Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Unas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Unas. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 April 2014

Kurikulum 2013 (3): Tentang UN

Ketika itu, 13 April 2014, bertempat di Hotel Garden Palace Surabaya, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP) Kemendikbud, Prof. Dr. Syawal Gultom, memberikan materi tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013. Pada sesi tanya jawab, ada seorang peserta yang bertanya, bagaimana mungkin tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan dalam Kurikulum 2013 itu bisa tercapai, kalau akhirnya kelulusan siswa tetap ditentukan melalui Ujian Nasional (UN)?

Jawaban Prof. Syawal, begitu mencengangkan saya. Jawaban yang sangat di luar dugaan. Menurut mantan Rektor Unimed itu, kenapa UN harus dipersoalkan? Apa karena UN hanya mengukur kemampuan kognitif? Bukankah Ujian Sekolah (US) juga hanya menilai kemampuan kognitif? Kenapa US tidak pernah dipersoalkan? Kalau kemudian UN dijadikan sebagai alat untuk pemetaan mutu pendidikan, juga sebagai alat untuk menentukan kelulusan siswa, apa yang salah? US juga hanya untuk menilai kognitif juga, tapi tidak pernah disalahkan?

Saya termangu-mangu mencerna jawaban Prof. Syawal. Memang benar, US maupun UN mempunyai tujuan utama yang sama, antara lain untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik; mengukur mutu pendidikan;  mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah kepada masyarakat. Tujuan utamanya sama. Namun pernak-perniknya jauh, jauh berbeda.

UN baru saja berlalu beberapa hari yang lewat. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, UN memunculkan banyak persoalan. Banyak kontroversi. Sudah berbusa-busa orang mengkritisi UN, menunjukkan berbagai kecurangan dan ketidakjujuran yang mengikutinya. Kebobrokan moral seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari UN itu sendiri. Banyak guru baik yang awalnya taat pada UN, satu per satu masuk ke barisan menolak UN. Bertahun-tahun mereka berkhusnudzon pada UN, namun akhirnya harus menyerah, tidak berdaya. UN tak kunjung bermuara pada esensinya. Saat UN digelar, maka saat itulah pelajaran hidup bernama kecurangan, ketidakjujuran, kebohongan, juga tergelar. Anak didik menyaksikan sebuah tontonan tentang figur panutan, adalah kepala sekolah dan guru-guru mereka, yang sedang mencurangi UN. Bahkan anak didik tidak hanya jadi penonton, namun ikut bermain dalam drama pendidikan satu babak itu. Menghapus deretan babak pelajaran hidup yang sebenarnya, yang telah mereka jalani selama enam, sembilan, atau dua belas tahun. Menepiskan sikap religius, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, bertanggung jawab, yang mungkin sudah ditanamkan dari hari ke hari. 

Lihat pernyataan seorang guru di bawah ini: "Semalaman saya menangis hingga pagi ini mata saya mbendhul. Selama ini saya masih berpikir positif dan berharap UN akan lebih baik. Simple saja pemikiran saya, tanpa penilaian berskala nasional bagaimana menilai keberhasilan pendidikan nasional. Nyatanya? Tetap saja para pengkhianat itu menodai UN. Sebagai guru saya merasa diinjak-injak dan diludahi wajah saya oleh siapa pun yang terlibat pembocoran kunci jawaban UN. Tak ada lagi harapan untuk menyelamatkan moral anak bangsa. Bismillah, saya hijrah. Mulai semalam saya ikut barisan yang meneriakkan "HAPUSKAN UN!"  Mohon terimalah saya yang datang dengan tangis darah."

UN tidak akan menjadi sebegitu kontroversi kalau dia tidak memiliki peran yang demikian menentukan nasib seorang siswa, kredibilitas sekolah, pertaruhan dinas pendidikan, dan bahkan reputasi kepala daerah. UN tidak sesederhana sebagaimana Ujian Sekolah (US). Jelas beda. Sangat tidak rasional menyandingkan UN dengan US. Bahwa keduanya sama-sama mengukur aspek kognitif, ya. Tapi risiko karena tidak lulus US, jelas tidak sebesar risiko bila tidak lulus UN. Tidak ada satu tahap pun di sekolah yang menyebabkan siswa stres, frustasi, bahkan gantung diri, orang tua mengalami kecemasan tingkat dewa, kepala sekolah dan guru-guru tertekan sedemikian rupa, kecuali hanya UN. Proses untuk mendapatkan akreditasi sekolah saja tidak seberat itu bebannya. Upaya untuk memperoleh gelar sebagai sekolah unggulan, sekolah adiwiyata, sekolah bertaraf internasional, pun, tidak sehebat itu tekanan batinnya. Hanya UN, yang menyita begitu banyak perhatian dan energi, yang bahkan tak tertanggungkan kecuali dengan tebusan kecurangan dan ketidakjujuran.

Tentu saja tidak semua sekolah menempuh jalan pintas semacam itu. Banyak sekolah, misalnya sekolah alam, sekolah unggulan, yang tetap mengedepankan kejujuran dalam menempuh UN. Sekolah menyiapkan anak didik secara fisik dan mental. Tidak hanya dengan serangkaian kegiatan ujicoba mengerjakan soal-soal dan latihan-latihan, namun juga dalam bentuk istighosah, salat malam bersama,  membaca Kitab Suci Al-Quran, meminta maaf dan doa restu pada guru dan orang tua, dan kegiatan-kegiatan positif yang lain. Tujuannya jelas, selain untuk menyiapkan akademik mereka, juga untuk mempertebal keimanan dan kedekatan pada Yang Maha Menentukan. Usaha lahir dilakukan terus tanpa kenal lelah, namun dibarengi dengan usaha batin. Anak disiapkan untuk berhasil sekaligus gagal. Guru dan siswa berkomitmen tidak akan terpengaruh oleh bocoran jawaban soal-soal UN, dan menempuh UN dengan jujur, usaha keras dan tawakal.

Seperti itulah seharusnya. UN boleh terus. Namun jangan jadikan dia sebagai momentum untuk merusak pendidikan itu sendiri. Kembalikan UN pada esensinya, lebih sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan. Bukan sebagai alat untuk menentukan nasib anak didik.

Lebih-lebih dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 yang warna religiusitas, kesalehan sosial, pengembangan pengetahuan dan keterampilan, begitu kental. Peran guru amatlah sentral. Sekali lagi, hanya ada satu pilihan supaya Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dengan sebaik-baiknya: guru harus menginspirasi. Untuk bisa menjadi guru yang menginspirasi, maka dia harus mempu menjadi sosok panutan, menjadi uswatun hasanah.

Tentu saja tidak cukup hanya dari guru. Kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, kepala daerah, semuanya harus sama komitmennya. Menjadi sosok panutan. Siapa pun, harus menunjukkan sikap bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, mandiri, dan bertanggung jawab. 

Bila itu yang terjadi, maka tak akan ada lagi kecurangan dalam UN. Tak akan lagi terjadi bocoran jawaban soal-soal yang mengacaukan 'kesakralan' UN. Kalau pun ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi UN untuk keuntungan pribadi, misalnya dengan menyebarkan bocoran jawaban soal UN, hal itu tak berarti apa pun. Tidak laku. Dengan keteguhan hati semua pihak, maka apa pun upaya yang bertujuan untuk mengacaukan UN, tak akan ada pengaruhnya karena semuanya itu dianggap sepi.

Tanpa itu semua, UN akan tetap menjadi babak paling menyedihkan dan memprihatinkan dalam sistem pendidikan. Bukan tahap yang menantang bagi setiap anak didik untuk melaluinya dengan keberanian, keteguhan hati dan penuh daya juang. 

Inilah salah satu hal yang harus menjadi perhatian serius dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Sehebat apa pun kurikulumnya, namun kalau para aktor yang mengimplementasikannya tidak memiliki komitmen yang sungguh-sungguh, maka Kurikulum 2013 hanyalah sekedar nama. 

Hotel Grand Candi, 19 April 2014

Wassalam,
LN

Senin, 25 Maret 2013

Ujian Nasional (UN) Lagi

Malam ini saya terpekur. Beberapa tulisan yang baru saja saya baca, membuat perasaan saya sedih, gundah, marah, tak berdaya. Tulisan tentang Ujian Nasional (UN). Mohammad Ihsan (MI), sekjen Ikatan Guru Indonesia (IGI), mengirim tulisannya dengan judul 'CURHAT GURU MENYAKSIKAN KECURANGAN DI SEKOLAH' di mailing list (milist) Keluarga Unesa. 

Semula berawal dari status MI di facebook grup IGI. "Mengubah Lembar Jawaban Ujian Sekolah Demi Nilai Ijazah Yang Bagus", seperti itulah bunyinya. Status yang kemudian menjadi bahan diskusi yang sangat hangat. Berbagai tanggapan muncul, baik yang langsung di FB tersebut, maupun yang mengirimkannya ke jaringan pribadi MI. Salah seorang guru, menuliskan curhatnya. Tentang kecurangan yang terjadi di sekolah setiap kali UN tiba. Dia menyebutnya sebagai perilaku kecurangan yang dilegalkan. 

Tentu saja saya tidak heran dengan apa yang ditulis guru tersebut. Saya sudah sering membacanya. Saya sudah puluhan kali mendengarnya. Dari tahun ke tahun. Saya pergi ke berbagai pelosok di negeri ini, dan saya mendengar serta menyaksikan hal-hal yang luar biasa mengerikan tentang UN. Ya iyalah. Orang di Jakarta saja, ibu kota yang menjadi barometer segala hal, kecurangan UN tak terhindarkan. Apalagi di daerah-daerah yang berada nun jauh di sana. Daerah-daerah yang bahkan tidak ditemukan ketika dicari koordinatnya dengan google map. Daerah-daerah dengan sekolah yang bahkan kepala dinasnya saja belum tentu pernah berkunjung ke sana. Sekolah-sekolah miskin, terpencil, dengan kepala sekolah yang hadir seminggu sekali saja sudah bagus. Sekolah-sekolah yang guru-gurunya tidak saja 'kurang pintar', namun juga malas, miskin komitmen, dengan perilaku yang tidak bisa menjadi panutan. Tidak ada supervisi dari kepala sekolah, pengawas, apalagi kepala dinas. Nyaris tanpa dukungan orang tua dan stakeholder yang lain. Stakeholder?  Bahkan saya tidak yakin, apakah di tempat-tempat seperti itu, sekolah-sekolah itu memiliki stakeholder. Mereka ada namun tidak 'mengada'. Sepertinya juga tak ada pihak mana pun yang menganggap keberadaannya penting. Kecuali sekedar formalitas. Bahwa anak usia sekolah harus sekolah. Bahwa buta huruf harus diberantas. Bahwa mereka, ini yang terpenting, harus lulus UN.
  
Saya teringat tulisan saya tentang UN sekitar setahun yang lalu. Sebuah tulisan tentang keprihatinan saya. Betapa UN telah menjadi momok bagi siapa saja. Juga, betapa UN telah memberangus semua kebaikan yang telah ditanamkan dari hari ke hari oleh alam. Menepiskan hal-hal baik yang telah tumbuh dan berkembang dalam diri setiap individu. Hal-hal baik bernama  kerja keras, ketekunan, kepedulian, kebersamaan dan kearifan...(Nurlaela, 2012). 

Saya juga teringat jeritan hati para peserta SM-3T karena ketidakberdayaannya untuk menghindar dari kecurangan yang terjadi ketika UN. Dia, meskipun dengan hati berurai air mata, tidak bisa berkelit dan terpaksa masuk dalam lingkaran setan UN. Persis, persis seperti curhat guru yang disampaikan MI dalam milis. Juga testimoni Habe Arifin yang mewakili istrinya. 'Testimoni: Tim Sukses UN: Beban Moral, Hina di Depan Siswa'. Begitulah judulnya. Habe, mantan wartawan yang sekarang menjadi politikus di Ibu Kota itu membeberkan betapa menderitanya istrinya yang kebetulan adalah seorang guru fisika, di bilangan Jakarta Barat. Ia diperintahkan kepala sekolah menjadi anggota TIM SUKSES UN. Tugas yang tak kuasa dihindarinya itu menjadi beban berat yang dipikulnya dan membuatnya merasa sebagai orang yang paling hina di depan murid-muridnya yang telah dibantunya untuk lulus UN. 

Saat ini pikiran saya melayang pada anak-anak saya, 279 peserta PPG SM-3T Unesa yang sedang berjuang membangun kompetensinya. Juga ribuan peserta di seluruh Indonesia. Mereka belajar keras, sejak sebelum matahari terbit sampai matahari tenggelam, bahkan menjelang terbit lagi. Mereka dihadapkan pada berbagai aturan, tugas, pembelajaran, pelatihan, sebagai bekal hidup mereka menjadi guru yang profesional. Saya berharap mereka akan menjelma menjadi guru-guru yang cerdas, tangguh, berkepribadian dan kuat iman. Merekalah yang nanti akan mempersiapkan generasi emas Indonesia. Generasi yang akan menentukan apakah kita semua akan tetap ada, bukan sebagai manusia, tapi sebagai bangsa (Habibie, 2012).

Pada saat mereka telah menjadi guru nanti, saya tidak tahu, apakah UN akan tetap seperti sekarang ini. Menjadi indikator kelulusan siswa. Saya tidak tahu, apakah ketika mereka telah menjadi guru nanti, UN telah berubah sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan. Saya tidak tahu. Saya takut pesimis, tapi saya memang pesimis. Bila kemungkinan pertama yang terjadi, saya ingin, anak-anak saya tetap memegang teguh kejujuran. Tetap tangguh menggenggam daya juang dan kerja keras, dan terus-menerus menanamkannya pada anak-anak didik mereka. Tidak tergilas oleh sistem yang akan membawa generasi yang mereka didik menuju jurang kehancuran.

Tiba-tiba saya teringat lagi ketika setahun dua tahun yang lalu saya menghadiri peresmian sebuah sekolah di daerah pelosok di NTT. Yang meresmikan sekolah itu adalah Mendikbud. Momen itu juga dimanfaatkan untuk mendeklarasikan 'UN Jujur dan Berprestasi.' Ratusan siswa, guru, orang tua, aparat pendidikan, kepala dinas, bupati, gubernur, semuanya meneriakkan tekad untuk menegakkan UN jujur dan berprestasi. Sejujurnya, saya, yang ada di antara mereka saat itu, merinding. Bagaimana mungkin sekian ratus orang itu meneriakkan sesuatu yang tidak mungkin? Yang bahkan di dalam hati mereka saja saya tidak yakin mereka yakin? Saya saat itu malah teringat pada kue cucur yang baru saja saya beli di perjalanan ketika menuju tempat upacara. Sampai akhirnya, muncullah tulisan 'Kue Cucur dan Ujian Nasional' (Nurlaela, 2012).

Malam ini saya masih terpekur. Satria Darma (SD), Ketua IGI Pusat, menghimbau supaya kita semua menuliskan berbagai kecurangan tentang UN. Dia sarankan supaya semua tulisan anonim tentang kecurangan UN dicetak dan dikirimkan ke berbagai lembaga, khususnya Kemdikbud. Dia tegaskan, semua itu harus disampaikan sebelum azab menimpa kita karena berdiam diri. 

Saya kira apa yang dikatakan SD itu benar adanya. Tapi saya tidak yakin, akankah membawa hasil? Sudah ada Buku Hitam UN. Sudah ada Komunitas Air Mata Guru di Sumatera Utara yang, menurut istilah Lies Amin,  telah membasahi layar TV dan halaman koran. Sudah banyak  kritikan mulai dari yang paling halus dan paling pedas tentang UN dengan segala kecurangannya. Tapi UN tetaplah UN. Meski dari tahun ke tahun dimodifikasi sedemikian rupa, namun esensinya tidak berubah. Kecurangan itu tetap menjadi warna dominannya. Apakah para pengambil kebijakan tidak tahu? Mereka tahu. Menteri tahu. Staf ahli tahu. Penegak hukum tahu. Bupati tahu. Kepala dinas, kepala sekolah, guru, orang tua, kita semua tahu. Bahkan tidak sekedar tahu. Kita mungkin ikut memberikan sumbangan terhadap terjadinya berbagai kecurangan itu. Tapi, kita semua, berpura-pura tidak tahu.

Mungkin benar yang dikatakan Eko Prasetyo, penulis dan editor JP. 'Kemendikbud ini mungkin sudah buta tuli terhadap masukan dan kritik dari masyarakat'. Begitu tulisnya pedas. Dengan pedas juga, Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos menimpali: 'ketika UN dianggap sbg sesuatu yg maha penting dan sangat menentukan, maka berbagai cara pun dilakukan untuk meraihnya. dari cara yg rasional sampai yg tidak rasional. dari yg jujur sampai yg curang. dari yg religius sampai yg syirik.'

Saya masih terpekur di tempat saya malam ini. Perasaan saya pedih. Hati saya meleleh. Ternyata saya sama tidak berdayanya dengan mereka, para guru-guru yang dipaksa untuk menjadi Tim Sukses UN itu. Ternyata saya tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah situasi ini. Ternyata saya hanya bisa terpekur.....

Surabaya, tengah malam.
25 Maret 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 02 Februari 2012

UN, Momok itu.....

UN, Ujian Nasional. Dua kata itu saya dengar puluhan kali selama kami melakukan kegiatan monev SM-3T selama 25-28 Januari kemarin. Baik dalam obrolan-obrolan tidak resmi maupun secara formal di forum-forum pertemuan di kecamatan, ketika kegiatan pengisian instrumen monev serta dialog dengan perangkat kecamatan, perangkat desa, kepala sekolah, guru, dan peserta SM-3T. 

Semua camat, kepala desa, kepala sekolah, dan guru-guru di sekolah tempat peserta SM-3T, menyambut dengan tangan terbuka dan penuh rasa bangga kehadiran para peserta. Penghormatan mereka pada guru-guru muda itu pada umumnya juga sangat baik. Banyak persoalan pendidikan dan pembelajaran yang bisa terpecahkan, atau setidaknya ada harapan bisa dipecahkan, terutama masalah kekurangan guru dan ikutannya. Semua sekolah yang ditempati sebagai tempat tugas peserta SM-3T adalah sekolah miskin. Satu sekolah, apakah itu SD atau SMP, rata-rata hanya memiliki 2-5 guru PNS (termasuk kepala sekolah), dengan jumlah rombel 6-9. Dengan kondisi sarpras yang sebagian besar sangat memprihatinkan. Beberapa bangunan sekolah memang cukup bagus (bantuan dari pemerintah Australia), begitu juga perlengkapan media pembelajarannya, namun hanya pada sebagian kecil sekolah. Itu pun belum dimanfaatkan secara maksimal, karena kekurangan guru dan tenaga kependidikan.
  
Selain guru PNS, pada umumnya sekolah juga memiliki sekitar 2-5 guru honorer komite. Mereka adalah lulusan SMA, yang sebagian dari mereka saat ini sedang menempuh S1 di Universitas Terbuka (UT). Gaji mereka berkisar antara Rp.150.000-Rp.250.000 sebulan. Lulusan SMA-IPA mengajar bidang studi IPA, lulusan SMA-IPS mengajar bidang studi IPS. Cukup dengan bekal ilmu yang diperoleh di bangku SMA dan sedikit-sedikit dari kuliah di UT yang masih berproses.  

Sebagian besar siswa berasal dari pelosok yang jarak dari rumah ke sekolahnya hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Ada yang harus menempuh jarak 8 km sehingga total jarak pulang-pergi adalah 16 km. Bersepatu kedodoran, bersandal jepit, atau bertelanjang kaki, dan seringkali tiba di sekolah dengan kaki luka-luka (sehingga peserta SM-3T mempunyai tugas tambahan, mengobati luka-luka mereka dengan obat luka sebelum pembelajaran dimulai). Dengan pakaian sekolah lusuh yang juga kedodoran, sebuah buku dan sebatang pensil. Dengan tubuh yang kotor, berdaki dan hidung yang selalu beringus. Seorang peserta SM-3T yang bertugas di SDN Okatana, namanya Nuruddin, bercerita dalam forum pertemuan di kecamatan, dia bersama teman-temannya memiliki kebiasaan menggiring anak-anak 'ingusan' (dalam arti yang sebenarnya) itu ke sungai, sedikitnya seminggu sekali, untuk dimandikan dan diajari gosok gigi.  

Di kelas, mereka belajar dengan buku-buku yang jumlahnya sangat terbatas. Guru akan meminjamkan buku itu (atau mereka mengambilnya di 'perpustakaan sekolah'), digunakan secara berkelompok, dan buku ditarik lagi setelah pelajaran selesai. Seringkali buku hanya ada satu-satunya, sehingga hanya guru yang memegang, dan siswa akan mencatatnya dari tulisan guru di papan tulis. Mereka mencatat apa saja di satu-satunya buku tulis mereka. Guru mengajar dengan bahasa campuran, bahasa Indonesia dan Sumba. Banyak siswa SD kelas tinggi (4-6) yang belum lancar berbahasa Indonesia. Sedangkan adik-adik kelas mereka tentu saja banyak yang 'nggak nyahut' diajak berbahasa Indonesia. Seorang teman kami, Dr. Sukemi, meminta salah seorang murid kelas 5 menjumlahkan 34+12. Tahukah Anda berapa ketemunya? Bukan 46, tetapi 10. Ya. Mereka menjumlahkannya dengan cara: 3+4+1+2. Tragis. 

Rumah mereka adalah rumah-rumah kecil yang beratap seng atau 'sesek' (jerami), berlantai tanah, berdinding 'gedheg' (bambu), dan pada umumnya merupakan sebuah ruang serbaguna untuk semua aktivitas keluarga. Makan di situ, masak, tidur, bermain, belajar, apa pun dilakukan di ruang itu. Kayu bakar adalah bahan bakar utama keluarga untuk memasak makanan sederhana mereka. Nasi (seringkali dicampur jagung), sayuran seperti daun singkong, kangkung, atau bunga pepaya; bila beruntung, kadangkala dilengkapi dengan ikan teri. Sulistiyo, seorang peserta dari desa Tawui menceritakan, bahkan bapak kepala desa pun, hampir tiap hari menunya hanyalah nasi dan sayur, karena tidak mudah untuk mendapatkan bahan makanan yang lain. Ketika mereka menikmati makanannya, bau kotoran babi dan anjing seringkali menembus masuk ke dalam rumah melalui lubang-lubang dinding bambu.

Ketika malam tiba, tubuh-tubuh lelah mereka terkulai di atas dipan, tanpa kasur. Tidak banyak aktivitas yang mereka lakukan bila malam menjelang. Para orang tua sudah kelelahan karena sepanjang hari bekerja di sawah atau di kebun, atau mencari bahan makanan di hutan. Anak-anak sudah tidak bertenaga karena selain harus menempuh jarak yang begitu jauh untuk berangkat dan pulang sekolah, mereka seringkali tetap dibebani membantu mengambil air di tempat sumber air yang jaraknya cukup jauh, atau mencari kayu bakar di hutan. Tidak ada buku di rumah. Satu-satunya buku adalah buku catatan. Lagi pula, tubuh penat mereka sudah kehabisan energi untuk belajar. Maka pulaslah tubuh-tubuh kecil itu.  Sebuah pelita memberi sedikit penerangan. Mereka yang beruntung, yang tinggal di tempat yang ada gensetnya bisa menikmati listrik selama sekitar 4 jam, mulai pukul 18.00-22.00 WITA. Itulah empat jam surga bagi mereka, termasuk bagi para peserta SM-3T. Buka laptop, 'nge-charge' hape, main game, masak nasi, dan belajar. Empat jam yang sangat berarti.

Namun dalam kondisi serba terbatas seperti itu pun, UN tetap menjadi 'primadona'. Setiap camat, kepala sekolah, kepala desa, dan perangkat desa, berharap kehadiran peserta SM-3T akan meningkatkan persentase kelulusan siswa dalam UN. Anehnya, meskipun jumlah dan mutu guru sangat kurang, proses pembelajaran, sarpras,  yang jauh di bawah standar minimal, banyak sekolah bisa mencapai 100 persen untuk tingkat kelulusan UN. Padahal kemampuan 'calistung' siswanya saja sangat memprihatinkan. Kok bisa?

Hampir semua kepala sekolah dan guru yang kami temui menyatakan, program SM-3T dapat dikatakan berhasil  atau tidak, ukuran utamanya adalah pada hasil UN nanti. Aku miris mendengarnya. Bukan hanya karena itu akan menjadi beban psikologis bagi para peserta SM-3T; namun betapa sebuah proses belajar dengan segala muatannya menjadi tidak berarti karena satu-satunya ukuran berhasil itu hanyalah UN. Nilai-nilai seperti kerja keras, ketekunan, kepedulian, tanggung jawab, percaya diri, yang ditanamkan oleh para peserta SM-3T selama mereka bersama siswa-siswa itu, akan menguap bagai debu diterbangkan angin. UN. Sekali lagi UN. Kalau sebelumnya tingkat kelulusan siswa belum 100 persen, maka yang akan datang harus bisa mencapai 100 persen. Kalau sebelumnya tingkat kelulusannya sudah 100 persen (yang sebenarnya hal ini justeru menjadi pertanyaan besar, kok bisa?), maka persentase itu tidak boleh turun. Sesuatu yang bagi saya 'tidak ketemu nalar'.

Pembelajaran dengan fasilitas yang sangat terbatas, jumlah dan mutu guru yang masih minim, proses yang kurang bermutu, pengelolaan dan kepemimpinan sekolah yang rendah, hampir semuanya jauh di bawah standar minimal; di antara kerasnya hidup, kentalnya kemiskinan, dan rendahnya daya dukung orang tua dan masyarakat; UN di mata saya seperti makhluk gurita langka yang hidup bukan pada habitatnya. Namun anehnya, gurita itu tumbuh subur dan beranak-pinak, dan menjalar ke mana-mana, menjadi momok bagi siapa saja. Tentakelnya menepiskan hal-hal baik yang sebenarnya telah ditanamkan oleh alam dari hari ke hari. Hal-hal baik yang sebenarnya telah tumbuh dan berkembang dalam diri setiap individu. Hal-hal baik yang bernama kerja keras, ketekunan, kepedulian,  kebersamaan, dan kearifan.....

Tabundung, 26 Januari 2012

LN