Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Konaspi VII. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konaspi VII. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 November 2012

Catatan yang tercecer dari Konaspi VII

Siang ini adalah sesi yang diisi oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah. Beliau memulai presentasinya dengan menggambarkan proses perjalanan waktu yang sangat cepat. Betapa cepatnya hidup kita. Mulai dari lahir sampai mati. Dan waktu adalah modal utama. Bila kita tidak bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, maka kita akan menjadi orang-orang yang merugi.

Di sekitar kita, banyak orang yang berlomba-lomba menanamkan investasi bertahun-tahun untuk sebuah jabatan, namun ternyata itu semua hanya untuk mempertinggi tingkat kejatuhannya. Jatuh karena tidak 'kuat martabat dan derajat'. Jatuh karena tidak amanah mengemban suatu jabatan. Jatuh karena salah memanfaatkan peluang. 

Menurut Komaruddin, sumberdaya alam (SDA) Indonesia tidak tereksplorasi dengan baik dan benar, karena Indonesia tidak mampu mengembangkan ilmu dasar dan engineering. Yang banyak adalah ilmu-ilmu sosial, sehingga yang tumbuh pesat adalah LSM dan partai. Pendapat ini tentu saja mengundang senyum geli para audience. Sepintas 'nyleneh', tapi kalau dipikir-pikir, benar juga.

Komaruddin menayangkan sebuah slide berupa gambar ilustrasi khas China. Dikatakannya, sebuah perjalanan atau journey, akan selalu menghadapi tantangan (digambarkan dengan sebuah gambar 'dragon'). Problem generasi sekarang, mereka lembek menghadapi tantangan. Mereka tidak berani menghadapi 'dragon of life' dalam hidupnya.  'On the journey, we reinvent ourselver, to be more authentic and realign with the surrounding environment.' Apakah anak-anak kita mengalami situasi seperti ini? Apakah pendidikan memberikan kesempatan yang cukup bagi mereka untuk siap menghadapi tantangan dalam hidupnya?

Hal penting lain yang disampaikan oleh Komaruddin adalah tentang values. Values (living values, business values, corporate values) merupakan produk dari kebijaksanaan (the product of wisdom of life). Wisdom lebih tinggi tingkatannya daripada hukum. Kalau orang hidup dengan wisdom, hukum itu tidak diperlukan. 

Setiap orang akan mengalami siklus hidup yang disebut 'The Archetypes'. Pertama, setiap orang akan memasuki tahap 'orphan'. Artinya, kita sesungguhnya memiliki sifat tidak berdaya, selalu membutuhkan orang lain.  Seperti anak yatim piatu, kita merasa selalu memerlukan bantuan,  selalu membutuhkan perhatian, selalu ingin merasa terlindungi (feeling of helplessness; always needy and weary; longing for attention; caring and protection). Tetapi juga terbuka pada persahabatan dan pertemanan.  

Yang kedua,' wanderer', atau pengelana. Setiap orang akan masuk tahap 'suka keluyuran'. Titik positifnya adalah selalu melakukan eksplorasi, memperluas wawasan. Dalam pendidikan dikenal dengan research. 'The building of knowledge society'. Tetapi sayangnya, dalam bidang penelitian, terutama dalam bidang teknologi, kita lebih banyak sebagai user. Dalam menggali informasi pun, kalau dulu yang kita lakukan adalah hunting informasi, sekarang lebih banyak melakukan seleksi informasi. Informasi apa pun sudah tersedia begitu berlimpah, tinggal bagaimana kita memilih dan memanfaatkannya sesuai kebutuhan kita. 

Yang ketiga adalah warrior, yaitu harga diri. Komaruddin mempertanyakan, di mana harga diri kita ketika TKI diiklankan besar-besaran di Malaysia? Di mana harga diri kita ketika kekayaan SDA di Papua dijarah habis-habisan oleh negara Asing? Dan lain-lain. Seharusnya kita menjaga harga diri dan martabat kita. Kita harus berani membela nasib sendiri, nasib guru, nasib bangsa.
Petinju yang sejati tidak akan pernah bertarung di luar panggung. 

Selanjutnya adalah 'altruist' artinya 'find the more meaningful life'. Saatnya berjuang untuk orang lain, untuk bangsa. Bukan hanya memikirkan diri sendiri (selfish,  seff center). Ketika seseorang mencapai tahap altruist, dia akan merasa bahagia ketika membahagiakan orang lain. Berbahagialah Anda menjadi guru, menjadi dosen, dokter, menjadi apa saja, yang hidupnya untuk memberikan manfaat dan kebahagiaan bagi orang lain. Untuk bekerja dan melayani. Gaji bukan hanya dari kas negara, tapi juga dalam bentuk moral reward. Kepribadian yang sehat adalah ketika sudah sampai pada tahap altruist. Altruist itu dari hati ke hati. Ukurannya bukan uang, tapi mentalitas. Secara pedas, Komaruddin mengemukakan, dulu bangsa ini didirikan oleh orang-mana yang kaya, terutama kaya hati. Sekarang dipimpin oleh orang-orang yang kaya tapi kere mentalnya, maka korupsi terjadi di mana-mana.

Kelima adalah innocent, yaitu 'the feeling of relief, carefree, having self happiness'. Orang yang tidak merasa punya dosa karena dia selalu berusaha berbuat baik selama hidupnya. Orang yang bebas dari rasa takut karena dia melakukan hal-hal yang benar. Maka tinggalkanlah legacy yang baik. 
Selanjutnya keenam adalah 'magician'. Tahap di mana kita dapat mengubah hidup kita (capable to transforming our lives). Kata Komaruddin, every man was born as a khalifah/leader. Every man has unlimited power to create big legacy. Every man has capacity to change.  Dengan cara apa? Dengan memaksimalkan 'the power of the head, the heart, the hand'. Dan dalam hal ini, pendidikanlah pemegang peran utamanya.

Terakhir adalah 'anxiety'. Di ujung journey kita dihadang anxiety. Rasa cemas, khawatir. Kegelisahan pada apa yang bisa kita wariskan. Maka bersiaplah agar kita bisa meninggalkan warisan yang berguna bagi anak cucu generasi penerus kita. Bersiaplah agar kita tidak terkungkung dalam kecemasan dan kegelisahan di ujung perjalanan kita.

Tujuah tahapan tersebut bukanlah tahapan yang linear. Ada kalanya kita bisa berpindah-pindah dari satu tahap ke tahap yang lain.  Yang terbaik adalah pada level altruist. Bahagia ketika memberi, bukan diberi. Oleh sebab itu mari kita berjuang sebagai bangsa yang kuat,  bukan bangsa peminta-minta, bukan bangsa yang terus-menerus dirundung hutang. Mari kita berjuang sehingga kita menjadi bangsa yang bermartabat. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa mendorong pendidikan memiliki dan mengembangkan sifat-sifat tersebut?

Yogyakarta, 2 November 2012

Wassalam,
LN

Minggu, 04 November 2012

Konaspi VII (4): H. A. R. Tilaar, dari Konferensi Rio+20 sampai Pekik Merdeka

Pagi ini dimulai dengan presentasi oleh Prof. Dr. H. A. R. Tilaar, M. Sc. Ed, seorang pakar dan pemerhati pendidikan, guru besar emeritus dari UNJ. Topiknya adalah 'Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045'. Meski usia sepuhnya membuat langkah kakinya pelan, namun suaranya yang terkadang tidak jelas artikulasinya itu masih mampu meluncurkan banyak inspirasi yang tajam.

Tilaar memulai presentasinya dengan mengangkat Konferensi Dunia Rio+20 yang diselenggarakan di Rio de Jeneiro bulan Juni 2012 yang lalu. Konferensi ini merupakan pembaharuan komitmen atas pembangunan berkelanjutan, mengidentifikasi kesenjangan antara perkembangan dan implementasi seperti penanggulangan kemiskinan serta mengatasi berbagai tantangan baru. Salah satu topik yang
ditonjolkan di dalam konferensi tingkat tinggi di Rio tersebut antara lain mengenai ekonomi hijau (green economy) dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pada dasarnya KTT Rio+20 meluruskan langkah-langkah selanjutnya di dalam mewujudkan "The Future We Want". Dalam rangka membangun 'The Future We Want", KTT Rio+20 menekankan kepada pentingnya peranan manusia di dalam pembangunan yang berkelanjutan, pemberantasan kemiskinan dan kehidupan yang lebih sejahtera.

Indonesia sendiri di dalam menghadapi agenda KTT Rio+20 telah menyusun rencana kerjanya di dalam pengembangan ekonomi dengan berslogan 'pro-miskin, pro-pekerjaan, pro-perkembangan, dan pro-pemeliharaan lingkungan.'

Menurut Tilaar, Indonesia 33 tahun ke depan akan memperingati 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Dalam rangka KTT Rio+20 apakah yang dapat dibuat oleh Indonesia di dalam peningkatan mutu kehidupan rakyat Indonesia, sambil turut serta dalam penyelamatan planet bumi untuk menjamin pembangunan yang berkesinambungan?

Salah satu keuntungan yang dimiliki Indonesia dalam kurun waktu tersebut ialah adanya apa yang disebut bonus demografi yang cukup signifikan. Dengan menyajikan sebuah tabel, Tilaar menunjukkan bahwa pada 33 tahun yang akan datang, kita memiliki sejumlah generasi dalam usia produktif. Apabila usia yang produktif tersebut ketika menghadapi peringatan 100 tahun kemerdekaan Indonesia tidak dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, kemungkinan besar bukan merupakan bonus, tetapi bahkan merupakan malapetaka.

Bonus manusia produktif 33 tahun ke depan harus dipersiapkan dari sekarang. Mereka itu adalah generasi muda yang lahir dewasa ini atau pun yang sedang duduk di sekolah dasar dan menengah. Bonus demografi ini perlu dipersiapkan sebaik-baiknya bukan karena mereka adalah warganegara Indonesia yang baik,
tetapi juga sebagai warganegara Indonesia yang hidup di dalam 'knowledge-based society' abad ke-21. Mereka perlu dibekali dengan pengetahuan yang relevan dengan kemajuan zaman, menguasai teknologi komunikasi yang merupakan salah satu ciri utama dalam kehidupan modern abad 21, dibekali keterampilan yang sesuai dengan lapangan pekerjaan yang terbuka di masa depan serta tentunya warganegara yang bermoral yang mendukung dan mewujudkan identitas atau watak keindonesiaannya.

Apakah masyarakat dan bangsa Indonesia telah siap menghadapi tantangan perubahan besar abad ke-21? Beberapa ahli seperti Keri Facer, Direktur dari Future Lab, Manchester Metropolitan University, meragukan apakah bangsa di dunia menyadari akan perlunya menguasai 'new survival skills' melalui pendidikan di sekolahnya. Bahkan negara-negara maju sekali pun belum seluruhnya menyadari akan tantangan tersebut. Lanjut Tilaar, pandangan saat ini bukan lagi hanya menekankan pada bagaimana kita tetap survive di dalam tantangan yang diberikan oleh masa depan tetapi bagaimana menciptakan dunia yang kita inginkan untuk didiami. Hal ini sangat sesuai dengan logo Konferensi Rio+20, yaitu 'The Future We Want'.

Tilaar juga mengemukakan empat kekuatan global yang sedang melanda dunia menurut Laurence C. Smith, yaitu: 1) demografi, 2) sumber-sumber alam, 3) perubahan Iklim, dan 4) globalisasi. Keempat kekuatan global tersebut kesemuanya digerakkan oleh kemajuan teknologi.

Dalam kaitannya dengan demografi, bahaya ledakan penduduk dunia telah dilihat oleh Thomas Maltus sekitar dua abad lalu dan pada tahun 1968 Paul R. Ehrlich, seorang profesor dari Universitas Stanford mengeluarkan bukunya yang terkenal The Population Bomb.

Tentang keterbatasan SDA, dewasa ini dunia mengalami krisis energi yang gawat khususnya yang bersumber dari hidrokarbon. Bahkan kebanyakan negara-negara berkembang mulai memerlukan hidrokarbon untuk industri dan transportasinya. Dunia akan mengalami krisis energi yang gawat sebelum ditemukan sumber-sumber energi alternatif.

Terkait dengan globalisasi, Tilaar menjelaskan, dalam bukunya 'Globalization' (2003), Manfred A. Steger menceritakan ternyata globalisasi telah dimulai sejak prasejarah. Sekitar 10 ribu tahun SM telah terjadi migrasi manusia dari pusatnya di Afrika kemudian menyebar ke Eropa, Asia, Amerika Utara dan Selatan. Pada masa pramodern terjadi migrasi besar-besaran bangsa seperti di Asia. Juga dikenal jalan sutra (silkroad) yang telah menghubungkan Cina dengan kerajaan Romawi dan pedagang-pedagang Afrika. Kita juga mengenal perdagangan dari Barat seperti VOC serta British East India Company yang menghubungkan antara dunia Barat dengan Asia. Pada era modern mulai terjadi perdagangan yang dikenal sebagai 'global crossing systems' untuk komoditas-komoditas seperti gandum, kapas dan berbagai
metal. Dalam era 1970 sampai sekarang terjadi proses globalisasi yang sangat cepat.

Selanjutnya, tentang perubahan iklim, dewasa ini planet bumi dirasakan semakin panas akibat efek rumah kaca. Telah banyak kesepakatan internasional untuk membatasi efek rumah kaca dengan pengurangan emisi CO2 di angkasa. Kesepakatan global yang disepakati Protokol Kyoto yang terkenal itu bahkan banyak dilanggar oleh negara-negara industri maju. Di samping itu, paru-paru bumi yaitu hutan-hutan di daerah tropis seperti yang terdapat di Brasilia dan Indonesia mulai terancam oleh penebangan yang tidak terkendali. Akibatnya ialah bumi terasa semakin panas bahkan pada beberapa waktu yang lalu banyak yang tewas karena iklim panas yang menyengat. Perubahan iklim tersebut juga akan mempengaruhi produk makanan dan mungkin dunia akan mengalami krisis air bersih untuk dikonsumsi.

Yang menarik, dengan sentilan-sentilan yang cukup pedas terhadap berbagai kebijakan pendidikan saat ini, Tilaar menegaskan betapa UN telah mematikan kreativitas anak didik. Di sisi lain, kalau ingin menjadi bangsa yang maju, menurut Ciputra, setidaknya diperlukan dua persen entrepreneur. Indonesia baru
memiliki 0,8 persen entrepreneur. Kalau sistem pendidikan terus seperti ini, dengan UN yang menjadi tolok ukur kelulusan, sulit dihasilkan lulusan yang kreatif. Sehingga sulit dihasilkan entrepreneur-entrepreneur baru yang andal. Dengan pedas Tilaar mengatakan, pengembangan kreativitas dan entrepreneur dalam Pendidikan Nasional sudah dimatikan kreativitasnya. Sudah mampus.

Tilaar juga menyoroti SBI/RSBI. Menurutnya, kebijakan ini telah membuat masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang berkelas. Ada yang kelas kambing dan kelas sapi. Berapa banyak dana yang digelontorkan demi RSBI, sementara berapa banyak anak-anak petani dan nelayan yang drop out atau tidak bisa bersekolah. SBI/RSBI akan menjadi dosa bangsa Indonesia.

LPTK juga disoroti oleh Tilaar. LPTK selama ini telah dininabobokan oleh kebijakan. Ketika IKIP bermetamorfosis menjadi universitas, maka sejak itulah ilmu pendidikan mati. Tidak ada LPTK yang meneliti tentang pendidikan anak Indonesia, atau penelitian tentang moral. Kohlberg dan Lickona yang dominan disebut kalau kita bicara tentang moral.

BNSP oleh Tilaar juga diplesetkan sebagai Badan Skandal Pendidikan Nasional. Menurutnya, BNSP-lah yang selama ini sering menjadi biang kerok dari banyak permasalahan pendidikan.

Di akhir presentasinya, Tilaar merekomendasikan bahwa pendidikan harus merakyat. Guru dan peserta didik adalah 'knowledge builder' bukan 'Knowledge Provider' dan Kkowledge Acquisition'. Genre guru profesional adalah: (1) menghasilkan generasi produktif dan kreatif, (2) menghasilkan generasi yang survive dalam knowledge-based-economy, dan (3) menghasilkan cukup banyak entrepreneur.

Belajar dari WIFF di Kazakhstan, pendidikan harus memperhatikan 3C (Connect, Compete, Collaborate). Sedang proses pembelajaran meliputi 3C + SM, yaitu: Cognitive, Computer, Collaborationan Spiritual, dan Moral.

Dengan mendasarkan diri pada teori Ralph Linton, Lev Vygotsky, dan Ki Hadjar Dewantara, Tilaar mendefinisikan karakter atau watak bangsa Indonesia dalam menghadapi abad ke-21, yaitu: karakter atau watak bangsa Indonesia adalah suatu konstruksi budaya tentang sikap hidup, cara berpikir dan bertindak dari setiap individu bangsa Indonesia yang multikultural yang terpancar dari nilai-nilai budaya dan ideologi nasional Indonesia yaitu Pancasila (dalam menghadapi era global).

Di ujung presentasinya, Tilaar mengakhirinya dengan pekik merdeka.

Yogyakarta, 2 November 2012

Wassalam,
LN

Sabtu, 03 November 2012

Konaspi VII (3): Ary Ginanjar: Piramida Kebutuhan Terbalik

Siapa yang tidak mengenal Ary Ginanjar? Tentu saja banyak orang di Indonesia ini mengenalnya. Anak sekolah, mahasiswa, pegawai negeri, karyawan swasta, ABRI, dan masyarakat luas, terutama yang pernah mengikuti pelatihan ESQ, pasti tahu. Dia identik dengan ESQ. Buku pertamanya, yang juga berjudul Emotional Spiritual Quotient (ESQ), terbit di tahun 2001, cukup populer. Konon terjual lebih dari satu juta seratus eksemplar. Setelah itu terbit belasan bukunya yang lain. Yang terakhir adalah Spiritual Samurai (2010).

Pada tahun 2007, AG menerima anugerah sebagai Doktor Honoris Causa dalam bidang Pembangunan Karakter dari UNY. Tentu saja ini adalah penghargaan yang sangat prestisius bagi pria kelahiran 1965 itu. Sebelum itu, dia menerima penghargaan The Most Powerful People and Ideas in Business versi Majalah SWA (2004), Agents of Change in 2005 versi Harian Republika (2005), dan berbagai penghargaan lain setelah 2007, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri (Malaysia, United Kingdom, dan Saudi Arabia). 

Menikmati penampilan AG selama sekitar satu setengah jam menjelang istirahat makan siang ini begitu menyenangkan. Panitia sangat tepat menempatkannya pada detik-detik yang 'genting' saat-saat audience mulai mengantuk. Setelah mendengarkan presentasi Sri Sultan Hamengkubuwono yang pembawaannya datar-datar saja bagai air tanpa riak gelombang, meski materinya sebenarnya bagus, penampilan AG bagai musik indah yang memecah keheningan. Siapa pun yang mendengarkan letupan-letupan AG akan terhanyut. Dia menyampaikan ide-idenya dengan gayanya yang khas, cerdas, humoris, dan bersemangat. Meski, harus disadari, tidak semua pikiran-pikirannya bisa diterima dengan begitu saja, terutama kalau disandingkan dengan konsep-konsep pembelajaran dan pendidikan.

Salah satunya adalah idenya untuk membalik konsep Piramida Abraham Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan yang paling dasar (basic need) manusia antara lain adalah makan, minum, pakaian, papan, dll (kebutuhan akan materi), dan kebutuhan tertinggi adalah 'self actualization'. Menurut AG, basic need itulah yang menjadi biang masalah di mana-mana, karena manusia tidak ada puas-puasnya. Dia memberikan ilustrasi, saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah sedemikian luar biasa, yaitu mencapai 6,4 persen di semester satu tahun 2012. Namun demikian, peningkatan tersebut ternyata
tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas kehidupan secara totalitas, bahkan nampaknya justeru terjadi penurunan kualitas hidup. Bukan hanya karena masalah pemerataan ekonomi semata. Tengoklah berbagai krisis moral yang terjadi di sana-sini sehingga mengakibatkan tingginya angka korupsi, demo buruh yang terus meningkat, kerusakan hutan dan lingkungan, peningkatan penggunaan narkotika di kalangan remaja, pergaulan bebas dan aborsi di kalangan remaja, tawuran pelajar dan mahasiswa, dan masih banyak lagi. Jelas bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi tidak menjamin peningkatan kualitas kehidupan bangsa Indonesia. Artinya, pemenuhan kebutuhan 'basic need' tidak pernah terpuaskan, dan justeru semakin membuat manusia serakah.

AG menawarkan supaya piramida itu dibalik. Basic need yang pada mulanya berada pada posisi paling dasar, diputar menjadi paling atas. Self actualization yang tadinya tertinggi dan jarang tercapai, kini justeru menjadi yang paling dasar. Perubahan ini hanya akan terjadi bila pendidikan benar-benar menyentuh aspek spiritual, tidak hanya aspek emosional dan intelektual. Setiap manusia yang terjun di dunia pendidikan baik mahasiswa, dosen, staf, harus memiliki 'meaning' dalam mengemban misinya. Misi suci pendidikan tidak lain adalah sebuah panggilan suci dan aktualisasi diri. Saat self actualization menjadi dasar, basic need secara otomatis akan terpenuhi bahkan mungkin lebih dari yang diharapkan semula. 

Tentu saja ide ini sangat bisa diperdebatkan. Bayangkan seorang bayi yang baru lahir, apa yang dia butuhkan? Tentu saja air susu ibu untuk mengisi perutnya, dan dekapan ibu untuk memberinya rasa aman (safety need). Bukan kebutuhan untuk melakukan aktualisasi diri. Sebuah penelitian tentang penerapan keterampilan proses (PKP), yang dilakukan oleh Prof. Nur di wilayah Surabaya dan di pelosok kabupaten Lamongan juga menunjukkan betapa  basic need adalah yang terpenting. Ketika PKP diterapkan di sebuah sekolah di pelosok Lamongan, ternyata respon dan aktivitas siswa sangat jauh dibanding dengan yang di Surabaya. Setelah ditelusuri ternyata apa penyebab utamanya? Siswa-siswa itu sebagian besar tidak sarapan, perut mereka lapar. Sehingga jangankan melakukan interaksi di dalam pembelajaran, dapat menerima pelajaran saja sudah bagus. Ini menunjukkan, urusan perut harus aman dulu, sebelum memenuhi kebutuhan yang lain, yang meliputi safety need, social need, self esteem, dan self actualization.      
Lepas dari itu, presentasi AG sangat inspiratif. Konsep ESQWay165 yang diajukannya diterapkan di banyak institusi, salah satunya di UNY. Menurutnya, diperlukan kecerdasan emosional (EQ) yang akan memberikan keterampilan dalam bersosialisasi dan berhubungan dengan orang lain, serta kecerdasan spiritual (SQ) yang akan memberikan jawaban atas eksistensi diri.  
Konsep ESQWay165 merupakan sebuah konsep pembangunan karakter yang komprehensif dan integratif berdasarkan 1 nilai universal, 6 prinsip pembangunan mental, dan 5 langkah aksi. Ketika ketiga model kecerdasan digabungkan, maka lahirlah manusia yang memiliki keseimbangan antara otak, akal, dan hatinya, sehingga secara otomatis akan melahirkan karakter. 

AG juga menyebut bahwa di setiap diri manusia ada segumpal hati. Segumpal hati ini disebutnya sebagai 
super intellegence software. Software inilah yang mampu menuntun seorang ahli hukum menjadi bijaksana, hakim menjadi adil, pengusaha menjadi jujur, dan sebagainya. Bila software ini  tidak digunakan maka manusia akan mengalami spiritual pathologist. Penyakit hati. Manusia akan mengalami kegilaan yang luar biasa. Dengan menyitir kata-kata Arnold Tonybee, AG menyatakan bahwa suatu bangsa akan mengalami kejayaan ketika hati menjadi panglima, akan mengalami masa keemasan ketika akal fikiran dan hati disatukan, namun akan mengalami kehancuran ketika akal fikiran dan nafsu yang menjadi panglima. 

Menutup presentasinya, AG menanyakan, berapa tahun lagi kita akan mencapai tahun 2045? Adalah 33 tahun lagi. Berapa kali kita berdzikir seusai sholat? 33 kali. Maka, kata AG, hari ini adalah hari dzikirnya Konaspi untuk Indonesia. 

Yogyakarta, 1 November 2012

Wassalam,
LN

Kamis, 01 November 2012

Konaspi VII (2): Habibie yang Cerdas dan Romantis

Pagi ini, adalah Presiden Indonesia yang ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie, yang tampil dengan topik 'Sumberdaya Manusia Andalan Masyarakat Madani'. Entah kenapa, pria 76 tahun ini membuat hati saya terharu. Kesederhanaannya, kecerdasannya, ketegasannya, dan kerendah-hatiannya, bagi saya begitu mengagumkan. Ketika tubuh kecilnya itu melangkah pasti diiringi sambutan yang sangat meriah dari kami semua, untaian puisi indahnya untuk istri tercintanya, ibu Ainun,  tiba-tiba saja membayang di pelupuk mata saya.

Dalam pengantarnya, Rektor UNJ yang menjadi moderator menyampaikan, Habibie adalah salah satu sosok yang tak akan bisa dilupakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Kiprahnya untuk negara ini begitu berarti, dan bahkan sampai saat ini pun, beliau tidak pernah berhenti memikirkan pengembangan sumber daya manusia. 

Terkait dengan generasi 2045, Habibie menekankan pentingnya memikirkan berbagai persoalan saat ini. Karena bila tidak, maka apa yang akan terjadi pada tahun 2045 nanti, bisa jadi tanpa kita. Bukan tanpa kita sebagai manusia, tetapi tanpa kita sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Menurut Habibie, dalam era globalisasi dan informasi, peran SDM dengan jaringan yang dimiliki akan sangat menentukan kualitas kehidupan masyarakat di mana yang bersangkutan berakar dan bergerak. Karena pada akhirnya daya saing dan produktivitas SDM tersebut yang menentukan keunggulannya dalam masyarakat lokal, nasional, regional dan global. 

Produktivitas SDM mencerminkan kemampuannya menghasilkan produk apa saja yang dinilai oleh masyarakat berkualitas tinggi dengan harga rendah dan dapat diselesaikan tepat waktu. Untuk mencapai produktivitas ini, SDM harus terampil, berdisiplin, dan pandai memanfaatkan prasarana dan sarana teknologi tepat guna yang tersedia. 

Dengan produktivitas yang tinggi, SDM dapat meningkatkan nilai suatu produk melalui suatu proses nilai tambah (PNT), yang dilanjutkan melalui suatu proses biaya tambah (PBT), untuk pada akhirnya ditawarkan di pasar, baik pasar lokal, nasional, regional maupun global, dengan harga hasil PNT (yang maksimal) dan PBT (yang minimal). Baik untuk memperoleh PNT maupun PBT dibutuhkan teknologi yang tepat guna, prasarana, sarana dan SDM yang terampil, berdisiplin dan produktif. Prasarana ekonomi yang baik akan membantu PNT industri apa pun di Indonesia, yang akan menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar domestik, nasional, regional dan global.


Rektor Unesa foto bersama BJ. Habibie.

Habibie juga menambahkan, dengan disertai banyak contoh di lapangan, betapa tanpa disadari kita melanjutkan tradisi penjajah yang datang tidak untuk mengembangkan SDM namun untuk mengambil SDA. Penjajah mengkondisikan agar kita mengutamakan ekspor SDA dari hasil agroindustri dan industri pertambangan. Kemudian setelah mereka olah dengan PNT yang tinggi akan menghasilkan produk yang berkualitas yang akan mereka ekspor antara lain ke negeri yang dijajah. Mereka dapat mengembangkan produk yang bekualitas dan berdaya saing karena memiliki SDM yang unggul, yang dibina dan dikembangkan antara lain dibiayai oleh kita yang dijajah, karena kita membeli produk PNT dan PBT melalui impor.

Untuk mengimpor produk penjajah--baik yang terjadi pada masa kolonial dahulu, maupun dalam rangka proses globalisasi sekarang ini--kita kembangkan berbagai kriteria pragmatis, seperti harga paling rendah, diserahkan tepat waktu, purna jual baik, rendah biayanya, sesuai teknik yang telah ditentukan, dan sistem pembayaran yang paling menguntungkan Indonesia. 

Akibat impor produk apa pun dari masyarakat lain tersebut, menurut Habibie, di dalamnya terselubung 'jam kerja' yang kita biayai untuk mengembangkan teknologi, proses pendidikan dan proses pembudayaan masyarakat negara lain tersebut. Mereka menyediakan prasarana dan sarana pendidikan dan pembudayaan yang memadai sehingga masyarakat mereka menjadi semakin terampil, produktif, dan unggul, yang dibiayai oleh kita melalu ekspor SDA dan impor produk hasil produksi SDM mereka. Dengan demikian, mereka terus berkembang keterampilannya, produktivitasnya, daya saingnya, serta ketentraman dan kualitas hidupnya. Sementara masyarakat kita tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang karena tidak memperoleh pembinaan yang dibutuhkan. Akibatnya daya saing dan kualitas hidup masyarakat kita akan tetap rendah dan tidak berkembang.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut inilah maka Habibie menyebut era globalisasi ini adalah 'VOC Baru' bagi Indonesia.

Empat puluh tahun yang lalu Habibie telah memberikan dasar filsafah strategi proses industrialisasi yang berkelanjutan. Lima filsafah itu adalah: (1) mulai pada akhir dan berakhir pada awal; yang berarti kita memproduksi produk yang segera dibutuhkan pasar, dan setelah itu secara bertahap mengembangkannya sampai kita dapat menguasai teknologi, sehingga memungkinkan hampir semua produk yang kita butuhkan dapat dikembangkan dan dibuat di dalam negeri; (2) menyadari bahwa dua puluh lima tahun yang akan datang bagi proses industrialisasi adalah hari ini, berarti pendidikan, pembudayaan dan peningkatan keterampilan dan keunggulan SDM membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar 25 tahun; (3) transformasi dan perkembangan proses industrialisasi harus dibiayai dari hasil ekspor SDA dan energi dan tidak menggantungkan diri pada dana luar negeri yang diperoleh dari pinjaman dengan persyaratan yang menguntungkan 'neraca pembayaran' dan merugikan 'neraca jam kerja'; (4) tiap kebijakan, baik yang diputuskan di lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif, wajib memprioritaskan 'jam kerja' nasional; dan (5) usaha dan investasi pada bidang ilmu terapan dan teknologi tepat guna untuk produksi produk yang dibutuhkan di pasar nasional saja yang dibiayai dari hasil ekspor SDA dan energi.

Lima filsafah strategi tersebut menurut Habibie telah diterapkan selama 25 tahun dari tahun 1975 sampai 1999 dengan hasil nyata antara lain produk industri dirgantara, kelautan, dan angkutan darat di Indonesia berkembang. Namun sangat disayangkan karya-karya anak bangsa tersebut kita biarkan 'dihancurkan'. Sementara kita mengembangkan strategi membuka pintu selebar-lebarnya untuk impor barang jadi untuk prasarana dan sarana ekonomi seperti: pengangkutan, komunikasi, telekomunikasi, elektronik, energi dan yang lain, dan mengekspor bahan baku dan energi. Strategi tersebut memang sementara dapat menguntungkan 'neraca perdagangan' dan 'neraca pembayaran', namun sangat merugikan 'neraca jam kerja' yang berakibat proses pemerataan dalam segala bidang tidak berfungsi sesuai dengan cita-cita bangsa yang tersirat dalam Pembukaan UUD 1945. Kita bangga karena tunduk atas aturan main WTO serta lembaga internasional sejenis, dan ramai-ramai menari di atas irama pukulan gendang orang lain sampai kita lupa makna perjuangan rakyat kita sendiri.  
Tentu saja ada banyak hal lagi yang diungkapkan oleh sosok yang luar biasa itu. Caranya berbicara, mimik mukanya, dan gerakan-gerakan tubuhnya yang sangat energik mengingatkan saya pada Mr. Pagsi, seorang 'passionate teacher' berusia 88 tahun, yang saya kenal ketika mengikuti forum SEAMEO INNOTECH di Manila, pada awal 2011 yang lalu. Di mata saya, Habibie adalah 'the outstanding teacher'. Beliau begitu menguasai materi dan tahu bagaimana cara menyampaikan materinya itu, memiliki kemampuan berkomunikasi yang luar biasa, sangat interaktif, sesekali sangat menggelikan, sesekali sangat mengharukan. Dua jam itu Habibie telah membuat kami semua terpukau, dan tak ayal, sesi itu dipenuhi dengan  
wajah-wajah yang penuh perhatian, serius, namun juga ceria dan banyak tepuk tangan yang riuh rendah, bahkan tangis yang tertahan karena terharu. Seorang ibu di sebelah saya, Dr. Fatma dari UNG, saya lihat berkali-kali mengusap airmata keharuannya. 

Habibie bercerita, suatu saat ketika dia menerima sebuah award di Jerman, seseorang bertanya, 'siapa guru Anda yang menjadikan Anda seperti ini?' Habibi menjawab, 'guru saya adalah 'my brain'. Dia menambahkan, kalau otak tidak berfungsi, maka nilai tambah pribadi akan terhenti. Beliau katakan bahwa penghargaan yang beliau terima bukanlah untuk dirinya, tetapi untuk seluruh masyarakat Indonesia yang ada saat ini, dan yang sudah mendahului, juga untuk masyarakat Indonesia yang belum dilahirkan. Karena sejatinya, apa yang dilakukannya saya ini tidak terlepas dari orang-orang yang telah berjuang sebelum ini, dan juga dipersembahkan bagi kejayaan generasi mendatang.

Di sela-sela presentasinya, dan juga menjelang akhir penampilannya, sisi Habibie yang romantis terasa begitu kentalnya. Beliau katakan, kalau ibu Ainun masih hidup, dialah yang paling sabar. Dia akan menunggui Habibie bekerja sampai larut malam dengan membaca Al-Quran. Sebelum ibu Ainun meninggal, Habibie merasa takut bila meninggal lebih dulu, karena beliau mengkhawatirkan siapa yang akan menjaga ibu Ainun. Namun sekarang, kata Habibie: 'Saya sudah kangen bergabung dengan ibu Ainun. Tapi sebelum bergabung, saya ingin memberikan kepada generasi selanjutnya, yaitu inspirasi. Saya tidak tahu sampai kapan saya bisa berdiri di depan seperti ini, tapi ada 'lot of information' yang saya harus transform, yang harus saya share. Dan itu sebabnya saya terus bekerja demi anak-anak bangsa yang bahkan saat ini belum lahir.

Sesi dengan BJ Habibie ditutup dengan sangat manis oleh Rektor UNJ, Prof. Dr. Bedjo Sujanto. Ungkapan terima kasih dan doa untuk kesehatan Habibie dan perlindungan dari Allah SWT disampaikan dengan penuh ketulusan. Sebuah cindera mata dari panitia dan pelukan hangat antara Habibie dan Prof. Bedjo serta diiringi dengan 'standing applaus' yang panjang dan meriah dari kami semua mengakhiri dua jam yang sangat mengagumkan itu. 

Yogyakarta, 1 November 2012

Wassalam,
LN

Rabu, 31 Oktober 2012

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) VII

Sore yang gerah di Yogyakarta, meski cuaca mendung. Akhir-akhir ini memang cuaca terasa sangat panas di mana-mana. Di Surabaya, Talaud, Samarinda, Kupang, Sumba Timur, dan di Yogya, panas semua. 

Kami sedang di halaman kraton, dalam acara welcome party Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) VII. Ada ratusan orang delegasi dari perguruan tinggi kependidikan di seluruh Indonesia. Para rektor, para dekan, para ketua lembaga dan UPT, para guru besar, dan dosen-dosen pemakalah maupun peserta konvensi. 

Rombongan Unesa sebanyak 35 orang terdiri dari Rektor, PR 3, Dekan dan PD 1, dan beberapa pejabat Unesa yang lain. Saya sendiri hadir di acara ini bukan sebagai pejabat, tapi karena undangan sebagai pemakalah pendamping. Dari Unesa, hanya ada 3 makalah yang lolos sebagai makalah pendamping, meski yang mengirimkan makalah cukup banyak, ada belasan. 

Konvensi akan digelar mulai tanggal 31 Oktober sampai 3 November. Tema konvensi adalah 'Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045'. Keynote speaker-nya terdiri dari Prof. Dr. B.J Habibie, Prof. Dr. HAR Tilaar, M. Sc. Ed, Prof. Dr. Komarudin Hidayat, dan Prof. Dr. Alma Haris. Di sesi pleno juga ada pembicara Gubernur DIY dan Dr. (HC) Ary Ginajar Agustian. Di samping sesi pleno, juga ada beberapa makalah utama dan makalah pendamping yang ditampilkan pada sesi pararel. 

Pada sesi pararel, akan dipresentasikan makalah-makalah terpilih, yang terbagi dalam 5 subtema. Subtema tersebut adalah: (1) Sosok Ideal Manusia Indonesia Generasi 2045, (2) Pendidikan Karakter untuk Menyiapkan Generasi 2045, (3) Sosok Ideal Pendidik yang Kompeten untuk Menyiapkan Manusia Indonesia Generasi 2045, (4) Sistem Pendidikan yang Memungkinkan Dihasilkannya Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang Kompeten untuk Mempersiapkan Manusia Indonesia Generasi 2045, dan (5) Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Saya sendiri, jumat sore besok akan presentasi di kelompok subtema 4. Tidak seperti pemakalah lain yang sebagian besar menulis tentang hal-hal yang sangat futuristik (karena disesuaikan dengan tema), saya menulis yang sederhana saja. Judulnya 'Pendidikan Profesi Guru, Problematika, dan Alternatif Solusinya'. Tidak seperti para penulis lain yang banyak menggunakan bahan referensi, saya lebih banyak mengandalkan pikiran-pikiran saya sendiri dan beberapa produk kebijakan dalam bidang pendidikan, khususnya yang menyangkut PPG. Sebagian besar tulisan saya tersebut bahkan sudah pernah saya post ke milis dan ada di website saya. Ibarat sayur lodeh, sudah 'mblendrang' karena bolak-balik di'nget'.
  
Acara pembukaan sudah dilaksanakan pukul 15.00 tadi di Hotel Ambarukmo. Yang membuka acara adalah wamendikbud. Kami ber-13, termasuk rektor dan PR 3, ketinggalan acara pembukaan, karena kami baru tiba di Ambarukmo setelah maghrib. Tugas mengajar dan tugas yang lain harus kami tunaikan dulu sebelum berangkat tadi.  Sedangkan teman-teman yang lain sudah berangkat dengan pesawat pukul 11 siang tadi. Maka tanpa check in, apalagi mandi, kami yang baru datang ini pun langsung diangkut dengan bus bersama-sama menuju Kraton Yogyakarta.

Acara welcome party berlangsung dengan cukup meriah. Acara dibuka dengan doa bersama yang dipimpin oleh pembawa acara yang lemah gemulai (kurang ekspresif), dilanjutkan dengan tari pembuka, orkestra, dan makan malam. Setelah makan malam dilanjutkan dengan sambutan Rektor UNY sebagai tuan rumah, dan sambutan Gubernur DIY. Selebihnya adalah hiburan. Saya paling suka orkestranya, terutama ketika membawakan lagu 'Yogyakarta' dari KLA Project. 

Menjelang acara selesai, hujan deras tiba-tiba turun, disertai angin yang cukup kencang. Untung tidak terlalu lama. 

Kami lantas diantar ke penginapan kami masing-masing. Ada belasan bus besar, bus kecil, dan mobil yang siap mengantar. Saya dan sebagian besar teman-teman Unesa menginap di hotel UNY. Maka diantarlah kami ke sana. Kami masuk kamar hotel sekitar pukul 22.00. 

Hotel UNY sudah berubah, berbeda dengan waktu kedatangan saya akhir 2011 yang lalu. Saya memang beberapa kali menginap di hotel UNY, dalam rangka tugas menguji disertasi atau tugas-tugas yang lain. Dibanding dengan kedatangan terakhir saya yang lalu, sekarang hotel ini sudah jauh lebih luas, dengan tambahan banyak kamar yang nyaman senyaman hotel berbintang. 

Saya memimpikan, kapan ya Unesa punya hotel? 

Yogyakarta, 31 Oktober 2012

Wassalam,
LN