Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 26 Maret 2017

Ng-Uber

Sehari ini saya ng-uber tiga kali. Pertama, pagi jam 08.00, dari rumah menuju PPG Kampus Lidah Wetan. Saya hanya membayar Rp.17.000,-. Kedua, dari kampus Lidah Wetan, sekitar jam 10.00, menuju Hotel Ibis Styles jalan Jemursari. Bayarnya Rp.35.000. Ketiga, selesai acara di Ibis, sekitar pukul 13.00, pulang ke rumah. Bayarnya Rp.11.000,-. 

Jadi dengan rute perjalanan sejauh itu, saya hanya mengeluarkan uang Rp.63.000,-. Padahal, saat saya naik taksi argo, dari rumah ke Kampus Lidah Wetan atau sebaliknya, bisa bayar lebih dari Rp.100.000,- Artinya, dengan menggunakan taksi online semacam uber, kita bisa berhemat tiga sampai lima kali lipat.

Murah banget kan? Tapi bukan murahnya itu yang saya mau tulis di sini. Saya ingin berbagi tentang profil para driver. Tentu saja sebatas hasil bincang-bincang dalam perjalanan tersebut.

Driver pertama, cewek, namanya--sebut saja Rini. Alumni Prodi Psikologi Unesa, lulus 2013, single, cantik, bersih, berambut panjang, modis. Dia bekerja di perusahaan konsultan IT, bagian HRD, di daerah Jemursari. Ng-uber hanya hari Sabtu-Minggu saja, sebagai pengisi waktu luang. Saat saya pesan uber lewat aplikasi di ponsel saya tadi, posisi dia ada di Gunungsari, jadi saya menunggunya hanya sekitar tujuh menit. Setelah saya duduk dalam mobilnya yang bersih dan wangi, dengan sopan dia memperkenalkan diri dan bertanya, "ibu terburu-buru atau tidak?" Saya jawab, "biasa saja, tidak terburu-buru."  Saya khawatir juga kalau saya bilang terburu-buru, dia akan menyetir dengan kecepatan tinggi alias ngebut. Tak terbayang gadis cantik dan bersih dengan jari-jari lentiknya yang sedang memegang setir itu membawa mobil seperti pembalap.

Sepanjang perjalanan, kami mengobrol. Saya sempat bertanya bagaimana pendapatnya tentang pro kontra taksi online. Dia malah memberi tahu, "besok ada sweeping lho, bu." Terus dia menambahkan, sebenarnya tidak masalah taksi online dilarang, tapi perbaiki dulu transportasi umum. Keamanan dan kenyamanan naik angkot dan bus kota, katanya. Hm, saya pikir anak ini objektif. Dia bisa memahami penolakan moda transportasi konvensional terhadap taksi online. Tapi dia tetap berpihak pada pelanggan. "Rider kan juga pingin kenyamanan, keamanan, dan kepraktisan, Bu. Itu hak mereka." 

Driver kedua, anak muda juga, saya perkirakan usianya sekitar 35 tahun. Tidak muda lagi ya? Hehe. Dia asli Salatiga. Tinggal di Lakarsantri bersama istri dan dua orang anaknya. Anak pertamanya, cowok, usia 6 tahun, kelas 1 SD. Anak keduanya, cewek, 2,5 tahun, sekolah di PAUD. Istrinya, asli Semarang, buka warung kopi di rumah. Ng-uber dan Nge-grab memang mata pencaharian dia. Awalnya dia mau jadi supir taksi Blue Bird, tapi karena kondisi seperti ini, dia urungkan niat jadi supir taksi konvensional itu, dan dia menyewa mobil untuk digunakannya ng-uber dan nge-grab. 

Saat saya tanya, bagaimana dengan problem antara taksi online dan konvensional, dia bilang, yang salah pemerintah. Pemerintah sudah mengeluarkan keputusan persetujuan operasional taksi online, sekarang gamang karena banyak pihak yang protes. Itu kan tidak tegas namanya. Lagi pula pelanggan kan punya hak memilih. Butuh kenyamanan, keamanan, kepraktisan. "Kalau taksi online mau dilarang, kayaknya nggak mungkin, Bu, sudah terlanjur merajalela," katanya. 

Selesai rapat koordinasi international conference di Hotel Ibis, saya kembali menghubungi uber. Kali ini drivernya sudah senior. Pensiunan kepala kantor pos. Ya, pensiunan kepala kantor pos, Saudara. Sudah pernah menjelajah seantero Tanah Air, karena sebagai pejabat, beliau sering ditugaskan berpindah-pindah dari satu provinsi ke provinsi lain. Terakhir beliau bertugas di Probolinggo. Putrany empat, sudah berkeluarga semua, juga tersebar di beberapa kota: Balikpapan, Jakarta, Surabaya, dan Palangkaraya. Sukses semua. Sekarang dia tinggal bersama istrinya saja, di Probolinggo. Main ke Surabaya kalau kangen cucu. 

Nah, ng-uber hanya untuk mengisi waktu saja. Iseng saja. Iseng-iseng dapat duit. Dia beli mobil baru di akhir 2016, saat sebuah show room mobil di Surabaya cuci gudang, jadi dapatnya harga yang sangat murah. Mobil itulah yang dipakainya untuk ng-uber saat ini. Kalau beliau nengok cucu di Surabaya, beliau akan tinggal seminggu-dua minggu. Jalan-jalan di Surabaya sambil ng-uber. Kadang dari Surabaya, beliau lanjut Yogya, nengok cucunya yang lain. Begitulah. Meskipun sudah berumur, beliau tidak langsung diam dan hanya mengharap uang pensiun. Masih produktif. Dan ini yang istimewa, meskipun beliau mantan pejabat, begitu jadi driver, sikapnya sangat sopan, sangat melayani, dan menerima tip yang saya berikan saat turun di depan rumah, dengan berkali-kali melontarkan ungkapan terima kasihnya.

Saya jadi teringat status yang ditulis sahabat saya di akun facebook-nya. Intinya kurang lebih tentang ketidaksetujuannya dengan keberadaan taksi online. Menurutnya, taksi online tidak seharusnya ada, karena tidak sesuai dengan peraturan layanan transportasi umum, dan drivernya seringkali bukanlah driver yang benar-benar butuh uang. Bukan sebagai mata pencaharian, melainkan sekadar mengisi waktu luang atau kerja sampingan. Sementara untuk taksi konvensional, menjadi supir taksi adalah satu-satunya mata pencaharian bagi para driver-nya.

Dari hasil ngobrol saya dengan tiga orang driver taksi online, apa yang diungkapkan teman saya itu ada benarnya, meskipun tidak sepenuhnya benar. Tidak semua orang ng-uber hanya untuk mengisi waktu luang atau sekadar kerja sampingan. Ada yang ng-uber memang benar-benar menjadi mata pencaharian andalannya. 

Apa pun itu, pada era informasi dan teknologi seperti saat ini, menolak segala sesuatu yang berbau online sepertinya sudah tidak mungkin, termasuk taksi online. Tak terhindarkan. Bagaimana pun semua orang harus menyesuaikan diri. Kata orang bijak, yang akan menjadi pemenang bukanlah mereka yang terkuat, namun mereka yang bisa menyesuaikan diri. Punya daya adaptabilitas tinggi. Coba lihat perusahaan-perusahaan besar dan berjaya pada masanya yang sekarang gulung tikar. Digilas kemajuan zaman, terkalahkan oleh perusahaan yang lebih mengandalkan kecepatan, kepraktisan, dan kenyamanan. Kemampuan untuk menyesuaikan diri itulah kunci untuk bisa bertahan dan berkembang dalam situasi apa pun.

Lagi pula, konsumen berhak memilih mana yang mereka inginkan. Bukan hanya soal harga. Tapi kenyamanan dan kepraktisan. Dengan uber, kita bisa memantau di mana posisi mobil yang akan menjemput kita, apa merk mobilnya, siapa driver-nya, seperti apa wajah driver-nya, bahkan berapa rupiah tarifnya, kita bisa tahu semua sebelumnya. Dan lain-lain kelebihannya, termasuk kebersihan kendaraan dan keramahan driver. Satu lagi, uber seringkali meluncurkan promo-promo. Pengalaman saya ng-uber hari ini adalah contohnya. Saya dikenakan tarif discount 50 persen. Menyenangkan sekali kan? 

Saya tidak sedang membela taksi online, meskipun akhir-akhir ini saya memang menjadi pelanggan taksi online. Saya hanya ingin menegaskan, bagaimana pun taksi konvensional harus berbenah dan mencari cara-cara cerdas untuk bisa tetap eksis. Wacana akan adanya peraturan yang mengendalikan harga taksi, sehingga selisih tarif antara taksi online dan konvensional tidak terlalu tinggi, sepertinya tidak akan banyak mempengaruhi pilihan pelanggan untuk tetap menggunakan taksi online. Jadi, bangkit dan berbenahlah, taksi konvensional. Bangkit dan berbenahlah angkot, bus kota, dan moda transportasi umum yang lain. Bangkit dan berbenahlah sesuai dengan tuntutan zaman, atau kalian akan gulung tikar.

Surabaya, 18 Maret 2017

LN  

Selasa, 07 Maret 2017

The Teaching And Learning Of Home Economics With Problem-Based And Character-Based Learning Models

Luthfiyah Nurlaela[1]
PKK-FT Unesa

Abstract: Home Economics is one of many courses taught at almost every university having Home Economics Education/HEE (Indonesian: PKK) Study Program, particularly at the Institute of Education for Teaching Professionals/IETP (Indonesia: LPTK). This is the basic knowledge of HEE/PKK that must be learned by all students of HEE; whether they concentrate on Food & Beverage, Clothing Management, or Make up Science. Unfortunately, at present, Home Economics is considered as just an obligation. Students are obliged to take the course, and be done with it. As in most other courses, in learning Home Economics, students are positioned as listeners, absorbing lots of information, in a dull learning condition. This doesn’t encourage students to solve problems. Therefore, in learning Home Economics, a different learning model is needed as an alternative; a model that provides opportunities for the potential development of the students and the lecturer. One model being suggested here is Problem-Based Learning. This model has general characteristics: providing students with authentic and meaningful problems, which will enable students to conduct research and inquiry (Ibrahim and Nur, 2005; Sweller, 1988; Hmelo-Silver & Barrows, 2006 ). Besides this problem-based learning model, the learning of Home Economics can also be based on characters. Character education is a vital part of national character building. In addition to that, character education is also expected to become the main foundation in reaching Indonesia Emas 2025 (Golden Indonesia 2025). Character Education becomes the focus of education in all levels of education, including university level. The objectives of this paper are: (1) to describe the learning model of Home Economics that has been implemented so far at the Department of PKK FT Unesa; (2) to identify  the weakness and the obstacles of it; (3) to describe an idea of a possible implementation of problem-based and character-based learning model for Home Economics subject. 

Keywords: Home Economics, Problem-Based Learning, Character Building

Introduction
Home Economics is one of the subjects being taught at almost all universities having Department of Home Economics Education, especially at the Institute of Education for Teaching Professionals/IETP. Home Economics has become the main source of Home Economics Education, which must be thoroughly studied by students of related departments, either those who concetrate on the study of Food & Beverage, Clothing management, or Makeup Sciences.
The teaching and learning of Home Economics becomes so crucial in this current globalization and technological era, becuase its main purpose is to provide strong bases for students about the importance of family unity and welfare. The philosophical bases about the significance of Home Economics subjects are: (1) democratic life of a family helps establish a democratic nation; (2) democratic life of a family emphasizes the importance of mutual cooperation among family members to build a satisfactory life; (3) satisfaction in life becomes a very important aspect in the development of an individual as either a member of a family or a community; (4) harmonious life among family members is very important to establish family happiness and welfare; (5) every family has different beliefs about social and economic values, becuase such beliefs depend very much on the intended purposes and mission of the family. Thus, the quality of family life depends relatively on the understanding about the values of life of the community where the family is living; and the family can do and perform the best with its own human resources to help develop the nation (Rifai, 1983; Nurlaela, 2010).
            However, Home Economics -which has been formally taught since play group level up to tertiary level of education, either integratedly with other subjects or on its own- is likely to have lost its essence. Home Economics being taught at tertiary education, particularly at the Department of Home Economics Education at universities, has been a mere compulsory subject, which must be programed by the students. As happens to all subjects, the teaching and learning of Home Economics does not facilitate students to perform collaborative learning with their peers to develop their ‘higher order thinking’ skill.
The importance of Home Economics, as a subject, is closely related to character building. Budirahayu (2001) states that formal education, which has so far been given at schools, is not oriented to character building, but rather to the heaps of knowledge that burden the students without reference to reality or real life. Minister of Education (in Daulay, 2002) states that education has paid little attention to the character building of the students. In line with the previous opinion, Madjid (in Parji, 2002) states that Indonesia is in danger because people are not used to applying and performing ethics in their daily life. The impact of attention-lacking to such morality is that some community members tend to become ill-tempered, malicious, dishonest, selfish, anarchic, provocative, job-madness, vandalis, vulgar, and behave negatively in the community (Sukaryono, 2004).
            To find solution for this phenomenon of serious moral cricis in Indonesian social life, the establishment of nation character and ethics education is very important. It must be developed as a medium to build the nation and its character (nation and character building). One way to develop nation character is through the teaching and learning of Home Economics.
The teaching and learning of Home Economics has been organized in such a way to focus on the students (student-centered) through the development of group discussions and assignments. However, lecturers-students’ activities are still monotonous and unchallenging, which, in turn, makes the teaching and learning of Home Economics fruitless and lose its intended targets. The skills that are expected as results of the teaching and learning of Home Economics are: students will have the understanding of Home Economics, they will be skillful in organizing individual and family resources, they will have professional attitude necessary if they become future manager of a family, and they will have knowledge and skills for relevant professions in Home Economics. In addition to that, Home Economics is also expected to help develop students as potential human resources, who can establish ethics and moral as the bases of their daily life.
Those goals cannot be reached with the current model of teaching and learning, which contains some weaknesses. The students’ presentations and discussions have become monotonous activities with no contributions in the development of students’ creativities. Teachers can motivate students to get involved maximally in students’ presentations and discussions, but the quality of students’ assignments, papers, and proposals are still quite low. Consequently, the students’ achievements are relatively poor and far from expectation.
Therefore, there must be substantial attempts to formulate and implement other alternative models of teaching and learning, which may facilitate students and teachers (lecturers) to develop themselves. One recommended model is the application of problem-based teaching and learning. This model is selected and recommended because it is considered suitable to the characteristics of the materials of Home Economics. In addition to that, the practical activities of teaching Home Economics are also suitable to the principles of the problem-based model. This will ease the designing of the teaching and learning activities of the subject.
 Problem-based learning model has general characterictics, among others is providing students with authentic and meaningful problems, which may help and ease them in developing research and inquiry skill (Ibrahim dan Nur, 2005; Sweller, 1988; Hmelo-Silver & Barrows, 2006 ). In addition to the general characteristics, this model also maintains its specific characteristics; such as the presentation of questions or problems for students to solve, the focus on the interrelatedness of various relevant knowledge, the authentic research, which produce learning products that can trigger students collaborations with their peers. The authentic problems are those that can be found in every day life, which solutions of them can be directly and practically applied. Authentic problems will attract students’ interests because such problems are related directly to their practical lives. This means, by promoting and integrating the authentic problems in Home Economics subjects, the teaching and learning activities will be interesting and fruitful.
Besides problem-based learning model, the teaching and learning of Home Economics is also designed to be character-based. Character building has been made as one of the purposes of national education program. Article I of the 2003 Regulation of the National Education Systems (Indonesian: UU Sisdiknas tahun 2003) states that one of the main purposes of national education program is to develop and maintain the potentials of students: their intellectuals, personality, and morals. Such an important message of the 2003 Regulation sparks an idea that education is designed and dedicated to create Indonesian people who are not only intellectually smart, but also have good characters. In shorts: a future generation with moral and religious values.

The integration of Characters into the Teaching and Learning of Home Economics
Home Economics, in Webster’s Encyclopedia, is defined as “A science and art dealing with home making and relation of home to community, theory and practice concerning to the selection and preparation of food and clothing, condition of living, the use of income, the care and training children etc., also the study of teaching at Home Economics Department concerned with this.” Soedarmo and Sediaoetama (1987) point out that Home Economics is a science focussing on the study of family life and factors affecting it, and finding out the ways to improve the quality of family life for the prosperity of the family. This opinion is in line with the definition put forward by the  American Home Economics Associations (AHEA) in which home economics is defined as the science and art which have close relation to the improvement of the quality of a family, which means that (1) it focuses on family, and (2) it matches and combines scientific and human approaches to help individuals face any possible changes and then utilize the existing technology to improve their lives (Parker, 1980).
Home Economics, as a part of science, is actually an integration of various sciences. Parker (1980) states that Home Economics cannot stand alone as a science, but it uses research findings from various different sciences, such as physics, chemistry, bacteriology, biology, anthropology, psychology, sociology, economics, medical science, nutrient, and education. In addition, Home Economics is also related to religion, ethics, and aesthetics. Thus, it can be said that Home Economics is an integrated subject. This subject (or science) can develop widely because of the view that all knowledges or sciences should be applied to get better and prosperous life (Winarni dan Luthfiyah Nurlaela, 1997; Nurlaela, 2010; Nurlaela, 2011).
Home Economics also provides some basic knowledge to obtain and develop a family skill or profession, which may be employed as a medium to generate income. This is in line with the definition of Home Economics provided by the International Federation for Home Economics (IFHE) that “Home economics is the profession and field of study that deals with the economics and management of the home and community”.
As part science and part skill, Home Economics supports the practice of family life to reach the goal of the family itself, that is, family welfare. It is believed that family welfare becomes the basis of the establishment of a prosperous community. A peaceful world also depends on the welfare of any individual member of the community, who –first of all- lives in the family. It can be said, then, that family is the foundation of a nation/country. A family unit has a great potential and contribution to the development of a nation/country. This is because home and family have great impacts on the development of ethics and moral of the children. So, family is far more contributive to the development of a nation/country than any other institution.
Home Economics, in any form of teaching and learning activity, is given to the children since their childhood to their adulthood, either in formal, informal, or non-formal setting. In formal education, Home Economics is taught since kindergarten or play group level. The teaching and learning of Home Economics is generally intended to build a good habit of life in the family and its surroundings. It is taught through games and relevant functional trainings, such as greetings, saying thank you, washing hands, and asking for permission to do something. In this context, education is focused on the development of ethics and the widenning of life experience, as well as developing life skills. This level of education becomes a bridge between education in the family and education at  elementary school.
At elementary education level, Home Economics helps children acquire basic knowledge and habit of how to live in the family and the community. This can be obtained through (1) development of good habits that have been taught at kindergarten or play group schools, (2) development of habit in cooperation among the peers on the basis of love and responsibility, and (3) development of behavior and understanding about the importance of beauty and cleanliness.
The teaching and learning of Home Economics at elementary school is conducted integratedly with other existing subjects at school. At this level of education, the teaching and learning of Home Economics gives students opportunity to develop their personality, to adapt with surrounding environment, to be physically and mentally healthy, and to appreciate and practice the best values of life. Home Economics teaches students to become family members, who can easily adapt with changing condition in the family and its surroundings. Through teaching and learning activities, students are expected to develop their sensitivity towards cooperation, and their relevant skills to face reality of every day life.
Home Economics at junior and senior high schools (Indonesian: SMP/SMA) functions as a medium to develop understanding about life and family life. Home Economics, at this level of education, facilitates students to develop themselves as useful members of the family and society. This subject can be presented as an individual subject, or be made as a part of a subject, or be integrated with other subjects; such as Religion, Nationality, Science, Social Science, and Language. Home Economics can also be presented in the forms of non-curricular activities, such as UKS, School Canteen; and  other extra-curricular activities, such as Boy-Scouting.  Home Economics is intended for both female and male students, either individually or in group. Home Enomics may be presented by integrating and matching it with current real condition at school; for instance, through the teaching of being responsible for classroom and schoolyard cleanliness. Students organizing certain school activities is also a way of teaching Home Economics.
Home Economics at Vocational School (Indonesian: SMK) is intented to help students develop their understanding and skills in family life that may be useful after they finish school. It is called life-skills. Home Economics, in this level of education, functions to facilitate students develop their capacity to work, maintain themselves in the work (job) that they have chosen, or to get better job.
Meanwhile, Home Economics at the tertiary level of education is presented more as the extention or elaboration of the previous materials presented at junior or senior high schools. Most activities in this subject are focussed on observation, research and indepth study of all aspects of family life. They are also integrated in a professional study as those performed at the Faculty of Professional Teachers, the Faculty of Medical Science, the Faculty of Agriculture, Faculty of Language and Arts.
Based on the previous explanantion, Home Economics has actually taught character in the implementation of its teaching and learning activities, right from the play group up to the tertiary levels of education. Characters that are developed through this subject, among others, are honesty, responsibility, self-confidence, competence of developing cooperation, communicative competence, and scientific attitude. However, the development of those characters is not more than as a nurturant effect, that is, it has not yet been designed as the instructional effect.
In character education, there is a substantial need to develop cores of ethical values, such as honesty, justice, care, responsibility, and self-esteem; together with other supporting values, such as seriousness, high work-ethics/ethos, and persistence. Therefore, schools should be responsible and be committed to develop students’ characters based on those values. They should also define those characters operationally in the forms of practical daily attitude and behaviour at schools, exemplify the values, discuss them, use them as the bases for developing human relations, and appreciate as well as apply the values in the community (Bashori, 2010).

The Teaching and Learning of Home Economics at the Home Economics Department of the Faculty of Engineering, the State University of Surabaya
            At university level, Home Economics belongs to the group of ‘skill’ subjects (Indonesia.: MKK). This subject is due to be programed at the even semester (first semester) at all study programs at the Department of Home Economics covering the study programs of Food Science, Clothing Management, and Makeup Science. Home Economics is taught at the first semester with the intention that new students (freshmen) can get the gist, coverage, and scientific methodology of their future study earlier. Another objective of the early presentation of this subject is that students would understand more comprehensively that Home Economics is a science, so that it has to be developed scientifically.
The number of freshmen who should program this subject at the first semester, for each study program, is usually about 50 students. The number can be bigger when students who failed the subject in previous semester and trasfering students (from D3 to S1) also join/take this subject again. Thus, to overcome problem of teaching a big class,  students are split into two groups or classes (class A and B).
The targeted competence in Home Economics, based on the current syllabus, are the mastery of the basics of Home Economics as the main source of Home Economics Education, the concept family and family life, and the introduction of research methods in the field of Home Economics Education. This subject is described to consist of: 1) Home Economics and the function of home economics; and 2) family and family life. Home Economics is further described as covering basic terminologies of Home Economics as a science, field or coverage of study, and the usefulness of Home Economics. The description of family and family life consists of: definition, the form and function of family; family welfare and family policy to achieve welfare; family unity, recourses and activities.
Based on the previous competence and description, the materials of Home Economics may be described as including: 1) basic terminologies of Home Economics; 2) background of Home Economics Department in various education institutions; 3) definition, form, and function of family; 4) definition of welfare and family welfare, and the factors affecting family welfare; 5) kinds and intencity of family needs; 6) definition, kinds and the development of family resources; 7) activities in family life; 8) family life in relation to nation life; 9) steps of conducting research and methods of collecting data of family problems; 10) compilation of research proposal; and 11) seminar of research proposal.
The lecturing activities consist of: 1) materials presentation and discussion; 2) compilation of simple research proposal; 3) and seminar of the research proposal. The evaluation for this subject covers: 1) class participation; 2) assignment; 3) mid-semester test; and 4) final semester test.
At the stage of materials presentation and discussion, students are split into nine groups, following the number of teaching materials. Each group gets one material (topic). The assignment of each of the group is writing a paper on the basis of the relevant material, prepare the presentation in the form of power point, present and discuss the material (topic) in the classroom. The quality of the paper and the power point is assessed as the score of assignment, and the students’ activities in the class discussion and presentation is assessed as the score of participation. In the activities of writing a research proposal, students are guided and supervised to formulate research questions in the field of Home Economics, particularly those related with the ten (10) family activities such as: inter- and intra- family relationship, looking after children, food and nutrient, clothing, housing, health, finance, home management, social security, and health planning. The main purpose of compiling and writing this simple research proposal is to uncover the students’ views about the authentic problems in the field of Home Economics. Furthermore, the seminar of the proposal is presented during the two last sessions in the semester. The main intention of this seminar presentation is to give students the opportunity to share and then learn how to solve problems through scientific study or research. The resolutions of problems raised in the proposal should be matched with the role and function of Home Economics as a subject in tertiary education, that is, to observe, to study in-depth, and to develop the understanding of all aspects of family life. This seminar is assessed as the component of the score of participation.

Identification of the Weaknesses and Problems in the Teaching and Learning of Home Economics
            Based on the implementation of the teaching and learning of Home Economics in the Home Economics Department, the Faculty of Engineering, the State University of Surabaya, it is found that the teaching and learning of the subject has been conducted using  student-centered model. The lecturers do not become the only resources of knowledge. The students are facilitated to develop their own knowledge and ideas, and to collaborate with their peers to use the learning resources. The students are also given the opportunity to express their ideas. So, they are not only trained to develop their communicative skills, but also their competence to solve existing problems, especially when they are supposed to answer questions put forward by their peers.
However, there is still a  problem, which is that such kind of teaching method has been implemented monotonously in every classroom session. No matter how sophisticated a learning method is, it could become conventional if performed monotonously in the classromm for the whole semester. This is likely to happen because the students get used to the same method of teaching throughout the semester. In turn, they will consider it and implement it as a boring routine. Consequently, such method will not be challenging anymore and will tend to be  monotonous.
Typically, a lecture starts with a short explanation about the nature and the importance of the materials. This is followed by the students’ presentations (in group) about various theoretical concepts in relevance with the existing materials by using LCD. Each group should appoint a moderator, a presenter, and a note-taker during the presentation. Everyone in the discussion has the same opportunity to present and put forward his/her ideas as well as to answer questions that might be raised by other students. Along the discussion session, the lecturer should act as a facilitator; but because of some problems, the lecturer very often takes part in answering the students’ questions, and thus he/she is no longer functioning as facilitator.
The problems appearing from the application of such method of teaching are: 1) the students of the presenting group play more role in the discussion, and it is very often that they do not master the presented materials well; 2) because of the little mastery of the materials by the presenters, the discussions do not run smoothly, because lots of time are spent by the presenting students to discuss the materials among themselves to find answers to the questions; 3) because the presenters are not completely prepared with the materials, other members of the class are reluctant to ask or raise questions.
The above problems have made the lectures monotonous and unchallenging, although they have been set up as student-centered lectures. The other implication is that the time for the discussion cannot be spent effectively. Consequently, it results in the little significance of the products of learning. More over, the assessments, which are so far based on paper and pencil test model, fail to motivate students to study Home Economics deeply. The students tend to just learn the materials by heart without focussing on the problem solving model.
           
The Application of Problem-Based and Charater Based Teaching and Learning of Home Economics
            The current teaching and learning of Home Economics still encounters many problems: it lacks of students’ active participations in classroom, the assessment is mostly done by using paper and pencil test model, and it is not oriented to problem solving model. Here is why another alternative and innovative model of teaching and learning of Home Economics is needed.
Research on the advantages of applying an innovative model of teaching and learning has previously been conducted and it is proved that such a model can improve the quality of learning achievement. Some characteristics of contextual method of teaching and learning are appreciating students’ experience in the teaching and learning processes and facilitating students’ competence to solve problems (Blanchard, 2001). It is proved to have contribution to the quality improvement of the teaching and learning of food and beverage management in the Tourism Department of Vocational School (Nurlaela, 2001). Method of material presentation with Competency Based Training (CBC) model, which is mostly oriented to the students’ competence and performance (Nurlaela, 2002), has a great impact towards students’ enterpreneurship competence (Marsudi dkk, 2003; Basuki dan Luthfiyah Nurlaela, 2004). It can also improve and increase the quality of the teaching and learning of ‘table-setting’ sub-competence and food and beverage services (Kamariyah, 2003).
The quality of the processes and the products of teaching and learning at elementary school level increase significantly with the application of the thematic model. It should be noted that the thematic model accomodate as much as possible the student variation or differences, giving a chance for the development of collaborative learning activities and the class-based assessment (Suryanti dkk, 2004; Nurlaela, 2007). The problem-based teaching and learning model is proven to give positive contribution to the quality improvement of the students’ cognitive, problem-solving, and collaborative competence (Koh et.al., 2008; Hmelo-Silver, 2004; Amstrong, 1999). The characteristics of teaching and learning models are oriented to students. Cooperative/collaborative activities, authentic assessment, and contextual problem-solving are among the characteristics of problem-based model. This model does not only give positive impacts towards the students’ knowledge and skills, but also to the development of their attitude and behavior.
For this purpose, the application of the problem-based model is then very crucial. It facilitates students to face and solve authentic problems, in which they are required to seek for alternative solutions to the problems. In performing these, the students are forced to apply their problem-solving, higher order thinking skills, and collaborative skills.
The problem-based model has general characteristics, that is, it offers students with authentic and meaningful problems, which provide them useful clues for conducting inquiry and research. In addition, this model also has some specific characteristics, such as: it constantly raises questions or problems, it focuses on the integration of various subjects, it enables authentic observation, and it produces certain relevant products of learning and collaboration. The authentic problems are those which may be found in daily life, and the solutions to the problems are useful for those who solve them (Ibrahim dan Nur, 2005). The syntax of the problem-based teaching and learning is as follows:

Table 1. The syntax of the problem-based teaching and learning model
Stages
Teachers’ Behavior
Stage 1
Students orientation to the problems
Lecturer explains the objective of the teaching and learning, explains the required logistics, motivates the students to actively involve in the problem solving activities of the problems they have chosen.
Stage 2
Organize the students to study
Lecturer helps the students to define and organize learning tasks regarding the above problems.
Stage 3
Supervise individual or group observation
Lecturer motivates the students to collect as much as relevant information, conduct experiment to obtain explanation and solutions to the relevant problems.
Stage 4
Develop and present the learning products
Lecturer helps students to plan and prepare the relevant learning products such as written report, video, and model; and helps them to distribute tasks to the peer students.
Stage 5
Analyze and evaluate problem-solving processes
Lecturer helps students do reflection or evalution of their observations and all the processes they go through when performing the observation.
The above stages or syntax ares applied in the teaching and learning of certain material of Home Economics, such as the material of family activities. Students are motivated to seek for relevant problems with family activities in order to fulfill family needs. In this context, the management of family resources becomes very crucial. Every problem is approached scientifically, starting from the formulation of the problems, the resolution of the related problems, up to the presentation of the students’ works/products. The teaching and learning activities are performed collaboratively. The lecturer designs the evaluation and the products of learning as well as possible so that the evaluation is not only based on paper and pencil test but also on portofolio. Through this teaching and learning model, the expected character can be designed and planned in such a comprehensive way, including the methods of observing and measuring the characters in the teaching and  learning activities.

Closing remarks
The conclusion of this paper is that: 1) the teaching and learning of Home Economics conducted in the Home Economics Department, the Faculty of Engineering, the State University of Surabaya has been attempted to be student-centered, but it still faces some problems; 2) the teaching and learning of Home Economics includes character building, but the characters themselves have not yet been designed as the instructional efffect; and 3) the problem-based teaching and learning of Home Economics is in line with the teaching materials of the subject and is relevant to the the teaching and learning models which are currently applied at the university.
            There have to be serious commitments from the lecturers to apply meaningful teaching and learning processes, which may increase students’ active involvement in class activities and deveop students’ collaborative and higher-order thinking  skills. A well-planned teaching and learning program can be the appropriate alternative to obtain that goal.

References
Armstrong E. 1991.  A hybrid model of problem-based learning. In: Boud D and Feletti G (editors): The challenge of problem-based learning, 137-149. London, Kogan Page, 1991.
Bashori, K. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/15/129378/68/11/Menata-Ulang-Pendidikan-Karakter-Bangsa. Diakses 10 September 2010.
Basuki, I. dan Luthfiyah Nurlaela. 2003. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Kompetensi pada Sekolah Menengah Kejuruan Bidang Keahlian Pariwisata. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.
Blanchard, Alan. 2001. Contextual Learning. B.E.S.T.
Budirahayu, T. 2001. Kondisi Moralitas Bangsa Indonesia dalam Menghadapi Persaingan Global. Makalah Seminar Strategi Pendidikan Indonesia Menghadapi Persaingan Ekonomi Global. Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang.
Daulay, A.S. 2003. Pendidikan Humaniora untuk Mengembangkan Wawasan Kemanusiaan dan Kebangsaan. Jurnal Ilmu Pendidikan. Malang: LPTK dan ISPI.
Hmelo-Silver, C. E. 2004. Problem-based learning: What and how do students learn? Educational Psychology Review. 16(3), 235-266.
Hmelo-Silver, C. E. & Barrows, H. S. 2006. Goals and strategies of a problem-based learning facilitator. Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning. 1. 21-39.
Ibrahim, M., dan M. Nur, 2005, Pembelajaran Berdasarkan Masalah, Surabaya: PSMS UNESA.
International Federation for Home Economics (IFHE): Position Statement in: International Journal of Home Economics, Volume 1, Issue 1, available http://www.ifhe.org
Kamariah, N. 2003. Upaya Meningkatkan Kualitas KBM melalui Pendekatan Competency Based Training (CBT) pada Subkompetensi Penataan Meja dan Pelayanan Makanan dan Minuman. Skripsi. Universitas Negeri Surabaya.
Koh, Khoo, Wong, & Koh. 2008.  The effects of problem-based learning during medical school on physician competency: a systematic review, 2008, CMAJ 178(1).
Marsudi, Luthfiyah Nurlaela, dan Ismet Basuki. 2003. Peningkatan  Kemampuan  Berwirausaha melalui Metode Penyajian Berorientasi  CBT bagi Mahasiswa D3 Teknik Industri Boga FT unesa. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.
Nurlaela, L. 2001. Penyusunan Perangkat Pembelajaran Kontekstual Mata Pelajaran Teknik Pengolahan Makanan dan Minuman di SMK Kelompok Pariwisata. Laporan penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.
Nurlaela, L. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implikasi. Jurnal Teknologi Pembelajaran Teori dan Praktek. Tahun 11/2, Oktober 2003. Malang: IPTPI bekerjasama dengan PPS Universitas Negeri Malang.
Nurlaela, L. 2007. Pengaruh Model Pembelajaran, Gaya Belajar, dan Kemampuan Membaca terhadap Hasil Belajar Siswa SD di Kota Surabaya. Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 9 No. 1, Maret 2008, ISSN : 1411 – 285X.
Nurlaela, L. 2010. Peran Pendidikan Ilmu Kesejahteraan Keluarga (Home Economics) dalam Pembangunan Masyarakat. Pidato Pengukuhan disampaikan pada pengukuhan jabatan Guru Besar dalam Bidang Pendidikan Ilmu Kesejahteraan Keluarga pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya, Kamis 7 Januari 2010.
Nurlaela, L. 2011. Pembelajaran karakter dalam Ilmu Kesejahteraan Keluarga. Dalam Rekonstruksi Pendidikan, Kumpulan Pemikiran tentang Perlunya Merekonstruksi Pendididikan di Indonesia. Editor: Syirikit Syah dan Martadi. University Press, Universitas Negeri Surabaya.
Parker, Frances J. 1980. Home Economics, An Introduction to A Dynamic Profession. New York: Macmillan Pub. Co. Inc.
Porwosoedarmo dan Djaeni Sediaoetama. 1987. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat.
Rifai, M. S. S. 1983. Garis Besar Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. PKK IKIP Bandung.
Samani, Muchlas. 1992. Jatidiri Keilmuan PTK. Makalah disampaikan pada Temu Karya V Forum Komunikasi FPTK IKIP se-Indonesia di IKIP Semarang.
Suryanti, Luthfiyah Nurlaela, Wahono Widodo. 2007. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Tematik untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di  Kelas Rendah SD. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.
Winarni, A. dan Luthfiyah Nurlaela.1997. Sosok Keilmuan IKK dan Program Perluasan Mandat. Makalah disampaikan pada Temu Karya V Forum Komunikasi FPTK dan JPTK IKIP se-Indonesia di IKIP Semarang.
Sukaryono. 2004. Sumbangan Pembangunan Karakter Bangsa dalam Pendidikan. Media Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Vol 27/1/2004. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Sweller, J. 1988. "Cognitive load during problem solving: Effects on learning". Cognitive Science 12 (2): 257–285. doi:10.1016/0364-0213(88)90023-7. 



[1] Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd, Professor in Home Economics Education, Lecturer at the Faculty of Engineering, State University of Surabaya.

Antara Pendidikan Karakter dan Pendidikan Kecakapan Hidup

Oleh Luthfiyah Nurlaela


Pendahuluan
          Istilah pendidikan karakter sudah banyak dikupas di berbagai kesempatan, baik secara verbal maupun tulisan, lebih-lebih sejak beberapa tahun terakhir ini. Sebagaimana diketahui, dalam rangka membangun bangsa dan negara ke depan, kementerian pendidikan nasional telah mencanangkan pendidikan karakter sejak tanggal 2 Mei tahun 2010. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter juga diharapkan mampu menjadi fondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kemendiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya.
          Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.  Pendidikan Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang  berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik memiliki karakter yang baik meliputi  kejujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan sehat,  peduli, dan kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi  kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.
          Pendidikan kecakapan hidup (life skills), tentu bukanlah istilah yang baru. Bahkan sebagian besar orang akan menganggap pendidikan kecakapan hidup adalah ‘barang lama’. Memang sudah sejak sekitar tahun 2000-an pemerintah, dalam hal ini  departemen pendidikan nasional, menggulirkan pendidikan kecakapan hidup (PKH) yang kemudian diimplemetasikan mulai dari jenjang SD sampai dengan SMA/SMK. Konsep yang sebenarnya sangat bagus tersebut setengah kandas di tengah jalan. Meskipun para pakar pendidikan terus menggaungkan PKH, namun pada taraf implementasinya, PKH mengalami banyak kendala karena berbagai alasan.
          Tulisan ini sekedar ingin menunjukkan betapa dekatnya kaitan antara pendidikan karakter dan PKH. Artinya, kita seringkali melakukan perubahan-perubahan, yang sebenarnya perubahan tersebut hanyalah ’memoles’ barang lama menjadi barang baru, atau membungkus barang yang sama dengan bahan pembungkus yang berbeda; namun substansinya tetap sama. Munculnya wacana pendidikan karakter akhir-akhir ini sebenarnya merupakan penegasan kembali dari apa yang telah disadari oleh para founding fathers dulu. Sejak awal para Pendiri Negara sudah menyadari betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa, sebab tanpa karakter yang baik, apa yang dicita-citakan dalam pendirian negara ini tidak akan berhasil. Dalam implementasinya, pendidikan karakter ini dinamakan pendidikan budi pekerti, etika, pendidikan kepribadian, dan sebagainya. Sedangkan PKH bila dicermati, juga berkaitan erat dengan bagaimana membangun karakter peserta didik, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk bisa hidup dan bertahan dalam segala situasi kapan dan di mana pun mereka berada. Tanpa karakter yang baik dan tangguh, kemampuan tersebut tidak akan dapat diperoleh.

Apakah Pendidikan Karakter?
Sebelum menguraikan pengertian pendidikan karakter, perlu disepakati dahulu pengertian karakter. Istilah karakter (Yunani: charakter) berarti ‘tanda-tanda abadi’. Tanda-tanda yang melekat pada diri individu, yang membedakan individu satu dari lainnya. Pengertian karakter dalam hal ini adalah karakter baik, dan membangun karakter berarti membangun sifat-sifat positif, terhormat, dan etika yang baik. Sifat-sifat yang melibatkan aturan berperilaku baik dan mengembangkan kebiasaan baik, yang hanya dapat terjadi melalui suatu praktik yang berulang.
Karakter juga dimaknai sebagai kebaikan atau eksentrisitas seseorang. Sebagian orang menganggap karakter bersifat personal, sementara yang lain memandang lebih bersifat behavioral. Karakter dimaknai sebagai seperangkat karakteristik psikologi individu yang mempengaruhi kemampuan dan menimbulkan dorongan seseorang untuk memfungsikannya secara moral. Secara sederhana karakter terdiri dari sifat-sifat tersebut yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu hal secara benar atau tidak.
Berkowitz (dalam Damon, 2002) mendefinisikan karakter sebagai anatomi moral. Berkowitz meyakini bahwa fungsi moral seseorang dipengaruhi oleh karakteristik psikologisnya. Karakter sebagai anatomi moral adalah komponen psikologi yang membuat seseorang memiliki moral seutuhnya. Dalam anatomi moral tercakup tujuh bagian, yakni perilaku moral, nilai-nilai moral, kepribadian moral, emosi moral, pertimbangan atau pemikiran moral, identitas moral, dan karakteristik dasar.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Secara akademis, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan akhlak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu, muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991).
Secara praktis, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai kebaikan kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (YME), sesama manusia, lingkungan, maupun nusa dan bangsa, sehingga menjadi manusia paripurna (insan kamil). Pendidikan karakter di sekolah dan perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus (Zuhdi, dkk: 2010).
Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Di dalam pembelajaran di kelas, karakter juga diharapkan sebagai salah satu hasil belajar atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa: “pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”. Namun kenyataannya, aspek karakter di dalam pembelajaran seringkali dianaktirikan. Karakter lebih banyak dianggap sebagai efek pengiring (nurturant effects), dan bukan sebagai efek pembelajaran (instructional effect).
Dari sinilah masalah dimulai. Pengalaman menunjukkan keterampilan proses dan tujuan-tujuan yang bersifat afektif dan perilaku itu tidak muncul, walaupun siswa dinyatakan telah menguasai aspek kognitif dan psikomotoriknya. Penelitian Nur, dkk (1996) menyimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam keterampilan proses sangat rendah. Ditemukan pula pola pembelajaran di sekolah sangat berorientasi pada produk, sehingga kegiatan pembelajaran yang dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan proses tidak dilaksanakan. Penelitian Blazely, dkk (1997) menemukan fenomena yang mirip, sehingga pembelajaran seakan menjadi penumpukan fakta, konsep, dan teori semata.
Berdasarkan kelemahan ini, serta juga didorong oleh kesadaran bahwa begitu pentingnya pembangunan karakter melalui pendidikan, maka dalam rangka program pembangunan karakter bangsa, aspek karakter diharapkan benar-benar menjadi tujuan pembelajaran, sebagaimana aspek lain (kognitif dan psikomotorik).
Agar aspek karakter benar-benar menjadi instructional effect, maka pembelajaran karakter harus sengaja dirancang. Berbicara tentang perancangan pembelajaran, tentu saja menyangkut bagaimana mengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berbasis karakter. Dalam RPP harus sengaja merancang: 1) karakter apa yang akan dicapai melalui pembelajaran tertentu. Karakter yang dimaksud harus dicantumkan dalam indikator dan tujuan pembelajaran; 2) untuk mencapai karakter yang telah dicantumkan di dalam indikator dan tujuan pembelajaran tersebut, diperlukan pula rancangan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan. Pengalaman belajar apa yang akan dihayati oleh siswa, harus tergambar dalam skenario pembelajaran; dan 3) untuk mengukur apakah proses pembelajaran yang dilakukan untuk memperoleh karakter yang telah dirumuskan telah tercapai atau belum, diperlukan rancangan penilaian/asesmen yang akan digunakan.
Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat (Bashori, 2010).

Apakah Pendidikan kecakapan Hidup?
Bertumpu pada keadaan hasil pendidikan selama ini dan berbagai tuntutan, tantangan, serta kebutuhan eksternal masa kini, banyak kalangan berpendapat bahwa: (1) pendidikan harus ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas, bukan hanya bagi kelompok masyarakat tertentu, (2) pendidikan harus berorientasi populistis, tidak boleh elistis semata, (3) pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan dan hajat hidup masyarakat luas, bukan sebagian kecil masyarakat, (4) pendidikan harus kontekstual dan cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat yang diidamkan, (5) pembelajaran harus diarahkan untuk menyantuni pembelajar agar mampu hidup mandiri dan otonom dalam hidup dan kehidupan masing-masing, bukan hanya memiliki kepandaian akademis-intelektual, (6) sekolah harus senantiasa terlibat dalam perubahan masyarakat, dan (7) sekolah juga merupakan lembaga pembentukan kecakapan hidup, yang dibutuhkan oleh masyarakat luas dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, bukan penerusan ilmu pengetahuan teoritis-akademis semata.
          Sebagai konsekuensi dari pendapat-pendapat di atas, maka muncullah kemudian antara lain pendidikan kecakapan hidup.  Berbagai negara di dunia saat ini sedang mengembangkan pendidikan berorientasi kecakapan hidup dengan bertumpu pada masyarakat luas. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia juga secara sungguh-sungguh, terprogram, dan terencana mencoba mengembangkan pendidikan kecakapan hidup dengan menggunakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat luas.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2002), kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Dalam pandangan Kendall dan Marzano (1997), kecakapan hidup merupakan diskripsi seperangkat kategori pengetahuan yang bersifat lintas isi atau kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan untuk dunia kerja. Sedangkan Brolin (1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari, tidak harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini berarti bahwa bentuk kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat (praxis dan techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing sekaligus skills of being.
 Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2) kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational skill).
          Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan dua kecakapan yang terakhir disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan nyata, antara GLS dan SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas, 2002; Samani, 2007; Samani, 2011). Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.
          Tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus, pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup bertujuan: (1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan (3) mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Depdiknas, 2002).
          Pendidikan kecakapan hidup bukanlah membentuk mata pelajaran-mata pelajaran baru, tetapi mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Ada tiga prinsip mendasar dalam pengembangan pendidikan kecakapan hidup, yaitu: (1) tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku saat ini, (2) tidak harus dengan mengubah kurikulum, sebab yang justru diperlukan adalah pensiasatan kurikulum untuk diorientasikan pada kecakapan hidup, dan (3) etika sosio religius bangsa dapat diintegrasikan dalam proses pendidikan. Bertolak dari ketiga prinsip tersebut, maka pengembangan kecakapan hidup tidak dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, melainkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang ada selama ini dengan prinsip-prinsip yang sama di atas.
          Walaupun pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dapat bervariasi disesuaikan dengan kondisi anak dan lingkungannya, namun memiliki prinsip-prinsip umum yang sama. Prinsip-prinsip umum yang khususnya terkait dengan kebijakan pendidikan di Indonesia, selain ketiga prinsip dasar di atas, juga meliputi: (1) pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together, (2) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS), (3) potensi wilayah sekitar sekolah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan, sesuai dengan prinsip pendidikan kontekstual dan pendidikan berbasis luas (broad based education, (4) paradigma learning to life and school to work dapat dijadikan dasar kegiatan pendidikan, sehingga terjadi pertautan antara pendidikan dengan kebutuhan nyata peserta didik, dan (5) penyelenggaraan pendidikan senantiasa diarahkan agar peserta didik menuju hidup yang sehat dan berkualitas; mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas; serta memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidupnya secara layak (Depdiknas, 2002).
          Relevan dengan pendapat di atas, prinsip umum implementasi pendidikan kecakapan hidup adalah meliputi: (1) tidak harus atau tidak perlu mengubah bangun dasar atau sistem pendidikan nasional yang sekarang  berlaku; ini mesyaratkan format dan model implementasi pendidikan kecakapan hidup yang fleksibel dan bervariasi, (2) tidak harus atau tidak perlu mengubah kurikulum formal dan ideal (normatif) yang sekarang berlaku, karena kurikulum operasional dapat disiasati sedemikian rupa guna mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup, (3) harus mengedepankan paradigma learning for life and school to work yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik; ini berarti membutuhkan suatu kajian kebutuhan-kebutuhan hidup dan kehidupan pada masa depan, (4) harus mengedepankan paradigma learning from the people atau kearifan masyarakat setempat yang berkenaan denbgan kehidupan mereka; ini memerlukan inventori kemampuan, kemauan, dan pengetahuan masyarakat setempat dalam mempertahankan, menjalani, dan mengembangkan hidup dan kehidupan, (5) harus mengutamakan paradigma pendidikan berbasis komunitas atau pendidikan masyarakat luas (community based learning atau broad based education).

Implementasi PKH dan Kendalanya

          Implementasi pendidikan kecakapan hidup dapat mempertimbangkan beberapa model, antara lain adalah: (1) model integratif, (2) model komplementatif, dan (3) model diskrit (Saryono, 2002). Dalam model integratif, implemetasi pendidikan kecakapan hidup melekat dan terpadu dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang ada. Berbagai program kurikuler dan mata pelajaran yang ada seharusnya bermuatan atau berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan kesiapan dan kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata pelajaran. Kepala sekolah dan guru harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan kurikulum, mengelola pembelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini berarti, mereka harus kreatif, penuh inisiatif, dan kaya gagasan. Keuntungannya, model ini relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah beban sekolah terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik.
          Dalam model komplementatif, implementasi pendidikan kecakapan hidup dimasukkan dan atau ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum yang ada; bukan mata pelajaran. Pelaksanaannya bisa berupa menambahkan mata pelajaran kecakapan hidup dalam struktur kurikulum atau menyelenggarakan program kecakapan hidup dalam kalender pendidikan. Model ini tentu saja membutuhkan waktu tersendiri, guru tersendiri di bidang kecakapan hidup, dan ongkos yang relatif besar. Selain itu, penggunaan model ini dapat menambah beban tugas siswa dan guru selain beban finansial sekolah. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan secara optimal dan intensif untuk membentuk kecakapan hidup pada peserta didik.
          Dalam model diskrit, implementasi pendidikan kecakapan hidup dipisahkan dan dilepaskan dari program-program kurikuler, kurikulum reguler, dan atau mata pelajaran (pembelajaran kurikuler). Pelaksanaannya dapat berupa pengembangan program kecakapan hidup yang dikemas dan disajikan secara khusus kepada peserta didik. Penyajiannya bisa terkait dengan program kokurikuler atau bisa juga berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini membutuhkan persiapan yang matang, ongkos yang relatif besar, dan kesiapan sekolah yang baik. Selain itu, model ini memerlukan perencanaan yang baik agar tidak salah penerapan. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan membentuk kecakapan hidup peserta didik secara komprehensif dan leluasa.
          Model manapun yang dipilih, yang penting adalah bahwa pembelajaran kecakapan hidup tersebut pada hakikatnya adalah pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar aktif, baik mental maupun fisik, dan hal ini dapat diperoleh bila lingkungan belajar dibuat menyenangkan bagi siswa.      Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran aktif. Model pembelajaran aktif merupakan model pembelajaran yang membuat siswa melakukan perbuatan untuk beroleh pengalaman, interaksi, komunikasi, dan refleksi. Siswa akan belajar banyak melalui perbuatan beroleh pengalaman langsung. Dengan berbuat, siswa mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya melalui mendengarkan. Selanjutnya kecakapan interaksi akan dimiliki oleh siswa bila pelajaran berlangsung dalam suasana interaksi dengan orang lain, misalnya berdiskusi dan bertanya-jawab. Sedangkan kecakapan komunikasi merupakan kecakapan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tulisan, dan hal ini menjadi kebutuhan setiap manusia dalam rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai kepuasan. Kemudian bila seseorang mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan maka orang itu akan merenungkan kembali gagasannya, kemudian melakukan perbaikan, sehingga memiliki gagasan yang lebih mantap. Inilah yang dimaksud refleksi. Refleksi ini dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi.
          Temuan dari Tim Peneliti Universitas Negeri Malang (2002) mengenai faktor-faktor penghambat pendidikan kecakapan hidup di Jawa Timur menunjukkan bahwa faktor internal yang berasal dari guru, sistem sekolah, kurikulum, serta fasilitas yang dimiliki sekolah merupakan faktor penghambat yang utama. Faktor penghambat yang lain juga termasuk faktor eksternal yang berasal dari dukungan pemerintah, sosial/budaya, dukungan dunia usaha/industri, dan dukungan orang tua. Hasil penelitian itu juga menjelaskan bahwa menurut peringkatnya, guru menduduki peringkat pertama sebagai penghambat, disusul berturut-turut oleh sistem sekolah, kurikulum, fasilitas, dukungan pemerintah, dukungan dunia usaha/industri, orang tua, dan sosial budaya.
          Faktor penghambat dari guru meliputi guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, gaji rendah, motivasi untuk berkembang rendah, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri. Faktor penghambat sistem sekolah meliputi sistem yang sering berubah-ubah, tidak mendukung pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup, kurang terpadu antar jenjang, dan kurang waktu dalam pembinaan keterampilan siswa.
          Selanjutnya faktor penghambat kurikulum meliputi terlalu sarat materi, kurang sesuai dengan aset unggulan daerah, masih seragam terpusat, tidak mengarah kepada pendidikan kecakapan hidup serta mengabaikan minat dan bakat siswa. Faktor penghambat dari sisi fasilitas meliputi fasilitas kurang memadai, fasilitas yang ada kurang mendukung pendidikan kecakapan hidup, dan fasilitas tidak merata antara sekolah meskipun untuk jenjang sekolah yang sama.
          Sementara itu faktor penghambat dukungan pemerintah meliputi bantuan dana tidak merata, relatif kecil, nara sumber ahli pendidikan kecakapan hidup sedikit, bantuan yang ada kurang mendukung pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup, pola dukungan sering berubah-ubah, dan ambivalensi antara Depdiknas dengan Departemen Agama pada pengelolaan pendidikan dasar dan menengah.
          Sedangkan faktor penghambat dukungan dunia industri adalah meliputi keterbatasan jumlah serta sumber daya dunia usahja/industri di daerah, merasa tidak mempunyai ikatan, tidak ada akad kerja sama yang jelas, alokasi waktu sekolah dengan dunia usaha/industri yang tidak seiring dan tidak ada koordinasi. Kemudian mengenai faktor penghambat sosial/budaya adalah meliputi tatanan sosial/budaya yang tidak mendukung siswa sekolah bekerja, tidak memahami pendidikan kecakapan hidup, serta masih berorientasi pada perolehan gelar sesudah selesai sekolah. Penghambat dari orang tua meliputi kebanyakan berpendapatan rendah sedangkan yang berpendapatan tinggi kurang sadar, tidak mengerti pendidikan kecakapan hidup, pola pikir berorientasi pada gelar kesarjanaan, dan motivasi untuk mendorong anak memperoleh kecakapan hidup rendah.
          Berangkat dari pengalaman, sebagian besar sekolah, mulai jenjang SD sampai SMA, memaknai PKH identik dengan pemberian keterampilan kepada siswa, misalnya keterampilan menjahit, elektronika, berkebun, dan sebagainya. Banyak sekolah yang tidak memahami bahwa mengembangkan kepribadian siswa adalah juga merupakan bagian dari PKH. Membimbing siswa untuk berperilaku jujur, bertanggung-jawab, mampu bekerja sama, peduli dan empati, serta mampu bekerja keras, jarang dipahami sebagai bagian dari PKH.

Penutup: Antisipasi untuk Pendidikan Karakter
Belajar dari pengalaman implementasi PKH, jelaslah bahwa banyak faktor penghambat yang dihadapi oleh sekolah dalam rangka implementasi pendidikan kecakapan hidup, baik itu faktor internal dari sekolah sendiri maupun faktor eksternal. Pendidikan karakter perlu mengantisipasi berbagai kendala yang mungkin juga tidak akan jauh berbeda.  Banyak program yang awalnya tampak begitu ideal, namun kandas di tengah jalan pada tahap implementasinya. Sebut saja Manajemen Berbasis Masyarakat Luas (yang salah satu bentuknya adalah PKH ini), Manajemen Berbasis Sekolah, dan beberapa program lain yang terkesan hanya dilaksanakan dengan ‘setengah hati’. Seringkali program yang pada awal implementasinya sudah sangat baik, tiba-tiba ‘dikebiri’ oleh adanya kebijakan-kebijakan baru yang ‘agak’ atau bahkan kontradiktif dengan kebijakan yang sedang diterapkan.
Terdapat benang merah antara PKH dan pendidikan karakter. PKH tidak hanya melulu mengajarkan keterampilan (dalam arti hard-skills) kepada siswa, namun juga mengajarkan karakter itu sendiri (soft skills). Bahkan sebagaimana pendidikan karakter, PKH juga bukan merupakan konsep yang benar-benar baru. Sejak lama kurikulum kita sudah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan mencakup juga penumbuhkembangan sikap jujur, disiplin, saling toleransi, berpikir rasional dan kritis, bekerja keras, dan seterusnya, yang sebenarnya hal tersebut identik dengan GLS.  Dengan kata lain, seandainya konsep PKH yang sudah sangat bagus itu benar-benar diimplementasikan dengan sepenuh hati, maka karakter-karakter positif dan utama (jujur, cerdas, peduli, dan tangguh) yang saat ini diusung oleh pendidikan karakter tersebut, sudah dapat dirasakan hasilnya. Setidaknya, setelah lebih dari satu dasawarsa, implementasi konsep tersebut sudah menunjukkan ‘sedikit’ bukti keberhasilan dan memberikan manfaatnya. Namun ternyata tidaklah seperti itu yang terjadi, dan bahkan konsep PKH saat ini seolah-olah hilang tanpa bekas.
 Memperhatikan kendala-kendala tersebut, maka di dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah, tahap awal yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian dan pemahaman kepada pelaksana sekolah (terutama guru dan kepala sekolah) mengenai pendidikan karakter itu sendiri. Hal ini penting karena berdasarkan uraian di atas, ternyata faktor guru merupakan salah satu penghambat utama, yang antara lain karena guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri.
Tentu saja bukan faktor guru saja yang kemudian menjadi fokus perhatian. Zuhdi (2010) menegaskan, pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus.

Daftar Pustaka
Bashori, K. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/15/129378/68/11/Menata-Ulang-Pendidikan-Karakter-Bangsa. Diakses 10 September 2010.

Berkowitz, Marvin W. 2002. “The Science of Character Education”, dalam William Damon( ed.), Bringing in a New Era in Character Education. California: Hoover Institution Press.
Blazely, Lloyd D. Et. All. 1997. Science Study. Jakarta: The Japan Grant Foundation.
Brolin, D.E. 1989. Life Centered Career Education: A Competency Based Approach. Reston VA: The Council for Exepctional  Children.
Depdiknas. 2002. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup. Buku I, II, dan III. Jakarta: Depdiknas.
Dinas Pendidikan Jawa Barat. 2002. Pendidikan Berbasis Luas Kecakapan Hidup dengan Model Pelaksanaan Pembelajaran Hidup di Sekolah. Bandung: CV Dwi Rama.
Dinas Pendidikan Jawa Timur. 2001. Profil Pendidikan Jawa Timur Tahun 2000/2001. Surabaya: Dinas Pendidikan Jawa Timur.
Kendall, John S dan Marzano, Robert J. 1997. Content Knowledge: A Compedium of Standards and Benchmarkes for K-12 Education. Aurora, Colorado, USA: Mc REL Mid – Continent Regional Educational Laboratory; Alexandria, Virginia, USA: ASCD.
Samani, Muchlas. 2007. Menggagas Pendidikan Bermakna. Surabaya: SIC.
Samani, Muchlas. 2011. “Merenungkan Kembali Arah Pendidikan.” Dalam Rekonstuksi Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press.
Saryono, Djoko. 2002. Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsepsi dan Implementasinya di Sekolah. Makalah dalam Workshop Pengembangan Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah Berorientasi Kecakapan Hidup di Jawa Timur, 11 November 2002, Universitas Negeri Malang.
Tim Peneliti. 2002. Penelitian Pengembangan Pendidikan Jawa Timur. Laporan Penelitian tidak diterbitkan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur.

Zuhdi, Darmiyati, dkk. 2010. Pendidikan Karakter dengan pendekatan Komprehensif. Yogyakarta: UNY Press.