Pages

Jumat, 17 Februari 2012

Malaria yang Bikin Gundah...

Siang ini Joko, salah satu 'lurah' SM-3T, menelepon saya. Dia mengabarkan kalau Okta, salah satu peserta SM-3T, sakit demam tinggi dan saat ini sedang dirawat di Karera. Sementara dokter yang merawat dia mengatakan kalau obat terbatas, termasuk cairan infus. Ambulans sedang diperbaiki di Waingapu karena gardannya patah. Joko bertanya, 'Bagaimana ini, ibu?'

Dua hari sebelumnya, saya menerima sms dari Arsyah. 'Ibu, Jasuli sakit. Ini sudah dibawa ke rumah sakit.' Saya balas, 'sakit apa, Arsyah?' 'Belum tahu, Ibu, hasil tes darahnya belum keluar, dia baru masuk jam setengah tiga tadi.' Kemudian beberapa jam setelah itu, saya menerima sms dari Joko. 'Jasuli kena malaria fativarum+4, Prof'. Setelah itu beberapa sms dari peserta SM-3T yang lain masuk, termasuk dari bu Nanik, teman kami di Tim SM-3T. Isinya sama: 'Mohon doa untuk kesembuhan teman kita Jasuli, dia terkena malaria fativarum+4'. Sms itu rupanya telah menjadi sms berantai, terkirim di antara mereka dan juga kami tim. 

Padahal sehari sebelumnya, sms dari Arsyah juga saya terima, yang mengabarkan Amrina sakit dan juga harus dirujuk di rumah sakit. Juga karena malaria. Jadi dalam waktu kurang dari seminggu, tiga orang harus dibawa ke rumah sakit di Waingapu, dari tempat tugas mereka yang jauh.

Ya, malaria. Penyakit ini begitu populer di Sumba Timur. Pada minggu-minggu pertama, peserta SM-3T keluar masuk ke RSUD, sebagian dari mereka harus opname. Saya hitung dari laporan Joko, ada 29 peserta yang memerlukan pemeriksaan karena demam, 10 di antaranya harus opname (belum termasuk Amrina, Jasuli, dan Okta). Dua kali kami monev, dua kali itu juga kami harus menyempatkan diri menengok mereka yang sedang opname dan bertemu dengan dokternya.

Malaria membuat kami semua risau. Pada monev yang kedua tempo hari kami membawakan obat penangkal malaria untuk semua peserta, yaitu chloroquin. Obat yang rasanya sangat pahit itu kami bagikan untuk seluruh peserta tanpa kecuali. Obat itu bisa mereka konsumsi selama 6 bulan. Memang tidak bisa sepenuhnya mencegah dari serangan malaria, tapi akan membuat daya tahan mereka menjadi jauh lebih baik. Kami semua juga meminum obat itu menjelang berangkat monev.

Kabar tentang kondisi kesehatan mereka membuat saya begitu gundah dan waswas, seperti seorang ibu yang mendengar anaknya sedang sakit, sementara jarak kami begitu jauh. Apalagi kalau sampai orang tua mereka tahu, dan kemudian berkali-kali telepon ke saya. 'Ibu, tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya, mohon bantuannya, Ibu. Kondisi anak kami belum juga stabil, mohon, Ibu....'. Kata seorang bapak dengan suara terbata. Sebagai seorang ibu, saya sangat bisa memahami kekhawatiran mereka......

Tidak ada pilihan lain, saya pantau mereka terus-menerus, berkomunikasi langsung dengan korcamnya, dengan teman-teman yang menjaganya, juga dengan dokter yang merawatnya. Ketika kabar tentang sakitnya Jasuli saya terima, saya langsung kontak dengan dokter Kris, direktur RSUD di Waingapu. Saya tanyakan, apa maksudnya malaria fativarum +4. Separah apakah? Bagaiman peluang sembuhnya? Jawaban dokter Kris melegakan saya: 'itu hanya menunjukkan jumlah parasit dalam lap pandang'. Sebenarnya saya tidak tahu  persis apa maksud penjelasan dokter Kris. Tapi kata 'hanya' di dalam kalimatnya menenangkan saya.

Kabar sakitnya Okta tak pelak juga membuat saya sangat risau. Okta, anak manis dan ceria itu, saya temui di RSUD ketika dia sedang menunggu temannya yang opname, saat supervisi pertama yang lalu. Pertemuan kedua terjadi ketika kami monev ke Pinupahar, dan dia tetap dengan keceriaannya. Anak itu sebenarnya sangat bersemangat, optimis, dan fisiknya juga bagus. Namun ternyata malaria melemahkannya juga. Kabar dari Ulfa, seorang temannya yang saya hubungi menyatakan kalau Okta sangat lemah, perutnya sakit dan dia muntah-muntah terus. Okta merasa tidak kuat kalau harus dibawa ke Waingapu, apalagi kalau harus menunggu oto atau ambulan besok paginya. Sementara di Karera, obat sangat terbatas.

Okta, anak kuat itu, bahkan merasa nyaris menyerah. Maka tanpa menunggu, saya langsung telepon lagi Ulfa, dan minta supaya saya bisa bicara langsung dengan dokter yang merawat Okta. Dokter itu bilang, sebenarnya dia ingin secepatnya membawa Okta ke Waingapu, namun tidak ada ambulans. 'Kondisinya separah apa, Dok?' Tanya saya. 'Sekarang sudah diinfus, ibu, ya, sepanjang tidak ada komplikasi, dia cukup aman. Tapi yang saya khawatirkan adalah hb-nya drop, di sini tidak cukup obat-obatan dan cairan infus untuk membantu supaya dia segera stabil.' 'Baik, Dok, saya akan segera upayakan mobil yang bisa menjemput Okta sekarang juga, nanti saya kabari lagi Dokter.' Saat itu, yang ada dalam pikiran saya adalah, jangan sampai terjadi sesuatu yang fatal, hanya karena saya telat mengambil keputusan untuk mereka.

Maka saya langsung telepon mas Oscar, salah satu driver langganan kami di Sumba Timur. Oscar ini ibarat koordinator transportasi kami di sana. Dia punya sebuah mobil, Panther touring, hanya sebuah. Tapi berapa pun mobil yang kami perlukan, sejauh ini, dia bisa mengupayakan. Dia akan mengkoordinasikan semua urusan transportasi dengan sangat rapi, dan hebatnya, dia tidak mengambil serupiah pun dari teman-teman driver lain yang ada di bawah koordinasinya itu. 'Mereka bawa mobil majikannya, ibu, mereka tidak dapat banyak dari majikannya kan, jadi saya tidak akan ambil dari mereka. Kalau saya kan mobil saya sendiri, ibu.'

Ketika saya tanyakan ke mas Oscar, apakah saat ini juga dia bisa bawa mobil ke Karera untuk menjemput Okta yang sakit, dia jawab, bisa. Lega saya. Okta akan segera dijemput, dan di tangan mas Oscar, dia akan nyaman sepanjang 4-5 jam perjalanan menuju RSUD Waingapu.

Satu hal yang sangat saya harapkan saat ini adalah malaria segera berlalu. Saya berharap selepas Maret, setelah melewati musim penghujan, nyamuk itu tidak terus-menerus meminta korban. Saya ingin anak-anak sekolah bisa lebih tenang belajar bersama guru-gurunya tanpa harus dihantui dengan malaria.  Namun penjelasan yang saya terima dari Joko dan beberapa orang membuat saya gundah. Kata mereka, malaria bukan penyakit musiman. Memang di Sumba Timur adalah endemik malaria, jadi kapan saja dan siapa saja bisa terkena malaria. Yang penting adalah jaga daya tahan tubuh, karena mungkin setiap orang di Sumba sudah terkena gigitan nyamuk malaria itu......

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...