Pages

Kamis, 09 Februari 2012

Kinerja Guru setelah Sertifikasi

Oleh Luthfiyah Nurlaela*

Abstrak: Tulisan sederhana ini merupakan hasil penelitian kecil yang bertujuan untuk mendeskripsikan kinerja guru-guru yang sudah lolos penilaian portofolionya, yang ditinjau dari unsur kualifikasi dan tugas pokok, unsur pengembangan profesi, dan unsur pendukung profesi. Metode pengumpulan data dengan angket dan wawancara, dengan jumlah responden 45 guru. Analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif dengan persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa  (1) Pada unsur kualifikasi dan tugas pokok, sebagian besar guru telah melaksanakan beban kerjanya sesuai dengan ketentuan (24 jam/minggu), namun hal-hal yang terkait dengan pembuatan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan penerapan penilaian alternatif, masih harus terus ditingkatkan, (2) Pada unsur pengembangan profesi, sebagian besar guru masih tetap mengikuti diklat peningkatan kompetensi, namun dalam hal penulisan karya tulis dan penelitian masih memprihatinkan, dan (3) Pada unsur pendukung profesi,  kebanyakan guru jarang mengikuti forum ilmiah.


A.      Permasalahan dan Kajian Teoretik
Kemajuan suatu negara banyak ditentukan oleh kualitas SDM. Oleh karena SDA tersedia dalam jumlah terbatas, banyak negara menjadikan SDM sebagai faktor penting untuk mempertahankan eksistensinya. Beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia telah membuktikan bahwa peningkatan SDM dapat mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.

Peningkatan SDM tidak bisa terlepas dari faktor pendidikan. Pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu syarat utama untuk mewujudkan kemakmuran dan kemajuan suatu bangsa.
               
Berdasarkan laporan Unesco tahun 2008 yang dipublikasikan dalam Global Monitoring Report (GMR), dikemukakan bahwa indeks pendidikan Indonesia menurun. Nilai Education Development Index (EDI) turun dari 0,938 menjadi 0,935. Sebaliknya Malaysia justru meningkat, dari 0,934 menjadi 0,945, dan bahkan Brunei Darussalam mencapai angka yang lebih tinggi, yaitu 0,965. Laporan MGR tersebut juga menunjukkan bahwa Indonesia turun tingkat dalam pembangunan sumber daya manusia. Human Development Index (HDI) Indonesia pada tahun 2005 berada pada peringkat 107 dari 175 negara yang diteliti, sedangkan Malaysia berada pada peringkat 63, dan Singapura pada peringkat 25.

Data tersebut menunjukkan bahwa daya saing Indonesia sangat rendah, dan hal tersebut merupakan salah satu indikator rendahnya mutu pendidikan. Pendidikan belum mampu menghasilkan SDM yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi.

Dalam UU nomer 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.

Bertitik tolak dari tujuan sisdiknas tersebut, pendidikan harus mampu menghasilkan SDM yang berkualitas dan profesional. Oleh sebab itu, pendidikan harus dibenahi agar berkualitas. Kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh komponen mutu dan pemerataan penyebaran guru, kurikulum, sumber belajar, sarana dan prasarana, iklim pembelajaran dan dukungan kebijakan pemerintah pusat dan daerah (Mulyasa, 2007). Berhubungan dengan hal tersebut, guru merupakan faktor paling menentukan karena melalui guru, komponen yang lain menjadi sesuatu yang berarti bagi peserta didik.  Apapun upaya perbaikan yang dilakukan, tanpa keterlibatan guru yang profesional  tidak akan memberikan kontribusi yang berarti.

Sertifikasi guru bertujuan untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, serta untuk meningkatkan profesionalisme guru. Tujuan sertifikasi secara lebih rinci meliputi: (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pendidikan, (2) meningkatkan profesionalisme guru, (3) meningkatkan proses dan hasil pendidikan, (4) mempercepat terwujudnya tujuan pendidikan nasional, dan (5) meningkatkan kesejahteraan guru.

Sertifikasi pendidikan guru dalam jabatan dilaksanakan dalam bentuk penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru yang meliputi sepuluh komponen. Sepuluh komponen tersebut adalah: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Kesepuluh komponen portofolio tersebut merupakan refleksi dari empat kompetensi guru, yang meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Dengan ditetapkannya program sertifikasi, guru dihadapkan pada  harapan dan tantangan. Di satu sisi, guru mempunyai harapan untuk memperoleh peningkatan kesejahteraan secara materi (finasial), dan di sisi lain guru dihadapkan pada keharusan dan kewajiban untuk meningkatkan profesionalisme.

Sertifikasi guru telah dilakukan pada tahun 2006 dan 2007, dan akan segera dilaksanakan sertifikasi guru kuota 2008. Guru-guru yang sudah disertifikasi berarti sudah lolos penilaian portofolionya, dan sudah bisa dikatakan sebagai guru yang profesional. Namun apakah sebutan sebagai guru yang profesional ini serta merta melekat pada guru begitu dia dinyatakan lolos sertifikasi? Secara formal jawabannya adalah ”ya”, karena telah dibuktikan dengan penilaian potofolionya. Setidaknya guru-guru tersebut telah memenuhi syarat dilihat dari unsur kualifikasi dan tugas pokoknya, unsur pengembangan profesi, dan unsur pendukung profesi.

Pertanyaannya adalah, bagaimana kinerja guru-guru yang sudah bersertifikat tersebut? Banyak kekhawatiran dari berbagai pihak, guru-guru yang sudah lolos penilaian portofolionya akan merasa puas dan merasa sudah cukup karena dia telah mencapai ”puncak karirnya” sebagai guru. Kalau sebelum mengikuti proses sertifikasi guru-guru antusias dan aktif mengikuti berbagai kegiatan peningkatan kompetensi dan profesionalitas, misalnya dengan mengikuti diklat, forum ilmiah, penulisan buku, penelitian, dan lain-lain, maka setelah penilaian portofolionya dinyatakan lolos,  apakah antusiasme dan keaktifan itu masih tetap ada?

Disadari atau tidak, selama ini keikutsertaan guru dalam berbagai kegiatan peningkatan kompetensi dan profesionalitas sebagian adalah demi ”selembar sertifikat”, dan tidak mementingkan transfer of knowledge yang diperoleh selama atau setelah kegiatan. Semakin banyak sertifikat yang diperoleh, semakin tinggi skor portofolionya, dan peluang untuk lolos semakin besar. Lolos penilaian portofolio, berarti berhak menyandang predikat sebagai guru profesional, dan yang terpenting adalah berhak menmperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji. Hal inilah yang menjadi motivasi sebagian guru-guru (mudah-mudahan hanya sebagian kecil).

Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk melihat bagaimana kinerja guru yang sudah lolos penilaian portofolionya. Peningkatan kompetensi guru seharusnya berlangsung terus-menerus meskipun dia sudah memiliki sertifikat pendidik, karena pada dasarnya guru adalah a learning person, seorang yang harus belajar sepanjang hayat. Sebagai guru profesional dan telah menyandang sertifikat pendidik, guru berkewajiban untuk terus mempertahankan profesionalitasnya sebagai guru.

Penelitian sederhana ini mengkaji kinerja guru yang sudah bersertifikat, yang dilihat dari unsur kualifikasi dan tugas pokok, pengembangan profesi, dan unsur pendukung profesi. Selain itu juga digali informasi mengenai pengaruh sertifikasi terhadap kinerja guru, serta saran untuk pelaksanaan penilaian portofolio yang diperoleh dari lapangan.
 
B.      Metodologi
Penelitian sederhana ini merupakan penelitian deskriptif, yang dilakukan pada 45 guru SD di Kabupaten Jombang. Meskipun yang menjadi responden adalah guru-guru SD, namun informasi dan data yang diperoleh mungkin dapat dianggap sebagai gambaran kondisi kinerja guru-guru pada umunya, meskipun tidak tepat sama. Guru-guru yang menjadi responden tersebut adalah guru-guru yang di sekolahnya sudah ada guru yang lolos sertifikasi kuota tahun 2006 dan 2007.  Responden berasal dari 15 SD negeri di Kabupaten Jombang, dan diambil secara kebetulan. Peneliti kebetulan adalah pengajar program S1 PGSD di kelompok belajar (Pokjar) Jombang, di mana semua mahasiswanya adalah guru-guru SD yang berasal dari D2 PGSD, dan tengah mengambil program S1 PGSD, agar memenuhi kualifikasi untuk mengikuti sertifikasi guru.

Metode pengumpulan data dengan menggunakan angket. Angket dikembangkan untuk menggali data tentang kinerja guru yang sudah bersertifikai dilihat dari: unsur kualifikasi dan tugas pokok, pengembangan profesi, dan pendukung profesi. Responden diminta untuk memberikan penilaian pada guru-guru yang sudah lolos sertifikasi ditinjau dari tiga unsur tersebut. Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan persentase.

C.      Hasil dan Pembahasan
1. Unsur Kualifikasi dan Tugas Pokok

Unsur kualifikasi dan tugas pokok meliputi komponen kualifikasi akademik, pengalaman mengajar, serta perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kualifikasi akademik dilihat dari ijazah yang dimiliki guru saat yang bersangkutan mengikuti sertifikasi. Dapat dipastikan bahwa semua guru yang telah lolos sertifikasi berpendidikan minimal S1 atau D4.Sedabgkan pengalaman mengajar adalah masa kerja sebagai guru pada jenjang, jenis, dan satuan pendidikan formal tertentu. Sebagian besar guru (93%) yang diteliti memiliki masa kerja minimal 20 tahun.

Selanjutnya adalah perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Komponen ini dilihat dari beban kerja guru, pelaksanaan beban kerja tersebut, pembuatan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, sumber belajar dan media, dan penilaian pembelajaran. Secara lebih rinci, data tentang komponen tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan tabel di atas nampak bahwa pada umumnya (88,9%) beban guru adalah minimal 24 jam/minggu. Hal ini sesuai dengan tuntutan Permendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Sedangkan yang beban kerjanya kurang dari 24 jam, yaitu sebanyak 11,1%, setelah digali lebih lanjut penyebabnya ternyata karena guru-guru tersebut telah menjadi Kepala Sekolah. Sebagaimana ketentuan yang berlaku beban mengajar Kepala Sekolah minimal 6 jam/minggu karena beban kerja yang lainnya digunakan untuk melaksanakan tugas-tugasnya sebagai kepala sekolah.

Sebanyak 88,9% beban kerja guru-guru tersebut dilaksanakan sesuai dengan alokasi waktu yang seharusnya, dan hanya sebagian kecil (11,1%) yang tidak melaksanakan sesuai dengan alokasi waktu yang seharusnya. Setelah digali lebih jauh, alasannya antara lain guru melaksanakan tugas lain seperti sebagai instruktur, guru inti, pembimbingan siswa dalam suatu kegiatan atau lomba. Alasan  yang lain adalah guru yang bersangkutan sering sakit, dan hal ini bisa dimaklumi karena guru-guru yang disertifikasi kuota 2006 dan 2007 pada umumnya adalah guru-guru yang sudah cukup lanjut usia.

Guru-guru selalu membuat perencanaan pembelajaran (46,7%), namun sebanyak 53,3% jarang membuat perencanaan pembelajaran. Meskipun hanya sebesar 47%, hal ini cukup menggembirakan sekaligus memprihatinkan karena kebanyakan guru  jarang membuat perencanaan pembelajaran. Fakta di lapangan menunjukkan, guru-guru tidak selalu membuat perencanaan pembelajaran secara mandiri. Silabus dan RPP yang dimiliki guru pada umumnya merupakan hasil kerja kelompok dalam forum KKG (Kelompok Kerja Guru), yang itu kemudian digunakan bersama-sama.

Hanya sebanyak 22,2% guru yang melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan selebihnya (77,8%) tidak melaksanakan. Pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning) dalam hal ini diindikasikan dengan penerapan model atau metode pembelajaran yang inovatif dengan memanfaatkan berbagai sumber dan media belajar.  Fakta menunjukkan, meskipun berbagai pelatihan telah dilakukan untuk guru-guru dalam rangka meningkatkan kompetensi mereka,  ternyata hasilnya selama ini masih belum seperti yang diharapkan oleh semua pihak. Guru-guru masih melaksanakan pembelajaran dengan metode yang lama, secara konvensional, di mana sebagian besar menggunakan metode ceramah, dan kurang memberikan peluang bagi keterlibatan siswa serta pengembangan potensi mereka.

Selanjutnya sebanyak 33,3% guru jarang melaksanakan penilaian alternatif, dan selebihnya (66,7%) yang bahkan tidak pernah menerapkan penilaian alternatif. Penilaian alternatif yang dilaksud antara lain penilaian kinerja, penilaian proyek, portofolio, dan sebagainya, yang tidak seperti yang dilakukan pada umumnya oleh guru-guru, yaitu paper and pencil tes (misalnya dalam bentuk tes pilihan ganda, tes esai). Hal ini sama dengan persoalan penerapan model pembelajaran inovatif yang berpusat pada siswa, di mana meskipun guru-guru sudah berpengalaman mengikuti pelatihan penilaian inovatif, namun mereka tidak menerapkan hasil pelatihan tersebut dalam tugas sehari-harinya.

2. Unsur Pengembangan Profesi

Unsur pengembangan profesi meliputi empat komponen, yaitu: pendidikan dan pelatihan, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, dan karya pengembangan profesi. Kinerja guru dijabarkan pada Tabel 2.

Berdasarkan tabel di atas, sebanyak 51,1% guru mengikuti diklat kompetensi guru, dan sebanyak 15,6% jarang mengikuti, serta 22,22% tidak pernah mengikuti lagi. Tentu saja hal ini menggembirakan, karena kebanyakan guru tetap mengikuti diklat dalam rangka meningkatkan kompetensi mereka, meskipun mereka sudah mengantongi sertifikat pendidik. Menurut beberapa responden yang dikonfirmasi, ini disebabkan, pada dasarnya guru-guru tersebut memang memiliki motivasi yang tinggi untuk terus meningkatkan kompetensinya, dan motivasi tersebut tetap terpelihara meskipun mereka sudah lolos sertifikasi.

Dalam hal membuat karya tulis (artikel, buku, modul, dan sebagainya), sebagian besar guru (88,9%) tidak pernah melakukannya. Hal ini sangat memprihatinkan. Kenyataannya memang dalam portofolio guru, karya-karya berupa penulisan buku, artikel ilmiah yang dimuat di media atau jurnal, sangat jarang dilakukan guru. Tentu saja perlu terus-menerus adanya upaya dari pihak-pihak terkait untuk meningkatkan minat dan keterampilan guru dalam menulis. Apa yang sudah dilakukan oleh Diknas Kota Surabaya  baru-baru ini, yang bekerja sama dengan Jawa Pos untuk menyediakan kolom khusus bagi artikel-artikel guru yang layak muat setiap hari selama sebulan (dalam rangka memperingati hari guru tahun 2008), merupakan ide yang sangat baik dan patut dicontoh.
               
Dalam melaksanakan penelitian (termasuk PTK), kebanyakan guru (44,5%) tidak pernah melakukan setelah lolos sertifikasi. Mengingat PTK merupakan salah satu bagian tugas profesional guru, angka ini tentu saja cukup memprihatinkan, dan harus terus diupayakan untuk peningkatan minat dan kemampuan guru dalam membuat PTK.

Dalam melaksanakan pembimbingan teman sejawat, 60% guru tidak pernah melakukannya. Sedangkan untuk pembimbingan siswa, sebanyak 44,5% guru melakukannya. Kurangnya kegiatan pembimbingan pada teman sejawat menunjukkan kurangnya kemampuan guru dan mungkin juga kesempatan yang ada.

Yang menggembirakan, ternyata kebanyakan guru (95,6%) mendapatkan penilaian yang positif atas kinerja mereka dari kepala sekolah dan pengawas. Hal ini patut terus dipertahankan, karena bagaimanapun sebagai guru yang sudah memiliki sertifikat pendidik, guru harus bisa menjadi contoh yang baik dan tetap menunjukkan komitmenya pada tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru yang profesional.

3. Unsur Pendukung Profesi

Unsur Pendukung Profesi meliputi tiga komponen yaitu: keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan. Berkaitan dengan kemungkinan ketepatan jawaban yang diberikan responden, maka pada unsur tersebut yang digali adalah meliputi keikutsertaan guru dalam forum ilmiah, keterlibatan guru dalam kepengurusan, dan tugas tambahan yang diemban guru. Secara lebih jelas dapat dicermati pada Tabel 3.

Berdasarkan tabel di atas,  kebanyakan guru (55,5%) jarang mengikuti forum ilmiah. Kenyataan di lapangan, forum-forum ilmiah yang dilaksanakan selama ini, sangat diminati oleh guru-guru yang belum lolos sertifikasi. Bahkan dalam satu kegiatan seminar, bisa diikuti oleh ratusan bahkan ribuan guru pada satu sesi. Seringkali terkesan, guru tidak mementingkan transfer pengetahuan dalam seminar tersebut, namun yang lebih penting adalah sertifikat seminar. Hal ini yang menjadi keprihatinan banyak pihak, dan tentu saja merupakan ekses negatif dari sertifikasi guru.

Hanya sedikit guru yang menjadi pengurus organisasi kependidikan/sosial (9%), serta yang mengemban tugas tambahan, misalnya sebagai kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan lain-lain (13%). Hal ini bisa dimaklumi karena memang kesempatan peluang untuk  menjadi pengurus suatu organisasi dan mengemban tugas tambahan adalah terbatas.
 

Berdasarkan uraian di atas, perlu digarisbawahi bahwa program sertifikasi yang sebenarnya dimaksudkan pemerintah untuk meningkatkan profesionalitas guru, tidak selalu seperti yang diharapkan. Guru-guru sangat antusias mengikuti berbagai kegiatan seperti diklat, forum ilmiah, penelitian, dan sebagainya, sebelum mereka mengikuti sertifikasi. Namun setelah portofolionya lolos dan mereka mengantongi sertifikat pendidik, maka antusiame tersebut menurun dengan cukup signifikan.

Program sertifikasi tentu memiliki misi mulia yang diemban, yakni meningkatkan kompetensi guru sebagai agen pendidikan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan guru sebagai bentuk penghargaan atas profesinya, yang semuanya itu diharapkan bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan nasional. Namun perlu disadari bahwa ada beberapa hal penting yang harus menjadi perhatian, yang harus dilakukan oleh semua guru setelah memperoleh sertifikat pendidik, yaitu: (1) mengubah kultur, (2) bekerja menurut sistem, dan (8) mengembangkan kompetensi.

Pengertian dari mengubah kultur adalah mengubah mental, pandangan, sikap, dan perbuatan sebagai guru yang selama ini tradisional, apatis, pasif, menuju kepada kultur yang mencerminkan etos kerja yang aktif, kreatif, inovatif serta menyesuaikan diri dengan tuntutan kemajuan jaman. Perubahan kultur dan etos kerja akan memberikan manfaat yang luas tidak hanya untuk keuntungan pribadi guru tetapi secara luas akan berpengaruh kepada peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Setelah mampu mengubah kultur kerja, guru harus melaksanakan tugas-tugas profesinya berdasarkan sistem yang ada serta aturan-aturan yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu tugas guru yang utama adalah mendidik, mengajar, melatih, membimbing dan mengevaluasi peserta didik, sehingga guru harus melaksanakan tugas-tugastersebut secara sistematis. Guru dapat dikatakan bekerja secara sistematis apabila telah membuat perencanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis, dan melakukan tindak lanjut.

Untuk menuju kepada loyalitas yang tinggi terhadap tugas sebagai pendidik, guru dituntut untuk selalu mengembangkan kompetensi. Oleh sebab itu, lolos dalam sertifikasi bukanlah puncak karir seorang guru, namun sesungguhnya tantangan yang lebih besar menunggu dia untuk lebih berkiprah memajukan pendidikan nasional.

A.      Simpulan dan Saran

Simpulan yang dapat dikemukakan adalah: (1) Pada unsur kualifikasi dan tugas pokok, sebagian besar guru telah melaksanakan beban kerjanya sesuai dengan ketentuan (24 jam/minggu), namun hal-hal yang terkait dengan pembuatan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan penerapan penilaian alternatif, masih harus terus ditingkatkan, (2) Pada unsur pengembangan profesi, sebagian besar guru masih tetap mengikuti diklat peningkatan kompetensi, namun dalam hal penulisan karya tulis dan penelitian masih memprihatinkan, dan (3) Pada unsur pendukung profesi,  kebanyakan guru jarang mengikuti forum ilmiah.

Saran yang perlu dikemukakan adalah bahwa upaya untuk terus-menerus meningkatkan minat, motivasi dan kemampuan guru dalam mengembangkan kompetensinya harus terus dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Upaya tersebut harus dibarengi dengan tersedianya peluang bagi guru untuk menunjukkan kinerjanya, misalnya kerjasama dengan media massa yang bisa menyediakan kolom khusus untuk pemuatan artikel-ertikel guru yang layak muat. Selain itu, setelah memperoleh sertifikat pendidik, seorang guru harus mengubah kultur, bekerja dalam sistem, dan terus-menerus meningkatkan kompetensinya.


Referensi

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Buku 2: Pedoman Sertifikasi Guru dalam Jabatan Melalui Portofolio. Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Buku 3: Panduan Penyusunan Portofolio. Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Buku 4: Pedoman Sertifikasi Guru dalam Jabatan Melalui Penilaian Portofolio untuk Guru. Jakarta: Depdiknas.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru dalam Jabatan.

Salinan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan.

Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

*Penulis adalah dosen Universitas Negeri Surabaya

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...