Pages

Senin, 04 Agustus 2014

Muhibah Lebaran (4): Ngumpulke Balung Pisah

Sekitar pukul 21.30, kami pamit pada Paklik Mujab sekeluarga. Perasaan bahagia karena bisa bertemu dengan Paklik Mujab dan putro-wayah masih terasa membuncah di dada. Benar. Pertemuan seperti ini menjadi barang langka, mahal dan sangat berharga. Begitu mahalnya sehingga perlu pengorbanan, tenaga, waktu dan tentu saja sumber daya yang lain, untuk mewujudkannya. 

Saya jadi ingat pada Simbah Kakung Solo, Kyai Shoimuri. Simbah Kakung adalah putra dari Kyai Siroj. Kalau ingin tahu siapa Kyai Siroj, yang biasa disebut Mbah Siroj, googling saja, Anda akan banyak menemukan tautan tentangnya. Kyai Siroj dikenal sebagai pendakwah yang luas pergaulannya, moderat, dan bersahabat dengan semua suku, agama dan ras. Sampai saat ini pun, khoul Kyai Siroj tetap diperingati setiap tahun di Solo,  dan dihadiri oleh jamaah dari berbagai penjuru Tanah Air. Acara khoul ini, juga menjadi ajang reuni bagi kami semua, keluarga besar Bani Siroj. 

Kembali pada cerita tentang Simbah Kakung saya. Beliau dikenal sebagai ahli silaturahim. Jarak sejauh apa pun akan beliau tempuh untuk menjumpai para sanak saudara, kerabat, dan santri. Beberapa kali beliau rawuh di rumah kami, di Jenu, membawa kerabat baru, yang ternyata masih saudara kami yang telah puluhan tahun hilang, tak terendus jejaknya. Begitu kuatnya kemauan beliau untuk terus-menerus 'ngumpulke balung pisah' hingga sampai akhir hayatnya, sampai saat ini balung-balung yang sudah terkumpul itu terus menikmati dan mensyukuri berkah silaturahim itu. Tersambung dan menyatu dengan anggota Bani Siraj yang lain.

Saya bandingkan dengan apa yang kami lakukan sekarang, pengorbanan kami untuk bersilaturahim, tentulah tidak ada apa-apanya. Kami memiliki sarana untuk melakukannya. Ada kendaraan pribadi. Kalau pun tidak ada, ada kendaraan umum yang sepanjang waktu tersedia. Ada juga sepeda motor yang seringkali membuat perjalanan lebih mengasyikkan, touring sekaligus silaturahim. 

Saya sekeluarga sudah mengalami semua, naik kendaraan umum, naik sepeda motor, dan naik kendaraan pribadi. Tidak hanya saya sekeluarga yang melakukan itu, hampir semua saudara saya melakukannya juga. Bapak ibu kami mengajarkan pentingnya silaturahim, sehingga sowan-sowan dari ujung ke ujung ketika lebaran menjadi tradisi keluarga. Kadang-kadang, bila kesempatannya cocok, kami melakukannya dengan berkonvoi. Begitulah. Mungkin yang melihat tradisi keluarga kami ini akan mbatin, kok mau-maunya.... Ya. Nikmatnya bersilaturahim hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang mencintai silaturahim.

Sekitar pukul 23.00, kami tiba di rumah ibu, di desa Jenu, Tuban. Rumah besar yang sekompleks dengan sekolah RA, MTs dan MA itu, sepi. Pintu besarnya tertutup rapat. Setelah membuka dan menutup kembali pintu pagar, kami langsung memarkir mobil di halaman belakang. Sudah ada Karimun milik Dik Utik, adik saya, parkir di situ. Juga mobil Espass, milik ibu. Halaman belakang itu menyatu dengan rumah Mas Zen, kakak kami, kepala sekolah M.Ts Al-Hidayah, sekolah yang bernaung di bawah yayasan Al-Hidayah, yayasan yang dibangun oleh keluarga kami. Ketua yayasan adalah ibu saya, yang oleh orang-orang disebut Ibu Nyai Basjiroh.

Ibu sendiri bukan orang baru dalam bidang organisasi. Pengalamannya dalam organisasi IPPNU telah mengantarkan beliau pada jabatan sebagai sekretaris kepengurusan IPPNU Pusat pada periode pertama kepengurusan, dan sebagai Ketua pada periode kepengurusan kedua. Ibu juga terjun ke dunia politik dan itu mengantarkan beliau sebagai anggota DPRD Kabupaten Tuban pada tahun 70-an. Meskipun ibu sekarang mengaku muak dengan dunia politik, namun bagaimana pun ibu juga mengakui, dunia itu telah memberi banyak pengalaman dan pelajaran hidup baginya. Salah satu pelajaran hidup yang beliau tanamkan pada kami, "lek iso, ora usah melu-melu terjun ke dunia politik. Wis cukup ibu wae." Kebetulan, dari enam putra-putri ibu, tidak ada seorang pun yang tertarik terjun ke dunia politik, meski tawaran itu datang silih berganti. Saat ini, pada usia beliau yang menginjak 78 tahun, alhamdulilah, ibu dikaruniai kesehatan yang sangat baik, dan memungkinkan beliau untuk terus berdakwah serta mengabdikan diri pada pendidikan agama. Keterlibatan beliau dalam dunia politik saat ini hanya sebatas dimintai doa restu oleh para caleg yang akan maju. Ibu tentu saja paham betul apa yang dimaui para caleg itu dengan memohon doa restu beliau. Maka, beliau akan selalu bilang, "lek olehmu nyaleg iku ngko nggowo barokah, tak dongakno hasil. Ning lek malah ndadekno mudhorot, tak dongakno ora hasil." 

Saya membuka ponsel. Ibu yang terus memantau kami sepanjang perjalanan tadi berpesan, kalau kami sudah sampai, saya diminta menelepon, untuk membangunkan ibu. Kalau mengetuk pintu, ibu khawatir beliau tidak mendengar, karena jarak pintu belakang dengan kamar ibu yang lumayan jauh. 

Begitu pintu dibuka, saya langsung merengkuh tangan kurus itu, milik tubuh mungil yang begitu saya cintai. Ibu saya. 
"Assalamualaikum, Mik." Saya mencium punggung tangannya. "Ngaturaken sedoyo kalepatan, nyuwun pangapunten. Ngaturaken salam lan sungkem saking keluarga Ponorogo, Solo, Boyolali, Rembang lan Pamotan"

"Waalaikum salam. Iyo. Podho-podho, Umik yo semono ugo."

Kami memasuki ruang keluarga. Sepi. Dik Utik sekeluarga, yang juga baru datang dari Bojonegoro sore tadi, sudah pulas. Mas Ipung sekeluarga, saudara kami yang tinggal bersama ibu, sudah tak ada suaranya. 

"Sampun, Mik. Umik enggal istirahat malih, sampun dalu, mangke dalem ringkes-ringkesi. Lawangipun dalem mangke ingkang nutup."
"Ora tak gawekke teh disik?"
"Sampun, Mik. Mboten sisah, maturnuwun. Air putih kemawon. Lha meniko, kantun mendhet." Jawab saya.
"Yo wis, Umik sare maneh yo. Ojo lali nutup lawang."
"Inggih."

Malam itu, kami menurunkan hampir semua bagasi dari mobil. Kue-kue dan hadiah lebaran untuk ibu, para saudara, dan para keponakan. Inilah momen berbagi yang paling membahagiakan dalam hidup saya. Berbagi dengan para saudara, kerabat, dan tentu saja, orang tua. Mungkin tidak seberapa barang-barang yang kami bagikan, tapi bahwa itu sebagai bukti kalau kami selalu mengingat mereka, tentulah maknanya sangat bernilai. 

Larut malam mengantarkan kelelahan kami dalam tidur yang nyenyak. Masih ada serangkaian agenda selama tiga hari kami di Tuban ini. Apa lagi kalau bukan silaturahim. Ke sanak saudara, ke para sahabat. 

Arga yang kelelahan setelah menjadi driver jarak jauh, sudah tertidur pulas. Saya menatap wajah bulatnya yang tampan, mengelus rambutnya. Saya bersyukur pada Allah SWT, bagaimana pun, Arga yang cenderung sakarepe dewe itu, sudah terbiasa dengan tradisi silaturahim dalam keluarga besar kami. Dia tidak pernah mengeluh karena jauhnya jarak yang harus ditempuh, ditambah dengan kelelahan karena kemacetan di jalan, dan juga tugas tambahannya sebagai driver andalan. Dia nampak menikmati sekali pertemuan demi pertemuan dengan saudara-saudaranya, bercanda, bercerita, saling menggoda, dan berpisah setelah saling bersalaman dan saling mendoakan. Semoga kecintaannya pada silaturahim terus terjaga, sebagaimana kecintaan silaturahim yang telah diajarkan dan diwariskan oleh kakek nenek dan buyutnya.

“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman, musafir dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri”. QS. An-Nisa’: 36.


Tuban, 30 Juli 2014

Wassalam,
LN    

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...