Pernah minum
jus pinang?
Sore ini,
sekitar pukul 15.30, saya dan Dr. Heri Yanto, dosen Unnes, tiba di Bandara
Internasional Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Begitu keluar pintu bandara,
sebuah sapa mengagetkan kami.
"Assalamualaikum..."
Ternyata Pak
Jufri, Dekan FKIP. Beliau dengan seorang teman, Bapak Samingan, Koordinator PPG
SM-3T Unsyiah.
Kami
bersalaman dan saling berkabar. Saya pikir, kami akan dijemput driver FKIP saja
atau driver dengan koordinator PPG SM-3T atau salah satu dosen. Tidak
membayangkan pak Jufri yang akan menjemput.
"Kok
Bapak sendiri yang menjemput?" Protes saya. Benar-benar protes. Kalau
dekan yang menjemput, saya jadi tidak leluasa untuk mengajak mampir ke sana ke
mari sebelum masuk hotel. Padahal rencana saya dan Pak Heri, sore ini mau
langsung jalan-jalan ke Masjid Raya Baiturahman dan makan jagung bakar di
Pantai Oleele, sambil menikmati matahari terbenam.
"Ya,
karena tahu Bu Luthfi yang mau datang, saya putuskan untuk menjemput
sendiri." Kata Pak Jufri. Olala...inilah risikonya jadi orang terkenal.
Hehe, bercanda.
Kami diantar
ke Hotel Hermes. Saat melepas kami bersama room boy yang akan mengantar kami ke
kamar, Pak Jufri mengucapkan selamat beristirahat dan mengatakan kalau pukul
20.00 akan datang menjemput kami untuk makan malam.
Selamat
beristirahat? Boro-boro.... Hanya sebentar kemudian, setelah menunaikan salat
dhuhur dan ashar jama' taqdim, saya dan Pak Heri sudah berada kembali di lobi
hotel. Setelah meminta petugas hotel untuk memanggilkan taksi, maka meluncurlah
kami menuju Museum Tsunami.
Sayang
sekali, museum sudah tutup. Ya, pukul 16.30 museum memang sudah tutup, dan ini
sudah pukul 17.00. No problemo. Masih ada yang menarik. Masjid Raya
Baiturahman. Masjid indah yang lebih mirip taman rekreasi itu asyik juga untuk
cuci mata. Apa lagi ini hari Minggu. Wow, ramainya mantap. Di mana-mana
kerumunan orang. Mulai bayi sampai manula. Juga orang-orang berjualan jajanan.
Termasuk mi aceh yang dibeber di rombong.
Tapi yang
menarik tentu saja tidak hanya itu. Keindahan Masjid Baiturahman itu menyimpan
cerita panjang sejarahnya sendiri sejak ratusan tahun silam. Ya, setelah
sekitar 600 tahun lebih melewati peristiwa-peristiwa bersejarah, sampai saat
ini, masjid itu masih berdiri kokoh sebagai simbol agama, budaya, semangat,
kekuatan, perjuangan dan nasionalisme Suku Aceh.
Di seberang
jalan masjid, ada juga sederetan rombong yang menjual produk khas. Buah pinang
atau jambe. Dari kejauhan, buah yang warnanya hijau itu nambak
bergerombol-gerombol digantung-gantung.
"Pak Epi, apa orang Aceh juga makan sirih pinang?" Tanya saya
pada driver.
"O
tidak, Bu. Itu untuk obat kuat laki-laki."
"Hah?"
"Ya,
buah itu diminum sama telur bebek."
Penasaran,
saya menyeberang jalan. Memisahkan diri dari Pak Heri dan Pak Epi. Saya
mendekati rombong-rombong itu.
"Bu,
ini untuk apa?" Saya bertanya pada ibu penjual, sambil menunjuk buah jambe
yang dibungkus dengan daun sirih.
Ibu itu
melihat ke saya. Agak heran. Mungkin dalam pikirannya, "perempuan ini
kalau lihat manisnya sih kayak perempuan Aceh, tapi kok nggak ngerti sirih
jambe buat apa." Hehe. Asli, saya tidak ge-er. Tadi, di perjalanan, driver
taksi sempat bilang "saya pikir ibu orang Aceh. Ibu rapi sekali pakai
kerudung, dan wajah ibu mirip-mirip orang Aceh." Nah, kan? Padahal orang
Aceh kan manis-manis...
"Itu....untuk
digigit-gigit....untuk menghilangkan bau badan." Jelas ibu penjual.
"Satu harganya seribu."
Saya
mengangguk-angguk. Kok jawabannya berbeda dengan penjelasan Pak Epi ya? Apa
karena yang bertanya saya ya? Kalau yang bertanya bapak-bapak, mungkin
jawabannya berbeda.
Dari Masjid
Baiturahman, kami meluncur ke Pantai Oleele. Makan jagung bakar dan minum
kelapa muda. Sambil menikmati matahari jingga yang jatuh di kaki langit. Ini
kali kedua saya menikmati laut di pantai ini. Di tempat yang sama. Dengan
keindahan yang juga sama.
Malamnya,
sekitar pukul 20.00, kami dijemput oleh Dekan FKIP bersama istrinya, para
Pembantu Dekan, para pengelola PPG SM-3T, makan malam di sebuah restoran. Menu
di restoran itu tentu saja menarik, terutama seafood-nya. Udang gorengnya
besar-besar, gurih, manis, dan juga...gratis. Haha.
Namun ada
yang lebih menarik perhatian saya. Saat pelayan membawa dua buah gelas
bertangkai yang isinya cairan kental berwarna kelabu seperti kopi susu, saya
bertanya ke pak dekan.
"Itu
minuman apa, Pak?"
"Itu
dia....jus pinang."
"Hah?
Jadi pinang diminum?"
"Ya.
Ibu mau?" Tanya pak Dekan, yang disambut dengan gelak tawa berderai-derai
dari yang lain. Rupanya khasiat jus pinang sebagai obat keperkasaan laki-laki
ini membuat pertanyaan saya terdengar lucu di telinga para bapak itu.
"Mumpung
bisa ngerjain profesor." Canda pak dekan. "Kalau di kampus, kita
tidak bisa kan ngobrol-ngobrol begini? Betul kan, Pak?" Tanyanya pada yang
lain.
Jadi,
ternyata, jus pinang itu, banyak dijual di sembarang tempat di Banda Aceh ini.
Di depan restoran tempat kami makan, juga ada rombong penjual jus pinang.
Namanya Jus Pinang Spesial. Entah seperti apa yang spesial itu.
Selidik
punya selidik, jus pinang spesial itu, adalah
campuran
beberapa butir pinang muda yang dikupas dan diambil isi buahnya, jahe merah
yang sudah dihaluskan, telur bebek diambil hanya bagian kuning telurnya saja,
sari kurma, ditambah serbuk habatus sauda. Semua bahan itu dicampur air dan
dihaluskan dengan blender. Hasil akhirnya adalah cairan yang sewarna dengan
kopi susu.
Selidik
punya selidik lagi, ternyata jus pinang tidak hanya berkhasiat sebagai obat
kuat laki-laki, tetapi juga untuk obat masuk angin. Artinya, mungkin cocok juga
untuk ibu-ibu yang masuk angin. Dari pada kerokan dan blonyohan minyak kayu putih
atau minyak tawon, mungkin ada baiknya sesekali mencoba jus pinang.
Berani coba?
Saya tidak.
Tidak. Sekali lagi, tidaaaakkkk.......
Banda Aceh,
26 Mei 2013
Wassalam,
LN