Pages

Senin, 17 Juni 2013

Menunggui Nizar Jalani Operasi Tumor Otak

Anak jangkung itu tergolek lemah. Bibirnya yang merah, terkatup rapat. Kedua matanya setengah terbuka. Lehernya disangga dengan sebuah bantal berbentuk U, berwarna pink. 

'Budhe, dik....', bisik Bu Yanti (Dr. Suryanti, M. Pd., Pembantu Direktur I P3G Unesa), di telinga anak bungsunya itu. Mata Nizar, anak itu membuka sedikit. 'Budhe....' Lirihnya, menatap saya dan mas Ayik, sebentar, lantas matanya terkatup lagi. Tangannya yang terulur segera saya tangkap, saya genggam erat. Hati saya meleleh.

Nizar, adalah putra bungsu Dr. Wahono Widodo dan Dr. Suryanti, keduanya sahabat saya. Mereka dan kedua anaknya, Danang dan Nizar, sudah seperti keluarga saya sendiri. Kami sangat dekat. Sejak belasan tahun. Sejak anak-anak kami masih balita. Sampai saat ini anak-anak kami sudah menjadi mahasiswa dan tumbuh remaja. 

Nizar sendiri, saat ini sudah kelas 3 SMP. Baru saja lulus, namun tidak bisa mengikuti wisuda pada Sabtu kemarin, karena dia sakit.

Nizar dan Danang memanggil saya Budhe, dan menyebut mas Ayik dengan Abah. Arga, anak kami, menyebut bapak ibu mereka sebagai Tante Yanti dan Wak Son. Ya, entah bagaimana ceritanya, pak Wahono oleh kami semua, dipanggil Wak Son. Kami, adalah kelompok Kobamin, kepanjangan dari Komunitas Bambung Indonesia. Kelompok penyuka aktivitas outdoor (camping, rafting, dan travelling). Beranggotakan beberapa teman dosen dan keluarganya.

Malam ini Nizar akan masuk ke ruang operasi. Cairan di kepalanya akan diambil, sebelum operasi untuk mengangkat tumor di otaknya dilakukan pada hari yang akan datang. 

Wajahnya yang pasrah begitu menyentuh hati. Sakit yang dideritanya hanya dia keluhkan sekitar satu dua minggu sebelum akhirnya dia harus terbaring di tempat ini, di Paviliyun VII, RSAL. Dokter bilang, seharusnya dia sudah merasa kesakitan sejak lama. Tumor yang ada di kepala bagian kiri itu sudah cukup besar. Terjadinya sudah berbulan-bulan. Namun, menurut dik Yanti, Nizar hanya belakangan ini saja sering mengeluh pusing-pusing. Puncaknya, adalah sejak Rabu minggu kemarin, saat Bu Yanti baru saja pulang dari monev SM-3T di Sumba Timur. Nizar tidak bisa menoleh. Dokter bilang kemungkinan terjadi  injury sport. Namun ternyata setelah itu Nizar muntah-muntah, dan dia tidak kuat untuk berdiri. Ternyata, hasil CT Scan yang baru bisa dilihat  tadi pagi menunjukkan, ada tumor di kepalanya.

Kabar sedih itu saya terima langsung dari Bu Yanti  tadi pagi saat saya rapat di rektorat. Tak ayal, hati saya sontak sangat terpukul. Saya mengikuti rapat dengan setengah hati, dan meninggalkan ruang sebelum rapat usai karena harus menguji di pasca. Pikiran saya terus terbayang Nizar. 

Usai menguji, saya mengikuti upacara pemberangkatan Tim Ekspedisi Lawe Alas Himapala, tetap dengan pikiran yang 'sumpek'. Selepas upacara, saya bermaksud langsung ke RSAL. Namun genangan air di mana-mana, kerumunan orang di mana-mana (para calon peserta SBMPTN yang sedang mencari lokasi tes besok), serta macet di mana-mana; ditambah dengan kondisi saya yang tidak terlalu fit, menyurutkan langkah saya menuju RSAL. Saya memutuskan untuk pulang. Minum obat, beristirahat sebentar sambil menuggu mas Ayik pulang kantor, untuk bersama-sama menunggui Nizar selepas maghrib nanti.

Selain saya dan mas Ayik, ada beberapa teman dosen yang menunggui Nizar. Pak Yoyok, pak Mintohari, pak Subandi, pak Alimufi, dan sebagainya, termasuk sanak saudara Bu Yanti. Pak Wahono, yang biasanya super ndableg, malam ini matanya sembab, lebih sembab dari mata bu Yanti. Tadi pagi, begitu Bu Yanti mengabarkan ke saya tentang hasil CT scan, dia bilang kalau pak Wahono sudah terus-terusan menangis. 'Aku berusaha tabah, Budhe...', begitu katanya. 'Bapaknya sudah menangis terus dari tadi...'.

Nizar (depan) bersama ayah dan ibunya mengikuti rafting.
Nizar disuntik antibiotik. Suster bilang kalau suntikan itu akan terasa panas, tapi dia meminta supaya Nizar menahan rasa sakit itu dengan menarik nafas dan membuangnya melalui hidung. Benar saja. Ketika suntikan itu menghunjam menusuk lengannya, anak itu menarik nafas, menahan sakit. Punggung tangannya yang ditusuk jarum infus kugenggam dan kuusap-usap. Mata saya perih dan air mata nyaris membasahi lengan Nizar bila saya tak segera membuang muka.

Sepuluh menit setelah itu, tiga orang suster memasuki ruangan. Nizar siap dibawa ke ruang operasi. Seperti memahami perasaan kami, suster membiarkan bapak dan ibu anak itu mengusap-usap kepalanya dengan penuh kesedihan, dan berbisik di telinganya untuk menguatkankan hatinya. 'Kuat ya, dik...'. Begitu bisik Bu Yanti. 'Mama menunggu sama Bapak di sini'. Sementara itu Pak Wahono yang tidak tahan, menahan isaknya, menjauh dari kerumunan. 

Malam ini kami semua ada di ruang tunggu ICU, menunggui Nizar diobservasi, dan menjalani pengambilan cairan di kepalanya. Kami semua dengan pikiran dan doa kami masing-masing. 

Semakin malam, teman-teman yang datang semakin banyak. Pak Waspodo dan istri, ibu PR I (Prof. Dr. Kisyani), Bu Hani dan pak Dewanto, Pak Asrul sekeluarga, dan banyak yang lain. Bahkan Pak Alimufi yang tadi sudah pamit pulang, malam ini datang lagi bersama istrinya.

Saya sendiri terus membaca sholawat dan doa untuk Nizar. Terbayang Nizar kecil di pelupuk mata. Saat di lehernya tergantung dua liter air mineral waktu kami berpetualang ke Pulau Sempu. Karena di sana tidak ada air tawar, maka semua orang harus membawa air tawar, tak terkecuali anak-anak kecil kami. Terbayang juga saat Nizar menangis mencari ubur-ubur hitamnya sewaktu kemping di Pantai Lombeng. Atau malam-malam memanggil-manggil mamanya dan minta dipijit karena kakinya 'putus-putus' (saking capeknya, dia menyebut kakinya putus-putus). Terbayang juga saat dia melompat-lompat dengan sebelah tangannya memegang tangan saya, sambil berceloteh kalau dia barusan muntah-muntah karena habis minum bing (maksudnya bir. Sebenarnya yang dia minum adalah minuman bersoda).

Hampir tiga jam kami semua menunggui Nizar yang sedang ditangani dokter di kamar operasi. Pada pukul 21.20, tiba-tiba suster memanggil nama keluarga Nizar. Pak Wahono dan Bu Yanti spontan mendekat. Suster mengatakan, pengeluaran cairan sudah selesai, dan lancar. Kami semua bernafas lega. Kemudian suster menyilakan Bu Yanti dan Pak Wahono menengok Nizar sebentar. Kami menunggu di luar ruangan, membiarkan kedua sahabat kami itu menengok putra bungsunya.  

Meski dengan mata yang semakin sembab, Pak Wahono dan Bu Yanti nampak sedikit lega. Begitu juga kami. 'Nizar gundul...' Desis Bu Yanti. Matanya memerah. 'Ada selang di kepalanya. Alhamdulilah, Nizar sudah sadar, dan membalas menyapa kami...'.

Setidaknya, satu tahap telah terlewati dengan lancar. Insyaallah tahap-tahap berikutnya juga lancar. Allah yang Maha Pengasih, berikan kekuatan pada Ahmad Nizar Permana. Berikan kesembuhan, berikan kesehatan, dan berikan dia umur panjang yang penuh berkah. Amin YRA.

Surabaya, 17 Juni 2013. 01.10 WIB.

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...