Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label SM-3T 2012. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SM-3T 2012. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 Juli 2013

Kabar dari MBD (2)

Malam ini, saya kembali membaca surat dari Romlah. Surat yang diemailkan oleh adik Romlah kemarin malam. Entah kenapa, Romlah tidak langsung mengirimnya ke saya, tapi melalui adiknya.

Romlah merupakan salah satu peserta SM-3T yang bertugas di Romkisar (Nanda, rekan Romlah yang bertugas di Sermata, Mdona Hyera, menyebutnya Rumkisar). Sebuah wilayah yang disebut-sebut Nanda sebagai tempat yang lain daripada yang lain. Berada di ujung pulau, dalam kondisi apa pun lautnya selalu bergelombang, akses ke sana harus menembus hutan yang 'samun', dan unsur magic yang masih terasa sangat kuat melingkupi desa beserta masyarakatnya.

"Sebelumnya saya mohon maaf bu atas kedatangan surat ini. Ini saya Romlah bu. Saya ketik surat ini di Mahaleta (kebetulan listrik dari jenset lebih memadai daripada di Romkisar). Keberadaan saya di Mahaleta bukan kebetulan bu. Kami bertiga (saya, Mbak Yuni dan Mbak Vina) sengaja dilarikan ke Mahaleta untuk kebutuhan pengobatan. Saya dan Yuni membutuhkan medis untuk membantu kami yang ternyata positif terkena malaria valcivarum karena di Romkisar (desa tempat kami ditugaskan) tidak ada tenaga medis sama sekali. Alhamdulilah keadaan kami sedikit lebih baik setelah mendapat penanganan para mantri, semoga kesembuhan dan kesehatan selalu menyertai kami, amien."

Itulah alinea pembuka surat Romlah. Sosok manis berjilbab yang ramah itu terbayang di mata saya. Beberapa waktu yang lalu, di awal-awal penugasannya, dia pernah menelepon saya dari Ambon. Waktu itu, dia dan beberapa temannya sengaja menumpang kapal ke Ambon untuk mengambil beasiswa di rekeningnya, serta berbelanja berbagai keperluan untuk bekal selama di Romkisar. Saat itu kami juga sedang melakukan pengiriman pelampung, sehingga keberadaan Romlah dkk di Ambon sangat membantu kami. Pelampung kami kirimkan ke Ambon, dan Romlah dkk membawanya menyeberang Laut Banda menuju tempatnya bertugas,  untuk dibagikan kepada semua rekannya di MBD.

Dalam suratnya, Romlah tak hendak bercerita tentang sakit yang dideritanya. Dia ingin bercerita tentang kondisi pendidikan di Romkisar. Dia dan kedua temannya ditugaskan di SDN Romkisar. Di sekolah itu, hanya ada dua guru PNS, yaitu kepala sekolah dan guru agama. Kepala sekolah sering ada urusan dinas atau keperluan kuliah, sedangkan guru agama juga sering izin tidak masuk. Bahkan baru-baru ini, guru agama izin melahirkan sejak bulan Februari, dan sampai sekolah sudah masuk libur semester dua, dia belum kembali.

"Kami sangat menyayangi murid-murid kami yang menurut kami kemampuannya tidak kalah dibanding anak-anak di kota. Mereka cukup cepat menangkap apa yang kami sampaikan, apalagi ketika kami beri mereka pelajaran dengan bermain dan bernyanyi. Mereka semangat sekali bu. Mereka tidak kekurangan fasilitas, saya rasa perlengkapan sekolah yang orang tua mereka berikan berkategori cukup jika dibanding kondisi anak-anak Sumba yang pernah ibu ceritakan waktu prakondisi. Hanya saja ibu, mereka masih kurang kesadaran untuk belajar. Mereka harus dipaksa untuk sekedar datang les (sungguh keadaannya tidak sejalan dengan cerita yang saya baca di buku "Ibu guru, saya ingin membaca", Sumba Timur). Tpi bu, justru itu kami sangat 'mengemani' itu.

Romlah mengaku, dia dkk sangat khawatir dengan 'ancaman' kepala sekolah kepada murid-murid, bahwa beliau akan keluar dari SDN Romkisar bila guru-guru SM-3T habis masa kontraknya. Ibu guru agama pun kabarnya juga akan pindah tempat mengajar. "Terus nanti siapa yang akan mengajar murid-murid kami?" Begitu tanya Romlah.

Saya jadi ingat persoalan yang sama yang terjadi di Pulau Salura, Sumba Timur. Di SMP Satap, waktu kami melakukan monev Juni yang lalu, tidak ada satu pun guru yang bertugas di sana. Maka para peserta SM-3T itulah yang 'ngurusi' sekolah itu. Sama halnya dengan Romlah, Heri dkk di Salura juga mengkhawatirkan sekolah itu akan tutup karena tidak ada gurunya, selepas kepergian mereka karena masa tugasnya telah berakhir. 

Romlah dkk memohon agar Romkisar tetap digunakan sebagai tempat tugas peserta SM-3T angkatan ketiga nanti, agar anak-anak ada yang mengajar. Seperti itu jugalah yang diminta Heri dkk di Salura.

Kondisi Romkisar persis seperti apa yang diceritakan Nanda dalam SMS-SMS-nya. Romlah menggambarkan, desa kecil yang dihuni oleh sekitar 64 KK dan hanya memiliki satu-satunya sekolah, yaitu SD itu, memiliki laut yang ombaknya....'masa ampun, bu, besar dan kencang sekali...', begitu katanya. 

"Kami tidak punya akses untuk berlayar ke desa sebelah, apalagi speed milik desa sedang rusak. Jalan darat yang menghubungkan desa Romkisar dengan Elo (tempat tugas Rio dkk) dan Romkisar dengan Lelang (tempat tugas Eko dkk) juga tidak dekat dan tidak mudah. Jarak ke Elo sekitar 7 km, dan jarak ke Lelang sekitar 13 km.  Perjalanan pun cukup melelahkan dan membahayakan karena harus menerobos padang ilalang dan menyeberang sungai, dan saya sudah merasakannya."

"Malaria juga menguji kami bertiga. Saya sudah mengalami rasanya sembuh-kambuh karena malaria sejak Maret hingga kali ini, bulan Juli 2013. Menyusuri kebun berkilo-kilo untuk sekedar mewujudkan hasrat membuat perkedel jantung pisang pun sudah kami lakukan...."

Romlah sekali lagi memohon supaya kami mengirimkan guru SM-3T ke Romkisar sebagai pengganti dia dkk. Bahkan kalau bisa lebih banyak lagi. Dia juga minta supaya kami juga mengirimkan guru-guru ke Pulau Marsela. 

"Saya tak bisa lupa raut wajah kepsek SD Kristen Nurah saat hendak menjemput kami yang awalnya ditempatkan di Pulau Marsela (namun tidak jadi), menjelang tengah malam pada bulan Oktober yang lalu. Tapi rombongan beliau harus kembali dengan tangan kosong dan kecewa..."

Kalimat Romlah mengingatkan saya pada sosok itu, Kepala Sekolah SD Kristen Nurah, yang kami temui di Letwurung, Pulau Babar, beberapa waktu yang lalu. Saya beserta tim (mas Heru Siswanto dan mas Rukin Firda) sedang berkunjung ke UPTD saat itu. Oleh karena masa-masa itu adalah masa UN, maka banyak kepala sekolah dari berbagai penjuru pulau, datang ke UPTD untuk mengambil dan menyerahkan soal UN.  

Sama seperti Romlah, saya tidak bisa melupakan wajah itu. Wajah yang memohon, dengan mata yang merah berkaca-kaca, meminta dengan sangat supaya kami mengirimkan guru ke Pulau Marsela. Saat itu, saat ada pengiriman guru SM-3T, beliau mendapat kabar kalau akan ada seorang guru yang ditugaskan di sana, yaitu Romlah. Maka dengan speed beliau dan rombongan menyeberang laut, datang ke UPTD, bermaksud menjemput Romlah. Tapi apa yang terjadi? Ternyata Romlah tidak jadi ditugaskan di sana. Kendala transportasi dan komunikasi menyebabkan beliau tidak mengetahui kalau ada perubahan itu. 

Ya, memang, atas masukan tim pendamping (Dr. Nanik dkk) saat melepas para peserta di Pelabuhan Galala, Ambon, dan juga berdasarkan hasil pembicaraan dengan pejabat Dinas PPO MBD, maka kami memutuskan supaya rentang tempat tugas peserta SM-3T tidak terlalu tersebar. Mengingat kondisi MBD yang begitu 'lain dari pada yang lain', kami jadi 'ngeri' sendiri untuk menugaskan anak-anak kami ke pulau-pulau kecil. Saya sendiri harus mempertimbangkan keamanan dan keselamatan mereka. Mungkin sebagai seorang ibu, saya harus mempertimbangkan juga, bagaimana sedihnya bila keluarga mereka nanti tidak bisa berkomunikasi dengan mereka, untuk sekadar memastikan keadaan mereka (Meskipun ternyata saat ini, seperti itulah yang terjadi....).

Kepala Sekolah SD di Pulau Marsela waktu itu menjelaskan pada kami, bahwa mereka sudah mengeluarkan 2,5 juta untuk menyewa speed, dalam rangka menjemput ibu guru Romlah. Begitu tahu bahwa Romlah tidak jadi ditugaskan di sana, tidak terbayangkan oleh saya, betapa kecewa dan sedihnya beliau. Kekecewaan dan kesedihan itu beliau tumpahkan saat bertemu kami di UPTD itu. Saat itu, saya berjanji, untuk angkatan 2013, kami akan mengupayakan ada guru yang bisa kami kirimkan ke Pulau Marsela.

"Ibu, mungkin begitu saja unek-unek yang ingin saya sampaikan. Mohon maaf jika terdapat hal yang kurang berkenan.... Semoga program SM-3T mampu mengirimkan sarjana-sarjana yang dapat membantu anak-anak negeri di daerah 3T menuju kenyataan terindah tunas bangsa, yakni cita-cita mulia yang mereka patri dalam hati..."

"Salam rindu dari saya dan teman-teman dari Bumi Kalwedo, untuk ibu kami tercinta..."

Saya, seperti biasa, selalu diliputi rasa haru, sedih dan bangga. Mata saya selalu menjadi kabur setiap kali membaca surat-surat dari anak-anak SM-3T. Ketegaran dan kerelaan mereka berjuang, benar-benar meruntuhkan hati saya. Mereka ada di sana, di titik-titik terpencil yang bahkan tak akan mudah dicari dengan google map di mana titik koordinatnya. Bertarung melawan segala macam rintangan dan rasa sakit yang benar-benar sakit. Merelakan diri untuk menjadi pelita-pelita dalam kegelapan yang tak jelas di mana titik terangnya. Dalam kondisi fisiknya yang digerogoti malaria dan berbagai sakit yang lainnya pun, bahkan yang mereka pikirkan adalah, bagaimana sekolah setelah mereka pergi, meninggalkan tempat tugas. Siapa yang akan mengurus murid-murid yang mereka sayangi itu?

Siang hari kemarin, saya juga berlama-lama bertelepon dengan Rico dan Leni. Keduanya yang bertugas di Mdona Hyera itu sedang ada di Pulau Kisar. Setelah tujuh bulan tidak pernah bertemu sinyal, mereka memuaskan diri untuk curhat. Bukan sakit, bukan keluhan karena keterbatasan dalam segala hal yang mereka sampaikan. Mereka hanya ingin memastikan, Mdona Hyera akan mendapat kiriman guru lagi, karena sekolah tempat mereka bertugas, hanya punya satu guru PNS, yaitu kepala sekolah. Bahkan kepala sekolah akan menelepon sendiri ke saya, agar kami mengirimkan lagi guru ke sana sebagai pengganti Rico dkk. Usai bertelepon, seperti biasa, saya mengambil tisu, menghapus air mata yang meleleh. Pak Sulaiman yang melihat itu, hanya tersenyum maklum, tanpa komentar sepatah pun. Tentu saja dia sangat tahu apa yang saya rasakan. Dalam segala ketegaran saya sebagai koordinator SM-3T, saya hanyalah seorang ibu yang selalu diliputi kekhawatiran tentang keselamatan dan keamanan anak-anak kami. Meski pikiran positif terus-menerus yang selalu kami kembangkan, namun, tak ayal, pada saat-saat tertentu, air mata menjadi saksi betapa saya sangat merindukan mereka semua selalu dalam keadaan terbaik yang bisa mereka dapatkan....

Surabaya, 23 Juli 2014

Wassalam,
LN

Senin, 22 Juli 2013

Kabar dari MBD

Ramadhan ini benar-benar berkah bagi para peserta SM-3T. Bersamaan dengan libur sekolah, karena ujian sekolah dan pembagian rapor sudah selesai, mereka memiliki waktu yang bebas untuk melakukan apa saja. Bahkan ketika sekolah sudah masuk lagi sejak tanggal 17 Juli yang lalu, aktivitas juga tidak terlalu padat, dan minggu berikutnya bahkan sudah diisi dengan kegiatan pondok Ramadhan. 

Sebagian besar peserta memanfaatkan waktu libur tersebut untuk melanglang dari satu pulau ke pulau yang lain. Tentu saja dengan tetap memperhitungkan kondisi laut. Kesempatan untuk melakukan petualangan dan menjelajah di seluruh pelosok kabupaten tempat tugas, belum tentu akan ada lagi pada waktu-waktu yang akan datang. September mereka sudah harus ditarik dari tempat tugas, dan libur sekolah yang panjang hanya mereka miliki pada saat ini.

Beberapa waktu yang lalu, Nanda, peserta yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD), mengirim SMS kalau dia dan beberapa temannya sedang berada di Kupang. Senyampang ada kapal berlayar dari Mdona Hyera menuju Kupang. Mereka mengambil beasiswa di rekening mereka atau sekedar mengecek (maklum, di Mdona Hyera tidak ada bank, apalagi ATM). Mereka juga berbelanja keperluan sehari-hari. Dan tentu saja, juga sekalian 'refreshing', cuci mata, mencari selingan setelah berbulan-bulan hanya bergelut dengan sekolah, laut, pantai, daun singkong, dan ikan laut.

Nanda juga menanyakan, kapan kira-kira peserta SM-3T MBD akan ditarik dari tempat tugas. Sehari sebelumnya, kami memang kedatangan tamu dari Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (PPO) MBD. Maksud kedatangan beliau selain untuk menandatangani MoU untuk penyelenggaraan Program SM-3T, juga untuk membahas rencana penarikan dan pengiriman peserta SM-3T yang ditugaskan di MBD. Nanda dan teman-temannya tahu akan hal itu, dan oleh sebab itu, dia menanyakan seperti apa hasil pertemuan tersebut.

Saya katakan ke Nanda, kalau menurut pak Kadis, untuk penarikan nanti, kita bisa menggunakan kapal Marsela (kapal tersebut milik Pemda MBD). Berangkat untuk mengantar peserta baru, dua minggu kemudian, menjemput peserta yang lama.

Tidak saya duga, balasan Nanda di luar dugaan. "Apa??? Hakakak... Ibu berarti kita pulang bukan sept bu... kalo angkatan 2013 berangkat nya kapan bu..? Kita pulang sendiri aja ya bu.. hakakaa". 

Saya kaget membaca respon Nanda. Sampai saya bertanya-tanya, apa salah ya SMS saya tadi. Maka saya segera meralatnya: "Alternatif lainnya, mengantar peserta baru, sambil menjemput peserta yang lama. Hayo....jok ngakak ya...".

"Maaf, bu. Itu tadi bukan saya yang jawab. Sudah deal seperti itu ya bu? Untuk jadwal penarikan berarti kita tergantung pemberangkatan angkatan 2013 bu?" Lanjut Nanda. Saya tidak menjawab pertanyaannya, malah balik bertanya: "Emangnya tadi siapa yang njawab? Nggak sopan....." Dalam pikiran saya, jawaban spontan yang dengan ngakak tadi bukan dari Nanda.

Ternyata Nanda malah telepon. Meminta maaf untuk SMS yang tidak sopan tadi. Dia bilang, yang menjawab tadi 'Nandut', bukan Nanda. Oh, ternyata dia ingin meralat jawaban tidak sopan tadi, yang ternyata itu jawaban spontan dia sendiri, dan dia merasa sangat kurang ajar, makanya merasa harus menelepon dan meminta maaf.

Saya sendiri rileks saja menanggapi permintaan maaf Nanda. Saya sangat memahami situasi hatinya. Kerinduannya untuk pulang, kejenuhannya setelah berbulan-bulan bergulat dengan rutinitas yang mungkin tak memberinya banyak pilihan, tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa TV, tanpa hiburan apa pun; kecuali masyarakat dan alam Mdona Hyera yang musti diakrabinya sepanjang waktu yang dimilikinya. Nanda nampak tenang setelah saya pastikan ke dia, tidak ada yang perlu saya maafkan, karena saya sangat memahami perasaan dia dan teman-teman.

Tiga hari setelah itu (14 Juli 2013), SMS nanda masuk berdesak-desakan. Inilah SMS-SMS itu:

"Assalamualaikum Wr. Wb. Ibu, sebelum saya kembali ke Sermata, saya sempatkan sms bu Luthfi mengenai penarikan. Mungkin memang tidak bisa dipungkiri kalau saya dan teman-teman sudah rindu pada keluarga dan semua yang ada di Jawa. Tapi untuk saya pribadi, setelah mengingat, menimbang dan memutuskan sayang jika tidak ada pertemuan antara peserta lama dengan peserta baru. Mengapa?
1. Kalau tidak ada pertemuan dan sharing sama saja kita mulai dari Nol lagi. Alias babat alas lagi.... jadi program kita mulai dari awal, mbangun pondasi baru lagi. 
2. Ada banyak hal yang kita alami yang sebelumnya juga tidak pernah terpikirkan ada menghadapi beberapa problem ini. Meskipun sepele namun jg cukup menghambat, dan jika ada sharing paling tidak bisa di hindari atau diminimalisir oleh teman-teman peserta baru. 
3. Perlunya tukar pikiran antara peserta lama dan baru tentang hal-hal yang perlu di perhatikan di tempat tgs. 
4. Membekali teman-teman peserta baru ttg pengalaman kami selama d tempat tgas. Segala hal tentang lingkungan setempat, karakter masyarakat dll...
5. Mungkin paling tidak kalau kita pulang ke Jawa saat sudah ada teman-teman baru yang siap meneruskan langkah kami, kami bisa lebih lilo ninggal anak-anak kami... biar gak terlalu sedih buuuu...hiks hiks. Maaf, ibu, smsnya puanjaangg sekali."

"Oke, Nanda. Sdh kuterima semua sms-mu. Aku perhatikan. Kapan kembali ke Sermata?" (Sermata adalah desa tempat Nanda bertugas, ada di Pulau Mdona Hyera).

"Enggeh bu, sayang nya saya tidak bisa menghubungi yang ada di sermata, karena mas noval dan mbak risna juga masih tertahan di sermata dari awal liburan bu, belum ada kapal.... 
Mungkin seperti itu ibu secara garis besarnya. Namun kalau bisa, agar sama2 'enak',  mohon diperhatikan masalah jadwal pengiriman teman-teman peserta baru yang bertugas di  MBD.. mungkin diusahakan bisa lebih awal atau tepat waktu, agar penarikan peserta lama juga tidak terlalu molor bu. InsyaAllah seperti itu bu untuk sementara yang ingin saya sampaikan... terimakasih ibu luthfi: )"

Saya pikir, itu adalah SMS Nanda yang terakhir sebelum dia dan kawan-kawannya bertolak kembali ke Sermata. Ternyata kapal tak kunjung berlayar, dan besoknya (15 Juli 2013), Nanda memenuhi ponsel saya dengan SMS-SMS-nya lagi. 

"Assalamualaikum. Ibu ada beberapa hal lagi yang mungkin menjadi masukan saya mewakili teman-teman khususnya yang ada di Mdona Hyera mengenai penempatan teman-teman peserta baru... (sebentar ibu smsnya panjang)". 

"Bercermin pada pengalaman angkatan saya, ada beberapa hal sepele tapi penting yang perlu diperhatikan. Kalau boleh saya tahu untuk daerah mdona hyera ada sekolah mana saja yang menjadi sasaran bu?"

"Sekedar masukan ibu...
1. Untuk keamanan dan keselamatan, mohon diusahakan untuk setiap penempatan ada laki-laki (jika memungkinkan).
2. Untuk desa Rumkisar, jika ada yang ditempatkan disana mungkin lebih dikhususkan lagi kareka karakter daerahnya yang 'lebih' dari pada lainnya. Mungkin jika memang harus ada yang ditempatkan di sana, paling tidak ada 3, harus ada laki-laki, atau lebih baik perbandingan laki-laki lebih banyak dari perempuan, misalnya 2:1".

"Tapi kapan hari saya bertemu dengan salah satu bapak pengawas, beliau bilang ke saya katanya, jikalau tahun ini rumkisar dapat guru sm3t lagi, maka kemungkinan besar akan dipindah ke desa lain. Yang jadi alasan Rumkisar 'istimewa':
- Ujung pulau
- Musim teduh atau gelombang, Rumkisar tetap akan gelombang.
- Jangkauan ke desa sebelah via darat medan susah dan masuk hutan (samun)
- Jangkauan via laut juga tidak mudah karena selalu gelombang. 
- Speed satu-satunya di rumkisar rusak.
- Hal-hal magic menurut penduduk pulau yg saya sendiri kurang paham.
Bahkan warga sebelah desa pun banyak yang dr kecil sampai tua belum pernah ke rumkisar karena beberapa alasan td".

"Jadi saya sendiri salut dengan perjuangan 3 saudara saya yang bertugas disana ibu, Romlah, Yuni dan mbak Vina... mereka sering sakit... 
Tapi mereka bersikeras untuk tahun ini harus ada penerus..kalau tidak sekolah tutup.
Karena selama ini saja jika ada guru yang asli dari sermata mendapat SK di rumkisar, baru 2 minggu mereka sudah pulang ke desanya dan tidak mau kembali lagi... tapi teman-teman saya ini bertahan demi kewajiban tugas dan anak-anak. Singkat cerita tentang rumkisar seperti itu ibu.... mungkin bisa jadi tambahan informasi dan semoga sedikit membantu. Berikutnya Luang...."

"Untuk luang, meskipun merupakan pulau kecil yang terpisah dari ibu kota kecamatan, namun sarana komunikasi masih lancar... masih ada telepon satelit. Dan ada kapal yang singgah di luang. Ikan banyak, tapi air tawar yang bisa dikatakan tidak ada... saya kurang info masalah luang dari pada tempat lainnya. Namun yang saya tahu relatif lebih nyaman dari desa yang sebelumnya. Karena jarang ada keluhan... tapi kalau bisa tetap ada laki-laki bu, meskipun satu.."

"Sementara itu ibu... sebenarnya saya ingin mengirim cerita lagi tentang gambaran dan karakter tempat di mdona hyera. Mungkin bisa memberi sedikit info untuk angkatan berikut. Cuma sayangnya FD saya sudah terkirim ke Jawa semua. Jadi disini sudah tidak pegang FD lagi bu..  untuk lelang, mahaleta dan elo relatif aman... meakipun ada masalah insyaAllah masih bisa diatasi... hehehe.. nggeh mpun bu... terima kasih.... wassalamualaikum".

Perasaan saya diliputi rasa bangga dan haru membaca SMS-SMS Nanda. Terbayang semuanya tentang dia dan teman-temannya. Ketegarannya, ketulusannya mengabdi, dan juga kekonyolannya. Anak manis itu telah merebut hati saya sejak surat pertama yang dikirimkannya beberapa waktu yang lalu. Surat yang dikirimnya dari Mdona Hyera, yang baru tiga bulan kemudian saya terima. 

Dan hati saya semakin terpikat pada kepribadiannya setelah selama seminggu saya bersamanya, sewaktu monev April yang lalu. Betapa pandainya Nanda, dan juga teman-temannya, menikmati keadaan mereka di tempat tugas. Semua keterbatasan yang ada menjadi sarana bagi mereka untuk selalu banyak bersyukur dan bersyukur. Juga semakin membulatkan tekad mereka untuk mengabdi, memberikan yang terbaik yang bisa mereka lakukan selama menjalankan tugas.

Semoga semangat juang dan jiwa penuh pengabdian itu tak lekang oleh zaman....

Surabaya, 22 Juli 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 12 Juni 2013

Puisi Untuk Para Guru di Sumba

Sementara itu
Kita masih berkutat di sini
Dengan oto yang jalannya terseok-seok
Penuh dengan manusia
Hasil bumi, anjing, babi dan ayam bahkan kuda
Bergerak terguncang-guncang di jalan-jalan berlubang
Melanggar sungai sampai puluhan kali

Di sinilah kita
Di sekolah-sekolah berlantai tanah
Beratap seng
Berdinding kayu
Anak-anak bertelanjang kaki 
Menunggu bapak dan ibu guru menghampiri

Merekalah anak-anak zaman
Yang akan menentukan masa depan
Lihatlah mata polos
Wajah-wajah lugu
Senyum sayu
Saat mereka menunggui jurigen-jurigen air terisi
atau menghalau sapi dan kuda pulang ke rumah menjelang senja
Sambil menyunggi ember-ember penuh sayuran di atas kepala

Mereka sedang belajar sesuatu
Tentang kerja keras
Berjuang demi hidup
Tentang tanggung jawab
Tentang kepedulian
Segala yang penting untuk bekalnya di masa depan

Biarkan mereka terus belajar semua itu
Namun jangan renggut keindahan masa kecil
Jangan cabut 
Keceriaan saat di sekolah
Ajari mereka memegang pena
Mengeja kata 
Sejatinya mereka sedang melengkapi bekal hidupnya

Mereka membutuhkan sentuhan
Mereka membutuhkan kepedulian
Mereka membutuhkan sosok panutan
Mereka membutuhkan guru-guru yang tak lekang oleh zaman

Rengkuhlah mereka 
Antarkan menuju masa depan
Menempuh jalan panjang membentang
Agar bintang mereka terang dan indah
Seindah kuda-kuda Sumba nan menawan                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Seindah bukit-bukit yang tinggi menjulang
Seindah padang sabana yang luas menghampar

Aku mungkin tidak sedang di Tanah Marapu
Namun hati dan jiwaku ada selalu untukmu...

Gedung Nasional,  Umbu Tipuk Marisi, Waingapu. 8 Juni 2013. 

Wassalam,
LN

Senin, 10 Juni 2013

Sumba Timur (7): Bertarung dengan Ombak

Kami meninggalkan mess pada pukul 10.00 WITA. Tidak seperti kemarin, cuaca hari ini panas sekali. Saya pikir, laut akan lebih aman dalam cuaca seperti ini. Dugaan saya salah. Heri yang datang dari mengecek laut  menggelengkan kepala. Air laut naik dan tidak ada satu perahu pun yang berani menyeberang, sampai nanti setelah pukul 13.00.

Saya menatap pak Rahman. 'Oke, tidak apa-apa. Mari kita menunggu sampai laut surut, di pantai saja. Sambil menikmati pantai.' Begitu kata pak Rahman.

Kami pun menuju pantai. Pak Rahman membenamkan tubuhnya dalam pasir laut. Andi ikut-ikutan. Sigit dan Zia berenang. Lukman dan Oscar sibuk mencari-cari sinyal di pohon-pohon. Saya termangu-mangu memandangi semua itu.

Kami sebenarnya berjanji sama Bidin dan Ela, dua peserta yang bertugas di Karera Jangga, bahwa kami akan singgah di sana. Tapi kalau waktu penyeberangan tidak jelas seperti ini, siapa yang berani janji? Perjalanan menuju Karera Jangga tidak cukup hanya ditempuh dengan roda empat, namun ada bagian yang harus ditempuh dengan berjalan kaki selama sekitar satu jam. Dengan sangat menyesal akhirnya kami membatalkan janji kami ke Bidin dan Ela, dan berharap suatu saat kami bisa mengunjungi Karera Jangga.

Setelah menunggu lebih dari tiga jam, alhamdulilah, akhirnya pada pukul 13.30, perahu siap karena laut sudah agak teduh. Kami bersiap menaiki perahu. Perahu yang akan membawa kami adalah perahu yang sama dengan yang kemarin. Hanya kali ini cukup satu perahu. Heri dan kawan-kawan tentu saja tidak perlu mengantarkan kami ke Katundu. 

Di pantai, saat kami semua sudah berada di perahu, saya memandangi mereka satu per satu, Heri dan kawan-kawan. Kami saling melambai. Anak-anak hebat itu membanggakan saya. Wajah-wajah optimisnya meyakinkan saya bahwa mereka akan menyelesaikan sisa pengabdiannya dengan sangat baik.

Ternyata penyeberangan siang ini jauh lebih berisiko dibanding yang kemarin. Ternyata penyeberangan kemarin itu tidak ada apa-apanya. Kalau kemarin Sigit dan kawan-kawan masih berani sesekali berdiri dan menikmati ayunan perahu, kali ini tidak. 

Sepanjang perjalanan, semua diam. Sigit bahkan menutupi seluruh tubuhnya dengan jas hujan saya. Lukman meringkuk di depan, bersisian dengan Zia. Oscar duduk di belakang berdampingan dengan awak perahu. Awak perahu yang satu lagi ada di tengah, sesekali membuangi air di dalam perahu dengan ember. Saya duduk bersisian dengan pak Rahman, memandangi laut dengan hati kecut.

Ombak begitu hitam dan menggelora. Waktu terasa begitu lambat jalannya. Sinar matahari yang panas menyengat di seluruh tubuh seperti tak ada apa-apanya dibanding dengan rasa khawatir yang melingkupi hati saya. 

Namun begitu, meskipun dengan perasaan ngeri, saya memberanikan diri memandangi gulungan-gulungan ombak yang kira-kita setinggi dua meter itu, mengejar-ngejar perahu kami. Ombak itu seperti monster-monster raksasa yang seolah siap melumat-lumat perahu kecil ini. Setiap kali ombak meninggi, perahu seperti dihempaskan ke dalam sebuah ceruk. Perahu tidak hanya bergoyang-goyang, namun terhempas-hempas dengan cukup keras, dan berkali-kali terasa seperti mau oleng. Sesekali pengemudi meredakan laju perahu ketika ombak besar datang menghantam untuk menjaga supaya perahu tidak oleng. Air laut, kalau kemarin hanya memercik-mercik di wajah kami, siang ini mengguyur tubuh kami. Berkali-kali. Pak Rahman memastikan barang-barang kami aman dan tidak basah terguyur air. 

Saya terus menggumamkan doa dan mengembangkan pikiran positif. Saya tahu, bahkan dalam kondisi saya yang sudah berpelampung seperti ini pun, sesuatu yang sangat buruk bisa saja terjadi di tengah laut luas seperti ini. Dengan ombak hitam yang tinggi bergulung-gulung. Hanya mengandalkan sebuah perahu nelayan yang kecil. Namun dengan seluruh niat baik saya jauh-jauh datang ke sini, dan kepasrahan pada Allah Yang Maha Melindungi, saya bahkan harus siap dengan apa pun yang terjadi.

Namun, sekali lagi, wajah-wajah tenang para awak perahu itu mendamaikan saya. Mereka bahkan melemparkan senyumnya ke arah saya setiap kali tiba-tiba ombak mengguyur tubuhnya atau tubuh kami. Seolah ingin meyakinkan saya bahwa semua aman dan terkendali. Mereka sama sekali tidak nampak panik, namun jelas sekali kalau mereka tengah memasang kewaspadaan yang tinggi.

Akhirnya pantai itu pun nampak semakin dekat. Pantai di Desa Katundu. Warna laut yang tadi hitam pekat berangsur menjadi biru bening, pertanda laut landai. Pada titik itu, kelegaan terpancar di wajah-wajah kami.

Akhirnya menepilah perahu kami ke pantai. Kami pun bersiap. Mengemasi barang bawaan. Bahu-membahu menurunkannya ke pantai. Tubuh kami semua basah. Bahkan wajah kami terasa berpasir karena guyuran ombak. Namun rasanya semuanya itu tak ada artinya. Ombak yang hitam telah kami tinggalkan jauh di belakang sana. Saatnya mendamaikan hati dengan membersihkan diri di rumah singgah yang sudah menanti.

Tubuh terasa segar kembali setelah saya mandi dan berwudhu. Sholat saya terasa lebih khusyuk dipenuhi rasa haru dan lega. Dalam sujud syukur, saya menitikkan air mata. Ya Allah, betapa ini semua terjadi hanya atas kuasa-Mu. Terimakasih telah melindungi kami semua dan senantiasa menjadi sumber kekuatan kami. Bimbinglah terus kami ke jalan yang Engkau ridhoi. Amin.

Desa Katundu, Karera, Sumba Timur. 10 Juni 2013. 15.30 WITA.

Wassalam,
LN

Sumba Timur (6): Sebuah Wilayah Perbatasan

Pagi ini, selepas shubuh, saya, Lukman dan Sigit jalan-jalan ke pantai. Zia membantu pak Rahman mengambil air tawar untuk mengisi kamar mandi mess yang saya tempati. Sedangkan Tamam dan Irfan menyiapkan makan pagi.

Kami kembali menikmati eksotisme laut dan pantai Salura. Menikmati puluhan perahu yang semalam lampu-lampunya bersinar indah seperti kunang-kunang berwarna-warni. Membaui aroma anyir laut yang dibawa angin yang berhembus halus mengusap wajah-wajah kami.

Heri membawa kami ke sebuah tugu di salah satu sudut di pantai itu. Dikatakan sebuah tugu, tapi sebenarnya hanya berupa bangunan semen segi empat dengan ukuran sekitar 1,5x1x1,5, yang di atasnya terpasang semacam prasasti yang terbuat dari batu marmer. 

Tugu tersebut merupakan tugu klaim tapal batas wilayah Salura dengan Australia. Bunyinya seperti ini:

'Pulau ini adalah Pulau Salura. Merupakan wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan dengan Australia'. 

Prasasti tersebut ditandatangani oleh  Bupati Sumba Timur, Drs. Gidion Mbilijora, M.Si. Dan Dody Usodo Hargo, S., S.IP, Kolonel Inf, NRP 29955. 

Di bagian lain, tidak jauh dari tugu itu, ada sebuah kantor polisi. Dari papan namanya tertulis bahwa kantor polisi ini adalah kantor Polsek Karera sub sektor perbatasan. Ada prasastinya juga.

'Dengan rahmad Tuhan Yang Mahaesa, telah diresmikan penggunaan Kantor Polisi Subsektor Perbatasan Pulau Salura pada tanggal 17 Agustus 2010 oleh Kepala Kepolisian Resort Sumba Timur, Tetra Megayanto Putra, AKBP NRP 63031119.

Di dekatnya, pada sebuah batu berbentuk segitiga, tertera 'Indonesia-Australia ±800 mil selatan. 

Sebagai wilayah perbatasan, sebagaimana wilayah perbatasan yang lain di seluruh Indonesia ini, Salura sebenarnya memerlukan lebih banyak sentuhan dari pemerintah. Tidak sekedar tugu dan prasasti-prasasti. Adanya prasasti itu tidak serta merta menjadi bukti bahwa para petinggi yang telah menandatangani itu benar-benar pernah datang ke Salura. Tidak. Tugu klaim batas wilayah itu juga tinggal memasang saja di tempat itu karena para petinggi sudah menandatanginya di tempat lain. 

Salura membutuhkan lebih dari itu. Kehadiran para petinggi untuk menengok keadaan mereka di tempat itu. Dengan sebenar-benarnya. Dengan sepenuh hati. Menyapa mereka dengan ketulusan yang murni. Meyakinkan pada mereka bahwa mereka adalah bagian dari NKRI. Bukan sekedar dengan simbol-simbol dan prasasti-prasasti.

Dalam bidang pendidikan, Salura juga masih sangat memprihatinkan. Satu-satunya sekolah adalah SD-SMP Negeri Satap Salura. SD terdiri dari 115 siswa, kelas satu sampai enam, tetapi hanya memiliki tiga kelas. Dengan kondisi kelas yang sangat menyedihkan. Kalau kita melihat proses pembelajaran di kelas, kita seperti kembali ke masa tiga atau empat puluh tahun yang silam. Lantai dan dinding-dinding kelas yang kusam, papan tulis yang sudah pudar, dengan kondisi anak-anak sekolah yang kotor, berdaki, berbaju lusuh, dan bertelanjang kaki. 

Memang anak-anak tidak perlu menempuh jarak yang sangat jauh untuk mencapai sekolahnya, sebagaimana di wilayah Sumba yang lain. Di Salura yang kecil ini, bahkan jarak terjauh pun cukup ditempuh hanya dalam waktu sekitar tiga puluh menitan. Namun sebenarnya kondisi mereka tidak kalah memprihatinkannya. Sungguh. Ada lebih banyak uluran tangan yang mereka butuhkan demi menata masa depannya. Tidak sekedar menjadi pencari cumi di laut sebagaimana yang dilakukan kebanyakan masyarakat Salura saat ini. Saya sempat tercekat saat menyadari mereka seperti kebingungan menjawab saat saya bertanya apa cita-cita mereka.

Di SD, gurunya ada 2 PNS, satu kepala sekolah dan satunya lagi adalah pak Rasyid, guru yang kemarin bersama kami dari Waingapu. Guru bantu ada tiga orang tetapi yang seorang sedang kuliah di Waingapu sehingga praktis tidak pernah mengajar. 

Jangan bicara tentang perpustakaan, laboratorium, ekstrakurikuler, dan hal-hal lain yang semuanya itu seolah jauh api dari panggang. Mungkin bagi kita yang telah terbiasa melihat pendidikan di kota dan memiliki kepedulian, akan merasa teriris melihat lemari (bukan perpustakaan) mereka yang lapuk, selapuk buku-buku yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Miris.

Menurut salah seorang guru, sejak SD inpres berdiri tahun 1982, kepala dinas PPO datang waktu peresmian itu. Namun setelah itu, sampai saat ini, kepala dinas tidak pernah lagi datang. Satu-satunya yang pernah datang adalah pengawas, mungkin tiga-empat kali sejak tahun 1984. Namun sejak beberapa tahun belakangan, tidak ada lagi pengawas yang datang karena pengawas itu sudah pensiun.

Sementara itu, SMP baru saja berdiri pada tahun 2011 yang lalu.  SMP ini  bahkan belum ada gurunya sama sekali, hanya kepala sekolah yang baru akan bertugas tahun ajaran baru nanti. Padahal saat ini sekolah itu sudah memiliki tiga belas siswa. Jadilah Heri dan kawan-kawan mengangkat diri mereka sendiri menjadi kepala sekolah dan berbagi tugas siapa mengajar apa. 

Hari ini kami mengunjungi SD-SMP Satap itu. Saya membawakan kamus bahasa Inggris untuk kelas 5 SD, sesuai pesanan Heri. Jadilah kami belajar Bahasa Inggris pagi itu. Seumur-umur, anak-anak itu baru kali ini melihat kamus. Kami semua turun gunung mengajari mereka bagaimana menggunakan kamus. Kami menyebutkan beberapa kosa kata, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia, dan berkeliling mengajari mereka bagaimana mencarinya di kamus dengan cepat. Rona wajah mereka seperti menemukan segenggam berlian setiap kali mereka berhasil menemukan kata-kata itu di kamus. Terasa teriris hati saya menyaksikan semua itu.

Saya memasuki semua kelas yang ada. Berdialog dengan guru-guru dan pada anak-anak itu. Membagikan coklat, biskuit, dan kue-kue yang lain. Sejumlah buku bacaan dan buku tulis saya titipkan pada Heri dan kawan-kawan untuk dibagikan pada mereka. 

Coklat, biskuit, buku-buku, sebenarnya hanyalah alasan saya saja untuk menghibur diri sendiri. Menutupi perasaan bersalah, menyadari bahwa saya belum bisa berbuat banyak untuk mereka.

Pulau Salura, Karera, Sumba Timur. 10 Juni 2013. 10.00 WITA.


Wassalam,
LN

Sumba Timur (5): Bersama Anak-Anak Pantai

Salura di sore hari. Penuh dengan nelayan di pantai yang sedang menyiapkan perahu untuk mencari cumi malam nanti. Suaranya ramai ditingkahi dengan deburan ombak yang bersusulan. 

Menurut Heri dan kawan-kawan, pada bulan-bulan ketika laut tenang (mulai April-Desember), ratusan perahu akan memenuhi laut. Mereka kebanyakan adalah para nelayan dari Lombok. Perahu-perahu besar yang menjadi pengepul, parkir agak ke tengah. Perahu-perahu besar itu juga milik nelayan dari Lombok.

Bila musimnya, cumi memang sangat berlimpah di laut ini. Setiap nelayan bisa memperoleh ratusan kilogram cumi setiap hari. Laut akan diterangi cahaya lampu petromak dari ratusan kapal. Cumi memang peka pada cahaya, sehingga secara naluriah rombongan hewan laut berdaging lunak itu akan berebut mendekati cahaya. Para nelayan berlomba menangkapnya.

Cumi basah di sini dijual dengan harga Rp. 10.000,- per kilogram. Bila dalam keadaan kering, harganya bisa mencapai Rp. 70.000,-. Cumi itu akan di bawa ke Lombok oleh para pengepul, untuk dilempar ke pasar yang lebih luas.

Bila musim angin tiba (bulan Januari-Maret), laut sepi. Nyaris tidak ada satu pun perahu yang parkir. Begitu juga tenda-tenda, bersih. Bahkan sebagian penduduk Salura juga eksodus ke tempat lain, untuk mencari laut yang lebih memberi harapan.

Sore itu selepas mandi dan sholat ashar, kami keluar dari tempat kami. Oya, saya disediakan tempat di mess ibu bidan. Kebetulan ibu bidan sedang mudik ke Melolo, sehingga kamarnya bisa saya pakai. Pak Rahman juga di situ, tapi di ruang kantornya. Sementara tempat tinggal anak-anak adalah di mess. Sebenarnya bukan mess. Itu adalah salah satu rumah dari sekitar tiga puluh rumah yang dibuatkan pemerintah untuk masyarakat Salura. Sebagai salah satu bentuk perhatian pemerintah pada wilayah terluar ini. Tapi entah kenapa, justeru orang Selura asli tidak banyak yang menempati tumah-rumah itu.

Kebetulan rumah-rumah itu ada di dekat sekolah. Jadilah rumah anak-anak itu merangkap sebagai kantor sekolah, karena di sekolah tidak ada kantornya. Bendera merah putih dipasang di dinding depan. Dinding berbahan dasar bambu kombinasi batu putih di bagian bawahnya. 

Sore itu kami ke masjid. Mengajar iqro dan Al Quran. Siswa TPA ada lebih dari 50 anak laki dan perempuan. Ramai sekali. Salura ternyata dipenuhi dengan anak-anak. Anak-anak berkulit hitam, kebanyakan berambut ikal. Khas anak pantai dari NTT. 

Sebelum ada peserta SM-3T, di Salura sudah pernah ada TPA (Taman Pendidikan Al Quran). Namun itu sudah berhenti sekitar lima tahun yang lalu. Kehadiran Heri dan kawan-kawan menjadi oase bagi anak-anak dan orang tua, di tengah kelangkaan guru mengaji. Keempat anak itu kebetulan pandai mengaji, dan memiliki komitmen tinggi untuk meramaikan masjid, sehingga bisa menghidupkan kembali TPA setiap sore hari.

Dengan 138 KK dan 600-an jiwa, Salura yang luas wilayah berpenghuninya hanya sekitar dua kilometer persegi ini memang cukup ramai. Ramai dan agamis. Bila waktunya sholat, di mana-mana orang berkain sarung dan berkopiah. Adzan menggema dari masjid yang baru selesai dibangun, memanggil masyarakat sekitar untuk berjamaah. Berada di Salura, seperti sedang berada di desa santri. 

Setelah mengaji di masjid, kami beramai-ramai bermain di pantai, menunggu adzan maghrib. Senja yang berawan menyembunyikan sinar matahari yang siap tenggelam. Meski begitu, suasana syahdu tak pelak tetap terasa kental. Puluhan anak pantai, ratusan perahu, laut yang biru, senja yang temaram, dan bukit-bukit yang diliputi kabut, menyajikan keindahan yang tak terkatakan.

Begitu adzan maghrib, kami ke masjid. Listrik tidak menyala sejak tiga hari ini karena genset kehabisan minyak. Entah kapan minyak kiriman dari Waingapu akan tiba. Maka sholat berjamaah dilaksanakan dalam kegelapan. Di masjid yang cukup besar namun masih setengah jadi. Masjid yang halamannya dipenuhi dengan kambing dan kotorannya. 

Ya, kotoran kambing dan sapi memang ada di mana-mana di Salura ini. Mereka dibiarkan begitu saja di kebun-kebun, di jalan, di pekarangan-pekarangan. Bila musim hujan tiba, mereka berteduh di sekolah, di kantor desa, di teras-teras rumah. Maka aroma kotoran sapi menjadi aroma khas di Salura, berbaur dengan aroma pantai yang tertiup angin.

Setelah sholat, kami dijamu makan malam di rumah bapak Rasyid. Menunya nasi putih, kare ayam dan oseng cumi. Kami semua makan dengan menyenangkan. Lahap. Makanan habis tandas.

Pohon signal di Katunda.
Selama melakukan semua aktivitas itu, HP saya gantung di dinding di rumah anak-anak.  Sinyal hanya ada di dinding itu, di atas pintu mess ibu bidan, dan di bawah sebuah pohon di pantai. Bila ingin mengirim sms, pesan kita tulis dulu, kemudian HP digantung. Menunggu sinyal sehingga sms kita terkirim dan sekaligus menunggu jawaban. Jadi percuma membawa-bawa HP, karena sinyal tidak tersebar di sembarang tempat. 

Kami semua juga heran dengan perilaku sinyal di Salura dan di wilayah-wayah 3T yang lain. Sinyal hanya ada di titik-titik tertentu, sehingga dikenal ada pohon sinyal, bukit sinyal, dan dinding sinyal. Ada juga sinyal yang munculnya ketika malam hari sampai pagi, seperti di MBD. Seringkali sinyal seolah penuh, namun tidak bisa digunakan untuk mengirim sms atau bertelepon. Hanya bisa menerima. 

Malam ini kami habiskan dengan berbagai aktivitas. Mengobrol dengan beberapa tokoh masyarakat dan mendengarkan harapan-harapan mereka. Salah satunya adalah supaya Salura tetap digunakan sebagai tempat penugasan program SM-3T. Kalau bisa, jumlah pesertanya ditambah, dan syarat yang khusus, pesertanya bisa mengaji seperti peserta yang sekarang ini.

Sementara itu, Zia dan kawan-kawan mencari jengkerik di sekitar mess. Berbaur dengan anak-anak kampung yang sedang melakukan aktivitas yang sama. 

Oya, Zia, Lukman dan Sigit, tadi sore sempat dikerjain oleh Heri dan kawan-kawan. Menurut Heri, siapa pun yang masuk ke Pulau Salura ini, kalau yang bersangkutan belum menikah, dia harus berjalan mundur mulai dari pantai sampai ke sumur alam. Entah karena takutnya pada isu swanggi di tempat ini, atau karena saking bodohnya, ketiga anak itu pun berjalan mundur. Tiba di sumur, mereka masih diharuskan mengitarinya sampai tujuh kali, kemudian membaca adzan.

Sebenarnya dari awal ketiga anak itu sudah ragu dan curiga mereka hanya dikerjain saja, namun nampaknya mereka memilih tetap melakukan karena ada rasa ragu juga, jangan-jangan memang inilah adat Salura yang harus mereka penuhi. Wajah Heri, Andi dan Tamam memang menunjukkan muka serius. Namun begitu pak Rasyid meminta mereka untuk mengambil kerikil dan melemparkannya mengarah ke sebuah dinding, tak pelak, tawa pun pecah karena  mereka sadar jelas-jelas sedang dikerjain.  

Menjelang tengah malam, saat saya masih juga belum lelap, Heri mengetuk pintu kamar saya dan membawakan teh panas. Rupanya dia mendengar saya batuk-batuk dan dia memastikan saya memerlukan minuman itu.

Debur ombak, desis angin, dan suara binatang malam meramaikan malam yang telah larut. Para lelaki ada di luar kamar yang saya tempati. Mereka semua sudah pulas. Dengkurannya bersahut-sahutan. 

Ternyata binatang malam tidak hanya ada di luar kamar, tapi juga ada di dalam kamar. Beberapa jengkerik dan binatang kecil menemani saya sepanjang malam itu.

Salura, Karera, 9 Juni 2013. 24.30 WITA.

Wassalam,
LN