Pages

Jumat, 10 Februari 2012

Saya dan sms-sms SM-3T

Saya sebenarnya telah berkali-kali diberi tugas oleh Rektor Unesa (termasuk sebelum periode Prof. Muchlas) untuk menjadi koordinator, atau setidaknya, menjadi tim inti dalam berbagai program dan kegiatan. Namun tugas sebagai koordinator SM-3T ini, terasa begitu menyenangkan, sekaligus menantang.

Ditunjuknya saya sebagai koordinator SM-3T (sebetulnya di SK disebut ketua, tapi saya lebih suka menggunakan istilah koordinator; terasa lebih 'cair', duduk sama rendah, berdiri sama tinggi) sebenarnya tidak lepas dari tugas saya sebagai koordinator (di SK disebut ketua) program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Unesa. Salah satu tujuan SM-3T adalah menyiapkan guru-guru yang profesional, yang setelah program SM-3T nanti, peserta berhak memperoleh beasiswa untuk mengikuti PPG tanpa tes. Jadi memang harus dipayungi di bawah PPG. PPG sendiri sedang dipersiapkan sebagai Unit Pelayanan Teknis (UPT), sejajar dengan UPT lain di lingkungan Unesa. UPT Pusat Pengembangan dan Pembinaan Pendidikan (P4, dulu namanya UPT PPL), Program Continue Education (CE), dan Pusat Sertifikasi, nantinya akan dipayungi oleh PPG. Saat ini pembangunan gedung PPG sedang berlangsung, direncanakan selesai akhir bulan Februari, dan selanjutnya akan segera ditempati untuk kegiatan PPG dan kegiatan lain yang relevan.

Pertama kali saya menginjakkan kaki di Sumba Timur yaitu pada pertengahan November tahun lalu. Saat itu tujuan utama saya tidak hanya dalam rangka SM-3T, namun juga untuk  mengambil data dewan pendidikan dan komite sekolah (kebetulan saya ditugasi rektor untuk menjadi ketua penelitian kerjasama dengan direktorat pendidikan menengah ini). Saya juga akan berkoordinasi dengan pejabat di Sumba Timur dalam kaitan sosialisasi dan persiapan SM-3T. Saya telah berkomunikasi dengan ibu Naomy, ibu Rambu, dan ibu Lusia (para pejabat di Dinas PPO Sumba Timur) jauh-jauh hari sebelum saya datang. Saya juga minta dipertemukan dengan calon peserta SM-3T dari Sumba Timur untuk melakukan sosialisasi. Selain itu, saya juga minta dipertemukan dengan Bupati dan Kepala Dinas PPO untuk berkoordinasi.

Pada hari pertama itu saya langsung jatuh cinta pada Sumba Timur. Jatuh cinta pada orang-orang berkulit hitam bermata tajam itu. Jatuh hati dengan tutur kata dan logatnya yang khas. Begitu melihat alamnya yang eksotis, kuda-kuda Sumba yang menawan, padang sabana yang mempesona, hati saya semakin tertambat; lekat erat menyatu dengan segala kepolosan, kesahajaan, dan kemiskinan yang melingkupi masyarakatnya.

Sejak hari pertama saya bertemu dengan mereka, maka sejak itulah belasan sms saya terima setiap hari. Tentang berbagai hal mengenai SM-3T, harapan-harapan mereka, ucapan terimakasih mereka, serta doa mereka untuk saya.

"Terima kasih ibu sudah datang, sudah memberikan penjelasan pada kami semua, sudah berbuat utk kami,  kami berdoa semoga ibu diberikan kekuatan dan kesehatan oleh Tuhan." Itulah salah satu sms mereka setelah pertemuan dalam rangka sosialisasi SM-3T. Dan belasan sms yang lain. Hampir setiap sms mereka selalu diakhiri dengan kata-kata: semoga Tuhan memberkati, atau GBU.

Saat ini, program SM-3T telah berjalan sekitar dua bulan; diikuti oleh 241 peserta dari lulusan berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Mereka telah dibekali berbagai pengetahuan dan keterampilan serta persiapan fisik dan mental selama 12 hari masa prakondisi; termasuk di dalamnya adalah pelatihan ketahanmalangan (survival). 

Pada minggu-minggu pertama masa pengabdian mereka di seluruh pelosok Sumba Timur, sms yang masuk dalam ponsel saya tak terhitung banyaknya. Mulai dari mereka yang minta pulang dan siap mengembalikan semua biaya selama mengikuti masa prakondisi, pemberangkatan, penginapan, serta beasiswa yang sudah masuk ke rekening mereka; mereka yang mengeluhkan ketiadaan air dan tempat tinggal yang layak; mereka yang belum dijemput kepala sekolahnya; mereka yang minta dipindahkan atau diberi teman dari sesama peserta SM-3T Unesa; dan banyak hal lagi yang mereka keluhkan, terutama adalah masalah ATM yang tidak bisa digunakan. Namun di sisi lain, adalah sms yang bernada  sangat optimis, komitmen untuk mengabdi, dan kesiapan mereka menerima segala situasi yang ada.

Sms yang lain adalah sms yang saya terima dari Arsyah dan Joko, dua 'lurah' SM-3T yang mengabarkan kondisi kesehatan teman-temannya, dan betapa dalam waktu dua minggu pertama, telah belasan dari mereka yang keluar-masuk RSUD, dan sebagian harus opname, karena malaria. Dan kondisi seperti itu terus berlanjut sampai hari ini, meskipun lambat-laun jumlah korban nyamuk malaria itu semakin berkurang.

Sebagai orang tua, saya merasa prihatin  juga mendengar kabar mereka harus diangkut dengan oto (bus kayu), berdesak-desakan dengan penumpang lain, jadi satu dengan berbagai macam barang dan binatang ternak, berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan yang sulit, menuju RSUD Waingapu untuk memperoleh pengobatan dan perawatan. Sejauh itu, Joko, yang lokasi tugasnya sejauh 6 -7 jam dari kota, dan Arsyah, yang tempat tugasnya sejauh 3-4 jam dari kota, dengan para korcam dan peserta yang lain saling bahu-membahu untuk 'ngopeni' teman-temannya yang sakit, dan terus berkabar pada saya. Saya sangat bersyukur memiliki mereka berdua, dan mereka semua, yang dengan rela hati dan tanpa pamrih mau bersusah payah untuk teman-temannya. Saya membayangkan, betapa sulitnya situasi yang kami hadapi, bila mereka tidak memiliki jiwa penolong yang luar biasa itu. Kepedulian sebagai sesama teman seperjuangan, dan kepekaan hati untuk selalu merasa senasib-sepenanggungan.

Begitu banyaknya sms yang masuk, sampai-sampai saya harus secara rutin menghapus sms-sms itu hampir setiap hari dari ponsel saya. Meskipun sudah terhapus, ada banyak sms yang tidak terhapus dari benak saya. Salah satunya adalah sms dari Risky Soegiarto, gadis manis yang ditugaskan di tempat sangat terpencil, di desa Ramuk, kecamatan Pinupahar. Dia mengirimkan sms-nya pada sekitar pukul 22.00 WITA. Saat saya membaca sms-nya, perasaan saya tersentuh dengan permohonannya yang 'setengah hati' untuk dipindahkan. Setengah hati, antara keinginan untuk tetap bertahan, dan keraguannya untuk mampu bertahan. Meskipun esok harinya dia mencabut keinginannya untuk pindah, namun sms-sms dari Joko dan beberapa temannya yang mengabarkan bagaimana kondisi Risky, tempat tinggalnya, dan keamanan dirinya, begitu mengganggu pikiran saya.   

Sampai suatu ketika, pada kesempatan monev, kami (saya, pak Rektor, mas Rukin dari Jawa Pos, dan mas Bimo dari humas Dikti), berhasil menjangkau tempat Risky. Hati saya seolah luluh-lantak melihat ketabahannya. Sms pertamanya terbayang begitu saja di benak saya. Pada malam yang sangat sepi, di tengah hutan belantara, ditemani sebuah pelita, sendirian, dengan sebuah al Quran yang selalu berada di dekatnya di sepanjang malam, mungkin sambil menangis, anak itu menulis sms-nya. Sebagai seorang ibu, saya merasakan betul bagaimana situasi batinnya saat itu.....

Sms yang lain adalah dari Yohana Makaborang. Dia menanyakan kepada saya, apakah boleh dia melakukan kegiatan pelayanan gereja setiap akhir pekan, yang mengharuskan dia untuk meninggalkan tempat tugasnya di kecamatan Kanatang setiap Jumat sore ke Waingapu (karena pelayanannya di sebuah gereja di Waingapu), dan Senin pagi sebelum sekolah dimulai, dia sudah kembali lagi ke Kanatang. Awalnya saya tidak membalas sms itu, karena saya sedang melakukan monev di pelosok kecamatan Pinupahar dan sinyal di ponsel saya on-off. Esoknya, teman Yohana, namanya Alsrikani Ninggeding, mengirimkan sms dengan nada yang sama. Maka saya balas untuk keduanya, bahwa yang penting mereka berkomunikasi dengan camat, kepala desa, kepala sekolah, guru-guru, dan teman-teman SM-3T yang lain, dan kalau tidak ada masalah bagi mereka semua, maka bagi saya juga tidak ada masalah. Balasan sms mereka tidak saya duga sedemikian rupa responnya. 'Ibu, tidak bisa saya ucapkan dengan kata-kata, betapa ibu begitu bijaksana. Ibu adalah mama bagi kami. Ibu begitu mengerti kami, memahami agama dan keyakinan kami. Salam hormat dari kami semua, dari orang tua kami, dari seluruh keluarga kami. Semoga Tuhan selalu memberkati Ibu sekeluarga." Saya katakan kepada Yohana dalam sms saya, "kalian melakukan sesuatu yang baik. Dan sesuatu yang baik itu harus dipelihara".

Tentu saja ada juga sms yang sempat membuat saya kehilangan kesabaran. Adalah Umbu Pindi Praing (panggilannya Era), yang dari awal pengiriman ke Sumba Timur sampai hampir dua minggu setelahnya, selalu menanyakan tentang ATM-nya yang trouble; sampai 'mengancam' akan datang sendiri ke Surabaya untuk mengurus ATM-nya. Masalah ATM itu tidak hanya menjadi masalah dia, tapi juga menjadi masalah hampir sebagian besar peserta. Harus diakui, di Waingapu, ibu kota Sumba Timur, tidak semudah di kota-kota besar untuk mendapatkan layanan ATM. Bank di sana hanya ada BRI, BNI, dan Bank NTT. Layanan ATM juga hanya ada di tiga bank itu, atau dengan ATM Bersama. Bank mitra kami adalah BTN, dan begitu banyak persoalan yang muncul karena memang dari keterbatasan layanan BTN sendiri, sekaligus dari perilaku nasabah (dalam hal ini adalah para peserta SM-3T). Sudah disampaikan kepada mereka oleh petugas bank tentang bagaimana bertransaksi dengan aman, namun banyak di antaranya yang bertransaksi dengan 'mekso'. Akibatnya, puluhan ATM menjadi bermasalah. Sudah dikatakan bahwa kita akan menguruskan semua ATM yang terblokir itu ke BTN Surabaya, dan ATM yang baru akan dibawa ketika supervisi, lengkap dengan nomer PIN masing-masing, namun sebagian dari mereka begitu sulit menerima penjelasan itu. Padahal mereka semua telah menerima insentif bulan pertama mereka secara tunai, karena kita sudah mengantisipasi akan adanya persoalan dengan ATM mereka (sebagian besar dari mereka baru pertama kali memiliki ATM). Namun mereka, terutama Era itu, hampir setiap hari mengirim sms menanyakan kepastian ATM-nya, terus-menerus, tidak hanya ke saya, tapi ke semua tim inti, dan juga kepada petugas BTN sehingga sempat membuat salah satu petugas 'berang'.....dan saya pun kehilangan kesabaran. Saya balas sms Era: "dari kemarin yang kamu urus duwit melulu!" Sejak itu Era tidak pernah lagi sms ke saya menanyakan ATM-nya, tapi sms terus kepada Andra, pak Wasis, mas Jono, dan anggota tim inti yang lain.....

Tentu saja masih banyak puluhan sms yang lain, yang tidak bisa saya lupakan, meski sudah terhapus dari memori ponsel saya. Sms yang bernada kocak tapi memprihatinkan, yang berkesan 'gagah-berani' tapi 'melas-ati'. Sms-sms dari Abdul Hamid adalah di antara sms-sms itu. Anak pintar yang bertugas di desa Tawui, kecamatan Pinupahar itu, cukup intens bersms ke saya. Berikut ini adalah beberapa sms-nya (dalam versi asli):

"kmrn 1000 org mahasiswa FKIP dr bbrp Univ d Kupang demo d kantor DPRD Kupang menuntut program SM3T dihentikn krna mempersempit lapgn krja mereka.
Ketua DPRD NTT mendukg tuntutan massa & brjanji akn menyampaiknnya kpd pemerintah.
Prstwa ini tidak akn menyurutkn nyali kami, krna pd kenyataannya masyrkt Sumba Timur spnuhnya menerima kami."

"wlw hujan, ada 12 dr 19 siswa klas 8A yg pergi k sekolah.
6 org diantara 12 siswa tsb brasal dr Lelunggi, 8km dr sekolah & mereka jalan kaki.
sayang skali, hari ini kami hanya bs blajar d perpus krna ruang klas byk kubangan air hujan & urine sapi.
Baunya...
:D"

"Mereka brgkt dr rumah jam stgah 6 ktka hari msh gelap.
tak seorg pun smpt makan pagi&tak seorg pun bw bekal k sekolah.
Mereka baru makan pulg dr sekolah dg menu nasi dan sayur daun singkong saja.
Kalo pun ada lauk lain ya ikan teri."

"Sejak kmrn Tawui sdag krisis air krna pipa air d gunung putus.
Kami cm bs mgharapkn air hujan.
td mlm saya&sulis ronda smp jam 00.50 WITA menugu hujan datg.
:)"

"Sprt biasa pagi ini hujan deras mengguyur desa Tawui.
08.30 WITA hujan reda & saya pun brgkt mgajar pake sandal, krna sekolah becek.
Tryt cm saya guru yg online (mgajar) hari ini.
Tmn2 SM3T yg lain sdag tidak ada jam (offline).
Guru2 lain datg, tp sdag tidak mood mgajar, mau negur jg sungkan.
Kepsek&wakasek sdag ada rapat d Waingapu.
Jadilah saya Kepsek sehari ini.
Hahaha"

"td wktu apel pagi ada 5 siswa kelas 7A yg hadir.
Jam 10 saya mau masuk mgajar d klas 7A, mereka sudah lenyap.
:D"

Dan berikut ini adalah sms dari Yuventia, dia ditugaskan di kecamatan Lewa:

"Hjan datang tiba2..
Anak bangsa brtatih mencari ilmu
Pjalanannya brkilo-kilo
Dy bsah kuyup tak mgurangi langkahnya
Wajahnya basah brcucur air
Tubuhnya merinding kdinginan
Hai anak Bangsa...q bangga padamu
Hati q tharu melìhatmu..."

Juga sms dari Ismi Zuniar:

"Assalamualaikum Ibu,
Maaf mengganggu,
Saya Ismi Zuniar peserta SM3T.
Kebetulan saya dan teman2 ditempatkan di SMPN 2 PAHUNGA LODU.
Kami berjumlah 8 orang, 3 laki2, 5perempuan.
Kami yang perempuan terkena gatal2,
Sudah diobati tp blm juga Ada tanda2 sembuh ibu,kami tidak tahu apa ini faktor air yg kotor atau alergi mie dan telur.
Maaf ibu, kalau ada obat alergi atau gatal, tolong dibawakan.
Maaf sudah mengganggu kenyamanan Ibu."

"saya kemarin sudah periksa ke puskesmas Ibu, obat dan salep sudah dipakai. Tapi tidak mempan.
Gatalnya masih bertambah...
Teman2 juga begitu Ibu.
Yang paling parah saya, karena bentol-bentolnya besar dan panas, terus jadi hitam.
Padahal di jawa saya tidak punya alergi...
kalau teman2 ada yang pnya alergi dan ada yang tidak.
Maaf Ibu sebelumnya sudah merepotkan."

"Kalau tidak parah dan banyak yang sakit, kita tidak akan lapor sama Ibu, karena kita juga sudah bawa obat alergi dan gatal dari jawa yang sudah biasa dipakai, tapi tidak mempan.
Makasih Ibu, semoga kita bisa cepat sembuh dan bisa dengan tenang mencerdaskan anak bangsa..."


Saya sering tertawa sendiri, mesam-mesem sendiri, bercampur haru membaca sms-sms mereka. Seringkali mereka hanya mengirimkan sms singkat: 'Ibu, apa kabar?" Atau "kapan ibu menengok kami lagi, kami kangen, ibu...." Atau "selamat malam, ibu, selamat tidur...."

Saya merasa bangga pada mereka semua. Di awal kedatangan mereka, saya sempat meragukan mereka, terutama pada mereka yang datang dengan 'bangkelan' yang luar biasa banyak sampai-sampai harus membayar banyak untuk kelebihan bagasinya. Saya sempat berpikir, mereka tidak akan 'tahan malang'. Tetapi kekhawatiran saya itu ternyata meleset. Sama sekali meleset. Dua kali kami ke sana, siapa pun dari kami, tidak menemukan satu pun wajah duka dari mereka. Semuanya, di lokasi mana pun, bahkan di lokasi terjauh pun, hanyalah wajah-wajah ceria dan optimis. Siap mengabdi. Siap mengemban tugas mulia mencerdaskan anak bangsa di setiap pelosok Sumba Timur. Saya patut bangga pada mereka semua. Merekalah 'motivated and passionate teachers' itu. Guru-guru hebat yang akan menjadi agen perubahan pendidikan di mana pun di seluruh penjuru negeri ini.....

Jumat, 10 February 10, 2012 8:14 PM
Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...