Pages

Rabu, 28 Maret 2012

Pantai Berpasir Hitam

LUTHFIYAH NURLAELA

AKU tegak mematung di balkon hotel dengan sea view yang luar biasa indah. Laut membentang luas di hadapanku. Sejauh mata memandang, adalah warna kebiruan berselang-seling hijau dan abu-abu. Ombak berkejar-kejaran riuh rendah, pohon nyiur bergoyang-goyang. Karang-karangnya hitam menghampar. Angin berdesis-desis, mengelus wajah, membawa aroma anyir laut yang khas.
            Sekitar dua puluh menit yang lalu aku tiba di hotel ini. Masuk ke deluxe room-nya yang menghadap laut, yang membuatku berdecak-decak kagum. Laut, bukan sesuatu yang asing bagiku. Aku hidup di dekat kampung nelayan selama masa kecil dan remajaku. Meskipun ayahku bukan seorang nelayan, dan tentu saja juga tidak terlalu pandai mencari ikan di laut, namun laut dan segala dinamikanya sangat akrab dalam kehidupanku. Menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masa laluku. Bahkan sampai saat ini pun, bila aku pulang kampung, maka laut menjadi salah satu tujuan utamaku. Merasakan pasirnya yang lembut di kaki. Bermain dengan riaknya yang berbuih-buih. Berlari-lari menantang ombak yang datang berlomba. Atau sekedar duduk-duduk di bibir pantai yang berpasir hitam, berbasah-basah, memandangi samudra nan luas menghampar, dan membiarkan hayalan demi hayalan menjelajah langit dan cakrawala…..
            Selalu dan selalu, memandang laut lepas seperti ini membawaku pada suasana yang melankolis. Menenggelamkanku dalam riuh-rendah gemuruhnya masa lalu. Aku sudah menjelajah dan melihat begitu banyak laut dengan berbagai ragam pesonanya. Puluhan pulau telah kusinggahi, namun laut  selalu memberikan pesona tersendiri bagiku. Menarikku ke kedalamannya yang penuh misteri. Membangunkan gugusan nostalgi yang menumpuk di sudut-sudut ruang hatiku. Menjeratku dalam kenangan dan jalinan  benang-benang cinta putih yang tak sampai….
            Tegar. Nama itu menderu-deru di telinga batinku. Bertalu-talu. Lengkap dengan sosoknya yang memang tegar. Mata kelabunya yang tajam namun lembut adalah perpaduan antara keteduhan laut di sore hari dan sorot mata camar yang perkasa. Senyum tipisnya adalah cakrawala tertimpa matahari pagi yang jingga. Kegelisahannya yang meluap-luap adalah kabut tebal yang menyelimuti keluasan samudra yang menutupi kaki langit yang tak berbatas.
            Lebih dari dua puluh lima tahun yang lalu. Ya. Begitu cepatnya waktu berlalu. Dan selama itu, telah begitu banyak suka duka kehidupan yang kualami. Melarikan luka cinta sampai ke ujung dunia. Kupikir aku akan mudah melupakannya setelah menemukan tambatan hati yang lain. Dan memang itulah yang terjadi. Tegar hilang dari benakku. Hilang musnah. Kecuali jika kemudian aku ada di suatu tempat di mana laut membentang di hadapanku. Laut dan Tegar. Seperti dua keping mata uang. Tak terpisahkan.
            Kaki-kakiku akhirnya menapaki pantai berpasir hitam itu. Hangat. Aku menikmati desiran angin yang memporak-porandakan rambutku. Beberapa meter di  depanku kulihat seseorang berlari-lari kecil. Menjauh dari hadapanku tapi dengan wajah menghadap kepadaku. Berteriak-teriak lantang mengimbangi suara debur ombak. ”Aku cinta kamu, apa kamu dengar?” Rambut ikalnya menutupi sebagian kening dan mata coklatnya. Tapi tetap bisa kulihat kilau matanya yang mengobarkan cinta. Berkilat-kilat. Merobek-robek hati dan jiwaku. Aku mengangguk. Berlari mengejarnya. Dia menjauh, menggodaku. Semakin menjauh.....sampai akhirnya benar-benar tak bisa kulihat dia. Mataku tak menjangkaunya. Laut yang dalam telah menenggelamkannya.....
            Aku tersenyum kecut. Aku menghayal lagi. Menghayalkan Tegar. Laut selalu menghadirkan dia dalam berbagai lagak dan ekspresinya. Kadang dia menari-nari di atas ombak, lengkap dengan lambaian tangannya yang menggoda. Kadang senyum tipisnya yang mengejekku, timbul tenggelam di antara rerimbunan nyiur. Tak jarang pula suaranya berdesau-desau seiring dengan derit sekelompok camar. Tapi yang sering kulihat adalah jejak-jejak kakinya di sepanjang pantai yang berpasir hitam....
            Pantai  berpasir hitam. Tidak. Sesungguhnya pantai ini—pantai yang sedang kutapaki ini—tidak berpasir hitam. Bahkan pasirnya cenderung putih. Berbulir-bulir kecil, menghampar. Sebagian butirannya berkilat-kilat bak permata. Ah, cantik sekali. Di beberapa sudutnya menjulang batu-batu karang. Beberapa sejoli sedang berfoto-foto berlatar belakang karang itu, juga matahari jingga yang mulai tenggelam. Dan....ya, Tegar ada di sana. Melambai-lambai memintaku segera mendekat untuk menjangkau matahari sebelum dia sembunyi di kaki langit. Dia tertawa-tawa melihatku yang tak kunjung bisa menggapainya. Sampai akhirnya aku menyerah. Hanya diam, menatapnya dari kejauhan. Dan sirnalah ia bersama matahari jingga itu....
            Ya, pantai ini tidak berpasir hitam. Tapi itu setelah kulihat lekat-lekat. Dan berkata pada diri-sendiri kalau memang pantai ini tidak berpasir hitam. Memang tidak. Seperti kebanyakan pantai yang lain, pasirnya berwarna coklat kekuningan, bahkan putih kekuningan. Bergemirisik ketika kaki-kaki menapakinya. Tidak lembut seperti pantai berpasir hitam yang pernah kukenal. Bahkan serpihan-serpihan tajamnya menyakiti kakiku yang telanjang. Beda, beda sekali dengan pantaiku. Pasirnya yang hitam sangat lembut. Tidak berbutir-butir kasar. Setiap kaki yang menapakinya akan menyentuh kehangatan dan kelembutan. Namun begitu, di manapun, di pantai mana pun, berpasir hitam atau tidak, Tegar selalu hadir....
            Aku berbalik. Mengayun langkah kembali ke hotel. Sebelum lebih jauh terseret dalam lingkaran hayalan yang semakin menggila. Menenggelamkanku dalam dunia di antara bayang-bayang dan kenyataan, antara mimpi-mimpi dan harapan, antara masa lalu dan masa sekarang.... Fokus, fokus. Kembalilah ke dunia nyata. Dunia dengan setumpuk harapan dan kerja keras. Dunia di mana kumiliki asa yang sebenar-benarnya.....
            Satu setengah jam lagi acara lokakarya yang diselenggarakan oleh sebuah LSM itu akan dimulai. Aku diminta untuk menjadi salah satu narasumbernya. Kutatap pantai berpasir hitam itu dari kejauhan, sedetik, sebelum kuayun langkah menuju hotel. Sejenak sebelum kututup jendela kamar, sekali lagi kupandangi pantai, lantas bergumam. ”Jangan menyeringai seperti itu, Tegar, kamu tahu aku tidak suka itu...” Dan jendela benar-benar kututup. Rapat. Tak peduli apakah Tegar akan tetap berdiri congkak di atas karang itu, atau akan kembali bersembunyi di balik cakrawala. Toh sebentar lagi malam akan menemaninya......

***

TENTU saja aku tidak pernah berniat untuk tidak jatuh cinta lagi sepeninggal Tegar. Tidak. Hidupku harus terus berlanjut. Tegar hanyalah sekelumit kisah cinta masa remajaku yang pasti akan kandas dengan sendirinya. Ditelan waktu. Seperti kisah-kisah cinta monyet yang lain. Aku menertawakan masa itu—masa di mana aku seperti orang yang kehilangan segalanya ketika Tegar pergi. Dunia seolah telah selesai bagiku. Semangatku lenyap. Selera berkaryaku terbang entah kemana. Aku kehilangan imajinasi, kehilangan inspirasi, dan kehilangan waktu dengan percuma demi memanjakan diri merenungi nasib. Membiarkan detik demi detikku berlalu tanpa makna. Sampai akhirnya aku menyadari betapa tololnya aku. Telah membelenggu diri dengan keputus-asaan. Sementara Tegar—laki-laki itu—orang yang telah menenggelamkanku dalam situasi tak berarti itu, pergi begitu saja tanpa perasaan berdosa. Huh, bodoh benar aku. Memangnya dia siapa? Berani-beraninya mencampakkanku sedemikian rupa? Tak akan kubiarkan diri ini jatuh hanya demi menangisi laki-laki tak berarti sepertinya.
            Aku pun bangkit. Memunguti serpihan asaku. Menghimpunnya dalam genggamanku, menatap dunia dengan sepenuh hati dan harapan baru. Aku terlalu berharga untuk terus-menerus merasa terpuruk. Tuhan memberiku hidup tidak untuk kusia-siakan seperti ini. Tidak untuk kuisi dengan kesedihan tak beralasan. Ya, tak beralasan. Bahkan untuk seorang Tegar sekali pun....
            Sampai akhirnya kutemukan dia. Laki-laki itu. Tambatan hati yang luar biasa istimewa. Bersamanya kuuntai hari demi hari, detik demi detik. Mengukir langit dengan tinta warna-warni, berpendar-pendar penuh cahaya, gemerlap, memenuhi angkasa raya hati dan jiwaku. Dia bagai hujan yang tiba-tiba jatuh membasahi tanah gersang di padang tandus. Menghadirkan kesejukan yang tak terbayangkan. Menyulap ladang kering kerontang menjadi lembah yang hijau merona, berselingan dengan aneka rupa warna bunga. So colorfull. Hidup itu indah, sangat indah....
            Kujatuhkan kepalaku di bahu mas Surya. Suamiku. Laki-laki itu. Kami sedang menikmati ”Ketika Cinta Bertasbih” di ruang keluarga. Berdua saja. Tangannya meraih kepalaku, mengelus rambutku, membetulkan posisi kepalaku agar bisa senyaman mungkin bersandar di bahunya. Selalu begitu. Sikapnya selalu pada posisi siap sedia melayaniku, memenuhi kebutuhanku, menyediakan apapun yang aku perlukan. Di mana pun ketika kami sedang berjalan, berdua atau bersama anak kami, mas Surya selalu memegang tanganku. Memijit-mijit telapak tanganku. Kalau aku kesakitan, dia akan berkata dengan lembut, bahwa aku harus bertahan karena dia sedang berusaha menghilangkan kelelahanku. Telapak tangan yang sakit ketika dipijit adalah indikator kelelahan, katanya.
Banyak hal yang membuatku begitu mencintainya. Dada bidangnya adalah tempatku menumpahkan segala suka cita sekaligus kegundahanku. Mata teduhnya adalah telaga nan luas di mana aku bisa berenang di dalamnya sesuka hati. Lengan kekarnya ibarat tangan malaikat yang selalu menjaga dan merengkuhku senantiasa dalam pelukannya. Ya. Mas Surya sangat melindungi. Dia selalu memastikan aku akan tahu jalan pulang ketika aku pergi.  Membiarkan aku terbang ke mana pun aku mau, asal aku yakin aku akan baik-baik saja, dan pulang kembali ke rumah dengan sebongkah pengalaman baru, yang akan kubagikan padanya dan anak kami, dan tentu saja....dengan sepenuh cinta dan kerinduan yang tak pernah lekang. 
Untuk hal-hal kecil yang aku lakukan untuknya, membuatkan jus buah segar untuk mengawali paginya, menyiapkan pakaian kantornya menjelang dia berangkat kerja, mengingatkannya apakah kunci, dompet, dan surat-surat penting sudah dibawanya....selalu membuatku mendapatkan hadiah kecupan manis di keningku. ”Terimakasih, sayang, aku bangga padamu...” Kata-kata yang sering diucapkannya. ”Kamu sendiri sibuk, kamu sendiri harus segera berangkat, tapi kamu selalu ingat menyiapkan semua keperluanku....” dan dia pergi setelah menghadiahiku lagi sebuah kecupan, sejenak setelah kucium tangannya.
Lalu dia akan mengucap salam.
’Assalamualaikum, sayang, mas berangkat.” Dia melemparkan senyum. ”Kamu hati-hati di jalan ya....banyak baca sholawat”. Begitu selalu pesannya.
Dua puluh satu tahun bahtera ini kukayuh bersamanya. Dia adalah pemimpinku. Di luar aku boleh saja menjadi perempuan kuat, mandiri, tak kenal lelah. Tapi di sisinya, aku luruh. Aku menikmati menjadi perempuan manja yang tak berdaya. Bertekuk lutut memasrahkan diriku untuk dibimbingnya, dibawanya ke mana pun dia inginkan. Mas Surya adalah laki-laki berpendirian, berprinsip. Baginya, aku dan anak kami adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkannya. Dunia akhirat. Maka dengan caranya, dia menunjukkan pada kami tentang apa yang seharusnya kami lakukan, jalan mana yang harus kami lalui, sisi mana yang harus kami pilih. Begitu kuatnya mas Surya memimpin kami. Sekaligus betapa lembutnya dia memperlakukan kami. Menyediakan dirinya sebagai sosok yang akan selalu ada kapan pun kami perlukan. Memanjakan kami dengan kebahagian dan keceriaan. Menjadikan hidup begitu berarti dan penuh kesyukuran...
”Sayang, ada waktu untuk makan siang?” Mas Surya seringkali meneloponku di saat jam istirahat kantor. Dan seperempat jam kemudian dia akan berada di hadapanku. Menggamit lenganku, membawaku ke suatu tempat di mana kami bisa menikmati makan siang berdua. Cukup setengah jam. Karena setelah itu dia akan kembali ke kantornya lagi. Mengantarkan aku lebih dulu ke tempatku bekerja, dan kemudian pergi setelah menanggalkan satu senyumnya untukku. Sebuah kencan yang manis.
Tentang Tegar? Mas Surya tahu semuanya. Bahwa dialah cinta pertamaku, mas Surya sangat menyadari hal itu. Di mana rumah Tegar, di mana tempat-tempat favoritku menghabiskan waktu bersamanya, mas Surya tahu. Tegar, anak pantai itu, memiliki laut yang indah dan pantai yang berpasir hitam. Banyak nyiur menjulang di sepanjang pantainya. Karang-karang yang kokoh dan kicau camar melengkapi keindahannya.
Setiap orang punya masa lalu, dan mas Surya ingin menghormati masa laluku.

***
MENGHORMATI masa lalu.
 ”Apakah mas akan bisa menerima, jika suatu ketika aku ketemu Tegar, dan aku masih merasa bergetar?” Tanyaku suatu ketika.
”Ya, sayang, menurutku itu wajar.”
Aku termangu. Merasakan ketulusan hatinya.
”Mas tidak cemburu?”
Dia hanya tersenyum.
”Mungkin karena mas tidak cinta aku....”
Kali ini dia tertawa. ”Kamu lucu deh, pertanyaanmu lucu. Apa lagi yang harus mas buktikan kalau mas cinta kamu hah....?” Tanyanya pura-pura galak.
Kalau sudah seperti itu aku yang diam. Ya, apa lagi? Orang bilang cinta tidak cukup hanya dengan kata-kata, tapi juga diwujudkan dalam bentuk tindakan. Mas Surya sudah melakukan semuanya. Hampir setiap hari dia bilang ’ilu’—singkatan dari ’I love you’, baik ucapan maupun via SMS dan telepon. Dan semua yang dilakukannya untukku dan anak kami adalah bukti cintanya. Ya, apa lagi?
 Sebagai perempuan, aku sudah memiliki semuanya. Keluarga dengan suami yang sangat mencintai,  dan seorang anak yang hebat. Aku juga punya karir yang cukup bagus di tempat kerja. Mas Surya tidak pernah pedulikan berapa gajiku dan berapa uang yang kuperoleh dari setiap aktivitasku. Itu adalah uangku, seperti itulah prinsipnya. Aku mau gunakan untuk apa pun, yang penting halal dan bermanfaat, adalah urusanku. Namun jika aku akan menggunakannya untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, itu akan manjadi shodaqoh yang menyenangkan. Begitulah kami menjalani hidup. Aku juga sangat menyadari, semua yang kulakukan di luar, tak akan berarti apa pun bila tanpa izin dan doa restu mas Surya. Justru karena kesadaran itu, aku menghayati setiap rezeki yang kuperoleh adalah rezeki keluarga. Karena aku bukan siapa-siapa dan tak bisa melakukan apa-apa, tanpa dukungan keluarga. Terutama mas Surya, suami dan pemimpinku.
Hidup kami seperti air. Mengalir menuju muaranya. Kadang harus melewati jalan berkelok-kelok, menghantam cadas, beriak-riak di antara onak dan duri. Semua bisa dilalui dengan baik, dengan sangat baik. Mas Surya selalu mengingatkan kami dengan kata-kata ”do your best, let God does the rest.” Tentu kami sangat memahami kata-kata itu. Menghiasi hidup penuh dengan mimpi-mimpi dan harapan, mewarnainya dengan perjuangan dan kerja keras, dan mengandalkan sholat dan doa sebagai sandaran. Semua itu membuat hidup menjadi lebih mudah, lebih menyenangkan, lebih indah...
Sampai suatu ketika kulihat perubahan pada diri mas Surya. Shubuhnya selalu lebih awal, dzikirnya menjadi lebih lama, dan hampir setiap malam dilaluinya dengan terjaga. Semua berawal ketika mas Surya menemukan catatan kecil di sebuah lembar buku kerjaku.

Ya Allah, kenapa aku masih suka mengingatnya?
Bersihkan alam bawah sadarku, Tuhan...
Dari bayang-bayangnya
Jangan biarkan cinta ini berpaling
Sedetikpun jangan
Kabulkan, Tuhan....

Puisi singkat itu kutulis begitu saja ketika aku berada di suatu tempat. Ketika aku menemukan laut dengan pantainya yang hitam. Ketika—seperti biasa—bayang-bayang Tegar bermunculan di setiap titik di laut itu. Dia menari-nari di atas ombak, berayun-ayun di ketinggian nyiur, bersiul-siul bersama camar, dan berlarian di sepanjang pantai.....
Sesungguhnya aku tidak ingin percaya tentang apa yang dikatakan banyak orang, bahwa ’ first love is never die’. Setelah kukenal mas Surya, bagiku kata-kata itu hanyalah omong kosong. Hari-hariku yang dipenuhi dengan kasih sayang mas Surya menjadikanku tak pernah memikirkan cinta lain. Cinta Tegar? Tak ada seujung kuku pun dibandingkan dengan cinta mas Surya. Tak berarti.
Seperti itulah yang terjadi.
Ya, kecuali bila aku ada di suatu tempat, dan laut membentang luas di hadapanku. Aku menjadi begitu tak berdaya. Aku seperti aku dua puluh lima tahun yang lalu. Terbuai oleh laut dengan segala misteri dan kenangannya. Di situlah, di hampir semua sudutnya, di sepanjang pantainya yang hitam, aku dan Tegar membunuh waktu. Menciptakan puisi-puisi cinta beralas ombak. Mengukir cakrawala dengan tinta dari surga. Menuliskan kata-kata indah di batu-batu karangnya. Dan menggantungkan asa di ketinggian langit yang biru... Meski akhirnya semua terempaskan... Tak bersisa.
Tak bersisa. Kecuali kenangan itu. Bayang-bayang itu. Menari-nari di bawah alam sadarku. Membangunkan mimpi-mimpi lama. Mengorek luka-luka. Dan membuatku tak berdaya...
                                  
Lelapku di atas awan
Beralas mendung…tak bertepi
Bangunkan sukmaku
Jika bayangmu telah sampai

Puisi itu hanya salah satu dari puluhan puisi yang pernah kucipta begitu saja setelah aku berlama-lama menatap laut. Lebih-lebih bila aku tidak sedang dengan siapa-siapa. Kesendirian membuatku semakin melalang ke segala penjurunya. Meski akhirnya aku sadar, semuanya hanya ilusi. Tidak nyata. Sungguh tidak nyata.
Dan mas Surya membaca alam bawah sadarku. Sampai suatu ketika pernah dilontarkannya pertanyaan padaku.
”Tidakkah aku seperti anak kecil, yang asyik bermain tembak-tembakan tanpa lawan?”
”Apa maksud mas?”
”Kamu tidak pernah sepenuhnya mencintai mas....” Suaranya tidak ada nada menuduh. ”Kamu tidak bisa melupakan Tegar....”
”Tegar? Mas ngaco deh!”
”Pusi-puisimu itu....catatan-catatan kecilmu itu....”
”Itu tentang laut, mas, tentang pantai, bukan tentang Tegar.”
Lantas mas Surya terdiam.
Tidak. Dia bukannya tidak mengerti bahwa catatan-catatan kecil dan puisi-puisi itu adalah tentang laut, pantai, dan Tegar. Dia tahu, bagiku laut, pantai dan Tegar adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Tapi mas Surya memilih diam. Kesabarannya itu, adalah kesabaran seorang malaikat. Menyudutkanku pada perasaan bersalah. Ya, perasaan bersalah berbalut tak berdaya...
Namun....hatiku yang terdalam akhirnya tersentuh juga. Kesungguhan mas Surya membantuku untuk melepaskan diri dari laut dan pantai membuatku tersadar. Dia sama sekali tidak menunjukkan kemarahan, tidak menunjukkan kecemburuan. Dia mengimbanginya dengan sholat, berlama-lama dalam doa, dan mengisi malam-malamnya dengan sujud. Di atas semuanya itu, kadar cintanya padaku tak bergeming sedikitpun...

Dan hatiku menangis karenanya.
Aku telah membuatnya terluka.

Kubangun museum cinta kita
Bertiang puisi,
Berdinding prosa…..
Tanpa lantai apa-apa
Karena aku memang tidak berpijak di mana pun
Kecuali di awang-awang...

Itulah puisi terakhirku tentang laut, pantai, dan Tegar. Puisi terakhir yang kuharap bisa menutup alam bawah sadarku. Membuang bayang-bayang Tegar di semua laut dan pantai. Termasuk di pantai berpasir hitam itu.....
Lantas kuhiasi lembaran-lembaran hidupku dengan puisi-puisi yang lain.
Tentang cinta yang apa adanya, yang penuh kesabaran, dan ketulusan yang tak mengharap balas. Cinta mas Surya. Laki-laki istimewa itu....

Hanya denganmu
Kita, ada di relung yang sama
Lorong cinta yang indah
Kudus, tak terendus
Selain kita...

Aku cinta kamu....(*)


Surabaya, 21 April 2011
(Kado untuk mas Baskoro Adjie,
untuk ulang tahun pernikahan kita)

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...