Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label SM-3T. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SM-3T. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Februari 2017

Pembukaan PPA PPG SM-3T Angkatan V

Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Univesitas Negeri Surabaya angkatan V mulai diselenggarakan untuk tahun Ajaran 2017-2018. Sebanyak 187 mahasiswa telah melakukan registrasi online pada tanggal 4-6 Februari 2017, dan telah seluruhnya melakukan lapor diri pada 7-8 Februari 2017. Selanjutnya para mahasiswa tersebut langsung masuk asrama Rusunawa untuk mahasiswa putri, dan asrama PGSD untuk mahasiswa putra. Mereka akan menghuni asrama selama mengikuti program SM-3T sampai Desember 2017 nanti. 

Mahasiswa PPG sampai angkatan V ini adalah mereka yang sudah melaksanakan tugas pengabdiannya setahun di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) dalam program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah 3T). Oleh sebab itu, Program PPG ini dinamakan PPG SM-3T, karena pesertanya adalah para alumni SM-3T.

Senin, 13 Februari 2017, di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung LP3M Lantai 9, dilaksanakan Pembukaan Program Pengenalan Akademik (PPA). Acara pembukaan dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Akademik, Dr. Yuni Sri Rahayu, M.Si, beserta Sekretaris LP3M, Dr. Suryanti, M.Pd. Ketua dan Sekretaris Pusat PPG, yaitu Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd dan Dr. Elok Sudibyo, M.Pd, tentu saja juga hadir, bersama dengan para ketua program studi penyelenggara PPG.

PPA diselenggarakan selama 3 hari, dimulai dengan kuliah umum dengan tema "Neuroscience in Education", disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Akademik. Kemudian dilanjutkan dengan materi akademik dan pemahaman seputar tatakelola bidang pendidikan. Gambaran Umum PPG, Sistem Pembelajaran, Sistem Penilaian, Pendidikan Bela Negara, adalah beberapa materi di antaranya. Juga pengenalan lingkungan kampus dan mekanisme pemanfaatannya.

Program PPG SM-3T angkatan V ini terdiri dari sepuluh program studi. Program studi beserta jumlah mahasiswanya adalah: Pendidikan Matematika (33), Pendidikan IPA (13), Pendidikan Fisika (13), PGSD (30), Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (17), Pendidikan Kewarganegaraan (15), Pendidikan Geografi (16), Pendidikan Sejarah (13), Pendidikan Bahasa Indonesia (13), dan Pendidikan Bahasa Inggris (20). Mereka tidak hanya berasal dari Unesa saja, namun juga dari berbagai perguruan tinggi yang lain, seperti Universitas Tanjungpura (Untan), Universitas Nusa Cendana (Undana), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Surabaya (UNY), Universitas Negeri Semarang (Unnes), dan beberapa universitas yang lain. 

Workshop akan dilaksanakan mulai tanggal 20 Februari 2017, dengan pola nonblok. Keputusan untuk menyelenggarakan PPG dengan pola nonblok didasarkan pada pengalaman empiris selama ini. Sejak awal penyelenggaraan PPG SM-3T tahun 2013, PPG dilaksanakan dengan pola blok, yaitu satu semester penuh di kampus untuk workshop, dan satu semester penuh di sekolah untuk PPL. Pola tersebut menyebabkan kejenuhan baik pada mahasiswa maupun dosen, karena mahasiswa berkutat dengan penyusunan RPP terus-menerus dan dosen juga harus terus-menerus membimbing. Kejenuhan tersebut menyebabkan kinerja mahasiswa dan dosen tidak optimal. 

Pada angkatan V ini, pola nonblok dicoba diterapkan untuk mengantisipasi kelemahan pola blok. Pola ini mengatur kegiatan mahasiswa di kampus dan di sekolah secara berseling, separo semester pertama di kampus, dilanjutkan dengan separo berikutnya di sekolah, begitu juga pada semester keduanya. Berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan PPG, pola nonblok memang dimungkinkan.

PPG SM-3T tahun ini diselenggarakan di 23 perguruan tinggi. Sekitar 3000 mahasiswa tersebar di Universitas Bengkulu, Unmul, UNJ, UNM, Unima, Unimed, UNP, Unnes, Unesa, UNY, Undana, Undiksha, UPI, Unri, UNS, Unsyiah, Untan, Universitas Islam Nusantara, Unmuh Malang, Universitas PGRI Semarang, dan USD Yogyakarta.

Surabaya, 13 Februari 2016

Minggu, 29 Januari 2017

Kabupaten Seluma dan Darurat Guru

Kabupaten Seluma merupakan salah satu kabupaten tertinggal dari 122 kabupaten tertinggal di seluruh Indonesia, dan satu-satunya kabupaten tertinggal di Provinsi Bengkulu. Seluma tidak terlalu jauh dari ibukota Bengkulu, hanya memerlukan waktu sekitar satu jam perjalanan darat.

Pada 26-29 Oktober yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi Seluma. Saya terbang dari Surabaya menumpang Garuda dan tiba di Bandara Fatmawati, Bengkulu, pada sekitar pukul 21.00. Faisal Dongoran, M.Pd, dosen dari Universitas Negeri Medan (Unimed) ternyata telah menunggu saya di pintu keluar. Pak Faisal dan saya ditugaskan oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev) Program Sarjana mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) di Kabupaten Seluma. Pak Faisal yang berangkat dari Medan ternyata tiba hampir bersamaan dengan saya yang berangkat dari Surabaya, sehingga kami bisa bersama-sama menuju hotel tempat kami menginap selama tiga hari ke depan.

Dari bandara, kami menumpang taksi menuju penginapan. Sampai di penginapan, kami memesan makanan lewat room service. Di teras, sambil menikmati nasi goreng dan buah potong serta teh manis, kami berkomunikasi dengan Muhammad Yusuf, koordinator peserta SM-3T Kabupaten Seluma, untuk perjalanan monev kami besok. 

Tidak seperti kegiatan monev yang seringkali saya lakukan, monev kali ini tidak saya pastikan dulu segala sesuatunya, menyangkut hotel, tansportasi, dan juga sekolah-sekolah yang akan kami kunjungi. Saya mengandalkan Pak Faisal untuk memastikan itu semua, karena yang akan kami kunjungi ini adalah peserta Program SM-3T dari Unimed, LPTK tempat tugas Pak Faisal. Namun ternyata Pak Faisal juga belum melakukan koordinasi apa pun kecuali dengan Yusuf, itu pun juga belum serba jelas. Hotel saja kami dapatkan malam ini setelah mencoba di satu hotel dan hotel lain dipandu supir taksi. Benar-benar monev 'ala koboi'.

Malam ini kami meminta tolong resepsionis hotel untuk mencarikan mobil sewa yang akan mengantarkan kami mengujungi Kabupaten Seluma besok pagi. Yusuf juga saya hubungi untuk memastikan teman-temannya bisa berkumpul di Tais, ibukota Seluma, agar kami bisa melakukan dialog terkait program dan progres program. Juga, tentu saja untuk memastikan 65 peserta itu semua dalam keadaan baik-baik saja. 

Saya juga mencoba menelepon Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Seluma. Tidak berhasil. Tidak ada tanda-tanda kehidupan pada telepon selulernya. 

Paginya, sekitar pukul 07.00, saya dan Pak Faisal memulai perjalanan ke Seluma. Menumpang mobil dengan supir bernama Niko, anak muda yang baru dua tahun lalu lulus dari prodi Teknik Informatika di sebuah universitas swasta di Bengkulu.

Sekitar satu setengah jam kami menempuh perjalanan dari Bengkulu menuju Tais, ibukota Kabupaten Seluma. Sedikit lebih lama dari waktu normal, karena hari masih terlalu pagi untuk datang ke Kantor Diknas. Selain itu, hari itu tanggal 28 Oktober, semua kantor pemerintahan dan sekolah melaksanakan upacara hari Sumpah Pemuda. Kalau kami terlalu pagi tiba di kantor diknas, kami hanya akan menunggu di mobil. Oleh sebab itu, kami menikmati perjalanan dengan agak rileks sambil melihat-lihat jalanan yang kami lewati.

Dalam pengamatan saya, tidak ada yang istimewa dari perjalanan Bengkulu-Seluma. Jalan berbelok-belok tapi relatif datar. Kebun kelapa sawit, hutan dan pepohonan ada di sepanjang jalan. Tidak terlalu lebat. Meski kami menyusuri jalan provinsi, lalu lintas tidak terlalu padat. Saya sudah berkali-kali mengalami perjalanan dengan medan yang sulitnya mungkin sepuluh dua puluh lipat dari yang saya alami saat ini, sehingga bagi saya, Seluma adalah kabupaten yang 'tidak ekstrim'.    

Setiap kali mendekati keramaian, misalnya pasar atau pertokoan, banyak nama makanan Jawa saya temukan di warung-warung tenda, seperti bakso solo, bakso yogya, ketoprak, sate madura, lotek, mie ayam, batagor, dan lain-lain. Nampaknya Bengkulu dipenuhi oleh orang Jawa. Pada awalnya mereka adalah para transmigran, lalu beranak-pinak di Bengkulu dan sekitarnya, dan tinggal di wilayah-wilayah transmigrasi. Pada umumnya mereka berdagang, menjadi pegawai atau karyawan, dan bertani. 

Kami sampai di Tais, ibukota Kabupaten Seluma. Menemui kepala dinas pendidikan yang tidak terlalu perhatian pada kami dan kegiatan monev SM-3T ini, karena ada urusan lain yang lebih mendesak. Saya sendiri tidak terlalu terganggu dengan sikapnya. Pak Mariono, Kabid Dikmen, menemani kami dan juga mendampingi pada acara pertemuan dengan para peserta SM-3T. 

Namun dalam pertemuan singkat dengan kepala dinas tersebut, saya sempat menangkap satu hal penting. Betapa berartinya kehadiran guru SM-3T di Seluma. Tidak hanya untuk membantu kekurangan guru, namun dedikasi guru-guru muda itu begitu mengagumkan. Kata kepala dinas: "banyak yang bilang,  baru ini guru. Artinya guru-guru yang ada selama ini dianggap belum benar-benar guru." 

Kepala dinas menambahkan, kompetensi dan komitmen guru di Seluma sangat memprihatinkan. Bila dihitung, hanya sekitar 20-30 persen yang benar-benar melaksanakan tugas dengan baik. Selebihnya, tanda tanya besar. Ditambah dengan kondisi jarak rumah guru yang pada umumnya jauh, karena mereka tinggal di Bengkulu, maka datang ke sekolah terlambat bisa dikatakan sudah sangat biasa. Guru-guru tersebut seringkali kurang memperhitungkan waktu tempuh dari rumah mereka ke sekolah.

Selain itu, kepala dinas juga mengungkapkan bahwa Seluma saat ini sedang mengalami darurat guru. Sekitar 80 orang guru akan pensiun, sementara pengangkatan guru sudah tidak dimungkinkan lagi. Satu-satunya harapan adalah menunggu kehadiran guru garis depan (GGD). GGD sendiri direncanakan akan ditugaskan pada awal 2017.

Dua hari itu saya dan Pak Faisal serta puluhan peserta SM-3T Unimed mengunjungi beberapa sekolah yang terjangkau saja karena kami hanya punya waktu sehari ini. Meski jarak sekolah terjauh dari Tais hanya sekitar tiga jam, namun medan yang harus ditempuh tidak terlalu mudah, apa lagi pada musim hujan seperti ini. Selain itu, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, dana untuk monev kali ini tidaklah terlalu leluasa, sehingga kesempatan untuk mengunjungi peserta SM-3T di tempat-tempat terjauh juga tidak terlalu memungkinkan.  

Jumlah guru SM-3T yang bertugas di Seluma sebanyak 65 orang, yang berasal dari 19 program studi. Mereka ditempatkan di SD, SMP, SMA, dan SMK, dilengkapi dengan surat tugas dari Kepala Dinas Kabupaten Seluma. Untuk mereka yang mendapatkan tugas di SMA dan SMK, kebanyakan sekolah berada di pinggiran kota atau bahkan di kota, sehingga tidak ada kendala untuk fasilitas listrik, air, dan telepon. Namun bagi mereka yang ditugaskan di SMP dan--terutama di SD-- tempat tugas mereka bisa berada di pelosok terjauh. Beberapa tempat bahkan tidak tertembus oleh kendaraan bermotor serta tidak mudah untuk mendapatkan listrik dan sinyal telepon.

Namun demikian, bisa dibilang, tidak ada kendala berarti dengan tempat-tempat tugas di ujung negeri itu. Yang menjadi masalah justeru mereka yang ditugaskan di kota atau pinggiran kota. Beberapa sekolah sebenarnya tidak terlalu tepat sebagai tempat penugasan, karena jumlah gurunya sudah cukup banyak. Rupanya kepala dinas tidak terlalu tepat dalam memahami istilah 3T. Menurutnya, 3T adalah kondisi kabupatennya. Di mana pun sekolah itu berada, yang penting ada di kabupaten yang tergolong 3T. Sehingga bila guru SM-3T ditugaskan di sekolah-sekolah yang berada di kota atau pinggiran kota, itu tidak masalah, meskipun sebenarnya masih ada sekolah-sekolah di pelosok yang jauh lebih membutuhkan kehadiran guru. 

Hal tersebut tentu saja tidak sejalan dengan misi Program SM-3T. Dalam kunjungan kami, masalah ini menjadi temuan dan rekomendasi yang kami berikan adalah memindahkan guru-guru yang ditugaskan di kota atau pinggiran kota ke sekolah-sekolah di pelosok-pelosok yang sekiranya jauh lebih membutuhkan guru-guru tersebut.

Sebagaimana sekolah-sekolah di kabupaten tertinggal, kondisi sekolah di Seluma pada umumnya masih banyak kekurangan, bahkan sekolah-sekolah yang lokasinya di pinggiran kota, meski ada beberapa sekolah model yang kondisinya sudah sangat memadai. Juga kondisi guru, baik dari jumlah maupun kualifikasinya. Di SD, kekurangan guru terjadi pada hampir 90 persen sekolah. Komitmen guru juga perlu perhatian serius. Seringkali terjadi murid  terlantar karena tidak ada guru. Guru yang seharusnya mengajar entah ke mana. Kondisi ini menimbulkan beban tersendiri bagi guru SM-3T. Meski sebenarnya guru SM-3T hanya mengajar 4 jam seminggu, tapi karena harus memegang kelas-kelas kosong, maka bila dihitung, mereka mengajar bisa lebih dari 24 jam seminggu.

Kami mengakhiri kebersamaan dengan sekitar dua puluh peserta SM-3T setelah menikmati bakso dan mie ayam di sebuah warung di sudut kota Tais, saat sore mulai menjelang. Kabupaten yang sekitar 80 persen penduduk aslinya adalah Suku Serawai itu telah menyatu dengan orang-orang dari berbagai penjuru Nusantara. Makanan apa pun seperti tersedia, karena banyak para pendatang yang mengandalkan berjualan makanan sebagai mata pencaharian. Orang Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, dan sebagainya, semua ada dengan membawa makanan khas mereka. Meski bukan kabupaten yang ramai, Seluma menyediakan cukup beragam pilihan makanan jajanan untuk para penduduknya dan pendatang seperti kami ini. 

Yang agak menggelikan, penduduk setempat memanggil semua orang Sumatra dengan sebutan Ibu Butet dan Pak Ucok. Siapa pun, asal dari Sumatra, akan ditempeli panggilan khas Batak tersebut.

Kami kembali ke Bengkulu saat hari semakin sore. Seikat sayur khas Bengkulu-- umbut dan telur tebu--saya dapatkan dari ibu-ibu kampung yang berjualan di pinggir jalan. Seluma yang hening berada di belakang saya, lengkap dengan doa-doa saya. Semoga para guru muda itu tetap tabah dan kuat mengemban tugas mulianya. Semoga mereka tetap memegang teguh komitmen dan niat luhur yang sudah mereka tanam sejak awal di lubuk hati. Dari tangan-tangan mereka, generasi baru akan menjelma. Generasi yang akan membawa negeri ini menjadi negeri yang lebih bermartabat. 

Selesai

Minggu, 05 Juni 2016

Menyapa Sumba Lagi: UN Jujur

Tanggal 26 April 2016, pukul 07.15 waktu Waingapu. Saya dan Dr. Rita Ismawati, M. Kes, bersama tiga guru peserta Program SM-3T, Cholik, Zuhal, dan Isnu. Cholik adalah koordinator SM-3T Sumba Timur, alumni Program Studi PPKN Unesa. 

Pagi ini kami akan ke Lewa. Mengunjungi empat sekolah. Menemui kepala sekolah, guru, dan anak-anak sekolah. Tentu saja, dalam rangka monitoring dan evaluasi Program SM-3T. Juga yang terpenting, memastikan 75 peserta SM-3T Unesa angkatan ke-5 berada dalam kondisi baik-baik saja.

Pukul 07.20, mobil kami bergerak dari Hotel Elvin, hotel tempat kami menginap. Menyusuri jalan-jalan berliku menuju Lewa, dengan pemandangan bukit-bukit dan padang sabana, seolah mengobati rindu saya pada Tanah Humba. 

Akhir 2014 yang lalu, saya berkunjung ke Sumba, untuk yang kesekian kalinya, dan melakukan perjalanan monev ke Pulau Salura, Kecamatan Karera. Sensasinya melaut bersama 'orang gila' seperti masih saya rasakan sampai sekarang. Mengarungi samudera luas yang berbatasan dengan Australia itu, hanya dengan perahu nelayan, dan kami tidak berpelampung, dengan hujan deras menerpa hampir sepanjang satu jam perjalanan, sungguh pengalaman yang sangat mendebarkan. Kepala sekolah SMP Satap Salura, Pak Heri, hanya tersenyum saja ketika saya protes kenapa kami tidak disiapkan pelampung. Beliau hanya berujar, "tidak apa-apa, ibu, tidak apa-apa, aman."

Kami sebenarnya sudah tiba di Waingapu dua hari yang lalu. Hari pertama kami gunakan untuk berbincang dengan para peserta SM-3T di rumah kontrakan mereka di Waingapu. Oya, mereka memang sedang ada di kota, kecuali yang sekolahnya akan dikunjungi tim monev. Selain untuk mempermudah kami dalam menggali data monev, juga karena mereka sedang mempersiapkan acara seminar nasional yang akan digelar besoknya.  

Kemarin, acara seminar itu dihelat. Tempatnya di Aula SMA 1 Waingapu. Tema seminar adalah "Upaya peningkatan kompetensi guru di Kabupaten Sumba Timur." Narasumbernya tentu saja saya, karena memang mereka memanfaatkan kehadiran saya dalam rangka monev. Narasumber kedua adalah kepala dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga (PPO) yang diwakili oleh sekretaris dinas, Ruben Nggulindima, S.Sos, M. Pd. 

Seminar diikuti oleh sekitar 75 guru dari seluruh Kabupaten Sumba Timur. Pak Heri, kepala sekolah SMP Satap Salura itu,  ada di antara para peserta seminar. Luar biasa bahagianya saya bertemu dengan 'orang gila' itu. Laki-laki asal Muncar, Banyuwangi, yang telah mengabdikan dirinya sebagai guru puluhan tahun di Sumba Timur itu tak kalah lebar senyumnya. Membuat rindu saya pada Salura membuncah. "Salam saya pada Salura, Pak Heri." Kata saya. Andai waktu memungkinkan, ingin rasanya saya mengunjungi Salura, sebuah pulau berpenduduk para nelayan muslim itu. Namun saya harus menahan diri, dan membiarkan rindu pada Salura tersimpan rapi. Berharap semoga suatu ketika saya bisa menuntaskannya.

Semalam kami juga masih sempat on air di Radio Max FM. Berbincang tentang Program SM-3T dan Pendidikan di Sumba Timur. Karena interaktif, obrolan tema tersebut jadi lebih gayeng karena ada pertanyaan dan komentar dari pendengar yang harus ditanggapi. Hari yang cukup padat tapi menyenangkan.

Hari ini, kami mengunjungi beberapa sekolah di Kecamatan Lewa, yaitu di SDN Matawai Kurang, SMPN Satap Matawai Kurang, SMPN Satap Kangeli, SMPN Satap Praimarada, dan SMAN 1 Lewa Tidahu. Bertemu dengan beberapa kepala sekolah, guru, dan siswa. Mengobrol tentang keseharian mereka dan guru-guru SM-3T, tentang impian dan cita-cita mereka, juga bercanda bersama. Makan menu mi instan dan ayam goreng hasil masakan guru-guru SM-3T dan guru-guru setempat. Minum kelapa muda hasil petik para siswa. Melihat anak-anak sekolah yang sedang belajar dan bermain voli.

Hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Sekolah-sekolah yang kami datangi adalah sekolah yang kering. Tidak hanya kering dalam arti sebenarnya, karena kebetulan saat ini air sedang sulit. Namun juga kering inovasi, kreativitas, dan motivasi. Kekeringan itu nampak mulai dari pintu depan sampai ke kelas-kelas. Dinding-dinding hanyalah dinding-dinding polos tanpa pajangan. Halaman yang luas dipenuhi tanaman yang tumbuh bukan karena ditanam, lebih banyak berupa tanaman liar. Jangan tanya seperti apa perpustakaan, ruang guru, dan bangunan lain seperti kamar mandi misalnya. Sebagian besar cukup memprihatinkan.

Namun begitu, di beberapa sekolah, kami masih menemukan keceriaan dan semangat. Setidaknya ada guru-guru SM-3T yang bertugas di sana, dan merekalah tumpuan harapan untuk memberi warna yang berbeda pada sekolah-sekolah tempat mereka bertugas. Menanamkan benih-benih semangat dan kecintaan pada ilmu, pendidikan dan kepedulian.

Sumba Timur sesungguhnya berkembang dengan cukup pesat, setidaknya dengan perubahan-perubahan yang saya lihat di Waingapu, kota kabupatennya. Akhir 2011 adalah kunjungan pertama saya ke Waingapu. Bersamaan dengan sosialisasi Program SM-3T yang waktu itu baru saja diluncurkan. Saat itu, Waingapu adalah kota yang sepi. Tidak banyak pertokoan dan tenda-tenda para penjual makanan. Hotel Elvin hanya memiliki belasan kamar. Di sekitarnya sepi-sepi saja. Mobil dan motor juga hanya sesekali melintas. Pusat keramaian ada di Taman Kota, dengan beberapa penjual es kelapa muda di sekelilingnya.  

Saat ini, setelah lima tahun berlalu, Waingapu telah menjelma menjadi kota yang cukup ramai. Tanah kosong di depan Hotel Elvin tempat kami menginap, kini telah dipenuhi dengan pertokoan. Swalayan ada di mana-mana, meski bukan swalayan waralaba semacam indomart dan alfamart. Penjual makanan bisa ditemukan di sembarang tempat, kebanyakan adalah penjual makanan dari Jawa, Madura, dan beberapa makanan Padang. Toko-toko fashion juga menjamur. Pendeknya, Waingapu bersolek, meski belum secantik kota-kota kabupaten di Jawa misalnya.

Satu lagi perkembangan yang saya lihat, Sumba sudah banyak dikunjungi turis mancanegara. Ketika menumpang pesawat dari Denpasar kemarin, kami satu pesawat dengan belasan turis. Beberapa obyek wisata alam dan budaya telah banyak diunggah di dunia maya, dan dari sanalah salah satunya yang menarik turis datang mengunjungi Sumba.

Namun begitu, di pelosok Sumba, keadaan tidak banyak berubah. Air menjadi barang langka dan ketiadaan listrik adalah hal biasa. Anak-anak dalam keadaan dekil dan kurang terurus. Makanan mereka setiap hari kebanyakan bubur dan sayur pucuk labu, sekali-sekali dengan lauk ikan kering. Orang-orang tua tak kalah dekilnya, dengan baju-baju sederhana yang menempeli tubuh mereka. Rumah mereka, kebanyakan beratap rumbai dan seng, dengan babi-babi dan anjing piaraan mereka berkeliaran.  

Menurut data, Sumba Timur, sebagaimana kabupaten lain di Nusa Tenggara Timur (NTT), sebenarnya tidak kekurangan guru. Rasio guru-siswa adalah 18. Masih normal. Namun memaknai angka rasio guru-siswa di kabupaten-kabupaten 3T tidaklah sesederhana itu. Sekolah-sekolah yang tersebar berjauhan jaraknya, dengan kondisi medan yang tidak mudah dan bahkan seringkali berbahaya, hanya diurusi oleh seorang kepala sekolah dan beberapa guru. Seringkali, sekolah yang ada, siswanya hanya dalam hitungan belasan. Sekecil apa pun jumlah siswa, kebutuhan guru pada dasarnya sama dengan sekolah yang jumlah siswanya besar, karena setiap mata pelajaran membutuhkan guru yang seharusnya sesuai dengan mata pelajaran tersebut. Menghitung kecukupan jumlah guru di daerah 3T hanya bertumpu pada rasio guru-siswa, sesungguhnya tidak banyak bermakna. Seperti itulah yang dikemukakan Sekdin PPO. Sangat rasional.

Belum lagi bila dikaitkan dengan fakta yang lain, misalnya kualifikasi guru. Banyak guru yang underqualified, juga mismatch. Guru yang belum S1 atau D4, dan guru yang mengajar bukan pada bidang yang sesuai dengan kompetensinya. Namun di antara begitu banyaknya masalah guru, bagi saya, yang paling memprihatinkan adalah etos kerja guru yang rendah.

Kepala dinas, kepala sekolah, dan guru-guru, kebanyakan mengakui rendahnya etos kerja tersebut. Sepertinya hal itu sudah menjadi rahasia umum. Guru yang PNS, jarang ke sekolah atau bahkan mangkir dari tugasnya, banyak. Guru yang mengajar asal-asalan, tak terhitung. Guru yang mengandalkan kekerasan dalam mendidik siswa, sudah sangat lazim. Seringkali diperparah dengan rendahnya kepemimpinan kepala sekolah dan pejabat terkait yang lainnya, lengkap sudah penyakit komplikasi di sekolah-sekolah tersebut.

Namun begitu, saya mulai melihat ada setitik harapan. Saat di seminar nasional tempo hari, sekdin PPO menyatakan, bahwa Sumba Timur memperoleh tingkat integritas baik saat UN tahun lalu. Artinya, tingkat kejujuran dalam UN dinilai baik. Meski skor UN siswa rendah, namun itu lebih baik daripada skor tinggi namun curang. 

Tentu saja saya sepakat dengan statemen sekdin. Meski ada keraguan dalam hati. Praktik kecurangan saat UN tidaklah sebersih itu, juga di Sumba Timur. Namun saya angkat topi dengan keberanian sekdin menyatakan bahwa kejujuran saat UN adalah lebih penting dari sekadar skor UN. Ini pernyataan yang baru sekali ini saya dengar dari pejabat di Sumba Timur, sejak sekitar lima tahun saya blusukan di kota tertinggal ini.

Lebih membanggakan lagi, pernyataan sekdin tersebut ternyata ditindaklanjuti oleh para guru. Mungkin belum semua guru, namun beberapa hari setelah itu, saat UN digelar, beberapa guru menyampaikan pada saya, bahwa mereka melaksanakan UN dengan jujur. Beberapa status di media sosial mereka juga menampilkan status UN jujur itu. Bagi saya, ini kemajuan luar biasa. Betapa membahagiakan mendengar kabar seperti ini. 

Harapan saya, Sumba Timur, juga kabupaten-kabupaten 3T lainnya di seluruh Tanah Air, mulai bangkit mengejar ketertinggalannya dengan cara-cara yang elegan. Kompetensi dan komitmen guru terbangun. Kepala daerah dan kepala dinas yang peduli dan menjunjung tinggi integritas. Orang tua dan semua komponen masyarakat bersinergi. 

Kalau tahun lalu kabupaten tertinggal di Indonesia masih 183 kabupaten, dan tahun ini tinggal 122 kabupaten, semoga pada tahun-tahun yang akan datang, semakin banyak kabupaten yang telah terentaskan dari ketertinggalannya dalam arti yang sebenarnya. Program-program afirmasi harus terus dilakukan supaya apa yang menjadi salah satu tujuan Nawacita yang telah dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, dapat terwujud sesuai harapan.

####

Salam,
LN

Jumat, 10 Oktober 2014

Silaturahim SM-3T

Ruang Birawa Hotel Bidakara. Sekitar 1500 orang memenuhi kursi-kursi. Mendikbud, para pejabat eselon satu dan dua, para rektor LPTK, dan peserta PPG SM-3T, PPGT, PPG Kolaboratif, dan peserta SM-3T, perwakilan dari seluruh Indonesia.
  
Dalam sambutannya, Mendikbud mengemukakan, penyakit sosial ada tiga, yaitu: kemiskinan, ketidaktahuan, keterbelakangan peradaban.
Lingkaran penyakit sosial tersebut harus dipotong, dan pisau pendidikanlah yang paling tajam untuk memotongnya. Tidak hanya sekedar teori, praktek telah membuktikan, bahwa ketiga hal tersebut bisa diatasi dengan pendidikan. Para peserta SM-3T adalah pisau-pisau yang memotong tiga penyakit sosial itu.

Pendidikan sebagai penggerak dalam pembangunan. Hasilnya belum bisa dilihat hasilnya secara signifikan dalam lima-enam tahun. Namun pada lima belas sampai dua puluh lima tahun ke depan, karena disentuh oleh tangan-tangan halus, pikiran-pikiran cerdas para peserta SM-3T, maka keadaan akan berubah. Perubahan itu karena tangan-tangan peserta SM-3T. Mereka tidak hanya menyentuh dengan sentuhan-sentuhan fisik, namun lebih dari itu, dengan sentuhan-sentuhan nilai kemanusiaan. Bagaimana mungkin seorang guru dan para siswanya bisa menangis bersama, kalau bukan karena sentuhan kasih sayang. Para guru SM-3T itu bergerak dan berjuang bukan karena didasari adat-istiadat dan agama, namun karena sejatinya, kita semua adalah bersaudara.

Tidak ada satu ungkapan yang bisa kita ucapkan untuk para guru SM-3T, kecuali keharuan dan tetesan air mata. Mereka tidak perlu diberi penghargaan, tapi perjuangan mereka sudah dicatat oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Merekalah para pejuang itu. Ada merah putih di dadanya.

Terkait dengan menjelang akhir masa baktinya di Kemdikbud, yaitu pada tanggal 20 Oktober nanti, Mendikbud merekomendasikan supaya program yang memiliki rasionalitas dan manfaat yang bisa dirasakan langsung, harus terus dilanjutkan.

Kata Mendikbud: "Plis deh...jangan dilupakan SM-3T. Ini bukan program politik, bukan utk mencari popularitas."

SM-3T adalah solusi temporer untuk mengatasi berbagai masalah pendidikan di daerah 3T. Sebelum solusi permanen bisa didapatkan, solusi temporer pun harus dilakukan.

Untuk pengangkatan guru tahun 2014, Mendikbud juga menjelaskan, ada jatah khusus untuk alumni SM-3T. Rekrutmen dibuat skenario sendiri. Dengan kecintaannya, para guru SM-3T itu akan kembali ke tempat-tempat di mana mereka mengabdi itu. Selain itu, juga ada pemberian beasiswa bagi alumni SM-3T untuk memasuki program Magister dan Doktor.

Mendikbud juga berpesan, tidak semua orang punya kesempatan untuk mengikuti SM-3T. Maka setiap peserta SM-3T sebaiknya menulis semua pengalaman mereka selama di tempat tugas. Tambah Mendikbud, alangkah indahnya bila peserta SM-3T bertemu dengan peserta SM-3T. Bersatu menorehkan sejarah dalam pembangunan pendidikan di daerah 3T.  Memberikan sentuhan pada mereka yang lemah.

Pesan Mendikbud juga, sebagai pejuang, guru SM-3T jangan sekali-sekali mengeluh. Setiap persoalan, harus dihadapi. Setiap persoalan itu, selalu ada jawaban. Bila tidak menemukan jawaban, tidak ada jawaban atas persoalan itu sendiri, juga merupakan bagian dari jawaban.

Jakarta 17 September 2014

Wassalam,
LN

Jumat, 29 Agustus 2014

Raja Ampat (1): Menyapa Waisai

Pukul 11.03 waktu Sorong. Kapal cepat Berkat Mulia bergerak, meninggalkan Pelabuhan Rakyat. Kapal berkapasitas 300-an orang ini membawa kami menuju Raja Ampat.

Ya, Raja Ampat. Tentu semua orang tahu tempat apa itu. Benar. Tempat wisata yang terkenal dengan ekspedisi bawah lautnya yang luar biasa. Anda bisa menikmati keindahan wisata bahari itu dengan snorkeling atau diving. Tentu saja juga pulau-pulau dan pantainya yang juga menakjubkan.

Tapi kedatangan kami ke Raja Ampat ini bukanlah untuk berwisata. Meski, mungkin, yang terjadi adalah sambil menyelam minum air. Ya, karena, di mana-mana, hampir di semua tempat, Raja Ampat memiliki keindahan. Melakukan perjalanan ke Raja Ampat, meski bukan perjalanan wisata, suguhan keindahan alamnya tetap bisa dinikmati di sepanjang perjalanan.

Kedatangan kami ke Raja Ampat ini dalam rangka melaksanakan Program SM-3T. Kami, terdiri dari saya, Pak Yoyok Yermiandhoko dan Bu Lucia, serta dua puluh sarjana pendidikan yang tergabung dalam Program SM-3T. Kami bertiga adalah dosen pendamping yang akan menyerahkan anak-anak muda ini kepada Kepala Dinas Pendidikan Raja Ampat. Mereka akan mengabdikan diri sebagai guru di sekolah-sekolah miskin di wilayah yang terkenal dengan potensi wisatanya yang tergolong unggulan ini.

Waisai. Ya, ke sanalah kapal cepat yang kami tumpangi ini menuju. Waisai merupakan ibukota Kabupaten Raja Empat. Adalah pulau yang jaraknya sekitar dua jam bila menumpang kapal cepat, atau sekitar empat jam dengan menumpang kapal kayu. Bisa juga ditempuh melalui jalur udara, dengan menumpang pesawat-pesawat kecil sejenis Suzie Air. Biaya ketiga jenis kendaraan ini tidak terlalu mahal. Tidak lebih dari 250 ribuan untuk sekali jalan.

Para guru SM-3T belum tentu akan bertugas di Waisai. Di tempat ini, mereka hanya akan disambut dalam sebuah acara seremonial penerimaan, oleh Bupati dan Kepala Dinas Pendidikan. Setelah itu, mereka akan menerima pembekalan dari Dinas, baru kemudian didistribusikan ke distrik-distrik yang berada di pulau-pulau lain.

Raja Ampat memang surga kecil yang jatuh ke bumi, sebagai mana tanah Papua pada umumnya. Begitulah kata Edo Kondolegit. Sepanjang perjalanan adalah pemandangan yang indah permai. Laut, pantai, pulau-pulau, bukit-bukit rimbun, dan bahkan langit yang digelayuti mendung. 

Raja Ampat sendiri, konon, merupakan kepulauan yang terdiri dari empat kerajaan tradisional. Kerajaan tersebut adalah Waigeo, dengan pusat kekuasaannya di Wewayai; Kerajaan Salawati, dengan pusat kekuasaannya di Samate, Pulau Salawati Utara; Kerajaan Sailolof dengan pusat kekuasaannya di Sailolof, Pulau Salawati Selatan; dan Kerajaan Misol, dengan pusat kekuasaannya di Lilinta, Pulau Misol. 

Kabupaten Raja Ampat menurut sebuah sumber memiliki 610 pulau. Empat di antaranya adalah Pulau Misool, Salawati, Batanta dan Waigeo. Keempat pulau tersebut merupakan pulau-pulau besar. Dari seluruh pulau, hanya 35 pulau yang berpenghuni. Pulau lainnya tidak berpenghuni, dan sebagian besar belum memiliki nama.

Di atas kapal, kami bercengkerama dengan dua orang turis yang ramah. Bermain dengan dua anak asli Papua, laki dan perempuan, usianya masih sekitar 4-7 tahun. Kedua anak itu, begitu sempurna. Mata mereka, rambut kriwulnya, kulit sawo matangnya yang bersih, dan senyumnya, betapa indah. Khas anak Papua. Seila dan Reinhart, begitu nama mereka. Adalah dua bocah yang hangat, bersahabat, dan sadar kamera. Mereka bersama orang tuanya, akan mengunjungi keluarga mereka di Waisai. 

"Seila sudah sekolah?" Tanya saya, pada gadis kecil berambut kriwul itu.
"Sudah." Senyum manisnya malu-malu.
"Di mana?"
Dia menyebut sebuah nama sekolah, namun tidak terlalu jelas di telinga saya. Deru mesin kapal dan angin laut yang keras menerbangkan suara Seila ke laut lepas.

Pukul 12.50, saat kapal kami merapat di pelabuhan Raja Ampat. Udara panas langsung menerpa wajah begitu kami keluar dari kapal. Panas yang menyengat, terasa sakit menerpa kulit. 

Bagasi dikeluarkan dari kapal oleh lima lelaki, para peserta SM-3T, dibantu awak kapal. Pelampung dikumpulkan. Para peserta perempuan menggeser barang-barang itu, dihimpun jadi satu. Dimasukkannya ke mobil yang telah menunggu. Satu mobil khusus barang dan untuk mengangkut para lelaki. Satu mobil khusus penumpang perempuan.

Seorang petugas dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Raja Ampat, Pak Budiono, memandu kami. Menelusuri jalan-jalan di Waisai menuju penginapan. Cuaca panas semakin menyengat. Pantai-pantai yang indah dan barisan pohon kelapa menjadi penyejuknya. Juga ratusan umbul-umbul, baleho, serta pernak-pernik lain sisa-sisa perayaan besar Sail Raja Ampat 2014 yang baru saja berlalu.

Siang ini, kami hanya ingin menyapa Waisai. Kami akan menikmati hidup yang rileks tanpa dibebani tugas-tugas. Ada cukup waktu untuk menghempaskan kantuk dan kelelahan karena perjalanan dari Surabaya sejak pukul 21.00 semalam. 

Besok, adalah acara seremonial penerimaan dan pembekalan guru SM-3T. Ya, masih besok. Jadi, mari kita bergegas mandi, salat, makan siang, dan tidur.....

Waisai, Raja Ampat, Papua Barat, 28 Agustus 2014.

Wassalam,
LN 

Raja Ampat (2): Muslim, Ojek, dan Negeri Tujuh Matahari

Namanya Nasrul. Dia kelas 8 di sebuah SMP. Bapaknya, orang asli Cirebon, seorang guru PNS, yang ditugaskan di Waisai, dan menetap sampai saat ini.  Mamanya, orang asli Tasikmalaya, ibu rumah tangga. Nasrul mempunyai seorang kakak dan dua orang adik.

Pagi ini, Nasrul sedang memancing. Dia berdiri di atas jembatan yang menjorok beberapa meter dari bibir pantai. Dia memain-mainkan batang pancingnya dan beberapa ikan kecil sudah berhasil diperolehnya. Ikan kecil-kecil sebesar jari-jari. Ada sekitar dua puluh ikan di dalam timba plastiknya. Ikan itu bergerak-gerak, berjuang, bertahan hidup.

"Nasrul tidak sekolah hari ini?" Tanya saya.
"Sekolah masuk siang." Jawabnya sambil terus melihat kail pancingnya.
"Nasrul setiap hari memancing?"
"Ya."
"Disuruh orang tua?"
"Tidak."
"Untuk apa ikannya?"
"Digoreng, buat makan."
"Sampai jam berapa mancingnya?"
"Kalau su dapat banyak, pulang."

Nasrul pagi ini tidak sendirian. Dia bersama adik laki-lakinya. Namanya Bahari, kelas 2 SD. Bahari juga sudah memperoleh belasan ikan kecil-kecil. 

Di sepanjang jembatan kayu itu, ada beberapa anak seusia Nasrul, laki-laki dan perempuan. Tidak seperti Nasrul dan Bahari yang berkulit sawo matang, mereka berkulit hitam legam dan berambut keriting. Khas anak Papua. Ada juga dua orang mama, juga khas orang Papua.

Tapi tunggu dulu. Waktu saya tanya, siapa nama mereka, saya jadi tahu, mereka ternyata tidak Papua-Papua banget.

"Mama siapa namanya?" Tanya saya pada seorang ibu yang sedang memancing.
"Saidah."
"Lho? Itu bukan nama Papua. Apa Mama bukan orang asli Papua?"
"Saya asli Papua. Itu su nama saya."
"Suami ibu?"
"Dari Sulawesi. Namanya Anwar."
"Berapa anak Mama?"
"Lima."
"Siapa nama anak pertama?"
"Eka Dewi Lestari?"
"Lho? Itu Jawa banget?"
"Itu kepala sekolah dari Jawa yang kasih nama."
"O Pantas. Anak kedua siapa namanya?"
"Irianto. Yang ketiga Iriawan, yang keempat Irwan, yang kelima Irman."
"Wah...." Saya tertawa mendengar jawaban Mama Saidah.
"Mama muslim?"
"Ya. Kami sekeluarga muslim."

Keluarga muslim, memang banyak ditemukan di Waisai. Adalah para nelayan dan transmigran dari Maluku dan Sulawesi Selatan yang datang ke Waisai, menetap, menikah dengan perempuan-perempuan asli Papua. Juga orang-orang dari Jawa, berdagang, membuka warung, membuka toko, menikah dengan orang-orang asli Papua. Beranak-pinak. Menambah populasi penganut Islam. Disinyalir, populasi muslim di Raja Ampat mulai seimbang dengan nonmuslim. Malah ada yang menduga, saat ini, populasi muslim di Raja Ampat hampir menyamai Fak-fak, yang dijuluki 'Serambi Mekah"-nya Papua.

Anak-anak mereka, adalah anak-anak muslim yang wajahnya manis, kulit sawo matang, mata bulat dinaungi bulu-bulu lentik, dan rambut mereka ikal cenderung keriting. Nama mereka adalah nama-nama muslim, atau setidaknya, bukan nama khas Papua.

Pagi tadi, saat saya sedang berjalan menuju pantai, saya bertemu dengan seorang anak laki-laki yang membawa timba plastik berisi ikan. Dia memainkan botol air mineral kosong, disepak-sepaknya seperti bola.

"Nama kamu siapa, Dik?"
"Is."
"Is siapa?"
"Iskandar."
"Lho, kamu muslim?"
"Ya."

Sebelum saya bertanya lebih lanjut, seorang bapak berteriak memanggil Iskandar.
"Is...." Tangan bapak itu melambai, dia sudah ada di atas sepeda motor yang siap melaju. Laki-laki itu tersenyum ke arah saya.

"Itu bapak?"
Is mengangguk. Bergegas ke arah bapaknya. 
"Sa mau pulang." Katanya.

Di mana-mana di Waisai, ditemukan banyak perempuan berjilbab, juga anak-anak sekolah. Masjib besar dan terawat, suara adzan menggema setiap waktu shalat tiba. Belasan bahkan puluhan orang memenuhi masjid untuk menunaikan shalat berjamaah.

Di Waisai ini, Anda bisa melihat sebuah contoh tentang toleransi. Orang dari berbagai suku dan agama tumplek blek di wilayah kepulauan yang indah ini. Kerukunan mereka seindah pulau yang mereka huni. Keramahan, kesahajaan, dan ketulusan. Anda boleh memarkir sepeda motor dan mobil di mana Anda mau, tak akan ada seorang pun mengusiknya. Anda bisa berkendara melaju di kegelapan malam menembus hutan, tak ada seorang begal pun mencelakai. Hidup rukun dan damai, sepertinya cocok dengan sebutan Waisai sebagai kota "Bersatu." Bersih, Elok, Ramah, Sejuk, Aman, Tertib dan Unik. 

Selain tentang toleransi, Waisai juga memiliki keunikan dalam hal mengelola transportasi. Di sini, jangan harap Anda menemukan angkutan umum, semacam angkot atau angkodes. Jenis angkutan ini dilarang di sini, karena dikawatirkan akan menyebabkan macet, polusi, dan merusak lingkungan.

Angkutan umum hanya ada satu, yaitu ojek. Ojek akan mengantar Anda ke mana pun. Mereka, para tukang ojek itu, bertebaran di mana-mana, mengenakan kostum khas, berjaket dan berhelm dengan tulisan 'Raja Ampat'. Biaya menumpang ojek tidak terlalu mahal, masih sangat terjangkau, karena memang angkutan ini disediakan untuk semua kalangan.  

Kalau Anda ingin pergi berombongan, Anda bisa menyewa truk. Ya, truk terbuka, bisa memuat lebih dari dua puluh penumpang beserta barang-barang mereka. Truk itu jugalah yang kami sewa untuk mengangkut para peserta SM-3T dari penginapan ke Asrama Training SMK 2, tempat penampungan sementara sebelum mereka dijemput oleh kepala sekolah masing-masing. Dengan truk itu juga kami membawa para guru muda itu mengunjungi pantai Waiwo serta berbelanja keperluan mereka di kios dan pasar tradisional. 

Di Raja Ampat, hampir semua komoditi ada. Dari beras sampai makanan kaleng, frozen food seperti nugget, sosis, serta berbagai minuman dan snack. Juga buah-buahan import. Bila sedang musim, durian, langsep, dan rambutan, ada di mana-mana, dengan harga yang sangat murah. Ya, hampir semua yang dijual di kota-kota besar, di sini ada. Termasuk menu makanan jajanan, mulai bakso, soto, nasi penyetan, siomay, juga roti-roti modern. Tapi kalau Anda ingin restoran fast food semacam KFC, Mc Donald dan lain-lain, tunggu dulu ya, belum ada....

Kehadiran para pendatang mempercepat laju kehidupan sosial-ekonomi penduduk Raja Ampat yang baru resmi sebagai kabupaten sendiri pada tahun 2004 yang lalu. Infrastruktur yang cukup memadai sepanjang lebih dari 50 kilometer, yang menghubungkan satu titik dengan titik yang lain di Waisai sangat membantu laju pertumbuhan kota kecil ini. 

Transportasi di Raja Ampat dari satu pulau ke pulau lain tentu mengandalkan transportasi laut. Kapal bodi (perahu nelayan), speedboat, kapal cepat, kapal kayu, merupakan kebutuhan vital. Alat transportasi ini yang akan mengangkut orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pulau ke pulau lain.

Suhu di Raja Ampat, sebagaimana wilayah pesisir pantai, sangatlah panas. Di Waisai ini, yang suhunya sudah kami rasakan sangat panas, melebihi suhu di Surabaya, masih belum seberapa. Menurut orang-orang Waisai, di pulau-pulau lain, ada yang mataharinya tidak hanya satu sebagaimana di Waisai, tapi dua, tiga, bahkan tujuh. Di satu pulau, namanya Ayao, berbatasan dengan Philipine, bahkan mataharinya ada tujuh. 
"Matilah orang kalau hidup di sana." Kata Edi, driver asli Ambon, yang kami sewa hari ini. "Di sana air juga susah."
"Tapi di sana ada sekolah." Tukas saya.
"Ya, tapi berat sekali kalau guru-guru itu ditugaskan di sana, Bu. Cari makan susah di sana, harus bawa bahan makanan dari sini."

Eva dan Joli, dua guru SM-3T, bakal ditugaskan di Pulau Ayao, yaitu di SMA Negeri 9 dan di SMP Persiapan Abidon. Kami memberitahu mereka, supaya kedua anak muda itu siap dengan kondisi seburuk apa pun. 
"Bagaimana, kalian siap?"
"Insyaallah siap, Ibu."
"Baik, selamat mengabdi di Negeri Tujuh Matahari...."

Waisai, Raja Ampat, 30 Agustus 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 05 Juni 2014

Tamu Istimewa dari Jauh

Hari ini saya kedatangan tamu istimewa dari jauh. Tidak tanggung-tanggung. Tamu saya itu dari Kabupaten Mamberamo Raya, Papua. Namanya, Isak Torobi. Beliau adalah Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberamo Raya.

Sebenarnya Pak Kadis, begitu kami menyebutnya, sudah tiba di Surabaya sejak dua hari yang lalu. Tetapi karena saya masih bertugas di Yogya, maka baru hari ini kami bertemu.

Siang ini saya membawa Pak Kadis menghadap Pak Rektor. Di ruang rektor yang sejuk, ditemani PR 1 dan secangkir teh manis serta kletikan, Pak Kadis menyampaikan maksud kedatangannya. Beliau menunjukkan setumpuk berkas surat kesanggupan para peserta SM-3T untuk kembali ditugaskan ke Mamberamo Raya.

"Saya ingin menyampaikan kepada Bapak Rektor, bahwa para guru SM-3T sanggup untuk kembali ditugaskan ke Mamberamo Raya. Tentu saja kalau Bapak merelakan mereka.." Begitu kata Pak Kadis. Lelaki hitam tinggi besar tapi ramah itu menjelaskan. Kata-katanya runtut, mengalir lancar dengan suaranya yang agak serak namun jelas. Mata tajamnya yang bersembunyi di wajah hitamnya menyiratkan kesungguhan.

"Kami merasa sangat terbantu dengan kehadiran para guru itu. Kami sangat kekurangan guru. Bupati mengharapkan mereka semua akan menetap di sana. Mereka akan diangkat sebagi guru kontrak, sambil menunggu formasi untuk CPNS. Mereka nantinya akan diprioritaskan."

Tentu saja Pak Rektor menyambut dengan tangan terbuka. Para guru itu sudah membuat surat kesanggupan yang sudah mereka tandatangani sendiri. Atas inisiatif mereka sendiri. Apa yang harus ditolak? Ketika anak-anak muda itu merasa terpanggil untuk menjadi bagian dari pembangungan pendidikan di pelosok negeri, bukankah itu pilihan yang hebat. Tidakkah itu membanggakan?

"Tapi, kalau nanti mereka selesai bertugas di Mamberamo Raya, saya dengar, mereka masih harus setahun mengikuti program PPG, benarkah begitu?"
Pak Rektor mengangguk. Menjelaskan bahwa selepas dari Program SM-3T, mereka akan mengikuti Program PPG.
"Tidak bisakah itu ditunda?" Tanya Pak Kadis.
Tentu saja tidak, itulah jawaban Pak Rektor. Namun dengan bahasanya yang rileks dan mencerahkan. Ternyata Pak Kadis datang, selain ingin menyampaikan surat kesanggupan para peserta SM-3T, juga untuk memohon supaya mereka boleh tidak mengikuti Program PPG.

Saya katakan itu program yang penting untuk mereka. Juga menguntungkan bagi Pemda Mamberamo Raya. Karena begitu mereka nanti bertugas di sana, mereka tidak lagi direpotkan dengan kewajiban harus ikut sertifikasi guru. Mereka sudah memiliki sertifikasi itu. Artinya, begitu bertugas, mereka tidak akan pergi-pergi dalam jangka waktu yang lama untuk menempuh pendidikan profesi.

"Berarti mereka akan pergi selama setahun? Bisakah kami dijamin bahwa kami diberi guru-guru untuk menggantikan mereka, Pak Rektor? Sementara mereka pergi untuk menempuh PPG? Kami sangat kekurangan guru, dan kehadiran mereka begitu berarti bagi kami. Kalau kami harus kehilangan mereka selama setahun, saya khawatir dengan anak-anak, guru-guru, dan sekolah-sekolah yang sudah terlanjur mencintai mereka." Lanjut Pak Kadis.

Pak Rektor spontan melihat saya. Saya mengangguk, terharu. Juga meyakinkan Pak Rektor. "Bisa, Bapak." Suara saya pelan. Dada saya agak sesak tiba-tiba. Suara Pak Kadis barusan, begitu menghunjam ulu hati saya. Membayangkan rasa kehilangan itu. Setahun memang waktu yang singkat. Namun ketika dalam setahun itu kebersamaan begitu intens, bersama-sama membangun pemahaman dan pengertian, memaknai suka-duka karena keberagaman, dan lantas terjalin perasaan saling membutuhkan dan saling mencintai, betapa berat sebuah perpisahan.

"Mungkin ada baiknya Pak Kadis menulis surat ke Dikti, supaya nanti Mamberamo Raya dikirim lagi guru-guru ke sana." Kata Pak Rektor.
"Ke Dikti?" Tanya Pak Kadis. Ragu.
"Ke Unesa saja juga tidak apa-apa, Bapak." Tukas saya, mencoba memahami keraguan Pak Kadis. Beliau pasti merasa akan kehilangan jalur emas kalau harus berkirim surat ke Dikti. "Ke Unesa saja, Bapak, nanti kita yang membawa suratnya ke Dikti."
"Ya ya, begitu juga bagus." Kata Pak Rektor.

Tiba-tiba Bu Kisyani, tersenyum, menarik perhatian kami. "Ada apa, Bu Kis?" Tanya saya.
"Gelangnya Pak Kadis...bagus sekali."
Kami tertawa berderai. Gelang perak di pergelangan tangan Pak Kadis serta merta menjadi pusat perhatian kami. Pak Kadis tertawa lebar, memperlihatkan lesung pipitnya.

Tentang lesung pipit itu, tadi, menjelang masuk ruangan Pak Rektor, saat saya memperkenalkan Pak Kadis ke Bu Kis, Bu Kis juga spontan berkomentar. "Aduh, Bapak manis sekali....punya lesung pipit ...." Tentu saja Pak Kadis tersipu-sipu dengan sapaan yang tidak terduga itu.
 
Kami keluar dari ruangan rektor saat jam menunjukkan pukul 14.00 lewat. Sebenarnya ada kegiatan pembukaan Pekan Olah Raga (POR) Peserta PPG siang ini, dan saya diharapkan bisa membuka acara. Namun saya sudah berpesan ke Pak Sulaiman dan Pak Heru tadi, kalau acara sudah dimulai dan saya belum tiba, Pak Sulaiman bisa mewakili saya untuk memberi sambutan dan membuka acara.

Tiba di PPG, ternyata acara baru akan dimulai. Benar-benar tepat momennya. Upacara Pembukaan POR ini tidak hanya dihadiri oleh kami para pengelola, namun juga dihadiri Kepala Dinas Mamberamo Raya sebagai tamu kehormatan. Saat saya memberi sambutan, saya memperkenalkan kepala dinas dari seberang timur itu, dan menyampaikan maksud kedatangannya. Maka sambutan yang hangat pun riuh rendah dari para peserta PPG.

Kami membawa Pak Kadis berkeliling, melihat gedung PPG dari satu lantai ke lantai yang lain. Saya sempat memisahkan diri karena saya harus menghadiri pertemuan dengan para mahasiswa S2 peserta penelitian Hibah Pasca Sarjana, yang memang sengaja saya undang ke PPG, biar saya bisa nyambi-nyambi. Sementara itu, Pak Heru dan Pak Julianto, mendampingi Pak Kadis mengunjungi asrama. Bercengkerama dengan para peserta PPG, yang kebetulan beberapa ada yang asli Papua, dan sempat makan malam bersama dengan anak-anak muda itu.

Begitu tiba di ruangan saya sekembalinya dari asrama, Pak Kadis berkata. "Luar biasa. Saya yakin, kita bisa mengembalikan jati diri kita bila proses pendidikan guru dikemas seperti ini." Wajahnya menyiratkan kebanggaan.
"Ya, Bapak. Oleh sebab itu, biarkan para guru yang saat ini bertugas di Mamberamo Raya, pulang dan belajar di sini setahun, dan baru kembali lagi ke Mamberamo. Untuk melengkapi bekal mereka sebagai guru."
"Ya ya, saya sangat setuju. Saya akan laporkan ke Pak Bupati nanti, bahwa para guru itu harus mengikuti program ini, supaya Mamberamo Raya nantinya mendapatkan guru-guru yang benar-benar guru."

Malam itu, lewat waktu Isya, kami mengakhiri pertemuan dengan makan malam di Rumah Makan Lombok. Pak Kadis dan Pak Heru menikmati sup buntut, saya dan Anang menyeruput sayur asem, dan Pak Julianto melahap gurami bakarnya. Pertemuan sehari ini begitu indah dan penuh makna. Semoga memberi makna juga bagi hal-hal baik yang telah terbangun dan terus dibangun.

Surabaya, 4 Juni 2014.

Wassalam,
LN
(5 Juni 2014. 19.10. Di Juanda, nunggu boarding)