Pages

Minggu, 22 November 2015

Aceh Singkil Lagi 4: Sukamakmur yang Tidak Makmur

Kami meninggalkan PBB pada sekitar pukul 13.00. Setelah menyantap makan siang yang lezat. Beramai-ramai bersama kepala dinas dan jajarannya, guru-guru, dan para peserta SM-3T.

Matahari semakin condong ke barat dan kepala dinas meminta kami bergegas. Masih ada satu tempat lagi yang akan kami singgahi, yaitu desa Sukamakmur. Sekitar 30 menit berspeedboat. Tidak jauh. Namun saat pulang nanti, laut bisa jadi sudah tidak teduh lagi. Maka kami harus berkejar-kejaran dengan waktu.

Dengan dilepas para guru dan peserta SM-3T di dermaga, speedboat kami melaju membelah samudera. Suaranya berdebum-debum. Tidak terlalu keras. Tidak terlalu membuat nyali ciut. Kami bahkan masih sempat bercanda dan berdiskusi, meski dengan sudah payah. Ya, karena harus berteriak-teriak mengimbangi raungan speedboat.

Desa Sukamakmur. Jangan bayangkan dia sebuah desa yang makmur. Dia hanya suka makmur saja. Baru pada tahap suka. Kondisi sebenarnya, jauh dari makmur. Tempatnya terpencil, kondisi alamnya tidak menampakkan kesuburan, rawa-rawa yang mengelilinginya, dan juga rumah-rumah serta orang-orangnya yang amat sederhana. Semuanya semakin menegaskan betapa tertinggalnya desa ini. Masih jauh dari makmur.

Kami turun dari speedboat di dermaga yang kecil yang langsung berhadapan dengan jalan yang memanjang dari laut menuju daratan. Panjang sekali jalan itu. Lurus, tanpa belokan. Itulah satu-satunya jalan untuk akses ke dan dari desa Sukamakmur. Di kanan-kiri jalan itulah rawa-rawa, tanaman-tanaman khas laut semacam mangrove, dan di kejauhan adalah ilalang dan pepohonan liar.  

Sukamakmur merupakan satu dari empat desa di Kecamatan Pulau Banyak Barat. Tiga desa yang lain adalah desa Haloban, Asantola, Ujung Sialit. Dengan singgah di Sukamakmur ini, berarti semua desa di PBB sudah pernah saya kunjungi. 

Di PBB, menurut data, penduduk paling banyak terdapat di desa Pulau Balai, desa yang baru pagi tadi kami tinggalkan. Penduduk paling sedikit di desa Sukamakmur. Pantaslah. Di desa ini, kami menangkap kesan sepi. Tidak banyak orang. Jauh keadaanya dengan di Pulau Balai. 

Sukamakmur memang desa yang sepi, jauh dari mana-mana. Akses ke luar desa satu-satunya hanya melalui laut. Penduduk asli mayoritas dari Suku Nias. Kalau dikatakan bahwa jumlah penduduk Sukamakmur paling sedikit dibanding desa lain di PBB, memang terasa dari suasana sepinya.  

Kami mengunjungi sebuah sekolah yang sepi, karena memang kegiatan belajar sudah selesai. Melongok ke kelas-kelas dan perpustakaan. Mengamati halaman sekolah yang tak terlalu luas, dan sebuah bendera merah putih kusam melambai-lambai di ujung tiangnya yang langsing.  

Kami tidak lama di Sukamakmur. Ada kekhawatiran pada situasi laut. Semakin sore, perjalanan tidak semakin aman, tapi dibayang-bayangi dengan angin dan ombak. Kekhawatiran itu membuat kami bergegas kembali ke speedboat.

Dan benar. Sepanjang perjalanan laut dari Sukamakmur ke Singkil, adalah perjalanan yang sangat mendebarkan. Speedboat berdentum-dentum sangat keras digoncang angin dan ombak. Tidak seperti saat berangkat dari Haloban tadi siang, goncangan-goncangan yang sangat kuat seperti tidak memberi kesempatan kami bernafas dengan tenang. Bahkan tiba-tiba saja speedboat berhenti di tengah laut. 

"Ada apa, Pak?" Tanya saya pada driver.
"Ombak dari samping kanan samping kiri, angin kencang dari depan dari belakang." Jawabnya. Nafasnya terengah-engah. Tapi wajahnya tetap menunjukkan ketenangan. Atau dia berusaha untuk tetap tenang. 

Seisi speedboat diam. Orang-orang yang tadinya mengobrol juga diam. Saya yang di sepanjang perjalanan nyaris tidak pernah berhenti membaca salawat, semakin khusyu membacanya. Juga doa Nabi Nuh. Bismillahi majreeha wamursaha, inna robbi laghafuurur rohiim. Mbak Ully yang agak tidak sehat karena kelelahan, nampak pucat wajahnya, meski berusaha tenang. 

Diam-diam saya melirik tumpukan pelampung di bagian belakang speedboat. Sebelum berangkat tadi driver bilang, pelampung yang ada sudah banyak yang rusak. Pelampung itu hanya mampu bertahan sekitar satu jam di dalam air. Artinya, bila terjadi keadaan darurat, orang yang mengenakannya hanya bisa terapung selama sekitar satu jam. Selebihnya, bila pertolongan tidak segera tiba, wallahu a'lam.

"Tenang, Bu. Tidak apa-apa, kita jalan lagi, pelan-pelan." Kata driver, seperti memahami kegalauan saya. 

Perjalanan dari tempat kami berhenti menuju ke Singkil masih satu jam lagi. Tidak lama. Tapi cobalah, Kawan, cobalah menumpang speedboat atau kapal kecil atau perahu pada saat laut tak terlalu bersahabat. Angin kencang dan ombak yang menampar-nampar speedboat seperti menampar-nampar ketahanan kita. Hidup serasa di ujung tanduk. Dan waktu begitu lamanya berjalan. Bahkan seperti diam tak beranjak.

Akhirnya, kelegaan pun tiba. Pantai di depan mata. Warung di pinggir dermaga sudah nampak. Syukurlah. Cukup sudah ujian mentalnya hari ini. Wajah kami semua cerah. Mbak Ully yang semua sakit seperti sembuh total. Sehat seperti sediakala. Apa lagi saat segelas kopi panas ada di depan hidungnya. Aroma harum kopi aceh seolah mengembalikan semangat yang sempat porak-poranda dihempas badai laut beberapa waktu yang lalu. Nyawa kembali utuh. 

Besok, waktunya kembali ke Surabaya. Tempat kami mengisi hari demi hari bersama keluarga, kolega, dan mahasiswa. Hidup begitu berarti saat kita berusaha terus untuk memberinya arti. Bismillah. Amin.

Aceh Singkil, 23 April 2015

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...