecuali bila aku ada di suatu tempat, dan laut membentang luas di hadapanku. Aku menjadi begitu tak berdaya. Aku seperti aku dua puluh lima tahun yang lalu. Terbuai oleh laut dengan segala misteri dan kenangannya. Di situlah, di hampir semua sudutnya, di sepanjang pantainya yang hitam, aku dan Tegar membunuh waktu. Menciptakan puisi-puisi cinta beralas ombak. Mengukir cakrawala dengan tinta dari surga. Menuliskan kata-kata indah di batu-batu karangnya. Dan menggantungkan asa di ketinggian langit yang biru... Meski akhirnya semua terempaskan... Tak bersisa.
Tak bersisa. Kecuali kenangan itu. Bayang-bayang itu. Menari-nari di bawah alam sadarku. Membangunkan mimpi-mimpi lama. Mengorek luka-luka. Dan membuatku tak berdaya...
                                  
Lelapku di atas awan
Beralas mendung…tak bertepi
Bangunkan sukmaku
Jika bayangmu telah sampai

Puisi itu hanya salah satu dari puluhan puisi yang pernah kucipta begitu saja setelah aku berlama-lama menatap laut. Lebih-lebih bila aku tidak sedang dengan siapa-siapa. Kesendirian membuatku semakin melalang ke segala penjurunya. Meski akhirnya aku sadar, semuanya hanya ilusi. Tidak nyata. Sungguh tidak nyata.
Dan mas Surya membaca alam bawah sadarku. Sampai suatu ketika pernah dilontarkannya pertanyaan padaku.
”Tidakkah aku seperti anak kecil, yang asyik bermain tembak-tembakan tanpa lawan?”
”Apa maksud mas?”
”Kamu tidak pernah sepenuhnya mencintai mas....” Suaranya tidak ada nada menuduh. ”Kamu tidak bisa melupakan Tegar....”
”Tegar? Mas ngaco deh!”
”Pusi-puisimu itu....catatan-catatan kecilmu itu....”
”Itu tentang laut, mas, tentang pantai, bukan tentang Tegar.”
Lantas mas Surya terdiam.
Tidak. Dia bukannya tidak mengerti bahwa catatan-catatan kecil dan puisi-puisi itu adalah tentang laut, pantai, dan Tegar. Dia tahu, bagiku laut, pantai dan Tegar adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Tapi mas Surya memilih diam. Kesabarannya itu, adalah kesabaran seorang malaikat. Menyudutkanku pada perasaan bersalah. Ya, perasaan bersalah berbalut tak berdaya...
Namun....hatiku yang terdalam akhirnya tersentuh juga. Kesungguhan mas Surya membantuku untuk melepaskan diri dari laut dan pantai membuatku tersadar. Dia sama sekali tidak menunjukkan kemarahan, tidak menunjukkan kecemburuan. Dia mengimbanginya dengan sholat, berlama-lama dalam doa, dan mengisi malam-malamnya dengan sujud. Di atas semuanya itu, kadar cintanya padaku tak bergeming sedikitpun...

Dan hatiku menangis karenanya.
Aku telah membuatnya terluka.

Kubangun museum cinta kita
Bertiang puisi,
Berdinding prosa…..
Tanpa lantai apa-apa
Karena aku memang tidak berpijak di mana pun
Kecuali di awang-awang...

Itulah puisi terakhirku tentang laut, pantai, dan Tegar. Puisi terakhir yang kuharap bisa menutup alam bawah sadarku. Membuang bayang-bayang Tegar di semua laut dan pantai. Termasuk di pantai berpasir hitam itu.....
Lantas kuhiasi lembaran-lembaran hidupku dengan puisi-puisi yang lain.
Tentang cinta yang apa adanya, yang penuh kesabaran, dan ketulusan yang tak mengharap balas. Cinta mas Surya. Laki-laki istimewa itu....

Hanya denganmu
Kita, ada di relung yang sama
Lorong cinta yang indah
Kudus, tak terendus
Selain kita...

Aku cinta kamu....(*)


Surabaya, 21 April 2011
(Kado untuk mas Baskoro Adjie,
untuk ulang tahun pernikahan kita)

Ketika BBM Naik

BBM dan Supir Otto

Ketika BBM naik
Dan banyak orang demo
Apa kata supir otto?

BBM naik, kita ikut sajalah...
Buat apa demo?
Orang-orang yang dekat dengan presiden saja tidak didengar (orang Jawa maksudnya)
Apalagi kita yang jauh

Daripada demo
Mending makan kenyang,
Tidur di rumah, bangun,
Mandi, jalan-jalan sama anak istri....

Kalau ongkos otto naik?
Ya pasti naiklah...
Kalau orang tidak mau bayar?
Mana ada orang tidak mau bayar
Naik otto orang, ya pasti bayarlah dia....

Sudah, naikkan saja BBM
Ikut sajalah kita
Tidak apa-apa...
Biar saja....

Waingapu, 28 Maret 2012
Luthfiyah Nuerlaela

Minggu, 18 Maret 2012

Kue Cucur dan UN

Foto bareng Pak Menteri...
Sabtu, 17 Maret 2012

Kami bertiga, Bu Kis, saya dan Juneka, keluar dari kamar hotel sekitar pukul 06.30. Juneka Subaihul Mufid adalah wartawan Jawa Pos, junior mas Rukin. Mas Rukin menolak untuk berangkat karena tanggal 25 Maret minggu depan, dia akan berangkat ke Sumba Timur lagi, bersama kami tim kecil SM-3T. 

Di lantai yang sama, sejumlah ajudan pak menteri telah siap siaga. Beberapa berdiri di depan pintu kamar pak Menteri. Kami bertegur sapa, berbasa-basi sebentar, lantas berlalu menuju ruang makan.

Di lobi, rombongan pejabat kementerian, pejabat provinsi NTT, pejabat kabupaten Kupang, para Rektor, para wakil dari beberapa PT penyelenggara SM-3T, sudah menunggu. Kami bertiga memutuskan berangkat dulu. Hujan deras di luar. Tapi kami nekad berlari menuju mobil yang sudah disiapkan, meluncur menuju SD Asam Tiga.

Di tengah perjalanan, kami sempat berhenti di Pondok Cucur (sempat-sempatnya wisata kuliner....). Cucur, makanan yang terbuat dari tepung beras dan gula merah itu, begitu menarik dalam etalase kaca. Ditumpuk-tumpuk membentuk piramid, bersisian dengan tumpukan kue-kue yang lain: usus ayam, serabi, dadar gulung, dan kacang goreng tepung. Kami membeli beberapa buah kue itu, juga beberapa gelas air mineral. Persiapan menyambut rombongan dari Sumba Timur yang saat ini sedang terbang menuju Kupang. Rombongan itu terdiri dari Sekdin PPO, kepala sekolah SMP Satap Kakaha yang akan menerima bantuan 10 laptop dan buku-buku dari Mendikbud, dan 6 peserta SM-3T Unesa. Mereka baru bisa berangkat pagi ini dari Waingapu, karena kehabisan tiket pesawat pemberangkatan sehari sebelumnya.
    
Di tengah kami memilih kue-kue, rombongan pak Menteri lewat. Tentu saja lengkap dengan patwal dan bunyi sirine yang meraung-raung. Belasan mobil itu berlalu dengan kencang. Maka kami pun bergegas, bergabung dengan rombongan.

SDN Asam Tiga masuk dalam wilayah Kupang Timur. Dari jalan besar, mobil belok kanan menyusuri jalan yang tidak terlalu lebar, hanya pas untuk satu mobil. Tidak beraspal, hanya tanah yang dipadatkan. Berbatu-batu. Di situlah SDN Asam tiga berada. Gedung SDN Asam Tiga itu memiliki 6 kelas, lengkap dengan meja dan kursi belajar. Dindingnya bercat hijau. Semuanya masih baru. Gedung itu menggantikan 'bangunan' sekolah yang dindingnya dari bambu, berlantai tanah, dan beratap daun lontar, yang sebagian 'bangunannya' masih ada; letaknya di seberang gedung sekolah yang baru. Memang sengaja dibiarkan untuk bisa dibandingkan dengan gedung yang baru.

Bangunan sekolah yang dulunya sangat-sangat tidak layak itu sebenarnya hanya berjarak belasan kilometer dari Kantor Kabupaten Kupang. Ironis. Namun sekarang, dengan bantuan rehab dari kemdikbud, bangunan  SDN Asam Tiga sangat 'pantas' sebagai sekolah yang 'bertetangga' dengan kantor kabupaten.

Kabupaten Kupang merupakan kabupaten terbesar di NTT setelah Sumba Timur. Sejak 2009, Bupati Kupang membuat kebijakan pendidikan dengan mendekatkan sekolah-sekolah pada masyarakat di wilayah terpencil, dalam rangka memperluas akses pendidikan. Sampai saat ini telah dibangun 52 USB (Unit Sekolah Baru) jenjang SD, SMP, SMA. Semua anak usia sekolah harus sekolah. Kebijakan ini sangat tepat karena fenomena persebaran penduduk yang sangat luas, ditambah lagi dengan kondisi medan yang sangat sulit.

Menurut Bupati Kupang, gedung sekolah boleh darurat, tapi otak anak-anak tidak boleh darurat. Prinsip ini telah dibuktikan dengan berbagai  pembangunan dalam bidang pendidikan, termasuk membangun USB di wilayah terpencil. Salah satu bukti lagi adalah: ada beberapa sekolah miskin, namun lulus UN 100 persen. Menurut bupati yang sebelumnya adalah Kepala UPBJJ NTT ini (teman baik bu Kisyani, sebagai sesama mantan 'Rektor' UT), keberhasilan dalam tingkat kelulusan UN ini disebabkan kerinduan anak-anak daerah terpencil pada pendidikan, mungkin lebih besar daripada kerinduan anak-anak kota pada pendidikan; sehingga mereka belajar sangat keras, dan bisa melalui UN dengan baik.

Berdasarkan IPM (Indeks Pembangunan Manusia), Provinsi NTT berada pada urutan ke-31 dari 33 provinsi di Indonesia. UN merupakan salah satu indikator kinerja utama keberhasilan pembangunan pendidikan di NTT. Menjadi tekad bersama, bahwa NTT akan melaksanakan UN secara jujur. 

Dengan sepenuh hati saya berharap dan berdoa, semoga Allah SWT mendengar doa semua orang-orang di sini: siswa, guru, orang tua, bupati, gubernur, Mendikbud:  melaksanakan UN secara jujur. Jujur dalam UN. Saya merinding ketika menggumamkan kata-kata itu. UN yang jujur. Jujur dalam UN..... 



Menteri yg simpatik

Acara demi acara berjalan dengan baik. Setelah pembacaan ikrar UN Jujur-Berprestasi oleh siswa, guru, dan pejabat pendidikan, dilanjutkan dengan sambutan dari Bupati dan Gubernur, maka tibalah giliran Mendikbud untuk memberi sambutan. 

Begitu beliau tampil ke depan, yang pertama kali beliau lakukan adalah meminta kepala sekolah SD Asam Tiga, wakil orang tua, wakil siswa, dan wakil peserta SM-3T untuk mendampingi beliau di depan. Kemudian beliau memperkenalkan siapa saja yg ada dalam rombongannya. Semua rektor disebut, diminta berdiri sejenak, supaya semua yang hadir bisa melihatnya. Sangat simpatik. Lepas dari semua kontroversi tentang UN, tentang RSBI, tentang berbagai kebijakan sejak masa jabatannya, Prof. Nuh adalah pribadi yang sangat simpatik dan penuh perhatian.

Kepala sekolah, guru, orang tua, disilakan bicara dan mengungkapkan harapan-harapannya. Momen yang  mengharukan adalah ketika wakil siswa, Numia namanya, gadis 12 thn, ditanya apakah dia sudah pernah berjabat tangan dengan menteri? 'Belum', kata anak itu, malu-malu. Maka dijabatlah anak itu. 'Pernahkah berjabat tangan dengan gubernur, bupati, jendral?' Dan disilakanlah anak itu untuk menjabat semuanya, termasuk menjabat tangan semua rektor. Kemudian pak menteri menanyakan apakah orang tuanya datang di acara ini. Dan berlari-larilah laki-laki tua itu, dari barisan paling belakang, sambil melambai-lambaikan tangan. Dengan terengah-engah, dia mencapai sisi pak Menteri. Ketika ditanya, dia menjawab dengan lantang. Dia sekeluarga dari Timor Leste, tinggal di Kupang  hanya mendapat 'lindungan' (rumah). Anaknya 8, dan Numia itu itu anak ke-6. Tidak punya sawah, bekerja di kebun. 'Kerja tanah orang, hasil bagi dua', katanya. 

Di tengah wawancara itu, seorang perempuan tua, berpakaian lusuh, datang dari arah belakang pak Menteri.  Itulah ibu Numia. Perawakannya kurus, tubuhnya lusuh, tapi wajah tuanya tersenyum. Sama seperti pertanyaan untuk Numia, pak Menteri bertanya apakah ibu tua itu sudah pernah berjabat tangan dengan menteri, gubernur, bupati, jenderal?

Mata saya sempat basah ketika pak Menteri bertanya pada Numia, apakah dia bangga dengan bapak ibunya? Anak yang bercita-cita ingin menjadi guru itu menjawab dengan tegas: 'ya, saya bangga dengan bapak dan ibu saya'. 'Kenapa kamu bangga?' Lanjut pak Menteri. Dan suara Numia berubah jadi pelan, tidak selantang tadi. 'Ya, karena ibu saya telah melahirkan saya dengan selamat, dan kedua orang tua saya telah membesarkan saya dengan baik....' Anak itu menangis. Pak Menteri bertanya lagi, 'kenapa kamu menangis?' Numia diam, terisak pelan, kemudian suaranya lirih... 'Saya terharu.....' 

Dalam sambutannya, Mendikbud menyampaikan, ada tiga penyakit yg menghambat kemajuan bangsa. Bila tiga penyakit itu bisa dibereskan, bangsa akan lebih sejahtera. Apa penyakit itu? Yang pertama: ketidakjujuran, yang akan menghasilkan korupsi, eksploitasi hak orang lain; oleh sebab itu UN harus jujur, karena kita akan membangun bangsa yang jujur. Maka mulai hari ini akan dilaksanakan pendidikan antikorupsi. 

Penyakit yang kedua, kemalasan. Kemalasan akan menghasilkan pengangguran. 
Penyakit ketiga, adalah kebodohan. 

Di tengah pak Menteri menyampaikan pidatonya, seorang anak kecil, mungkin berusia tiga tahunan, tanpa merasa berdosa, membuka celananya dan pipis di belakang pak Menteri, menghadap ke kami para undangan. Luar biasa. Anak itu telah berani 'menghina' mendikbud. Kami yang menyaksikan hal itu tentu saja tersenyum-senyum geli campur prihatin. Anak siapa sih itu...... Sangat berkarakter!

Sebagai penutup acara, pak Menteri menuliskan kesan dan pesan di atas kanvas. 'Keterbatasan tidak boleh menghalangi kemajuan suatu bangsa. Selamat berjuang anak-anak Asam 3. Sukses.'

Wassalam,
LN

Jumat, 16 Maret 2012

Mahal, tapi Pengap

Ombak berdebur keras. Dalam bayanganku, ombak itu pasti cukup besar, meliuk-liuk, berkejar-kejaran. Suaranya bergemuruh ketika menghempas pantai. Betul-betul bergemuruh. Laut pasti tidak jauh dari hotel tempat kami menginap ini.

Namanya Hotel Kristal. Hotel bintang tiga. Tarifnya semalam hampir sejuta, ya, tarif untuk standart room. Udara pengap dan lembab langsung menyeruak ketika kami, saya dan bu Kisyani, masuk. Hotel ini kamarnya cukup luas, standar bintang tiga. Tapi kami dibuat kaget karena karpetnya basah. Ya, basah, bukan cuma lembab. Inilah rupanya yang menyebabkan aroma pengap dan lembab ini. Duh, hidungku yang sensitif langsung gatal pingin 'gebres-gebres.'

Beberapa menit yang lalu kami bertemu dengan rombongan Mendikbud, Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA dan ibu Laeli Nuh, di lobi. Beramah-tamah sebentar sambil menunggu pendamping kami mengurus kamar. Dalam rombongan itu ada pak Supriyadi (dir ditendik), pak Ibrahim Bafadal (dir dit SD), rektor UM dan UNM, pak Sukemi (asisten mendikbud),  dan pejabat-pejabat dalam lingkungan kemdikbud yang lain. Kami tadi serombongan dalam pesawat yang sama, terbang dengan Lion dari Surabaya pukul 19-an, dan mendarat di Bandara El Tari Kupang pada pukul 22.18 WITA. 

Malam ini, ketika bu Kis sudah berangkat tidur, saya mulai menulis. Ditemani deburan ombak yang mengalahkan desis AC. Ditemani udara lembab dan pengap, sehingga saya merasa harus mengoleskan aroma terapi di hidung saya, hanya untuk mengkamuflase bau apek yang mengganggu penciuman. 


Besok pagi, pak Menteri dijadwalkan akan melakukan kunjungan ke SD Asam Tiga. Sebuah SD yang jaraknya sejauh 30-45 menit dari kota. Rangkaian kegiatannya adalah peresmian program rehab, ikrar UN jujur-berprestasi dan pendidikan anti korupsi, serta dialog dengan peserta SM-3T.



Jumat, 16 Maret 2012