Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 27 Januari 2023

Nawawarsa UU Desa (3): Wilayah Perbatasan

Pagi ini, kami kembali menginjakkan kaki di Kupang, ibu kota Provinsi NTT. Sebagian dari kami langsung menuju Bandara Internasional El Tari, sebagian masih beristirahat sejenak karena penerbangan masih sore nanti, dan sebagian check in lagi di Hotel Aston, karena penerbangan masih besok pagi. Saya sendiri bersiap-siap melakukan perjalanan darat menuju Atambua.

Perjalanan ke Atambua sebenarnya sudah tidak termasuk rangkaian Peringatan Nawawarsa UU Desa. Itu hanya ide spontan saya saja yang sudah sejak lama ingin melihat wilayah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Berkali-kali ke Kupang, saya belum berhasil mencapai Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Tempat terjauh yang sudah saya capai baru sampai Timor Tengah Selatan (TTS), untuk meghadiri kegiatan pengembangan bumdes, bersama Kepala BPPMDDTT Denpasar dan Bupati TTS.

Ide spontan itu tidak lepas dari tawaran Kepala Dinas PMD Provinsi NTT, Bapak Viktor Manek. Saat international conference tempo hari, beliau menanyakan apakah saya sudah pernah mengunjungi perbatasan. Ketika saya jawab belum, beliau menawarkan diri untuk mengantar saya sekaligus mengunjungi para pendamping desa di Atambua. Tentu saja saya senang sekali. Tanpa pikir panjang, saya langsung meminta izin kepada Pak Sekjen, dan beliau mengizinkan. 

Sekitar pukul 13.00, kami berangkat. Ada tiga mobil, satu mobil Pak Kadis PMD dan stafnya, satu mobil Pak Kapus P3MD, Dr. Yusra, dan stafnya, dan satu mobil membawa saya bersama dua orang staf dan tentu saja, seorang driver. 

Selama sekitar enam jam kami melaju di jalan yang mulus, berkelok-kelok, naik turun. Hanya ada sedikit sekali beberapa bagian jalan yang rusak. Nawacita-nya Presiden Jokowi benar-benar kami rasakan wujudnya. Membangun dari pinggiran. Jalan-jalan di daerah 3T, terutama yang berbatasan dengan negara lain, adalah jalan-jalan yang mulus. Sebagaimana yang dikatakan Presiden Jokowi, wilayah perbatasan adalah berandanya NKRI, bukan halaman belakang. Sebagai sebuah beranda, maka infrastruktur dan pelayanan sudah seharusnya layak dan memadai, karena ini menyangkut harkat martabat bangsa sekaligus kewibawaan NKRI di mata dunia.


Kami tiba di sebuah hotel di Atambua saat matahari sudah tenggelam sempurna. Matahari Hotel, begitulah nama hotelnya, cukup memadai untuk kami beristirahat malam ini. Beberapa teman pendamping desa mengirimi kami nasi putih lengkap dengan ikan bakar, sambal dan lalapannya. Namun begitu saya melihat sate jeroan dan rasa sambalnya yang khas, saya langsung menebak, yang jual orang Lamongan. Dan ternyata benar. 

Orang Lamongan memang luar biasa. Di mana pun pergi, bahkan di pelosok-pelosok negeri pun, orang Lamongan ada. Mereka menjual soto lamongan, sego sambel atau penyetan, gorengan, dan lain-lain. Juga orang Jawa yang lain. Waktu di Rote kemarin, penjual bakso yang kami kunjungi berasal dari Sragen. Penjual jamu di Kupang, adalah orang Wonogiri. Saya pernah bertemu orang Lamongan yang jualan kue di Mamberamo Raya, Papua. Dan masih banyak lagi orang Jawa, termasuk orang Madura, yang bertebaran di mana pun di seantero Nusantara. Mereka eksis, kuat, dan bahkan bisa membuka lapangan kerja bagi banyak orang di sekitarnya, termasuk keluarga mereka di kampung asal.

Paginya, kami memulai kegiatan sekitar pukul 09.00, setelah menikmati sarapan dengan menu sederhana di restoran hotel, yang pelayannya perlu ditingkatkan keramahannya. Jalanan basah karena hujan baru saja reda. Gerimis kecil sempat menemani perjalanan kami menuju desa pertama yang kami singgahi. Namanya desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu. Ada puluhan pendamping desa, yang  biasa disebut tenaga pendamping profesional (TPP), yang sudah menunggu. Juga kepala desa dan perangkat desa. Ada juga belasan anak sekolah, yang di antara mereka menyajikan tarian khas, namanya tari likurai. Tarian ini konon merupakan tarian untuk menyambut pahlawan yang pulang dari perang dan membawa kemenangan. Setelah menari, salah satu dari anak sekolah membacakan kata sambutan dalam Bahasa Inggris yang sangat bagus dan natural. Oya, sebuah kain tenun khas Atambua diselempangkan di pundak saya oleh Ibu Kades. Ini adalah kain tenun Atambua pertama yang saya terima. Hari itu, dalam kunjungan-kunjungan selanjutnya, saya menerima empat kain tenun yang cantik-cantik, secantik alam NTT dan orang-orangnya.

Ada yang menarik di Desa Kabuna ini. Dari banyak prestasinya, salah satu prestasi yang mengesankan bagi saya adalah sebagai juara pertama perpustakaan umum desa se-Provinsi NTT. Mungkin fasilitas perpustakaan bisa jadi dimiliki oleh banyak desa yang lain, namun Kabuna mampu menggerakkan dan meningkatkan minat baca masyarakatnya. Kepala Desa Kabuna, Adrianus Yoseph Laka, menjelaskan bahwa Perpustakaan Desa Kabuna bersifat inklusif, dimana pengujung tidak hanya membaca namun dapat mengaskses internet sebagai sumber informasi tentang segala hal. Menurutnya, perpustakaan harus mampu mengubah perilaku masyarakat. Dia memasang internet untuk menarik minat masyarakat. Dia juga melibatkan pendamping perustakaan untuk mengklasifikasikan pengunjung sesuai dengan jenjang sekolahnya, mulai dari PAUD, SD, SMP dan SMA, serta kelompok orang tua. Koleksi perpustakaan disesuaikan dengan kebutuhan pengunjung. Ada kegiatan pemberian tugas bagi mereka serta permainan-permainan, dan kemudian mereka diberikan waktu mengakses internet untuk menyelesaikan tugas-tugas. Tentu tugas-tugas yang diberikan adalah tugas-tugas yang bermakna dan bersifat kontekstual, terkait dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami juga menemukan salah satu makanan khas, yang sebenarnya berasal dari Timor Leste, yaitu roti paung. Roti yang berbentuk bun kecil ini teksturnya keras, mengingatkan saya pada roti perancis. Saya sendiri menyukai roti bertekstur keras, sehingga roti paung ini cocok di mulut saya. Menurut penuturan Pak Kadis PMD dan Bu Kades, yang kebetulan adalah dosen di Universitas Timor Atambua, roti ini memang asli dari Timor Leste. Di Atambua, yang membuat roti ini adalah orang-orang asli Timor Leste yang eksodus pada saat jajak pendapat dulu. Sebagai koloni Portugis, roti ini sangat mungkin peninggalan negara tersebut.

Selesai kegiatan di Desa Kabuna, kami menuju  Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain, yang merupakan perbatasan Indonesia-Timor Leste. Nah, akhirnya, cita-cita terpendam saya terwujud. Yaitu menjejakkan satu kaki di wilayah NKRI dan satu kaki di wilayah Timor Leste. Seperti yang pernah saya lakukan di Sebatik, satu kaki di NKRI dan satu kaki di Malaysia. Panas matahari yang sangat menyengat tak membuat surut langkah kaki untuk sedikit memasuki wilayah Timor Leste. Hanya beberapa meter saja dari pintu masuk perbatasan, karena tanpa passport, tentu saja kita tidak diizinkan untuk meneruskan langkah. Dan memang tujuan hari ini tidak untuk mengunjungi Timor Leste, namun untuk melihat seperti apa wilayah perbatasan ini.

Kami juga bertemu dengan orang-orang Timor Leste yang sedang memasuki wilayah Indonesia yang akan mengunjungi keluarganya di Atambua. Kami juga melihat sejumlah orang yang memberikan jasa penukaran uang rupiah dengan Dollar AS atau sebaliknya. Ya, sejak berpisah dengan Indonesia, mata uang resmi Timor Leste adalah Dollar AS. Berbagai pertimbangan terkait pemilihan mata uang ini tentu termasuk karena mata uang ini dianggap kuat dan stabil dan diterima di seluruh dunia. Meskipun begitu, berbagai mata uang yang lain juga beredar di Timor Leste, termasuk rupiah, bath (Thailand), escudo (Portugis), dan dollar Australia.

Kami berlama-lama di wilayah perbatasan, dan sempat menunaikan shalat dhuhur di mushalla kantor keimigrasian. Kami juga menyempatkan mengobrol dengan para penjaga yang kabanyakan masih muda dan ramah. Harapan pemerintah bahwa wajah wilayah perbatasan tidak hanya layak dan indah, namun juga layanan yang ramah dan prima, sepertinya terwujud di sini.

PLBN Terpadu Motaain merupakan salah satu dari 18 pos lintas batas negara yang dimiliki oleh Indonesia dan yang pertama kali diresmikan diantara lima PLBN lainnya yang berada di Provinsi NTT. Saya sendiri beberapa kali mengunjungi wilayah perbatasan, namun PLBN di Atambua ini merupakan PLBN kedua yang saya kunjungi. PLBN pertama yang saya kunjungi adalah PLBN di perbatasan NKRI dan Papua Nugini, di Skouw, Papua. PLBN selain melayani bidang keimigrasian, kepabeanan, karantina, keamanan, dan administrasi pengelolaan, juga menjadi sistem utama yang melayani aktivitas masyarakat perbatasan, khususnya yang berhubungan dengan lintas batas.

Dari Motaain, kami melanjutkan perjalanan lagi. Tentu saja menuju ke arah Kupang, namun kami masih singgah dulu di desa Naiola, Kecamatan Noemuti, Kabupaten Timor Timur Utara (TTU). Puluhan pendamping desa juga sudah menunggu di sana, meskipun hari sudah mulai sore. Kami berdialog tentang berbagai isu terkait dengan peningkatan kinerja TPP. Kami juga memberikan motivasi pada TPP untuk bekerja sebaik mungkin sebagai bentuk pengabdian dan kepedulian kita pada pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

Senja mulai jatuh dan kami pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju Kupang. Gerimis kecil menemani perjalanan kami membelah TTS menuju Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, dalam balutan gelapnya malam. Kami mencapai Hotel Aston hampir tengah malam. Tubuh lelah, namun semangat tetap terjaga. Dini hari besok, kami harus sudah bergerak dari hotel menuju Bandara El Tari, dan terbang Kembali menuju Jakarta. 


Kupang, 16 Januari 2023

Kamis, 26 Januari 2023

Nawawarsa UU Desa (2): Rote Ndao, Sang Penjaga Kedaulatan NKRI

Sabtu pagi, sekitar pukul 08.00-10.00, kami berlayar menuju Rote dengan menumpang kapal cepat. Menteri desa dan ibu, wamen dan ibu, sekjen, semua pejabat eselon 1 dan 2, tim protokol, ajudan, dan pendamping, memenuhi kapal. Cuaca cerah, air laut tenang, hanya sesekali ada gelombang yang menggoyangkan kapal, mengayun-ayun, dan membuat kebanyakan kami tertidur pulas.

Saya duduk menatap keluar ke arah laut yang tak nampak lagi garis pantainya. Pikiran saya melayang pada hampir semua pengalaman melaut yang pernah saya alami. Saya pernah menaiki kapal cepat semacam ini dari Sorong menuju Raja Ampat. Waktu tempuhnya juga hampir sama, sekitar dua jam. Pernah menumpang Pangrango selama delapan-sembilan jam dari Saumlaki ke Pulau Babar, Maluku Barat Daya (MBD). Kembali dari Pulau Babar menuju Ambon, saya menumpang Feri Marseila selama sekitar sembilan belas jam. Terombang-ambing di atas Laut Banda yang airnya hitam kelam dengan ombak yang bergulung-gulung. 

Saya pernah juga menumpang speedboat dari Sarmi menuju Kasonaweja, Mamberamo Raya, Papua, selama tujuh jam mengarungi Sungai Mamberamo. Tujuh jam berada di atas speedboat yang lajunya menghentak-hentak keras, yang sesekali harus bermanuver untuk menghindari kayu-kayu besar yang merintangi. Pengalaman lain menaiki speedboat adalah saat mengarungi Pulau Banyak di Aceh Singkil, dan speedboat kami yang dikemudikan oleh Polisi Perairan (Polair) harus tiba-tiba berhenti di tengah laut karena ombak dan angin menghantam dari segala arah.

Namun dari semua pengalaman saya membelah lautan, berperahu nelayan dari Katundu menuju Pulau Salura, Sumba Timur, adalah pengalaman paling mendebarkan. Bagaimana tidak. Dengan perahu kecil, kami melaut di laut lepas. Tanpa pelampung. Dengan ombak yang bergulung-gulung dan kondisi hujan. Saking kecilnya perahu, setiap kali ombak menerjang, air laut masuk ke badan perahu dan kami harus mengeluarkannya dengan timba plastik. Sudah begitu, perahu sempat terhenti karena kehabisan bahan bakar, dan di mana bahan bakar disimpan, kami masih mencari-cari. Lantas saat menjelang merapat ke pantai, ombak besar menghadang sehingga perahu harus agak memutar untuk menepi dengan lebih aman. 

Sungguh semua itu menjadi pengalaman yang mungkin tak akan terlupa sepanjang hidup saya. Semua kisah tersebut saya tuangkan dalam website pribadi saya, www.luthfiyah.com.

Kapal cepat menuju Rote yang kami tumpangi saat ini bagai ayunan bayi yang meninabobokan. Tak heran kalau sebagian besar dari kami memilih tidur, memanfaatkan waktu karena lelah sebenarnya mulai menyapa. Sejak perjalanan Surabaya-Kupang dan berlanjut dua hari penuh mengikuti raker serta seharian mengikuti international conference, membuat kami seperti kurang istirahat. Maka tidur di kapal yang bergoyang-goyang kecil adalah kesempatan yang tak boleh terlewatkan. Bahkan terdengar dengkuran-dengkuran para penumpang yang kelelahan, bersaing dengan deburan ombak dan deru mesin kapal.

Menjelang kapal mencapai pantai, serombongan perahu nelayan menyambut kami. Perahu-perahu itu penuh dengan hiasan warna-warni. Pak Menteri dan kami semua melambai-lambai pada para pengemudi dan penumpang perahu-perahu kecil itu yang juga tengah melambai-lambai sambal memamerkan senyum ramahnya. 

Salah satu perahu yang paling kecil mengingatkan saya pada Salura, sebuah wilayah perbatasan antara Indonesia dan Australia. Perahu nelayan yang menggunakan motor, dengan suara mesin yang meraung-raung, serta asap hitam keluar dari cerobong kecilnya dan yang membuat hidung terasa berjelaga. Seperti itulah perahu yang saya gunakan untuk mengarungi Samudra Hindia menuju Salura beberapa tahun yang lalu.

Rote, pulau paling selatan ini, yang sangat panas, menyambut kami dengan segala keramahannya. Namun belum ada waktu untuk menikmati keindahan pantainya atau sekadar beramah-tamah dengan orang-orangnya, karena kami para pejabat eselon 1 harus mendampingi Menteri dan Wakil Menteri menuju titik nol kilometer selatan Indonesia. Jarak tempuh hanya sekitar satu jam, namun sekitar sepertiga jalan yang kami tempuh adalah jalan berbatu-batu, naik turun dan berkelok-kelok, membuat perjalanan seolah lebih lama. Meski tak bisa dipungkiri, betapa pemandangan selama perjalanan begitu menakjubkan. Ditambah lagi dengan pasukan pawai kuda berhias yang mengiringi rombongan saat memulai perjalanan, sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengesankan. Pasukan berkuda itu mengenakan pakaian khas lengkap dengan ti’i langga, topi lebar khas Rote. 

Dan selalu, saya selalu merasa tergugah setiap kali berada di wilayah-wilayah perbatasan semacam ini. Berbagai macam perasaan berkecamuk, namun kecintaan pada negerilah yang menyeruak sangat kuat. Mata saya kabur saat menatap Sang Merah Putih berkibar-kibar di atas bukit karang, diantara bentangan laut dan pantai yang luar biasa indah. Keharuan dan kebanggan bercampur-aduk. Panas matahari yang sangat menyengat tak menyurutkan langkah kami untuk menaiki bukit dan mendekat. Menteri, Wakil Menteri, Pejabat Pemprov NTT, Pejabat Pemkab Rote, para pendamping desa, dan masyarakat setempat, memadati bukit berbatu-batu itu. Di tempat ini, Menteri Desa sempat membagikan buku untuk para siswa. Menteri Desa juga mendapatkan gelar adat, dan dalam prosesi pemberian gelar tersebut, Menteri Desa dan Wakil Menteri sempat berdialog dengan  kepala-kepala desa.

Setelah puas bercengkerama dengan titik nol, kami kembali berkendara. Kami menuju Kantor Bupati Rote Ndao, dan menikmati jamuan makan siang yang lezat. Dari semua hidangan yang disajikan, jagung bose merupakan hidangan yang sangat khas. Hidangan yang bahan pokoknya dari jagung dan kacang-kacangan serta dicampur dengan santan ini mempunyai rasa yang relatif netral, dan lazim digunakan sebagai makanan pokok. 

Sehari itu agenda padat sekali, berakhir sampai sekitar pukul 22.30. Pesta Rakyat yang digelar di Pelabuihan Ba’a dengan berbagai hiburan, termasuk penampilan Marion Jola, penyayi asli NTT, benar-benar menyedot ratusan atau bahkan ribuan masyarakat Rote Ndao dan sekitarnya. Pidato Peringatan 9 Tahun UU Desa yang disampaikan oleh Menteri Desa juga sangat menarik, karena dibawakan dalam bentuk monolog, dan dilengkapi dengan tayangan video dengan layar yang sangat lebar dan atraktif. Menarik dan mencerahkan. Pada saat-saat tertentu, kami yang duduk di kursi undangan, turun dan menuju panggung untuk menyanyi dan menari bersama. Kami semua mengenakan busana adat Rote, sehingga sangat menyatu dengan masyarakat dan alam Rote. Kegembiraan kami semua sangat terasa pada malam yang kebetulan juga sangat cerah itu.

Meski agenda sangat padat, saya sempat bertemu dengan beberapa guru yang merupakan alumni SM3T dan PPG Unesa, yang sudah sekitar delapan tahun bertugas di Rote Ndao. Mereka adalah anak-anak muda yang luar biasa, yang menjadi guru melalui rekrutmen guru garis depan, dan memilih Rote sebagai tempat pengabdian mereka. Tentu saja mereka semua sudah berkeluarga, sebagian besar sudah memiliki anak, sudah memiliki rumah, dan bahkan sudah ber-KTP Rote Ndao. 

Kami mengakhiri malam itu dengan semangkuk bakso yang kami nikmati di pusat jajanan yang berlokasi di seberang hotel New Ricky, hotel tempat kami menginap. Bersama seorang guru yang saya pernah mengajarnya saat dia menempuh PLPG, dan mengingat saya karena saya pernah memberinya sebuah buku hasil tulisan saya sendiri. Rote Ndao tetap saja terasa hangat meski malam sudah semakin larut, namun selepas tengah malam, hujan turun meski hanya sebentar. Setidaknya ada kesejukan yang mengantar istirahat kami malam ini. Besok pagi, kami akan kembali mengarungi lautan menumpang kapal cepat menuju Kupang, meninggalkan Pulau Rote, Sang Penjaga Kedaulatan di Gerbang Selatan Indonesia.


Rote Ndao, 14 Januari 2023

Kamis, 19 Januari 2023

Nawawarsa UU Desa (1)

Setiap tahun, Kementerian Desa PDTT memperingati hari kelahiran UU Desa yang jatuh pada tanggal 14 Januari. Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan momentum penting perubahan paradigma dan pendekatan baru dalam pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

 

Bila pada tahun sebelumnya peringatan UU Desa diselenggarakan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat serta di Desa Cipta Gelar yang merupakan desa adat, maka tahun ini, peringatan UU Desa diselenggarakan di NTT, dengan mengambil tema desa perbatasan. Rangkaian kegiatan meliputi rapat kerja kementerian Desa PDTT, international conference on Sustainable Rural Development in Border Areas, dan pesta rakyat di Kabupaten Rote. Beberapa keynote speaker dari dalam dan luar negeri diundang pada international conference yang dilaksanakan secara luring dan daring, untuk mendiskusikan berbagai isu penting daerah perbatasan

 

Kegiatan rapat kerja kementerian desa PDTT dihadiri oleh Menteri Desa, Wamen, Sekjen, dan semua pejabat eselon 1 dan eselon 2.  Semua pejabat eselon 1 dan eselon 2 harus memaparkan hasil evaluasi program dan anggaran 2022, serta rencana program dan anggaran termasuk program unggulan tahun anggaran 2023. Raker dibuka oleh Menteri Desa PDTT, Dr. (Hc) Abdul Halim Iskandar, M.Pd. Pemandu raker adalah Sekjen Kemendesa PDTT, Taufiq Majid, S.Sos, M.Si. Menteri dan wakil menteri desa PDTT, Budi Arie Setiadi, serta semua peserta raker memberikan pendalaman setelah pemaparan setiap unit kerja.

 

Raker diselenggarakan di Ballroom Hotel Aston, Kupang. Hotel Aston sebenarnya biasa saja, namun view laut dan pantai adalah daya tarik yang eksotisnya tak terbantahkan. Meski di sana-sini masih ada hal yang mengganggu. Sampah yang bertebaran, tempat-tempat jualan yang kurang bersih. Namun itu semua terkalahkan dengan jejeran beragam ikan laut yang tersedia di pantai seberang hotel. Ikan-ikan yang segar dan siap disantap dengan berbagai olahan yang lezat.

 

Raker berjalan lancar. Kebetulan saya sebagai kepala BPSDM kebagian tampil pertama. Setelah saya, dilanjut dengan para pejabat eselon 2 di lingkungan BPSDM, dimulai dari sekretaris badan, kepala pusat pengembangan pemberdayaan masyarakat desa, kepala pusat pelatihan SDM, kepala pusat pelatihan pegawai ASN, dan kepala pusat Pembinaan Jabatan Fungsional. Diteruskan dengan pendalaman, yang secara bergantian disampaikan oleh staf ahli, para dirjen dan kepala badan, juga irjen dan kesekjenan. Terakhir adalah tanggapan dan arahan wakil menteri serta menteri.

 

Karena di Kementerian Desa PDTT ada 8 unit eselon 1 dan puluhan unit eselon 2, maka waktu raker selama dua hari terasa sangat padat. Raker dimulai pukul 08.00 dan berakhir pukul 22.00, waktu istirahat hanya untuk ishoma. Namun karena kami relatif fokus dalam mendengarkan setiap presentasi dan terlibat aktif dalam diskusi, waktu berjalan seperti begitu cepat. Untuk mensiasati kelelahan karena kebanyakan duduk, di saat-saat tertentu kami menyelinginya dengan berjalan sebentar, bergerak, menekuk-nekuk badan. Untuk sebagian bapak, sesekali keluar ruangan sebentar untuk merokok.

 

Pada kegiatan tersebut, kami semua pejabat eselon 1 juga harus menandatangani perjanjian kinerja dan pakta integritas bersama menteri, yang disaksikan oleh wamen.

 

Semoga Allah memberikan kemudahan dan kelancaran pada kami semua untuk berkhidmat. Semoga Allah meridhai.

 

Amiin.