Pages

Senin, 10 Juni 2013

Sumba Timur (5): Bersama Anak-Anak Pantai

Salura di sore hari. Penuh dengan nelayan di pantai yang sedang menyiapkan perahu untuk mencari cumi malam nanti. Suaranya ramai ditingkahi dengan deburan ombak yang bersusulan. 

Menurut Heri dan kawan-kawan, pada bulan-bulan ketika laut tenang (mulai April-Desember), ratusan perahu akan memenuhi laut. Mereka kebanyakan adalah para nelayan dari Lombok. Perahu-perahu besar yang menjadi pengepul, parkir agak ke tengah. Perahu-perahu besar itu juga milik nelayan dari Lombok.

Bila musimnya, cumi memang sangat berlimpah di laut ini. Setiap nelayan bisa memperoleh ratusan kilogram cumi setiap hari. Laut akan diterangi cahaya lampu petromak dari ratusan kapal. Cumi memang peka pada cahaya, sehingga secara naluriah rombongan hewan laut berdaging lunak itu akan berebut mendekati cahaya. Para nelayan berlomba menangkapnya.

Cumi basah di sini dijual dengan harga Rp. 10.000,- per kilogram. Bila dalam keadaan kering, harganya bisa mencapai Rp. 70.000,-. Cumi itu akan di bawa ke Lombok oleh para pengepul, untuk dilempar ke pasar yang lebih luas.

Bila musim angin tiba (bulan Januari-Maret), laut sepi. Nyaris tidak ada satu pun perahu yang parkir. Begitu juga tenda-tenda, bersih. Bahkan sebagian penduduk Salura juga eksodus ke tempat lain, untuk mencari laut yang lebih memberi harapan.

Sore itu selepas mandi dan sholat ashar, kami keluar dari tempat kami. Oya, saya disediakan tempat di mess ibu bidan. Kebetulan ibu bidan sedang mudik ke Melolo, sehingga kamarnya bisa saya pakai. Pak Rahman juga di situ, tapi di ruang kantornya. Sementara tempat tinggal anak-anak adalah di mess. Sebenarnya bukan mess. Itu adalah salah satu rumah dari sekitar tiga puluh rumah yang dibuatkan pemerintah untuk masyarakat Salura. Sebagai salah satu bentuk perhatian pemerintah pada wilayah terluar ini. Tapi entah kenapa, justeru orang Selura asli tidak banyak yang menempati tumah-rumah itu.

Kebetulan rumah-rumah itu ada di dekat sekolah. Jadilah rumah anak-anak itu merangkap sebagai kantor sekolah, karena di sekolah tidak ada kantornya. Bendera merah putih dipasang di dinding depan. Dinding berbahan dasar bambu kombinasi batu putih di bagian bawahnya. 

Sore itu kami ke masjid. Mengajar iqro dan Al Quran. Siswa TPA ada lebih dari 50 anak laki dan perempuan. Ramai sekali. Salura ternyata dipenuhi dengan anak-anak. Anak-anak berkulit hitam, kebanyakan berambut ikal. Khas anak pantai dari NTT. 

Sebelum ada peserta SM-3T, di Salura sudah pernah ada TPA (Taman Pendidikan Al Quran). Namun itu sudah berhenti sekitar lima tahun yang lalu. Kehadiran Heri dan kawan-kawan menjadi oase bagi anak-anak dan orang tua, di tengah kelangkaan guru mengaji. Keempat anak itu kebetulan pandai mengaji, dan memiliki komitmen tinggi untuk meramaikan masjid, sehingga bisa menghidupkan kembali TPA setiap sore hari.

Dengan 138 KK dan 600-an jiwa, Salura yang luas wilayah berpenghuninya hanya sekitar dua kilometer persegi ini memang cukup ramai. Ramai dan agamis. Bila waktunya sholat, di mana-mana orang berkain sarung dan berkopiah. Adzan menggema dari masjid yang baru selesai dibangun, memanggil masyarakat sekitar untuk berjamaah. Berada di Salura, seperti sedang berada di desa santri. 

Setelah mengaji di masjid, kami beramai-ramai bermain di pantai, menunggu adzan maghrib. Senja yang berawan menyembunyikan sinar matahari yang siap tenggelam. Meski begitu, suasana syahdu tak pelak tetap terasa kental. Puluhan anak pantai, ratusan perahu, laut yang biru, senja yang temaram, dan bukit-bukit yang diliputi kabut, menyajikan keindahan yang tak terkatakan.

Begitu adzan maghrib, kami ke masjid. Listrik tidak menyala sejak tiga hari ini karena genset kehabisan minyak. Entah kapan minyak kiriman dari Waingapu akan tiba. Maka sholat berjamaah dilaksanakan dalam kegelapan. Di masjid yang cukup besar namun masih setengah jadi. Masjid yang halamannya dipenuhi dengan kambing dan kotorannya. 

Ya, kotoran kambing dan sapi memang ada di mana-mana di Salura ini. Mereka dibiarkan begitu saja di kebun-kebun, di jalan, di pekarangan-pekarangan. Bila musim hujan tiba, mereka berteduh di sekolah, di kantor desa, di teras-teras rumah. Maka aroma kotoran sapi menjadi aroma khas di Salura, berbaur dengan aroma pantai yang tertiup angin.

Setelah sholat, kami dijamu makan malam di rumah bapak Rasyid. Menunya nasi putih, kare ayam dan oseng cumi. Kami semua makan dengan menyenangkan. Lahap. Makanan habis tandas.

Pohon signal di Katunda.
Selama melakukan semua aktivitas itu, HP saya gantung di dinding di rumah anak-anak.  Sinyal hanya ada di dinding itu, di atas pintu mess ibu bidan, dan di bawah sebuah pohon di pantai. Bila ingin mengirim sms, pesan kita tulis dulu, kemudian HP digantung. Menunggu sinyal sehingga sms kita terkirim dan sekaligus menunggu jawaban. Jadi percuma membawa-bawa HP, karena sinyal tidak tersebar di sembarang tempat. 

Kami semua juga heran dengan perilaku sinyal di Salura dan di wilayah-wayah 3T yang lain. Sinyal hanya ada di titik-titik tertentu, sehingga dikenal ada pohon sinyal, bukit sinyal, dan dinding sinyal. Ada juga sinyal yang munculnya ketika malam hari sampai pagi, seperti di MBD. Seringkali sinyal seolah penuh, namun tidak bisa digunakan untuk mengirim sms atau bertelepon. Hanya bisa menerima. 

Malam ini kami habiskan dengan berbagai aktivitas. Mengobrol dengan beberapa tokoh masyarakat dan mendengarkan harapan-harapan mereka. Salah satunya adalah supaya Salura tetap digunakan sebagai tempat penugasan program SM-3T. Kalau bisa, jumlah pesertanya ditambah, dan syarat yang khusus, pesertanya bisa mengaji seperti peserta yang sekarang ini.

Sementara itu, Zia dan kawan-kawan mencari jengkerik di sekitar mess. Berbaur dengan anak-anak kampung yang sedang melakukan aktivitas yang sama. 

Oya, Zia, Lukman dan Sigit, tadi sore sempat dikerjain oleh Heri dan kawan-kawan. Menurut Heri, siapa pun yang masuk ke Pulau Salura ini, kalau yang bersangkutan belum menikah, dia harus berjalan mundur mulai dari pantai sampai ke sumur alam. Entah karena takutnya pada isu swanggi di tempat ini, atau karena saking bodohnya, ketiga anak itu pun berjalan mundur. Tiba di sumur, mereka masih diharuskan mengitarinya sampai tujuh kali, kemudian membaca adzan.

Sebenarnya dari awal ketiga anak itu sudah ragu dan curiga mereka hanya dikerjain saja, namun nampaknya mereka memilih tetap melakukan karena ada rasa ragu juga, jangan-jangan memang inilah adat Salura yang harus mereka penuhi. Wajah Heri, Andi dan Tamam memang menunjukkan muka serius. Namun begitu pak Rasyid meminta mereka untuk mengambil kerikil dan melemparkannya mengarah ke sebuah dinding, tak pelak, tawa pun pecah karena  mereka sadar jelas-jelas sedang dikerjain.  

Menjelang tengah malam, saat saya masih juga belum lelap, Heri mengetuk pintu kamar saya dan membawakan teh panas. Rupanya dia mendengar saya batuk-batuk dan dia memastikan saya memerlukan minuman itu.

Debur ombak, desis angin, dan suara binatang malam meramaikan malam yang telah larut. Para lelaki ada di luar kamar yang saya tempati. Mereka semua sudah pulas. Dengkurannya bersahut-sahutan. 

Ternyata binatang malam tidak hanya ada di luar kamar, tapi juga ada di dalam kamar. Beberapa jengkerik dan binatang kecil menemani saya sepanjang malam itu.

Salura, Karera, 9 Juni 2013. 24.30 WITA.

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...