Pages

Kamis, 02 Februari 2012

UN, Momok itu.....

UN, Ujian Nasional. Dua kata itu saya dengar puluhan kali selama kami melakukan kegiatan monev SM-3T selama 25-28 Januari kemarin. Baik dalam obrolan-obrolan tidak resmi maupun secara formal di forum-forum pertemuan di kecamatan, ketika kegiatan pengisian instrumen monev serta dialog dengan perangkat kecamatan, perangkat desa, kepala sekolah, guru, dan peserta SM-3T. 

Semua camat, kepala desa, kepala sekolah, dan guru-guru di sekolah tempat peserta SM-3T, menyambut dengan tangan terbuka dan penuh rasa bangga kehadiran para peserta. Penghormatan mereka pada guru-guru muda itu pada umumnya juga sangat baik. Banyak persoalan pendidikan dan pembelajaran yang bisa terpecahkan, atau setidaknya ada harapan bisa dipecahkan, terutama masalah kekurangan guru dan ikutannya. Semua sekolah yang ditempati sebagai tempat tugas peserta SM-3T adalah sekolah miskin. Satu sekolah, apakah itu SD atau SMP, rata-rata hanya memiliki 2-5 guru PNS (termasuk kepala sekolah), dengan jumlah rombel 6-9. Dengan kondisi sarpras yang sebagian besar sangat memprihatinkan. Beberapa bangunan sekolah memang cukup bagus (bantuan dari pemerintah Australia), begitu juga perlengkapan media pembelajarannya, namun hanya pada sebagian kecil sekolah. Itu pun belum dimanfaatkan secara maksimal, karena kekurangan guru dan tenaga kependidikan.
  
Selain guru PNS, pada umumnya sekolah juga memiliki sekitar 2-5 guru honorer komite. Mereka adalah lulusan SMA, yang sebagian dari mereka saat ini sedang menempuh S1 di Universitas Terbuka (UT). Gaji mereka berkisar antara Rp.150.000-Rp.250.000 sebulan. Lulusan SMA-IPA mengajar bidang studi IPA, lulusan SMA-IPS mengajar bidang studi IPS. Cukup dengan bekal ilmu yang diperoleh di bangku SMA dan sedikit-sedikit dari kuliah di UT yang masih berproses.  

Sebagian besar siswa berasal dari pelosok yang jarak dari rumah ke sekolahnya hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Ada yang harus menempuh jarak 8 km sehingga total jarak pulang-pergi adalah 16 km. Bersepatu kedodoran, bersandal jepit, atau bertelanjang kaki, dan seringkali tiba di sekolah dengan kaki luka-luka (sehingga peserta SM-3T mempunyai tugas tambahan, mengobati luka-luka mereka dengan obat luka sebelum pembelajaran dimulai). Dengan pakaian sekolah lusuh yang juga kedodoran, sebuah buku dan sebatang pensil. Dengan tubuh yang kotor, berdaki dan hidung yang selalu beringus. Seorang peserta SM-3T yang bertugas di SDN Okatana, namanya Nuruddin, bercerita dalam forum pertemuan di kecamatan, dia bersama teman-temannya memiliki kebiasaan menggiring anak-anak 'ingusan' (dalam arti yang sebenarnya) itu ke sungai, sedikitnya seminggu sekali, untuk dimandikan dan diajari gosok gigi.  

Di kelas, mereka belajar dengan buku-buku yang jumlahnya sangat terbatas. Guru akan meminjamkan buku itu (atau mereka mengambilnya di 'perpustakaan sekolah'), digunakan secara berkelompok, dan buku ditarik lagi setelah pelajaran selesai. Seringkali buku hanya ada satu-satunya, sehingga hanya guru yang memegang, dan siswa akan mencatatnya dari tulisan guru di papan tulis. Mereka mencatat apa saja di satu-satunya buku tulis mereka. Guru mengajar dengan bahasa campuran, bahasa Indonesia dan Sumba. Banyak siswa SD kelas tinggi (4-6) yang belum lancar berbahasa Indonesia. Sedangkan adik-adik kelas mereka tentu saja banyak yang 'nggak nyahut' diajak berbahasa Indonesia. Seorang teman kami, Dr. Sukemi, meminta salah seorang murid kelas 5 menjumlahkan 34+12. Tahukah Anda berapa ketemunya? Bukan 46, tetapi 10. Ya. Mereka menjumlahkannya dengan cara: 3+4+1+2. Tragis. 

Rumah mereka adalah rumah-rumah kecil yang beratap seng atau 'sesek' (jerami), berlantai tanah, berdinding 'gedheg' (bambu), dan pada umumnya merupakan sebuah ruang serbaguna untuk semua aktivitas keluarga. Makan di situ, masak, tidur, bermain, belajar, apa pun dilakukan di ruang itu. Kayu bakar adalah bahan bakar utama keluarga untuk memasak makanan sederhana mereka. Nasi (seringkali dicampur jagung), sayuran seperti daun singkong, kangkung, atau bunga pepaya; bila beruntung, kadangkala dilengkapi dengan ikan teri. Sulistiyo, seorang peserta dari desa Tawui menceritakan, bahkan bapak kepala desa pun, hampir tiap hari menunya hanyalah nasi dan sayur, karena tidak mudah untuk mendapatkan bahan makanan yang lain. Ketika mereka menikmati makanannya, bau kotoran babi dan anjing seringkali menembus masuk ke dalam rumah melalui lubang-lubang dinding bambu.

Ketika malam tiba, tubuh-tubuh lelah mereka terkulai di atas dipan, tanpa kasur. Tidak banyak aktivitas yang mereka lakukan bila malam menjelang. Para orang tua sudah kelelahan karena sepanjang hari bekerja di sawah atau di kebun, atau mencari bahan makanan di hutan. Anak-anak sudah tidak bertenaga karena selain harus menempuh jarak yang begitu jauh untuk berangkat dan pulang sekolah, mereka seringkali tetap dibebani membantu mengambil air di tempat sumber air yang jaraknya cukup jauh, atau mencari kayu bakar di hutan. Tidak ada buku di rumah. Satu-satunya buku adalah buku catatan. Lagi pula, tubuh penat mereka sudah kehabisan energi untuk belajar. Maka pulaslah tubuh-tubuh kecil itu.  Sebuah pelita memberi sedikit penerangan. Mereka yang beruntung, yang tinggal di tempat yang ada gensetnya bisa menikmati listrik selama sekitar 4 jam, mulai pukul 18.00-22.00 WITA. Itulah empat jam surga bagi mereka, termasuk bagi para peserta SM-3T. Buka laptop, 'nge-charge' hape, main game, masak nasi, dan belajar. Empat jam yang sangat berarti.

Namun dalam kondisi serba terbatas seperti itu pun, UN tetap menjadi 'primadona'. Setiap camat, kepala sekolah, kepala desa, dan perangkat desa, berharap kehadiran peserta SM-3T akan meningkatkan persentase kelulusan siswa dalam UN. Anehnya, meskipun jumlah dan mutu guru sangat kurang, proses pembelajaran, sarpras,  yang jauh di bawah standar minimal, banyak sekolah bisa mencapai 100 persen untuk tingkat kelulusan UN. Padahal kemampuan 'calistung' siswanya saja sangat memprihatinkan. Kok bisa?

Hampir semua kepala sekolah dan guru yang kami temui menyatakan, program SM-3T dapat dikatakan berhasil  atau tidak, ukuran utamanya adalah pada hasil UN nanti. Aku miris mendengarnya. Bukan hanya karena itu akan menjadi beban psikologis bagi para peserta SM-3T; namun betapa sebuah proses belajar dengan segala muatannya menjadi tidak berarti karena satu-satunya ukuran berhasil itu hanyalah UN. Nilai-nilai seperti kerja keras, ketekunan, kepedulian, tanggung jawab, percaya diri, yang ditanamkan oleh para peserta SM-3T selama mereka bersama siswa-siswa itu, akan menguap bagai debu diterbangkan angin. UN. Sekali lagi UN. Kalau sebelumnya tingkat kelulusan siswa belum 100 persen, maka yang akan datang harus bisa mencapai 100 persen. Kalau sebelumnya tingkat kelulusannya sudah 100 persen (yang sebenarnya hal ini justeru menjadi pertanyaan besar, kok bisa?), maka persentase itu tidak boleh turun. Sesuatu yang bagi saya 'tidak ketemu nalar'.

Pembelajaran dengan fasilitas yang sangat terbatas, jumlah dan mutu guru yang masih minim, proses yang kurang bermutu, pengelolaan dan kepemimpinan sekolah yang rendah, hampir semuanya jauh di bawah standar minimal; di antara kerasnya hidup, kentalnya kemiskinan, dan rendahnya daya dukung orang tua dan masyarakat; UN di mata saya seperti makhluk gurita langka yang hidup bukan pada habitatnya. Namun anehnya, gurita itu tumbuh subur dan beranak-pinak, dan menjalar ke mana-mana, menjadi momok bagi siapa saja. Tentakelnya menepiskan hal-hal baik yang sebenarnya telah ditanamkan oleh alam dari hari ke hari. Hal-hal baik yang sebenarnya telah tumbuh dan berkembang dalam diri setiap individu. Hal-hal baik yang bernama kerja keras, ketekunan, kepedulian,  kebersamaan, dan kearifan.....

Tabundung, 26 Januari 2012

LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...