Prof Budi Darma tandatangani buku peserta. |
Kegiatan tersebut merupakan kegiatan kerja sama antara PPPG Unesa dan Ikatan Guru Indonesia (IGI). Selain untuk menularkan virus-virus literasi, kegiatan ini juga dibarengkan dengan peluncuran buku SM-3T kedua yang berjudul 'Jangan Tinggalkan Kami' dan buku kumpulan cerpen pendidikan yang diterbitkan oleh IGI yang berjudul 'Adam Panjalu'.
Acara ini dihadiri oleh sekitar 350 peserta, terdiri dari mahasiswa PPG SM-3T dan para guru dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan sekitarnya. Di antara para peserta, hadir juga Ibu Thea (mantan dosen Pendidikan Bahasa Inggris Unesa yang saat ini sedang menyusun buku biografinya), Prof. Dr. Lies Amin Lestari (dosen Pendidikan Bahasa Inggris, juga sedang menulis sebuah buku), Wahju Chairat (Ketua Indonesia Menulis), Djoko Pitono (penulis, editor, mantan wartawan), dan beberapa ketua program studi serta para dosen Unesa.
Dalam 'welcome speech'-nya, Direktur PPPG, Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M. Pd., menyampaikan, tujuan kegiatan ini merupakan upaya pengembangan budaya literasi baik di kalangan guru dan para mahasiswa PPG Unesa, yang notabene adalah calon guru. Sebagaimana diketahui, budaya literasi sangat penting dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Guru dan para calon guru memegang peran sentral dalam pengembangan budaya literasi ini.
Selain untuk tujuan tersebut, kegiatan kampanye literasi juga dimaksudkan untuk lebih mendekatkan para calon guru, yaitu mahasiswa PPG SM-3T Unesa, kepada komunitasnya, salah satunya adalah IGI. Juga untuk mengenalkan keberadaan PPPG Unesa kepada masyarakat, khususnya para guru.
PPPG selain menyelenggarakan Program PPG bagi 279 mahasiswa alumni Program SM-3T, saat ini juga melayani sekitar 200 peserta Program S1 KKT (Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan). PPPG juga menyelenggarakan program Jatim Mengajar, kerja sama antara Unesa dengan Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF). Program ini mirip dengan program SM-3T, namun lingkup sasarannya adalah wilayah pelosok Jawa Timur.
Prof. Dr. Budi Darma, yang diundang sebagai 'keynote speaker' menyampaikan berbagai ilustrasi tentang pentingnya literasi. Seorang yang 'literate', menurut bagawan sastra dari Unesa tersebut, berarti bisa membaca. Kebalikan dari 'iliterate', tidak bisa membaca. Membaca dalam pengertian ini tentu saja dalam arti luas, termasuk membaca lingkungan, membaca momentun, membaca kesempatan, harus kritis, mampu memecahkan masalah, dan kemampuan yang lain.
Literasi juga sangat berkaitan dengan bagaimana mengekspresikan pikiran, yaitu menulis. Pikiran seseorang akan lebih tertata bila diekspresikan dalam bentuk tulisan. Orang yang pandai menulis biasanya lebih kritis, karena dia harus banyak membaca untuk bisa menulis dengan baik.
Budi Darma, yang pekan ini mendapatkan penghargaan sebagai cendekiawan berdedikasi dari harian Kompas, seperti membius para peserta dengan paparannya yang tidak lebih dari tiga puluh menit. Suaranya yang datar, nyaris tanpa intonasi, namun padat berisi, begitu memukau. Penulis novel Olenka yang memperoleh berbagai penghargaan skala nasional maupun internasional itu, memberikan motivasinya kepada para peserta dengan memastikan betapa sebuah tulisan mampu menentukan sebuah peradaban. Beliau menyebut naskah karangan Diponegoro dan Nagara Kertagama yang diakui Unesco sebagai Memory of The World. Bayangkan jika Diponegoro tidak pernah menulis. Sejarah kita mungkin berbeda. Begitu juga dengan apa yang sudah dilakukan oleh Plato, Aristoteles, Socrates, Napoleon Bonaparte, dan banyak tokoh yang lain. Pikiran-pikiran mereka tetap hidup sampai berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun kemudian, dipelajari, dikembangkan, diuji, dan sebagainya, karena mereka menuliskannya.
Para narasumber dan moderator. Dari kiri: Ali As'ari, Moch Khoiri, Satria Dharma, dan Eko Prasetyo. |
Tiga narasumber, Satria Darma (Ketua Umum IGI, penulis), M. Khoiri (Dosen FBS Unesa, penulis, penggiat literasi), dan Ali Asy'ari (mahasiswa PPG SM3T Unesa, penulis), saling melengkapi dalam memberikan dorongan dan kiat untuk mengembangkan budaya membaca dan menulis, baik di dalam keluarga, di kelas, dan di masyarakat. Dipandu moderator Eko Prasetyo (penulis, editor, penggiat literasi), diskusi itu begitu hangat karena kemasannya yang sama sekali jauh dari formal, diselingi tanya jawab dengan pemberian hadiah buku bagi para penanya, membuat diskusi seperti tak ada habisnya sampai pada batas waktu yang telah dijadwalkan.
Sekitar pukul 12.15, talkshow ditutup oleh moderator dengan beberapa catatan. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Lebih jauh, seseorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya. Generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain.
Surabaya, 29 Juni 2013
Wassalam,
LN
0 komentar
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...