Pages

Jumat, 29 Agustus 2014

Raja Ampat (2): Muslim, Ojek, dan Negeri Tujuh Matahari

Namanya Nasrul. Dia kelas 8 di sebuah SMP. Bapaknya, orang asli Cirebon, seorang guru PNS, yang ditugaskan di Waisai, dan menetap sampai saat ini.  Mamanya, orang asli Tasikmalaya, ibu rumah tangga. Nasrul mempunyai seorang kakak dan dua orang adik.

Pagi ini, Nasrul sedang memancing. Dia berdiri di atas jembatan yang menjorok beberapa meter dari bibir pantai. Dia memain-mainkan batang pancingnya dan beberapa ikan kecil sudah berhasil diperolehnya. Ikan kecil-kecil sebesar jari-jari. Ada sekitar dua puluh ikan di dalam timba plastiknya. Ikan itu bergerak-gerak, berjuang, bertahan hidup.

"Nasrul tidak sekolah hari ini?" Tanya saya.
"Sekolah masuk siang." Jawabnya sambil terus melihat kail pancingnya.
"Nasrul setiap hari memancing?"
"Ya."
"Disuruh orang tua?"
"Tidak."
"Untuk apa ikannya?"
"Digoreng, buat makan."
"Sampai jam berapa mancingnya?"
"Kalau su dapat banyak, pulang."

Nasrul pagi ini tidak sendirian. Dia bersama adik laki-lakinya. Namanya Bahari, kelas 2 SD. Bahari juga sudah memperoleh belasan ikan kecil-kecil. 

Di sepanjang jembatan kayu itu, ada beberapa anak seusia Nasrul, laki-laki dan perempuan. Tidak seperti Nasrul dan Bahari yang berkulit sawo matang, mereka berkulit hitam legam dan berambut keriting. Khas anak Papua. Ada juga dua orang mama, juga khas orang Papua.

Tapi tunggu dulu. Waktu saya tanya, siapa nama mereka, saya jadi tahu, mereka ternyata tidak Papua-Papua banget.

"Mama siapa namanya?" Tanya saya pada seorang ibu yang sedang memancing.
"Saidah."
"Lho? Itu bukan nama Papua. Apa Mama bukan orang asli Papua?"
"Saya asli Papua. Itu su nama saya."
"Suami ibu?"
"Dari Sulawesi. Namanya Anwar."
"Berapa anak Mama?"
"Lima."
"Siapa nama anak pertama?"
"Eka Dewi Lestari?"
"Lho? Itu Jawa banget?"
"Itu kepala sekolah dari Jawa yang kasih nama."
"O Pantas. Anak kedua siapa namanya?"
"Irianto. Yang ketiga Iriawan, yang keempat Irwan, yang kelima Irman."
"Wah...." Saya tertawa mendengar jawaban Mama Saidah.
"Mama muslim?"
"Ya. Kami sekeluarga muslim."

Keluarga muslim, memang banyak ditemukan di Waisai. Adalah para nelayan dan transmigran dari Maluku dan Sulawesi Selatan yang datang ke Waisai, menetap, menikah dengan perempuan-perempuan asli Papua. Juga orang-orang dari Jawa, berdagang, membuka warung, membuka toko, menikah dengan orang-orang asli Papua. Beranak-pinak. Menambah populasi penganut Islam. Disinyalir, populasi muslim di Raja Ampat mulai seimbang dengan nonmuslim. Malah ada yang menduga, saat ini, populasi muslim di Raja Ampat hampir menyamai Fak-fak, yang dijuluki 'Serambi Mekah"-nya Papua.

Anak-anak mereka, adalah anak-anak muslim yang wajahnya manis, kulit sawo matang, mata bulat dinaungi bulu-bulu lentik, dan rambut mereka ikal cenderung keriting. Nama mereka adalah nama-nama muslim, atau setidaknya, bukan nama khas Papua.

Pagi tadi, saat saya sedang berjalan menuju pantai, saya bertemu dengan seorang anak laki-laki yang membawa timba plastik berisi ikan. Dia memainkan botol air mineral kosong, disepak-sepaknya seperti bola.

"Nama kamu siapa, Dik?"
"Is."
"Is siapa?"
"Iskandar."
"Lho, kamu muslim?"
"Ya."

Sebelum saya bertanya lebih lanjut, seorang bapak berteriak memanggil Iskandar.
"Is...." Tangan bapak itu melambai, dia sudah ada di atas sepeda motor yang siap melaju. Laki-laki itu tersenyum ke arah saya.

"Itu bapak?"
Is mengangguk. Bergegas ke arah bapaknya. 
"Sa mau pulang." Katanya.

Di mana-mana di Waisai, ditemukan banyak perempuan berjilbab, juga anak-anak sekolah. Masjib besar dan terawat, suara adzan menggema setiap waktu shalat tiba. Belasan bahkan puluhan orang memenuhi masjid untuk menunaikan shalat berjamaah.

Di Waisai ini, Anda bisa melihat sebuah contoh tentang toleransi. Orang dari berbagai suku dan agama tumplek blek di wilayah kepulauan yang indah ini. Kerukunan mereka seindah pulau yang mereka huni. Keramahan, kesahajaan, dan ketulusan. Anda boleh memarkir sepeda motor dan mobil di mana Anda mau, tak akan ada seorang pun mengusiknya. Anda bisa berkendara melaju di kegelapan malam menembus hutan, tak ada seorang begal pun mencelakai. Hidup rukun dan damai, sepertinya cocok dengan sebutan Waisai sebagai kota "Bersatu." Bersih, Elok, Ramah, Sejuk, Aman, Tertib dan Unik. 

Selain tentang toleransi, Waisai juga memiliki keunikan dalam hal mengelola transportasi. Di sini, jangan harap Anda menemukan angkutan umum, semacam angkot atau angkodes. Jenis angkutan ini dilarang di sini, karena dikawatirkan akan menyebabkan macet, polusi, dan merusak lingkungan.

Angkutan umum hanya ada satu, yaitu ojek. Ojek akan mengantar Anda ke mana pun. Mereka, para tukang ojek itu, bertebaran di mana-mana, mengenakan kostum khas, berjaket dan berhelm dengan tulisan 'Raja Ampat'. Biaya menumpang ojek tidak terlalu mahal, masih sangat terjangkau, karena memang angkutan ini disediakan untuk semua kalangan.  

Kalau Anda ingin pergi berombongan, Anda bisa menyewa truk. Ya, truk terbuka, bisa memuat lebih dari dua puluh penumpang beserta barang-barang mereka. Truk itu jugalah yang kami sewa untuk mengangkut para peserta SM-3T dari penginapan ke Asrama Training SMK 2, tempat penampungan sementara sebelum mereka dijemput oleh kepala sekolah masing-masing. Dengan truk itu juga kami membawa para guru muda itu mengunjungi pantai Waiwo serta berbelanja keperluan mereka di kios dan pasar tradisional. 

Di Raja Ampat, hampir semua komoditi ada. Dari beras sampai makanan kaleng, frozen food seperti nugget, sosis, serta berbagai minuman dan snack. Juga buah-buahan import. Bila sedang musim, durian, langsep, dan rambutan, ada di mana-mana, dengan harga yang sangat murah. Ya, hampir semua yang dijual di kota-kota besar, di sini ada. Termasuk menu makanan jajanan, mulai bakso, soto, nasi penyetan, siomay, juga roti-roti modern. Tapi kalau Anda ingin restoran fast food semacam KFC, Mc Donald dan lain-lain, tunggu dulu ya, belum ada....

Kehadiran para pendatang mempercepat laju kehidupan sosial-ekonomi penduduk Raja Ampat yang baru resmi sebagai kabupaten sendiri pada tahun 2004 yang lalu. Infrastruktur yang cukup memadai sepanjang lebih dari 50 kilometer, yang menghubungkan satu titik dengan titik yang lain di Waisai sangat membantu laju pertumbuhan kota kecil ini. 

Transportasi di Raja Ampat dari satu pulau ke pulau lain tentu mengandalkan transportasi laut. Kapal bodi (perahu nelayan), speedboat, kapal cepat, kapal kayu, merupakan kebutuhan vital. Alat transportasi ini yang akan mengangkut orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pulau ke pulau lain.

Suhu di Raja Ampat, sebagaimana wilayah pesisir pantai, sangatlah panas. Di Waisai ini, yang suhunya sudah kami rasakan sangat panas, melebihi suhu di Surabaya, masih belum seberapa. Menurut orang-orang Waisai, di pulau-pulau lain, ada yang mataharinya tidak hanya satu sebagaimana di Waisai, tapi dua, tiga, bahkan tujuh. Di satu pulau, namanya Ayao, berbatasan dengan Philipine, bahkan mataharinya ada tujuh. 
"Matilah orang kalau hidup di sana." Kata Edi, driver asli Ambon, yang kami sewa hari ini. "Di sana air juga susah."
"Tapi di sana ada sekolah." Tukas saya.
"Ya, tapi berat sekali kalau guru-guru itu ditugaskan di sana, Bu. Cari makan susah di sana, harus bawa bahan makanan dari sini."

Eva dan Joli, dua guru SM-3T, bakal ditugaskan di Pulau Ayao, yaitu di SMA Negeri 9 dan di SMP Persiapan Abidon. Kami memberitahu mereka, supaya kedua anak muda itu siap dengan kondisi seburuk apa pun. 
"Bagaimana, kalian siap?"
"Insyaallah siap, Ibu."
"Baik, selamat mengabdi di Negeri Tujuh Matahari...."

Waisai, Raja Ampat, 30 Agustus 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...