Pagi ini, kami kembali menginjakkan kaki di Kupang, ibu kota Provinsi NTT. Sebagian dari kami langsung menuju Bandara Internasional El Tari, sebagian masih beristirahat sejenak karena penerbangan masih sore nanti, dan sebagian check in lagi di Hotel Aston, karena penerbangan masih besok pagi. Saya sendiri bersiap-siap melakukan perjalanan darat menuju Atambua.
Perjalanan ke Atambua sebenarnya sudah tidak termasuk rangkaian Peringatan Nawawarsa UU Desa. Itu hanya ide spontan saya saja yang sudah sejak lama ingin melihat wilayah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Berkali-kali ke Kupang, saya belum berhasil mencapai Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Tempat terjauh yang sudah saya capai baru sampai Timor Tengah Selatan (TTS), untuk meghadiri kegiatan pengembangan bumdes, bersama Kepala BPPMDDTT Denpasar dan Bupati TTS.
Ide spontan itu tidak lepas dari tawaran Kepala Dinas PMD Provinsi NTT, Bapak Viktor Manek. Saat international conference tempo hari, beliau menanyakan apakah saya sudah pernah mengunjungi perbatasan. Ketika saya jawab belum, beliau menawarkan diri untuk mengantar saya sekaligus mengunjungi para pendamping desa di Atambua. Tentu saja saya senang sekali. Tanpa pikir panjang, saya langsung meminta izin kepada Pak Sekjen, dan beliau mengizinkan.
Sekitar pukul 13.00, kami berangkat. Ada tiga mobil, satu mobil Pak Kadis PMD dan stafnya, satu mobil Pak Kapus P3MD, Dr. Yusra, dan stafnya, dan satu mobil membawa saya bersama dua orang staf dan tentu saja, seorang driver.
Selama sekitar enam jam kami melaju di jalan yang mulus, berkelok-kelok, naik turun. Hanya ada sedikit sekali beberapa bagian jalan yang rusak. Nawacita-nya Presiden Jokowi benar-benar kami rasakan wujudnya. Membangun dari pinggiran. Jalan-jalan di daerah 3T, terutama yang berbatasan dengan negara lain, adalah jalan-jalan yang mulus. Sebagaimana yang dikatakan Presiden Jokowi, wilayah perbatasan adalah berandanya NKRI, bukan halaman belakang. Sebagai sebuah beranda, maka infrastruktur dan pelayanan sudah seharusnya layak dan memadai, karena ini menyangkut harkat martabat bangsa sekaligus kewibawaan NKRI di mata dunia.
Kami tiba di sebuah hotel di Atambua saat matahari sudah tenggelam sempurna. Matahari Hotel, begitulah nama hotelnya, cukup memadai untuk kami beristirahat malam ini. Beberapa teman pendamping desa mengirimi kami nasi putih lengkap dengan ikan bakar, sambal dan lalapannya. Namun begitu saya melihat sate jeroan dan rasa sambalnya yang khas, saya langsung menebak, yang jual orang Lamongan. Dan ternyata benar.
Orang Lamongan memang luar biasa. Di mana pun pergi, bahkan di pelosok-pelosok negeri pun, orang Lamongan ada. Mereka menjual soto lamongan, sego sambel atau penyetan, gorengan, dan lain-lain. Juga orang Jawa yang lain. Waktu di Rote kemarin, penjual bakso yang kami kunjungi berasal dari Sragen. Penjual jamu di Kupang, adalah orang Wonogiri. Saya pernah bertemu orang Lamongan yang jualan kue di Mamberamo Raya, Papua. Dan masih banyak lagi orang Jawa, termasuk orang Madura, yang bertebaran di mana pun di seantero Nusantara. Mereka eksis, kuat, dan bahkan bisa membuka lapangan kerja bagi banyak orang di sekitarnya, termasuk keluarga mereka di kampung asal.
Paginya, kami memulai kegiatan sekitar pukul 09.00, setelah menikmati sarapan dengan menu sederhana di restoran hotel, yang pelayannya perlu ditingkatkan keramahannya. Jalanan basah karena hujan baru saja reda. Gerimis kecil sempat menemani perjalanan kami menuju desa pertama yang kami singgahi. Namanya desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu. Ada puluhan pendamping desa, yang biasa disebut tenaga pendamping profesional (TPP), yang sudah menunggu. Juga kepala desa dan perangkat desa. Ada juga belasan anak sekolah, yang di antara mereka menyajikan tarian khas, namanya tari likurai. Tarian ini konon merupakan tarian untuk menyambut pahlawan yang pulang dari perang dan membawa kemenangan. Setelah menari, salah satu dari anak sekolah membacakan kata sambutan dalam Bahasa Inggris yang sangat bagus dan natural. Oya, sebuah kain tenun khas Atambua diselempangkan di pundak saya oleh Ibu Kades. Ini adalah kain tenun Atambua pertama yang saya terima. Hari itu, dalam kunjungan-kunjungan selanjutnya, saya menerima empat kain tenun yang cantik-cantik, secantik alam NTT dan orang-orangnya.
Ada yang menarik di Desa Kabuna ini. Dari banyak prestasinya, salah satu prestasi yang mengesankan bagi saya adalah sebagai juara pertama perpustakaan umum desa se-Provinsi NTT. Mungkin fasilitas perpustakaan bisa jadi dimiliki oleh banyak desa yang lain, namun Kabuna mampu menggerakkan dan meningkatkan minat baca masyarakatnya. Kepala Desa Kabuna, Adrianus Yoseph Laka, menjelaskan bahwa Perpustakaan Desa Kabuna bersifat inklusif, dimana pengujung tidak hanya membaca namun dapat mengaskses internet sebagai sumber informasi tentang segala hal. Menurutnya, perpustakaan harus mampu mengubah perilaku masyarakat. Dia memasang internet untuk menarik minat masyarakat. Dia juga melibatkan pendamping perustakaan untuk mengklasifikasikan pengunjung sesuai dengan jenjang sekolahnya, mulai dari PAUD, SD, SMP dan SMA, serta kelompok orang tua. Koleksi perpustakaan disesuaikan dengan kebutuhan pengunjung. Ada kegiatan pemberian tugas bagi mereka serta permainan-permainan, dan kemudian mereka diberikan waktu mengakses internet untuk menyelesaikan tugas-tugas. Tentu tugas-tugas yang diberikan adalah tugas-tugas yang bermakna dan bersifat kontekstual, terkait dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Kami juga menemukan salah satu makanan khas, yang sebenarnya berasal dari Timor Leste, yaitu roti paung. Roti yang berbentuk bun kecil ini teksturnya keras, mengingatkan saya pada roti perancis. Saya sendiri menyukai roti bertekstur keras, sehingga roti paung ini cocok di mulut saya. Menurut penuturan Pak Kadis PMD dan Bu Kades, yang kebetulan adalah dosen di Universitas Timor Atambua, roti ini memang asli dari Timor Leste. Di Atambua, yang membuat roti ini adalah orang-orang asli Timor Leste yang eksodus pada saat jajak pendapat dulu. Sebagai koloni Portugis, roti ini sangat mungkin peninggalan negara tersebut.
Selesai kegiatan di Desa Kabuna, kami menuju Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain, yang merupakan perbatasan Indonesia-Timor Leste. Nah, akhirnya, cita-cita terpendam saya terwujud. Yaitu menjejakkan satu kaki di wilayah NKRI dan satu kaki di wilayah Timor Leste. Seperti yang pernah saya lakukan di Sebatik, satu kaki di NKRI dan satu kaki di Malaysia. Panas matahari yang sangat menyengat tak membuat surut langkah kaki untuk sedikit memasuki wilayah Timor Leste. Hanya beberapa meter saja dari pintu masuk perbatasan, karena tanpa passport, tentu saja kita tidak diizinkan untuk meneruskan langkah. Dan memang tujuan hari ini tidak untuk mengunjungi Timor Leste, namun untuk melihat seperti apa wilayah perbatasan ini.
Kami juga bertemu dengan orang-orang Timor Leste yang sedang memasuki wilayah Indonesia yang akan mengunjungi keluarganya di Atambua. Kami juga melihat sejumlah orang yang memberikan jasa penukaran uang rupiah dengan Dollar AS atau sebaliknya. Ya, sejak berpisah dengan Indonesia, mata uang resmi Timor Leste adalah Dollar AS. Berbagai pertimbangan terkait pemilihan mata uang ini tentu termasuk karena mata uang ini dianggap kuat dan stabil dan diterima di seluruh dunia. Meskipun begitu, berbagai mata uang yang lain juga beredar di Timor Leste, termasuk rupiah, bath (Thailand), escudo (Portugis), dan dollar Australia.
Kami berlama-lama di wilayah perbatasan, dan sempat menunaikan shalat dhuhur di mushalla kantor keimigrasian. Kami juga menyempatkan mengobrol dengan para penjaga yang kabanyakan masih muda dan ramah. Harapan pemerintah bahwa wajah wilayah perbatasan tidak hanya layak dan indah, namun juga layanan yang ramah dan prima, sepertinya terwujud di sini.
PLBN Terpadu Motaain merupakan salah satu dari 18 pos lintas batas negara yang dimiliki oleh Indonesia dan yang pertama kali diresmikan diantara lima PLBN lainnya yang berada di Provinsi NTT. Saya sendiri beberapa kali mengunjungi wilayah perbatasan, namun PLBN di Atambua ini merupakan PLBN kedua yang saya kunjungi. PLBN pertama yang saya kunjungi adalah PLBN di perbatasan NKRI dan Papua Nugini, di Skouw, Papua. PLBN selain melayani bidang keimigrasian, kepabeanan, karantina, keamanan, dan administrasi pengelolaan, juga menjadi sistem utama yang melayani aktivitas masyarakat perbatasan, khususnya yang berhubungan dengan lintas batas.
Dari Motaain, kami melanjutkan perjalanan lagi. Tentu saja menuju ke arah Kupang, namun kami masih singgah dulu di desa Naiola, Kecamatan Noemuti, Kabupaten Timor Timur Utara (TTU). Puluhan pendamping desa juga sudah menunggu di sana, meskipun hari sudah mulai sore. Kami berdialog tentang berbagai isu terkait dengan peningkatan kinerja TPP. Kami juga memberikan motivasi pada TPP untuk bekerja sebaik mungkin sebagai bentuk pengabdian dan kepedulian kita pada pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
Senja mulai jatuh dan kami pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju Kupang. Gerimis kecil menemani perjalanan kami membelah TTS menuju Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, dalam balutan gelapnya malam. Kami mencapai Hotel Aston hampir tengah malam. Tubuh lelah, namun semangat tetap terjaga. Dini hari besok, kami harus sudah bergerak dari hotel menuju Bandara El Tari, dan terbang Kembali menuju Jakarta.
Kupang, 16 Januari 2023