Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label SM-3T 2014. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SM-3T 2014. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 November 2015

Aceh Singkil Lagi 4: Sukamakmur yang Tidak Makmur

Kami meninggalkan PBB pada sekitar pukul 13.00. Setelah menyantap makan siang yang lezat. Beramai-ramai bersama kepala dinas dan jajarannya, guru-guru, dan para peserta SM-3T.

Matahari semakin condong ke barat dan kepala dinas meminta kami bergegas. Masih ada satu tempat lagi yang akan kami singgahi, yaitu desa Sukamakmur. Sekitar 30 menit berspeedboat. Tidak jauh. Namun saat pulang nanti, laut bisa jadi sudah tidak teduh lagi. Maka kami harus berkejar-kejaran dengan waktu.

Dengan dilepas para guru dan peserta SM-3T di dermaga, speedboat kami melaju membelah samudera. Suaranya berdebum-debum. Tidak terlalu keras. Tidak terlalu membuat nyali ciut. Kami bahkan masih sempat bercanda dan berdiskusi, meski dengan sudah payah. Ya, karena harus berteriak-teriak mengimbangi raungan speedboat.

Desa Sukamakmur. Jangan bayangkan dia sebuah desa yang makmur. Dia hanya suka makmur saja. Baru pada tahap suka. Kondisi sebenarnya, jauh dari makmur. Tempatnya terpencil, kondisi alamnya tidak menampakkan kesuburan, rawa-rawa yang mengelilinginya, dan juga rumah-rumah serta orang-orangnya yang amat sederhana. Semuanya semakin menegaskan betapa tertinggalnya desa ini. Masih jauh dari makmur.

Kami turun dari speedboat di dermaga yang kecil yang langsung berhadapan dengan jalan yang memanjang dari laut menuju daratan. Panjang sekali jalan itu. Lurus, tanpa belokan. Itulah satu-satunya jalan untuk akses ke dan dari desa Sukamakmur. Di kanan-kiri jalan itulah rawa-rawa, tanaman-tanaman khas laut semacam mangrove, dan di kejauhan adalah ilalang dan pepohonan liar.  

Sukamakmur merupakan satu dari empat desa di Kecamatan Pulau Banyak Barat. Tiga desa yang lain adalah desa Haloban, Asantola, Ujung Sialit. Dengan singgah di Sukamakmur ini, berarti semua desa di PBB sudah pernah saya kunjungi. 

Di PBB, menurut data, penduduk paling banyak terdapat di desa Pulau Balai, desa yang baru pagi tadi kami tinggalkan. Penduduk paling sedikit di desa Sukamakmur. Pantaslah. Di desa ini, kami menangkap kesan sepi. Tidak banyak orang. Jauh keadaanya dengan di Pulau Balai. 

Sukamakmur memang desa yang sepi, jauh dari mana-mana. Akses ke luar desa satu-satunya hanya melalui laut. Penduduk asli mayoritas dari Suku Nias. Kalau dikatakan bahwa jumlah penduduk Sukamakmur paling sedikit dibanding desa lain di PBB, memang terasa dari suasana sepinya.  

Kami mengunjungi sebuah sekolah yang sepi, karena memang kegiatan belajar sudah selesai. Melongok ke kelas-kelas dan perpustakaan. Mengamati halaman sekolah yang tak terlalu luas, dan sebuah bendera merah putih kusam melambai-lambai di ujung tiangnya yang langsing.  

Kami tidak lama di Sukamakmur. Ada kekhawatiran pada situasi laut. Semakin sore, perjalanan tidak semakin aman, tapi dibayang-bayangi dengan angin dan ombak. Kekhawatiran itu membuat kami bergegas kembali ke speedboat.

Dan benar. Sepanjang perjalanan laut dari Sukamakmur ke Singkil, adalah perjalanan yang sangat mendebarkan. Speedboat berdentum-dentum sangat keras digoncang angin dan ombak. Tidak seperti saat berangkat dari Haloban tadi siang, goncangan-goncangan yang sangat kuat seperti tidak memberi kesempatan kami bernafas dengan tenang. Bahkan tiba-tiba saja speedboat berhenti di tengah laut. 

"Ada apa, Pak?" Tanya saya pada driver.
"Ombak dari samping kanan samping kiri, angin kencang dari depan dari belakang." Jawabnya. Nafasnya terengah-engah. Tapi wajahnya tetap menunjukkan ketenangan. Atau dia berusaha untuk tetap tenang. 

Seisi speedboat diam. Orang-orang yang tadinya mengobrol juga diam. Saya yang di sepanjang perjalanan nyaris tidak pernah berhenti membaca salawat, semakin khusyu membacanya. Juga doa Nabi Nuh. Bismillahi majreeha wamursaha, inna robbi laghafuurur rohiim. Mbak Ully yang agak tidak sehat karena kelelahan, nampak pucat wajahnya, meski berusaha tenang. 

Diam-diam saya melirik tumpukan pelampung di bagian belakang speedboat. Sebelum berangkat tadi driver bilang, pelampung yang ada sudah banyak yang rusak. Pelampung itu hanya mampu bertahan sekitar satu jam di dalam air. Artinya, bila terjadi keadaan darurat, orang yang mengenakannya hanya bisa terapung selama sekitar satu jam. Selebihnya, bila pertolongan tidak segera tiba, wallahu a'lam.

"Tenang, Bu. Tidak apa-apa, kita jalan lagi, pelan-pelan." Kata driver, seperti memahami kegalauan saya. 

Perjalanan dari tempat kami berhenti menuju ke Singkil masih satu jam lagi. Tidak lama. Tapi cobalah, Kawan, cobalah menumpang speedboat atau kapal kecil atau perahu pada saat laut tak terlalu bersahabat. Angin kencang dan ombak yang menampar-nampar speedboat seperti menampar-nampar ketahanan kita. Hidup serasa di ujung tanduk. Dan waktu begitu lamanya berjalan. Bahkan seperti diam tak beranjak.

Akhirnya, kelegaan pun tiba. Pantai di depan mata. Warung di pinggir dermaga sudah nampak. Syukurlah. Cukup sudah ujian mentalnya hari ini. Wajah kami semua cerah. Mbak Ully yang semua sakit seperti sembuh total. Sehat seperti sediakala. Apa lagi saat segelas kopi panas ada di depan hidungnya. Aroma harum kopi aceh seolah mengembalikan semangat yang sempat porak-poranda dihempas badai laut beberapa waktu yang lalu. Nyawa kembali utuh. 

Besok, waktunya kembali ke Surabaya. Tempat kami mengisi hari demi hari bersama keluarga, kolega, dan mahasiswa. Hidup begitu berarti saat kita berusaha terus untuk memberinya arti. Bismillah. Amin.

Aceh Singkil, 23 April 2015

Wassalam,
LN

Minggu, 19 Juli 2015

Kenangan tentang Dhafid

Beberapa kali, hati saya dirundung kesedihan karena kehilangan peserta SM-3T atau PPG. Misalnya saat Mohamad Isnaeni meninggal karena kecelakaan laut di Maluku Barat Daya (MBD) pada 24 Maret 2015 yang lalu, hampir setiap hari saya menangis dan kesedihan saya memuncak saat jenazahnya ditemukan setelah empat hari dalam pencarian. Juga pada saat Syahru Ramadhan yang meninggal di asrama PPG, sekitar sepuluh hari sebelum meninggalnya Isnaeni. Syahru cukup dekat dengan saya dan baru seminggu sebelumnya dia saya minta bertemu di ruangan saya. Waktu itu saya menanyakan kabar bapaknya yang sakit keras, dan bagaimana kondisi keluarganya kalau dia harus tinggal di asrama selama menempuh PPG. Tak disangka, itu adalah pertemuan terakhir saya dengan Syahru, karena seminggu kemudian dia meninggal karena sakit mendadak. Di tengah-tengah dia membaca Al Quran di kamarnya di asrama, tiba-tiba dia kejang-kejang, dan meninggal di tengah perjalanan menuju rumah sakit. 

Rasa kehilangan yang sangat kembali saya rasakan pagi ini. Hendrik Yudhistira, mahasiswa PPG Unesa Angkatan 3, menelepon saya sekitar pukul 07.00. Saya pikir dia akan menyampaikan ucapan selamat idul fitri dan mengabarkan kondisi kesehatannya, mengingat dia baru saja sakit beberapa hari yang lalu. Saya spontan mendahuluinya menyampaikan selamat idul fitri dan menanyakan kabarnya. Hendrik menjawab sapa saya dengan suara yang tidak biasa, dan perasaan saya langsung tidak enak.

"Bunda, saya mendengar kabar, tapi kabar ini masih dilacak kebenarannya...."

"Ada apa, Hendrik? Kabar apa?" Saya tak sabar menanti kelanjutan penjelasan Hendrik.

"Bunda, saya mendengar kabar, Dhafid meninggal dunia."

"Apa?" Saya setengah berteriak. "Kenapa, Hendrik? Kamu dengar kabar dari mana? Dhafid yang seksi kerohanian itu? Yang baik, sopan? Benarkah, Hendrik?"

"Ya, Bunda. Ini Krisdana sedang menuju rumahnya, di Desa Tarik, Sidoarjo. Idris juga mungkin segera menuju ke sana. Tadi saya hanya mendapat kabar dari adik Dhafid melalui WA."

Kepedihan seketika menyeruak memenuhi hati saya dan tenggorokan saya sakit menahan tangis. Baru beberapa hari yang lalu, saat Dhafid Kridiawan memasuki ruangan saya bersama Idris Efendi, Ketua Pengurus PPG Unesa, untuk membicarakan rencana acara buka puasa bersama. Sebelumnya, beberapa kali. Dia juga datang ke ruangan saya untuk mengkonsultasikan berbagai hal terkait dengan kegiatan PPG. Pernah juga dia khusus menemui saya bersama seorang temannya sesama mahasiswa Prodi Penjaskesrek, untuk meminta izin tukar sekolah tempat PPL, karena kaki Dhafid yang cedera belum pulih benar dan belum memungkinkannya untuk berkendara jauh dari asrama. 

Sebagai ketua seksi kerohanian, Dhafid menjadi begitu menonjol karena dia menjadi salah satu motor penting dalam setiap kegiatan keagamaan. Pembawaannya yang sangat sopan, penuh hormat dan takzim pada semua dosen, penyayang dan helpful pada teman-temannya, membuat siapa pun merasa sangat nyaman berteman dengan Dhafid. Selain kehalusan budi pekertinya, Dhafid juga sangat bertanggung jawab. Apa pun tugas yang diembannya, selalu dikerjakan dan diselesaikannya dengan sepenuh hati.

Dan pagi ini, kabar tentang meninggalnya Dhafid begitu mengejutkan kami. Baru kemarin kami merayakan idul fitri bersama keluarga dan kerabat, namun kebahagiaan itu seperti terenggut begitu saja. Ya, Dhafid meninggal dalam suasana idul fitri, pada pagi hari di hari kedua. Mengingatkan kami pada sahabat Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos, yang berpulang juga dalam suasana idul fitri, setahun yang lalu.

Saya sendiri sedang berada di Tuban, mudik. Bu Yanti sedang di Banyuwangi, juga mudik. Dia hanya bisa kirim sms: "Merinding aku, Dhe.... Dhafid anak yang baik, sopan....seperti nggak percaya aku...".  Untunglah Pak Sulaiman sedang berada di Surabaya. Dia baru saja mendapatkan anugerah bayi cantik beberapa minggu yang lalu, dan itu sebabnya dia sekeluarga tidak mudik ke Bawean.

Saya hanya bisa berkoordinasi dengan Pak Sulaiman dan Bu Lucia melalui telepon, agar mereka mewakili PPPG Unesa untuk segera meluncur ke rumah duka. Juga ada Mas Febry, staf PPPG, bersama mereka. Tentu saja, para pengurus mahasiwa PPG angkatan 3 yang rumahnya di Sidoarjo dan sekitarnya, juga meluncur ke rumah duka. Kebetulan saat ini semua mahasiswa PPG sedang libur lebaran, dan mereka sedang mudik. Hanya ada beberapa mahasiswa yang tinggal di asrama, mereka berasal dari luar Jawa. Mereka memilih tetap berlebaran di asrama atau ikut teman-teman Jawanya mudik.

Dhafid, adalah sosok yang begitu mengesankan bagi kami semua. Kepergiannya meninggalkan kenangan manis sekaligus meninggalkan kesedihan mendalam. Berbagai posting di akun facebook teman-teman Dhafid bertebaran pada hari kematiannya, dan juga saat pemakamannya. Lengkap dengan foto-foto Dhafid dengan senyum tulusnya. Semua posting itu mengabarkan betapa mulianya Dhafid semasa hidupnya dan betapa dia telah banyak menorehkan kebaikan demi kebaikan. Beberapa posting berikut ini hanyalah sebagian kecil yang sempat saya rekam. 

"KESAKSIAN"
(Imam Zein)

Tuhan ....
Pak Dafid Orang baik
Akulah saksinya.

(Pondok Derita, 2 Syawal 1436)  
"AWAL SYAWAL ITU"
(Mukhamad Yunus Priambodo)

Teman...
Tak kusangka dirimu secepat itu
Masih kuingat jelas pribadi kalem itu
Tak pernah terbersit di benakku
Syawal itu...
Menjadi penanda semua itu
Hari baik nan suci
Dirimu meninggalkan kami

Ya Rabb
Kami tentu ikhlas akan takdir-Mu
Takdir terhadap sahabat kami
Yang Engkau nilai lebih layak menghadap-Mu lebih dulu

Teman...
Kini tak kutemukan lagi sapaan khas itu
Kini kami lebih tahu akan makna kehidupan
Engkau mengajari kami banyak hal

Syawal ini...
Adalah syawal termanis bagi engkau
Engkau dipanggil dalam keadaan yang baik
Semoga ilmu yang telah engkau amalkan kepada anak didikmu
Menjadi sungai yang mengalirkan mata air di Surga Illahi Rabbi

Sidoarjo 18 Juli 2015
Teruntuk sahabatku Dhafid Krisdiawan
MYP  

"Sungguh mengejutkan saudaraku...
Mendengar berita kepulanganmu ke pangkuan sang Khaliq...
Hati ini masih sulit percaya...
Serasa baru kemarin kita bercengkrama, bersenda gurau, sholat berjamaah, atau tadarusan di masjid...
Ternyata dirimu kini telah lebih dulu meninggalkan kami... meninggalkan keluarga besarmu dan keluargamu yang ada di UNESA...
YA... meski kami semua sulit melepasmu ... 
tapi Allah SWT ternyata lebih sayang, lebih cinta dan lebih ingin bertemu akan dirimu...
Selamat jalan kawanku....
Saudaraku...
Kami yakin engkau mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT...

#mengenangmu di tanah MAKASSAR"(Irfan Syahrul)."

Selain dari rekan-rekan sesama mahasiswa, ada juga dosen-dosen Dhafid yang menulis komentar.
      
"Innalillahiwainnailaihi rojiun..selamat jalan mhs terbaikku..semoga Alloh SWT memberikan ampunan dan jalan kemuliaan..amin" (Dr. Nanik Indahwati, M.Or, Ketua Jurusan Penjaskesrek).  


"Mohon infonya ananda Dhafid Krisdiawan sakit apa? Apa benar, dia dipanggil Tuhan? Turut berdukacita mahasiswaku yg baik, santun, saya sgt kaget membaca facebook hari ini ... mhn infonya ...  
(Anung Priambodo, Dosen Penjaskesrek)  
  
"Pak Anung, dik Dhafid Krisdiawan, tidak sakit apa2 pak. Hari idul fitri mengunjungi seluruh keluarga untuk bermaaf maafan. Sampai pukul 10 malam. Pagi tdi waktu shubuh dibangunkan untuk sholat karena ortu menyangka tidurnya lelap sekali. Ternyata sudah tidak ada. Tubuhnya sudah membiru. Dibawa ke puskesmas dan dinyatakan sudah meninggal. Kami keluarga juga shock. Karena baru kemarin bertemu dan mengobrol (Muji Sri Prastiwi, Dosen Pendidikan Biologi, FMIPA Unesa, saudara Dhafid)."  
          
Masih ada puluhan bahkan ratusan posting dan komentar tentang kepergian Dhafid. Semua posting dan komentar itu insyaallah menjadi doa dan saksi tentang betapa mulianya Dhafid. Dhafid layak mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT, sebagaimana kebaikan demi kebaikan yang telah ditebarkan semasa hidupnya.

Selamat jalan, Dhafid. Surga dengan taman-taman yang indah dan para bidadari telah menunggumu... Amin Ya Rabbal Alamiin.

Tuban, 
2 Syawal 1436
18 Juli 2015

Wassalam,
LN

Jumat, 12 Juni 2015

Surat Dari Rheza

Untuk Prof. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd

Ass.Wr.Wb

Mbak Ellla, bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu dan juga selalu dalam lindungan Allah. Ini surat saya yang ketiga kalinya. Mbak Ella pasti sudah mendengar kabar duka dari SM3T MBD. Kemarin sempat ke Ambon dngan Pak Rahman ya Mbak? Sebenarnya kemarin waktu Pak Heru dan rekan ke Tiakur (MBD) saya ingin menulis surat untuk dititipkan. Akan tetapi saat itu kami sedang dalam keadaan berduka cita. Jangankan untuk menulis surat, menatap warga yang berdatangan saja kami enggan.

Pak Heru dan keluarga Mas Is pasti sudah sampai di Jawa kan Mbak? Saya mau titip salam untuk Pak Heru. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Pak Heru karena telah bersedia datang dan merawat/berpartisipasi dalam acara pemakaman.

Saya juga ingin meminta maaf kepada Pak Heru karena waktu beliau ke Sermata, saya dan ketiga rekan yang lain tidak bisa berangkat. Saya dan Nafida  (yang bertugas di Luang Timur) kebetulan baru saja rehat dari sakit. Kami masih lemah. Apalagi saat itu sudah masuk musim timur. Gelombangnya mulai datang meski tak sebesar musim barat.

Kemudian Mbak Nisa dan Eti (yang bertugas di Rumkisar, saat itu sudah move ke Luang Barat karena mendengar kabar Pak Heru turun ke Luang) juga tidak bisa hadir. Mereka berdua khawatir tidak bisa pulang ke Rumkisar jika berada di Mahaleta (pulau Sermata). Karena di Mahaleta, bodi (motor laut) tidak sebanyak di Pulau Luang.

Mbak, kami yang ada di sini merasa sangat terpukul dan kehilangan dengan adanya musibah tersebut. Kejadiannya tepat pada saat saya turun dari Kapal Sabuk Nusantara 43 dari Ambon. Saat itu sekitar pukul 01.00 dini hari, saat meti kering (air surut) dan mulai naik lagi. Malam itu tak ada bulan dan tepat penghabisan angin musim barat. Saat itu memang ada arus laut karena sedang mulai pasang dari surut. Bodi yang saya tumpangi saja orang-orangnya ikut heboh waktu ada arus dan gelombang besar di depan. Untungnya bodi sempat belok, berputar dan berbalik arah menghindari serangan arus. Saya terus membaca syahadat, sementara orang-orang di sekitar saya terus menyebut nama Yesus. Tidak pernah saya setakut itu sebelumnya ketika naik bodi. Ternyata ketakutan saya tidak seberapa jika dibandingkan dengan kecelakaan yang dialami oleh bodi Luang Barat  (di dalamnya ada Renzi dan Mas Is) yang hendak menuju kapal beberapa jam yang lalu.

Untungnya bodi yang saya tumpangi bisa sampai di Pulau Luang dengan selamat sekitar pukul 03.00 dini hari. Namun kabar tentang musibah itu baru kita dengar pagi hari sekitar pukul 07.00 WIT. Awalnya kami tidak percaya karena penyampai berita adalah murid SMP. Tapi ketika banyak warga berdatangan dan guru SMP rekan saya yang bertempat tinggal di Luang Barat menceritakan sendiri kejadiannya, barulah kami syok. Apalagi waktu beliau menyatakan kami diminta pasrah saja karena sudah semalam Mas Is belum ditemukan.

Kami bergegas berjalan ke Luang Barat dengan hati yang entah bagaimana. Apalagi saat melihat orang-orang yang melihat kami dengan tatapan prihatin. Sepanjang perjalanan dari Luang Timur, hingga mendaki dan menuruni bukit sampai rumah Mama Weli (mama piara dari teman kami di Luang Barat), rasanya seluruh Pulau Luang sedang berduka. Entah kenapa saat itu perasaan saya mengatakan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Tapi kami berempat (saya, Nafida, Arga dan Mas Taufik) terus berharap semoga Mas Is bisa ditemukan dengan selamat.

Sampai di rumah Renzi, Kami melihat tatapan mata merah dan berair dari Renzi dan Mama Weli. Dari Renzi kami bisa mendengar lengkap peristiwa detik terakhir sebelum terpisah dari almarhum. Ternyata bodi dari Luang Barat berangkat sekitar pukul 21.00 WIT. Bodinya adalah jolor (bodi kecil memanjang) yang seharusnya tak boleh berisi banyak orang (maksimal delapan orang tanpa barang bawaan).Tapi saat itu karena hanya ada satu bodi yang berangkat (karena meti surut dan banyak bodi yang kandas di pantai), jadinya bodi tersebut kelebihan muatan. Ada yang bilang, muatannya tiga belas orang, ada yang bilang empat belas orang. Belum lagi barang bawaan yang banyak sebagai bekal untuk berlayar jauh.

Ada yang bawa ikan, teteruga (penyu) dan agar-agar kering serta tas-tas besar. Sebenarnya  pemilik kapal sudah menolak, akan tetapi orang-orang tetap memaksa. Sampai di kepala meti (perbatasan laut dangkal dan laut dalam) gelombang besar mulai datang. Kemudian ombak besar masuk ke bodi saat bodi berusaha menghindari gelombang menuju pulau terdekat (berbalik arah). Kata Renzi, saat itu semua orang berteriak ‘loncat’. Akhirnya karena panik banyak orang yang meloncat. Herannya kenapa mereka tidak memilih membuang barang- barang bawaan dan menguras bodi. Justeru manusianya yang disuruh loncat. Renzi meloncatnya belakangan, Mbak. Bahkan dia sempat melihat Mas Is loncat dan terapung, serta melihat air perlahan-lahan masuk bodi. Barulah Renzi loncat waktu air mulai penuh.

Saat Renzi loncat itulah, Mas Is langsung berenang ke arah dia dan berpegangan pada Renzi. Tapi karena panik, akhirnya Mas Is yang mendorong- dorong Renzi ke bawah hingga Renzi tidak bisa bernafas. Renzi sempat bilang ‘sabar’ kepada Mas Is, tapi Mas Is tetap panik. Akhirnya Renzi berusaha melepaskan diri untuk mengambil nafas. Renzi berniat menolong Mas Is, tapi gelombang besar setinggi tiga meter memisahkan mereka berdua. Setelah Renzi membuka mata, semuanya gelap. Renzi tidak tahu Mas Is ada di mana. Yang terdengar hanya suara teriakan minta tolong dari orang-orang. Renzi juga teriak minta tolong, memanggil-manggil bapak, ibu, mama dan papa piaranya. Beruntung sekali dia bisa mengapung dan mengambil nafas. Dia sudah hampir menyerah saat itu, tapi untungnya kakinya menyentuh pasir hingga dia bisa berdiri dan bernafas karena air hanya setinggi dada. Tapi di sekitarnya, laut sudah dalam sekali. Renzi adalah korban hidup yang terakhir ditemukan. Saya yakin ini adalah mukjizat dari Allah. Begitu Renzi naik ke kapal, yang keluar dari mulutnya adalah menanyakan di mana Mas Is. Sayangnya, orang-orang tidak mendapatkannya, begitu juga dengan dua orang penumpang yang lain.

Dua orang korban mayatnya ditemukan pada pagi harinya pada jam yang berbeda. Dalam pencarian itu, kabar salah datang tiga kali yang menyatakan bahwa pak guru sudah ditemukan. Tiga kali kami merasa lemas dan sedih karena ternyata kabar itu tidak benar. Pencarian terus berlanjut hingga hari Rabu (kejadiannya Selasa dini hari), Kamis, hingga Jumat. Sebelumnya orang-orang hanya menemukan sandal sebelah dan celana pendek yang dikenakan Mas Is.

Mbak, selama pencarian beberapa dari kami ikut. Saat itu ada empat orang dari Sermata yang sempat datang ke Luang. Pada hari terakhir (hari Jumat) semua dari kami ikut mencari bersama warga. Saat itu saya merasa sedih dan berduka. Tetapi di sisi lain saya terharu dengan bantuan warga di sini yang dengan ikhlas membantu. Bersama-sama mereka menyisir meti mulai tempat kejadian hingga kepala meti. Tiada lelahnya mereka menyelam dan timbul lagi untuk mencari jenazah. Bahkan pada hari Jumat pukul 00.00 WIT, mereka menggelar doa bersama di gereja. Kami juga ikut menghadiri. Bapak Pice (papa piara Renzi dan Mas Is) terlihat sangat terpukul dan  menyesal tidak ikut mengantar ke kapal. Beliau yang paling gigih mencari dari pagi sampai sore, hingga malam hari. Mbak, sungguh besar jasa dan kebaikan orang Luang ini. Kita yang baru beberapa bulan di sini sudah mendapat perhatian yang luar biasa dari mereka. Mereka sangat peduli kepada kita, padahal kita hanya guru kontrak yang berbeda agama dan suku bangsa dan baru tinggal beberapa bulan. Saya sampai menangis membayangkan kebaikan mereka.

Bahkan pada hari Kamis, yang saat itu bertepatan dengan ulang tahunnya Mas Is, Mama Weli (mama piaranya Mas Is), membuatkan kue untuk ulang tahun sesuai pesanannya Mas Is. Pada saat pencarian hari terakhir Mama Weli ikut mencari, ikut naik bodi sambil mengenakan topi Mas Is. Bapak Pice dan Mama Weli duduk dalam satu bodi. Dari wajah mereka terlihat sekali gurat cemas dan sesal. Bapak Pice malah kemana-mana selalu membawa selimut yang dilipat rapi dalam tas plastik hitam. Saya ikut sedih melihat kesedihan dan sesal mereka berdua, Mbak.

Hari Jumat adalah saat terakhir kami mencari jenazah, apapun yang terjadi. Semua bodi berangkat sekitar pukul 07.00 WIT (di sini pukul 06.00 matahari baru terbit). Kami bersembilan masing-masing dipencar di bodi yang berbeda, kecuali yang perempuan, satu bodi selalu berisi dua orang perempuan guru SM-3T. Sebelum berangkat kami semua berdoa di dermaga (dermaga bodi, bukan dermaga kapal). Seusai berdoa, mata saya tiba-tiba menatap bangkai anjing yang terapung di dekat dermaga. Bangkainya sudah menggembung. Tiba-tiba saya kepikiran, bagaimana kondisi Mas Is pada saat ditemukan nanti. Orang-orang Luang yang kemarin sudah mulai putus asa bilang, ‘’biar cuma tangan atau kakinya yang penting kita bisa menemukan jasadnya." Saat saya mendengar percakapan mereka, rasanya sedih sekali. Tapi ternyata Mama Weli juga mengamini hal itu.

Mbak, pada Kamis malam, kami sempat berdoa bersama. Saya pun sempat shalat istikharah dan meminta petunjuk. Tapi hati saya terasa ciut ternyata, Mbak. Saya nggak berani menerima petunjuk sehingga setelah mengaji saya tidak bisa tidur. Setiap mata akan terpejam dan masuk dalam mimpi, saya sudah bangun dan gelagapan. Begitu terjadi berulang kali hingga pukul 03.00 WIT. Barulah saya pindah tempat  tidur (saat itu saya tidur di kamar Mas Is ), ke ruang tengah bersama dengan orang-orang lain, dan saya baru bisa tidur.

Sekitar setengah jam kemudian bodi berangkat. Ada berbagai macam rasa di dalam hati ini, Mbak. antara harap-harap cemas agar bisa ketemu, sedih karena masih belum ketemu, dan terharu melihat bodi-bodi berjalan berjajar di depan dan belakang, di samping-samping, bersama-sama menyisir laut. Saya hanya bisa meneteskan air mata melihat semua itu. Bodi menuju Uparui (Pulau Ikan, pulau kecil dekat Luang Barat). Saya teringat waktu piknik ke Uparui bersama Renzi, Mas Is, dan Wahyu. Kami sempat berfoto bersama. Saya bercerita ke Mbak Nisa (yang saat itu satu bodi dengan saya) saat-saat piknik itu sambil terus bersedih.

Meti yang kita sisir cukup panjang. Selama perjalanan saya berusaha menghilangkan kesedihan dengan terus bercerita tentang keindahan meti di Luang. Sementara Mbak Nisa menceritakan pantai Rumkisar yang ombaknya besar sehingga dia tak pernah berani belajar berenang di sana. 

Perjalanan kami menuju Pulau Kelapa, pulau dimana orang-orang menemukan bau yang sangat menyengat yang merupakan bau bangkai, tapi bukan bangkai hewan. Lalat juga banyak dan ada di mana-mana. Tapi tak seorang pun bisa menemukan apa pun karena lokasi baunya berpindah-pindah.

Ternyata bodi kami adalah bodi terakhir yang sampai di Pulau Kelapa. Sementara bodi-bodi yang lain sudah berangkat karena bau sudah tidak ada lagi. Saat itu matahari mulai naik, tapi orang-orang di bodi kami tetap memutuskan untuk turun dan menyisir. Di sisi pantai terdapat batu karang cadas yang di atasnya ditumbuhi semak-semak. Setiap kali ada celah kami melihat dan mencari-cari dengan teliti, tapi kami tak menemukan apa pun. Kami terus berjalan sampai kami bertemu dengan Arga dan Tomi. Kami saling bercerita dan bertanya sambil terus menyisir, tapi kami tak menemukan apa pun.

Sampai pada suatu sisi saya terduduk di tepi pantai. Bukan karena kelelahan, tapi karena saya merasa mulai putus asa. Saat itu rasanya saya kecil sekali di alam semesta ini. Rasanya saya bagaikan setitik debu dibandingkan luasnya lautan yang menghampar. Dalam otak saya, logika saya berkata, ’’tidak mungkin pencarian seperti ini berhasil,’’ tetapi dalam hati saya berkata, ‘’kecuali jika Allah memberikan mukjizat-Nya!’’

Sampai pada suatu tempat, di suatu celah, Arga, Tomi, dan Mbak Nisa mencium bau yang cukup kuat. Saya sendiri tidak mencium bau apa-apa. Tapi kami terus menyisir hingga sampai ke atas batu. Di pasir (di atas batu) ada beberapa orang yang ikut mencari dan mencakar-cakar tanah dengan tongkat. Arga berkata dia menemukan anjing yang berlari. kami sempat mencari anjing itu, tapi anjing tiba-tiba menghilang. 

Akhirnya semua orang pergi, tinggallah kami berempat dan seorang kakak laki-laki. Kakak tersebut dan juga saya sendiri mendengar suara halus yang jelas tetapi kecil sekali dan tidak kami ketahui artinya.

Kami terus berjalan dan sesekali melongok dan mencari-cari jika bau muncul. Kami sudah berjalan cukup jauh waktu kakak tadi (yang mendengar suara dengan saya) meyakinkan kami untuk kembali ke tempat semula. Akhirnya dengan ditemani Om Jawa (keturunan dari pernikahan campuran orang Jawa dan orang Luang ), kami kembali ke tempat tersebut. Tetapi waktu kami sampai di sana, bau sudah hilang dan tak ada suara-suara lagi. Kami yang sudah putus asa kembali terduduk di batu karang. Empat botol air minum yang kami bawa sudah habis. Dari pagi kita belum makan dan matahari mulai tinggi. Perut kami terasa mulai lapar dan kami tak membawa  makanan apa pun.

Akhirnya kami tinggal duduk dan bercerita tentang Mas Is. Om Jawa ternyata cukup dekat dengan Mas Is karena sering mengikat agar-agar bersama. Kami masih sempat tertawa bersama ketika orang-orang mengabarkan bahwa bodi yang kami tumpangi tadi sudah pulang lebih dulu ketika meti mulai surut. Saat itu kami tak merasa kecewa atau marah. Bersama Om Jawa kami memutuskan menuju kebun kelapa terdekat untuk mendapat air kelapa dan kelapa muda untuk mengisi perut. Jarak kebun kelapa dengan tempat kami duduk sejauh perjalanan dari Unesa Ketintang ke Royal Plaza.

Saat itu mungkin matahari sudah tepat di atas kepala. Tomi sudah mulai tak bersemangat. Dia berkata, ’’sepertinya semakin kita mencari, semakin kita tak menemukannya. Jadi lebih baik kita anggap ini perjalanan piknik saja.’’ Saya menambahkan, ’’seperti sinetron, kalau sutradaranya belum mengijinkan pemeran utamanya bertemu, seberapa jauh tegangnya menonton film itu.’’

‘’Tapi, Rek !’’ Saya menambahkan. ’’Sehabis shalat istikharah kemarin saya buka ayat Alquran secara acak lalu saya menemukan suatu ayat yang menceritakan tentang mukjizat Nabi Daud As. Dari situ saya berpikir hanya mukjizat Allah yang bisa mempertemukan kita dengan Mas Is.’’

‘’Ya mudah-mudahan,’’ jawab teman-teman.

Sesampainya di kebun kelapa kami memperoleh sebutir kelapa dan meminum airnya. Daging kelapa yang sudah mulai tua tetap saja saya makan karena perut saya mulai melilit. Selepas makan kelapa, Tomi dan Mbak Nisa tertidur, sementara saya dan Arga mengobrol dengan penduduk sekitar. Saat air meti mulai naik ada satu bodi besar yang menjemput kami berempat dan orang-orang yang tertinggal, termasuk Kapolsek Lelang, Kepsek SMP Limarna Luang Barat, syahbandar Luang-Sermata, dan Om Jawa, serta beberapa orang lain. Dengan bodi ‘Ganesis’ (nama bodi tersebut) kami melanjutkan pencarian. Matahari masih di atas kepala, laut terlihat sangat indah tapi hati kami sedang murung.

Bodi masih menyisir Pulau Kelapa. Kali ini di dalam bodi ada Arga dan Tomi. Meskipun hati kami murung pulau-pulau penyusun gerbang tetap terlihat indah. Namun tetap saja kami tak bisa menikmati keindahannya dengan suasana duka seperti ini. Kami terus menyisir hingga ujung pulau. Bodi bergerak menuju laut dalam meninggalkan meti.

Di perbatasan meti, arus kuat menerjang bodi. Dalam hati saya terus berdoa supaya kami selamat. Kami juga terus berharap dalam hati masing-masing supaya pencarian ini segera berakhir. Dalam hati saya berkata, ’’Ya Allah, bagaimanapun kondisinya saya siap untuk menemukannya, daripada tidak ada yang bisa kami temukan.’’

Ternyata di balik Pulau Kelapa ada celah kecil, ada satu pulau lagi. Bodi bergerak ke sana. Di sana arusnya sangat tenang. Lautnya berwarna biru muda menawan. Saya terus melihat ke celah sebelah kanan, tetapi saya tak menemukan apa pun. Hampir tiga puluh menit berlalu, ketika tiba-tiba saya mendengar, "Astaghfirullohaldzim, itu apa?’’ "Rapat-rapat!’’ " Yesus ’e’’. Saya segera melempar pandangan ke arah orang-orang memandang. Dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat sosok tubuh yang sudah mengapung dengan posisi tengkurap, kedua tangan dan kaki terbuka. Kulit luarnya sudah terkoyak, tinggal kulit dalam yang berwarna putih pucat. Yang membuat kami yakin itu Mas Is adalah jaket SM-3T hitamnya yang terpasang rapat tak koyak atau sobek sedikit pun. Laa haula wala quwwata illaa billah. Innalillahi wa inna illaihi roojiun.

Bersambung....

Minggu, 07 Juni 2015

Surat Untuk Rheza di MBD

Assalamualaikum, Rheza. Semoga kamu dan kawan-kawan selalu dalam keadaan sehat dan tetap bersemangat dalam mendampingi anak-anak didik kalian. Semoga kalian selalu menjadi sosok-sosok yang mereka rindukan.

Rheza, ini adalah kali ke sekian saya mencoba menulis untukmu. Mencoba membalas suratmu yang saya terima lebih dari sebulan yang lalu. Beberapa kali saya coba menulis, mata saya selalu kabur dipenuhi air mata dan saya tidak kuasa melanjutkan. Suratmu telah membawa saya pada situasi yang bercampur-aduk, antara bangga, sedih, merasa bersalah, dan mungkin juga trauma.

Terbayang semuanya, bagaimana rasa kehilangan kamu dan kawan-kawan karena kepergian Isnaeni. Upaya kalian untuk menemukan seorang sahabat seperjuangan yang hilang di keluasan samudera, begitu jelas tergambar di pelupuk mata. Kalian menyisiri tempat-tempat yang memberi harapan akan keberadaannya, apa pun yang terjadi. Kalian bertekad untuk menemukannya, dalam keadaan hidup atau mati. Dalam kondisi lelah fisik dan mental, kalian terus mencari, dengan hati yang hancur namun penuh harap.

Rheza, seringkali saya bertanya-tanya, sudah benarkan kami menugaskan kalian ke tempat-tempat terpencil yang penuh dengan tantangan itu? Sudah tepatkah keputusan kami memilih anak-anak muda yang kami nilai mampu mengabdi di daerah-daerah tersebut? Tidakkah itu terlalu berat bagi mereka? Tidakkah itu merupakan beban yang berlebihan bagi pundak-pundak muda mereka?

Termasuk keputusan kami untuk menugaskan kamu ke Maluku Barat Daya (MBD), ke sebuah pulau terpencil bernama Mdona Hyera. Saya melihat kamu adalah sosok yang kuat, bertahun-tahun tertempa dalam organisasi pecinta alam yang memberimu pengalaman berat secara fisik dan mental. Kamu pasti bisa menghadapi rintangan seberat apa pun. Saya yakin kamu mampu menghadapinya. Dan keyakinan saya itu benar. Kamu berjuang dengan segala yang kamu punya, dengan segala tenaga dan pikiran kamu, untuk mendidik anak-anak murid kamu. Kamu berjuang mengatasi semua rintangan yang datang dari segala penjuru, berupa sakit, minimnya dukungan masyarakat, dan juga rasa rindumu pada kampung halaman. Kamu terus berjuang meski dengan hati yang diliputi kesedihan dan ketakutan. Kamu tetap tegar meski air mata tumpah karena kepedihan demi kepedihan yang terus-menerus bergantian menerpamu. 

Puncaknya adalah saat musibah itu terjadi menimpa Isnaeni. Tahukah kamu, Rheza, sampai saat ini, saya masih terngiang-ngiang suara Wahyu Puspita yang menelepon dari Tiakur mengabarkan musibah itu. Tangisnya menyiratkan betapa sedih dan hancur hatinya. Juga suara parau ayahanda Isnaeni, Bapak Ali Mashar, saat saya mengabarkan bahwa Isaneni tenggelam dan sedang dalam pencarian. Di antara riuh-rendah suara anak-anak muridnya, beliau mendengarkan penjelasan saya, dan dengan suaranya yang tertahan-tahan karena kesedihan, beliau menanyakan bagaimana kejadian musibah itu. Juga mengamini, saat saya melantunkan doa, semoga Isnaeni segera ditemukan dalam keadaan selamat.

Rheza, kamu dan kawan-kawan pasti paham betul, program SM-3T ini adalah program yang sangat berisiko. Medan yang begitu berat, budaya masyarakat yang masih sangat tradisional, malaria yang mengancam tak kenal waktu, dan kerinduan yang tak tertanggungkan pada kampung halaman. Sepanjang pengalaman saya mendampingi program ini, malaria adalah makanan wajib bagi kalian. Kalian jatuh bangun karena penyakit endemik ini, bahkan nyaris kehilangan nyawa karenanya. Penyakit ini membuntuti kalian ke mana pun kalian pergi. Menunggu kalian di setiap sudut mana pun yang kalian jangkau. Menggerogoti fisik dan mental kalian, membuat kalian nyaris putus asa. 

Namun semangat untuk berjuang dan mengabdi itu seperti menjadi nyawa cadangan kalian, yang membuat kalian tetap bisa bertahan hidup. Suara anak didik yang memanggil-manggil kalian dengan sebutan 'pak guru' dan 'bu guru' adalah suara dari surga yang membangkitkan asa dan menyalakan api perjuangan kalian. Dalam kondisi antara hidup dan mati, kalian dibawa melintasi bukit dan menembus belantara serta menyeberangi samudera, mencari pertolongan untuk menyelamatkan nyawa kalian. Hanya api perjuangan itulah, yang terus dihembuskan oleh Dzat Yang Maha Kuasa di dalam relung-relung hati dan mengaliri darah di seluruh tubuh kalian, yang membuat kalian selalu hidup, dan bersedia selalu ada untuk anak-anak itu.  

Tidak hanya malaria. Swanggi, nai, dan banyak hal magis lain, juga melolosi sedikit demi sedikit kekuatan kalian. Tiba-tiba saja sekujur tubuh kalian terpapar sakit yang tak jelas namanya, sakit yang merusak kulit, menyakiti perut, membuat kepala kalian berat, tubuh lemas, bahkan merusak jiwa dan pikiran kalian. Kadangkala darah keluar dari mulut dan hidung, tak henti-henti, dan tak ada ahli medis mana pun yang bisa menghentikannya. Akhirnya  kalian harus dievakuasi dan diberi perlakuan khusus untuk memulihkan kesehatan fisik dan mental kalian. 

Astaghfirullah. Saya seringkali hanya bisa terpekur dengan semua yang terjadi, merasa prihatin, berdosa, dan trauma. Saya hanyalah seorang ibu, yang tidak tahan saat mendengar kepedihan dan ketakutan anak-anaknya, lebih-lebih karena saya juga mengambil peran dalam semua kepedihan dan ketakutan kalian. Saya hanya bisa menyapa kalian dengan doa-doa saya, menghibur kalian dengan kata-kata manis saya, dan menyemangati kalian dengan keyakinan penuh bahwa kalian akan cepat pulih dan semuanya akan kembali baik-baik saja. 

Ternyata tidak sampai di situ. Tiba-tiba saja musibah itu terjadi. Isnaeni tenggelam saat menumpang perahu yang akan membawanya menunaikan tugas. Empat hari kemudian jenazahnya baru ditemukan. Ya Allah, maafkan hamba-Mu. Sayalah yang paling bersalah dalam musibah ini. Sayalah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Saya yakini semua musibah semata-mata karena takdir-Mu. Namun, Ya Allah, sayalah yang mengambil keputusan ke mana saya harus menugaskan mereka. Adakah keputusan yang saya ambil ini atas bimbingan-Mu, Tuhan? Bila demikian, maka bimbinglah juga mereka selalu dalam lindungan-Mu, jauhkan mereka dari penyakit dan segala marabahaya. Izinkan mereka kembali pulang, tetap dengan seutuhnya kesehatan dan kekuatan mereka, dan bertemu kembali dengan keluarga dan kampung halaman.

Rheza, jujur, benak saya dipenuhi rasa bersalah. Dalam sisa ketegaran yang saya punya, saya berusaha untuk menghibur diri sendiri. Program ini adalah program mulia. Ada jiwa-jiwa kecil yang memerlukan uluran tangan kita. Kalianlah yang mereka tunggu. Pak Guru dan Ibu Guru yang mengajar dengan hati. Yang tak pernah menampakkan raut muka marah di wajahnya. Yang tak pernah membawa rotan di tangannya. Yang selalu ada untuk mendengar cerita dan keluh-kesah mereka. Yang merangkul tubuh-tubuh kecil dekil itu dengan sepenuh cinta. Dan selalu meyemaikan cita-cita dan masa depan yang indah.

Program ini merupakan harapan kita. Tidak hanya untuk mengatasi kekurangan guru dan disparitas pembangunan pendidikan di republik yang luas ini. Namun juga untuk membangun ke-Indonesiaan. Rheza, kamu dan kawan-kawan pasti sudah melihat dengan mata kepala kalian sendiri, betapa anak-anak dan masyarakat di wilayah-wilayah 3T itu begitu rindu akan sentuhan, haus akan sapaan. Mereka juga menghadapi ancaman disintegrasi dan seringkali berada dalam situasi  tertekan karena kondisi keamanan yang parah. 

Dan kalian, adalah para pendamai bagi mereka. Duta NKRI. Kalian adalah bukti bahwa sesungguhnya NKRI tidak melupakan mereka. Ya, kalianlah buktinya. Kalian datang untuk menyapa dan memberi sentuhan. Mengetuk hati setiap jiwa yang kosong, mengisinya penuh-penuh dengan semangat hidup dan keceriaan. Kalian seperti pelita yang menyala menerangi kegelapan yang telah bertahun-tahun melingkupi mereka. 

Seperti itu, tegakah kita mengabaikannya? Tegakah kita menutup mata dan tak memerdulikannya? Seringkali kita jengkel dengan sambutan pejabat pemerintah daerah yang tidak simpatik, jengkel pada sikap tak kooperatif guru-guru asli daerah setempat. Namun teriakan anak-anak itu seperti memanggil-manggil kita untuk mendekat dan memeluk mereka. 

Jadilah kita semua berada di sini, berkomitmen pada program ini. Apa pun yang terjadi, kita harus turun. Menjejakkan kaki di tanah-tanah terdepan dan terluar itu, meski nyawa taruhannya. Isnaeni bukanlah yang pertama merelakan hidupnya untuk program ini. Ada nama-nama lain yang telah mendahului. Dan mereka semua gugur sebagai pahlawan, sebagai syuhada. 

Meski kesedihan kita begitu berat, namun kita sudah bertekad, perjuangan harus terus berlanjut. Tak ada kata mundur. Isnaeni dan semua yang telah pergi akan berbangga karena kita tetap melanjutkan perjuangan mereka. 

Rheza, saya bersyukur, kamu dan kawan-kawan seperjuanganmu begitu kuat, begitu tegar. Kalian mengendapkan keraguan dan rasa bersalah saya. Kalian menghapus kepedihan dan trauma di hati saya. Bersama kalian, saya yakin, kita akan kuat menghadapi segalanya. 

Saya juga bersyukur, Rheza, kamu bisa bertahan untuk tetap tidak mau terlibat dalam kecurangan UN. Meski kepala sekolah mempersoalkan keteguhanmu untuk tidak mau membuat jawaban soal-soal UN, dan guru-guru menyindirmu dengan sindiran-sindiran pedas, kamu bergeming. Hebat, Rheza, kamu hebat. Tidak banyak anak muda yang setegar kamu dalam urusan UN. Saya bangga dan sangat respek padamu.  

Demikianlah, Rheza, maka telah kubalas suratmu. Lega rasanya bisa menuntaskan ini. Terima kasih sudah menjadi bagian dari program pengabdian ini. Terima kasih untuk kalian semua yang punya jiwa keterpanggilan dan kesepenuh hatian untuk melayani. Kalian adalah mutiara indah yang dimiliki negeri ini. Teruslah bersinar dan teruslah menyinari. 

Rheza, salam hangat dan rinduku untukmu dan untuk kalian semua. Tiga bulan lagi kita bertemu, semoga kalian semua baik-baik saja. Tetap dengan semangat mengabdi dan memelihara cita-cita kalian sebagai guru. 

Semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan meridhoi setiap langkah kita. Amin YRA.

Salam hangat,
Mbak Ella

Bidakara Hotel, Jakarta, 4 Juni 2015 

Minggu, 10 Mei 2015

Aceh Singkil Lagi 2: Kadisdik yang Gemar Membaca

Ini adalah kali kedua saya menjejakkan kaki di pulau ini. Namanya Pulau Balai, Kecamatan Pulau Banyak. Mendung dan badai di ujung perjalanan laut tadi mengantarkan speedboat kami mendarat di dermaga kecilnya. Sedikit kecemasan langsung sirna begitu menjumpai wajah-wajah ramah yang menyambut. Mereka adalah para kepala sekolah, guru, dan peserta SM-3T di Pulau Balai ini.

Sungguh beruntung saya dan teman-teman tim monev SM-3T Unesa. Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Aceh Singkil, Yusfit Helmi, S.Pd, sengaja menjadwalkan agenda kunjungan kerjanya bersamaan dengan kunjungan monev kami. Dengan begitu kami bisa mengirit banyak biaya, dan--tentu saja--dengan tambahan berbagai fasilitas, akomodasi dan konsumi gratis. Yang lebih penting lagi, kami bisa mengunjungi banyak sekolah, bahkan semua sekolah yang ditempati para guru SM-3T di Pulau Banyak. Juga, karena kunjungan monev ini bareng dengan kunjungan kerja Kadisdik, maka berbagai problem pendidikan yang diutarakan oleh guru dan kepala sekolah dapat kami rekam juga. 

Dalam rombongan, ada Kadisdik dan jajarannya, kabid program, kabid dikdas, kasi sarpras, dan kasek SMK Kuba. Kasek SMK Kuba sengaja diikutkan dalam rombongan karena beliau sekaligus mensosialisasikan dan mempromosikan SMK Kuba. Menurut kasek, siswa SMK Kuba terbanyak justeru berasal dari Pulau Banyak.

Sekitar pukul 09.00, kami sudah berada di ruang guru SMP Pulau Banyak. Dua tahun yang lalu, tepatnya pada 1 Februari 2013, saya bersama tim monev berada di ruang ini juga. Keadaannya tidak banyak berubah, hanya dindingnya saja yang saat ini terlihat lebih bersih, dan lantainya berlapis karpet plastik. Selebihnya hampir sama.    

Di depan kami, ada kepala sekolah SMP Pulau Banyak, kepala sekolah PAUD, kepala sekolah SD, dan kepala sekolah SMA. Juga belasan guru peserta SM-3T Unesa dan UNP. Satu kepala sekolah lagi, yaitu kepala sekolah SMP Satap Teluk Nibung, tidak ikut hadir di sini, tetapi menunggu kami di sekolahnya, di Teluk Nibung sana.
  
Banyak hal yang dikemukakan dalam pertemuan kunjungan kerja kadisdik dan monev SM-3T ini. Yang jelas, sebagaimana di setiap tempat yang kami kunjungi, selalu terlontar harapan dari hampir semua yang hadir tentang keberlanjutan program SM-3T. Para guru SM-3T dinilai telah begitu banyak berjasa dalam membantu memajukan pendidikan di Pulau Banyak, dan mereka berharap, program ini dapat terus berlanjut. 

Kepala SDN 1 Pulau Balai misalnya, menyatakan sangat mendukung program SM-3T, karena guru SM-3 memberikan kontribusi yang sangat tinggi pada sekolah, dan oleh sebab itu, program ini jangan terhenti. Kepala Sekolah SDN Teluk Nibung juga menyampaikan hal yang sama, dan menambahkan, sejak ada guru SM-3T, guru-guru bisa belajar komputer setiap hari Jumat sore, dan juga ada kegiatan pramuka secara rutin di sekolah. 

"Kedatangan guru-guru sangat bermanfaat, sangat membantu memajukan pendidikan di Pulau Balai ini, jadi mohon supaya program ini dapat terus dilanjutkan. Demi kemajuan pendidikan, khususnya di Pulau Balai ini."

Sementara itu, berbagai keluhan disampaikan kepada kepala dinas oleh para guru dan kepala sekolah. Terutama tentang kondisi sarana prasarana sekolah yang sebagian besar sangat memprihatinkan. Juga kekurangan guru. Kadisdik sengaja membawa jajarannya dalam kegiatan ini, supaya apa pun yang disampaikan oleh guru dan kepala sekolah bisa langsung dicatat, diobservasi, dan dibuat rencana tindak lanjut serta prioritas program. 

Sambil mengikuti acara dan memperhatikan berbagai keluhan yang disampaikan guru dan kepala sekolah, saya berharap semoga apa yang dilakukan kadisdik dan jajarannya ini bukan sekadar formalitas. Bukan hanya untuk 'show of performance' di depan kami, tim monev SM-3T.
Tempo hari, saat masih tahap koordinasi agenda monev, kadisdik mengatakan pada saya, kalau dua tahun yang lalu saya dan tim datang ke Aceh Singkil dan menjadi tamu Pak Dasir, staf beliau yang mendampingi kami untuk melakukan kunjungan monev, maka kali ini, kami akan menjadi tamu beliau. Beliau akan sepenuhnya mendampingi dan memastikan semua kebutuhan transportasi dan akomodasi kami selama berada di Aceh Singkil. Secara berseloroh, beliau bilang: "Nanti biar tulisan Prof Luthfi tentang Aceh Singkil jadi baik." 

Tentang tulisan, saya senang sekali karena Kadisdik ternyata suka membaca. Buku saya berjudul "Berbagi di Ujung Negeri" langsung dibacanya tuntas begitu saya memberikannya, sekitar setahun yang lalu, saat rapat koordinasi di Jakarta. Semalam pun, beliau sampai tertidur sekitar pukul 03.00 karena menghabiskan satu dari tiga buku yang kami bawakan sebagai oleh-oleh: "Untukmu Indonesia, Inilah Langkah Kecil Kami". Kisah tentang pengalaman pengabdian para peserta SM-3T di Aceh Singkil yang disunting oleh sahabat saya Drs. Jack Parmin, M.Pd,  itu.

Yang juga menarik, buku itu ternyata menjadi data penting bagi beliau. Kalau selama ini beliau mendengar laporan tentang kondisi sekolah, guru, siswa, hanya dari staf atau kepala sekolah dan pengawas, maka tulisan di buku itu juga menjadi laporan yang lebih memiliki nilai orisinalitas yang tinggi. Dalam dialognya dengan semua stakeholder pendidikan di Pulau Balai ini, beliau mempertanyakan: "Kenapa beberapa guru SM-3T menulis, bahwa masih banyak anak sekolah yang tidak bersepatu? Bukankah selama ini kita punya program pengadaan ribuan sepatu untuk anak sekolah? Bukankah selama ini laporan yang saya terima mengatakan kalau semua anak sekolah di Aceh Singkil ini sudah bersepatu?" 

Beliau juga menambahkan: "Saya seperti tidak percaya dengan kondisi yang sebenarnya, kalau saja saya tidak membaca laporan dari buku itu."

Kadisdik yang gagah, tinggi besar dan berkulit hitam itu, ramah sekali. Tidak hanya ramah, tapi beliau juga suka membaca. Bagi saya, itu sangat membanggakan. Terus-terang, saya tidak banyak menemui pejabat dinas yang suka membaca. Buku-buku yang kami bawakan sebagai oleh-oleh, entah disimpan di mana. Entah diapakan. Padahal kalau mau, tulisan di dalamnya adalah tulisan-tulisan yang bisa dimanfaatkan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan pembangunan bidang pendidikan di wilayahnya,

Dalam sambutan saya, secara jujur saya melontarkan kekaguman saya pada kadisdik, sebagai seorang pejabat yang tidak alergi pada kritik, serta mau membuka diri atas kenyataan yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Tulisan para guru SM-3T adalah tulisan yang polos khas anak muda. Apa adanya. Tidak ada dramatisasi, tidak ada manipulasi. Menjadi alat untuk mengabarkan kondisi pendidikan di tempat-tempat penugasan mereka, termasuk di Aceh Singkil. Tidak hanya untuk mengetuk pintu hati pemerintah kabupaten, namun juga pemerintah pusat, dan semua stakeholder pendidikan, mengetuk hati kita semua. Jadi kalau kadisdik membaca tulisan-tulisan itu, dan menganggapnya sebagai bahan evaluasi untuk kinerjanya, maka buku-buku itu adalah salah satu sumber data otentik.

Hari ini kami akan menghabiskan waktu di Pulau Banyak. Masih ada Teluk Nibung yang kami harus mencapainya dengan menumpang speedboat. Tidak terlalu jauh, hanya sekitar lima belas menit dari Pulau Balai. Dengan suguhan pemandangan laut yang indah. Barisan nyiur melambai di atas hamparan garis pantai yang putih berkilau.  

Di antara waktu-waktu kunjungan, Mas Syamsul Sodiq, membuat sebuah pantun, yang saya baca saat pamit dari SMP Pulau Banyak. 

"Pergi berlayar ke Pulau Balai
Bertemu saudara di Pulau Banyak
Mari kita berjuang dan terus berbagi
Semoga ridha dan berkah untuk semua."


Pulau Banyak, Aceh Singkil, 21 April 2015

Wassalam,
LN