Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 29 Mei 2012

Dengan BKP ke Kediri

Pagi ini pukul 05.00 saya sudah di kantor Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Jawa Timur, jalan Gayung Kebonsari. Seperti biasa, diantar mas Ayik. Pagi masih gelap, udara dingin, tapi di halaman kantor BKP, beberapa mobil sudah parkir. Saya melihat sebuah mobil bahkan sudah siap mau berangkat, entah menuju ke mana. Yang pasti menuju ke daerah, sebutan untuk kabupaten/kota, dalam rangka sosialisasi atau penggalian data atau identifikasi masalah ketahanan pangan (food security).

Hari ini kami akan ke Kabupaten Kediri. Kegiatannya adalah sosialisasi keamanan pangan (food safety). Dalam rombongan kami terdiri dari kabid Kewaspadaan Pangan BKP dan 4 orang staf termasuk driver, saya, dan Dr. Merryana Adriani, dosen dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair. Kegiatan sosialisasi direncanakan dilaksanakan di kantor Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Kediri.

Saya dan bu Merry, adalah pasangan setia sejak bertahun-tahun, lebih dari sepuluh tahun. Kami sering tandem dalam berbagai kegiatan terkait dengan ketahanan pangan, mulai dari identifikasi daerah rawan pangan, sosialisasi diversifikasi pangan lokal, peningkatan mutu dan keamanan pangan olahan, dan, yang paling sering, adalah sosialisasi keamanan pangan, baik pangan segar maupun olahan. Kadang-kadang, kalau tidak dengan bu Merry, saya ditandemkan dengan Prof. Dr. Bambang Wirdjatmadi, yang juga adalah suami bu Merry, dosen, dokter spesialis, sekaligus ahli gizi yang cukup diperhitungkan di skala nasional, dari Unair juga.

Dibanding dengan kegiatan-kegiatan yang sering saya ikuti di Jakarta atau di kota-kota besar yang lain, yang tentu saja dengan menginap di hotel berbintang, bekerja di dalam ruangan mulai dari pagi hingga malam, kembali bekerja lagi dari pagi hingga malam, saya lebih menyukai kegiatan-kegiatan ke daerah semacam ini. Bekerja di hotel membuat badan saya sakit semua setibanya di rumah, jadi kadang-kadang musti dikeroki.... 'Nggetu' di depan laptop berjam-jam, terpapar AC sepanjang waktu, membuat kepala pusing dan masuk angin (maklum, orang udik). Sejak beberapa tahun ini, saya sengaja mengurangi kegiatan-kegiatan semacam itu, kecuali yang memang saya menjadi penanggung jawab, atau setidaknya saya menganggap kegiatan itu penting dan saya harus ada di dalamnya.  

Pergi ke daerah membuat saya merasa lebih 'asli'. Saya menyukai jalan-jalannya yang sempit dan berkelok-kelok, naik-turun, dengan pemandangan alam yang beragam: sawah, kebun, gunung, lembah, laut, padi, jagung, buah-buahan, dan orang-orangnya yang lugu, ramah, bersahaja. Ketika pergi ke daerah rawan pangan, saya suka masuk ke rumah-rumah penduduk, melihat dapurnya, menengok apa yang mereka makan. Berbincang dengan orang-orang tua dan anak-anak yang tubuhnya kurus kering dan lusuh itu, dan mencoba menghayati kemiskinan mereka. Ketika mengunjungi home industry, saya selalu menunggui proses produksi mereka, menanyai dari mana mereka mendapatkan modal, seperti apa SDM-nya, kondisi peralatan produksinya, pemasarannya, dan omzetnya. Tentu saja pada kesempatan itu juga, saya, dengan lagak seorang ahli teknologi pangan, memberi saran-saran pada mereka untuk meningkatkan teknologi proses dan pengemasannya. Juga, yang  terutama menjadi concern saya, terkait dengan sanitasi dan keamanan pangannya.

Banyak pengalaman menarik yang saya peroleh dari kegiatan turun ke daerah seperti itu. Banyak hal baru yang seringkali membuat saya jengah, betapa begitu banyak hal yang saya tidak tahu dan harus mencari tahu. Sesungguhnya ketika seseorang sedang mengajar, dia belajar. Ketika saya 'mengajari' para petugas ketahanan pangan, pemilik home industry, atau para penyuluh dan kader gizi itu; sesungguhnya saya juga sedang belajar begitu banyak hal dari mereka....

OTW ke Kediri, 30 Mei 2012

Wassalam,
LN

Senin, 28 Mei 2012

Sepuluh Ribu Buku untuk Sumba Timur

Entah dari mana ide simpatik anak-anak BEM Jurusan PPB  (Psikologi Pendidikan dan Bimbingan) FIP Unesa ini. Mengumpulkan sebanyak 10.000 buku untuk Sumba Timur. Kegiatan itu merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan Bulan Pendidikan 2012.

Pagi ini saya menghandiri acara yang bertajuk Mahasiswa Peduli Pendidikan Program SM-3T di Sumba Timur itu. Saya diundang selaku koordinator SM-3T Unesa, yang secara simbolis akan menerima sepuluh ribu buku tersebut. Hadir di ruang sidang lantai 2 Gedung FIP itu  adalah ketua BEM Universitas, perwakilan BEM fakultas, perwakilan BEM jurusan, BEM UNIPA, BEM IAIN Sunan Ampel, dan dari Harian Bangsa. 

Sebenarnya panitia mengundang pihak Pertamina dan juga Sekdaprov. Tapi pihak Pertamina sudah menyampaikan kalau tidak bisa datang. Pertamina merupakan salah satu sponsor kegiatan ini. Sedangkan pak Sekda diwakili oleh Ka UPT SMANOR, Dispendik Jatim. Dialah Dr. Zaenal Arifin, yang juga alumni Unesa. 

Dalam laporannya, ketua Panitia menyampaikan bahwa saat ini buku masih terkumpul 7.906.000 buah. Masih kurang sekitar 2.000-an untuk mencapai target 10.000. Mereka akan terus berusaha menghimpun sumbangan buku sampai target itu tercapai; untuk kemudian bisa langsung disalurkan ke Sumba Timur, melalui Panitia SM-3T Unesa.

Ketika saya diberi kesempatan untuk memberikan sambutan, saya sampaikan apresiasi saya untuk upaya dan kepedulian anak-anak muda itu. Saya menceritakan sepintas tentang kondisi pendidikan di Sumba Timur, dan betapa buku-buku yang telah mereka kumpulkan itu akan menjadi mata air segar di tengah rasa haus anak-anak Sumba Timur akan ilmu pengetahuan. Saya juga sedikit bercerita bagaimana perjuangan para sarjana kita dalam mengemban tugas pengabdiannya. Anak-anak muda itu nampak sangat tersentuh dengan cerita saya, dan bahkan beberapa dari mereka saya lihat mengusap matanya yang basah. Oleh karena saya membawa beberapa buku 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca', saya katakan pada mereka, bahwa gambaran tentang kondisi pendidikan di Sumba Timur dan perjuangan para sarjana pendidikan di sana, bisa dibaca di buku tersebut. 

Setelah secara simbolis saya menerima sumbangan buku untuk SM-3T, saya sendiri kemudian menyerahkan buku 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca' kepada Dr. Zaenal Arifin, Ketua Jurusan PPB, BEM, perwakilan dari IAIN dan UNIPA, serta untuk Harian Bangsa.    

Acara berjalan lancar, meski--seperti kebanyakan acara seremonial yang dihelat mahasiswa--ada beberapa kekurangan di sana-sini. Namun kita semua yang mengikuti acara itu maklum. Namanya juga belajar.

Sukses, BEM PPB. Semoga terus mengembangkan kepedulian untuk memajukan pendidikan di Tanah Air.

Surabaya, 26 Mei 2012

Wassalam,
LN

Kamis, 17 Mei 2012

Dari Ratu Gurih sampai Gogos


Empat hari di Makassar, dalam rangka mengikuti Konvensi Nasional Aptekindo dan International Seminar on TVET, kami dimanjakan dengan beragam makanan khas kota anging mamiri ini. Hari pertama, dari Bandara Sultan Hasanuddin, kami dijemput bus panitia, yang terdiri dari dosen dan mahasiswa UNM. UNM menjadi tuan rumah dalam kegiatan tahun ini. Panitia yang ramah, hangat, bersahabat. Jauh dari kesan brutal dan beringas yang sering ditayangkan di berbagai stasiun TV dan media cetak, ketika meliput para mahasiswa Makassar bertindak anarkis dalam tawuran antar mahasiswa atau dalam demo-demo menentang kebijakan kampus dan pemerintah.

Dari bandara, kami langsung dibawa menuju restoran Ratu Gurih. Ibu Juhrah, PD 2 FT, yang asli Bugis, ternyata sudah memesan sebelumnya, dibantu dengan saudara-saudaranya yang memang tinggal di Makassar. Hidangan sudah tertata di atas tiga deret meja panjang, di lantai dua restoran itu.  Hidangan serba hasil laut. Ada baronang, kerapu, kepiting, cumi-cumi, dan udang. Ada yang digoreng, dibumbu asam manis, digoreng krispi, dibakar tanpa bumbu dan berbumbu. Ada juga beberapa pinggan ayam goreng, tentu saja ayam kampung, yang digoreng empuk. Disediakan untuk kita yang tidak mengonsumsi ikan, atau tidak suka ikan.  Juga beberapa mangkuk sayur asam dan tumis kangkung yang menggugah selera. Dan, selalu, adalah otak-otak khas Makassar yang kenyal dengan sambalnya yang lezat.

Dari restoran Ratu Gurih, kami ke hotel, mandi, bersiap untuk mengikuti acara pembukaan. Pak Mendikbud, yang dijadwalkan membuka acara, ternyata tidak hadir. Beliau diwakili Wamendikbud. Acara berlangsung dengan lancar, dalam suasana yang meriah, hangat, dilengkapi dengan suguhan kesenian khas Makassar. Namun hidangan makan malamnya, yang sebenarnya sangat beragam, berlimpah dan mewah, standar hotel. Mulai dari appetizer, main course, sampai dessert, tidak ada yang spesial. Standar.

Hari kedua, sesi demi sesi kami lalui dengan baik. Prof. Muchlas datang setelah sesi pertama berakhir, langsung dari Surabaya. Setelah beramah-tamah sebentar dengan panitia dan para sahabat serta 'penggemar', beliau ngumpet di meja panitia. Rupanya beliau belum selesai mempersiapkan power point untuk presentasi di kelompok empat nanti sore. Ketika sesi pak Fasli Jalal, pak Muchlas sudah bergabung di ruang sidang pleno, dan beliau sempat sms saya, supaya saya bisa mendapatkan file power point materi pak Fasli, yang memang sangat bagus dan penting.

Malamnya, panitia membawa kami ke auditorium UNM. Hujan deras menyambut kedatangan kami di kampus yang dulunya bernama IKIP Ujungpandang itu. Banjir sampai di atas mata kaki memaksa kami harus melepas sepatu ketika turun dari bus, masuk ke teras auditorium. Setelah mencuci kaki dan mengenakan sepatu kami kembali, kami masuk ke ruang besar auditorium yang di dalamnya sudah penuh makanan khas Makassar. Coto Makasar, sop sodara, sop konro, mie titi, otak-otak, dan buras. Benar-benar 'sumbut' dengan hujan dan banjir yang harus kami terjang demi mencapai tempat ini. Sambil menikmati makan malam yang semuanya 'kelas berat' itu, kami dihibur dengan penyanyi-penyanyi dadakan yang diiringi musik electone.

Hari ketiga, setelah makan pagi dengan menu standar hotel, kami mengikuti acara yang dibagi dalam beberapa forum: jurusan, dekan, dan guru besar. Kami dimanjakan lagi dengan kue-kue khas Makassar yang legit: barongko, kue nangka, talam, dan banyak kue-kue manis yang lain. Benar-benar manis dan legit. Sebenarnya saya tidak terlalu suka manis, tetapi demi sebuah 'petualangan', saya mencoba hampir semua kue yang disajikan.
 

Selesai acara penutupan, dilanjutkan dengan acara rekreasi. Panitia menyediakan beberapa bus untuk mengangkut sekitar 300 orang peserta konvensi, untuk mengunjungi beberapa objek wisata di Makassar, dua di antaranya adalah Benteng Rotterdam dan Bantimurung. Karena kedua tempat wisata itu baru saja saya kunjungi tiga minggu yang lalu, saya memilih tidak ikut. Apalagi Prof. Ardi, ketua LPM UNM, menawari saya dengan 'setengah memaksa', supaya saya ikut saja dengan beliau. Maka melajulah saya dan Prof. Ardi, dengan mobil dinas beliau, dan pak Cung, driver LPM, menuju Lae-Lae. Kerapu, baronang, telur ikan, cumi-cumi, menjadi santap siang kami bertiga. Tentu saja, sebelum semua makanan yang kami pesan itu tiba, selalu, otak-otak menjadi makanan pembukanya. Kata Prof. Ardi, otak-otak harus dihabiskan dulu sebelum kami makan nasi, karena kalau sudah makan nasi, otak-otak sudah tidak lezat lagi.

Keluar dari Lae-Lae, sekali lagi, Prof. Ardi memaksa saya untuk membeli oleh-oleh. Sebotol minyak tawon, dua botol minyak kayu putih, beberapa snack khas Makassar, beliau hadiahkan untuk saya. Sebenarnya beliau meminta saya untuk mengambil apa yang saya suka, tapi saya menolaknya. Saya menyerahkan pada 'kebijaksanaan' beliau.

Selepas maghrib, Dr. Hazaruddin, dosen PGSD UNM, menelepon saya. Beliau, diantar putranya, sedang meluncur ke Adhyaksa, hotel tempat saya menginap. Pak Hazar adalah teman saya di S3 UM. Setelah ngobrol sebentar di Adhyaksa, kami memutuskan untuk meluncur ke hotel Panakukang. Ada teman S3 kami juga di sana, yaitu Dr. Ridwan, dari UNP.
 

Maka bertemulah kami sebagaimana teman lama bertemu. Kembali mengenang masa-masa kuliah dengan segala suka dukanya. Pak Hazar dan Pak Ridwan adalah mahasiswa paling rajin di kelas kami yang hanya terdiri dari tujuh orang. Ya, karena selama kuliah, mereka menetap di Malang, pulang ke kampung halaman hanya kalau penting saja, bahkan liburan semester pun lebih banyak mereka habiskan di Malang. Sementara kami berlima adalah penduduk Malang dan sekitarnya. Tiga dari Malang, satu dari Kediri, dan satu lagi adalah saya sendiri. Yang paling sering mbolos adalah saya. Tapi, kata pak Ridwan, meskipun saya tukang mbolos, saya tidak pernah telat mengumpulkan tugas, dan bersama pak Hazar, saya lulus paling cepat di antara teman-teman yang lain.  Bahkan untuk beberapa matakuliah yang menjadi momok, salah satunya adalah Psikologi Lanjut yang diajar Prof. Raka Joni, banyak yang tidak lulus, tapi saya mendapat nilai A. Sekarang, pengalaman-pengalaman itu menjadi cerita yang menggelikan untuk dikenang bersama.

Tidak puas hanya bercengkerama di lobi, kami meluncur dengan mobil pak Hazar menuju Pantai Losari. Apa lagi yang dicari kalau bukan pisang epek? Jajanan yang bagi saya tidak terlalu spesial itu memang menjadi makanan khas Pantai Losari, yang menurutku, pantainya juga tidak terlalu spesial. Kotor, kurang terawat, dan pengamennya itu....  Namun karena hati sedang bergembira, ditambah dengan semilir angin pantai yang sejuk, pisang epek rasa durian yang kami pesan terasa begitu nikmat. Putra pak Hazar, Adi namanya, begitu cekatan melayani kami, dan dia nampaknya ingin ayahnya benar-benar menikmati kebersamaan bersama teman-teman lamanya ini.   
 

Pagi harinya, saya kembali bergabung dengan teman-teman dari Unesa. Selepas shubuh, dipimpin oleh ibu Juhrah, kami sudah berkumpul di lobi. Tujuan kami pagi ini adalah Pantai Losari. Meskipun semalam saya sudah ke sana, tetapi demi kebersamaan, saya bergabung. Lagi pula, ada yang ingin saya cari. Gogos. Makanan ini  terbuat dari beras ketan hitam atau putih yang dimasak dan dikemas mirip lemper (tapi tanpa isi), dimakan dengan telur asin dan sambal. Yang spesial menurut saya adalah telur asinnya. Kuning telurnya berwarna oranye dan masir. Rasa asinnya pas sekali. Maka ketika pagi itu teman-teman sarapan bubur ayam atau nasi kuning, saya dan beberapa teman menikmati gogos.

Selepas dari Pantai Losari, meluncurlah kami ke pusat oleh-oleh, namanya toko Ibu Elly. Sasarannya adalah otak-otak, sirup markisa, dan sirup pisang (DHT). Tiga komoditi itu memang selalu menjadi oleh-oleh wajib kalau saya pergi ke Makassar. Arga hobi makan otak-otak, mas Ayik suka sirup markisa, dan saya memerlukan sirup pisang yang merah segar itu untuk membuat es palubutung. Es palubutung buatan saya sangat disukai Arga dan bapaknya. Suatu ketika, ada acara makan bersama di jurusan PKK, saya membuat es palubutung untuk hidangan penutupnya. Nampaknya, teman-teman juga menyukainya.
 

Empat hari di Makassar. Empat hari yang padat. Bertemu banyak orang hebat, mendulang banyak pengetahuan dan wawasan baru, dan membangun jaringan. Empat hari, dari Ratu Gurih, Lae-Lae, Pisang Epek, dan Gogos.

Makassar, 3-6 Mei 2012
   
 
LN

Minggu, 13 Mei 2012

SM-3T, Klimaks

Nampaknya saat ini adalah saat klimaks program SM-3T. Begitu banyak persoalan yang terjadi di lapangan. Mulai dari peserta yang diusir dari rumah tempat mereka tinggal selama ini, peserta yang melanggar nilai-nilai susila, peserta yang sakit (seperti biasanya), dan peserta yang terindikasi sedang menjalin hubungan dekat dengan perangkat kecamatan/desa, pemuda setempat, atau dengan sesama peserta SM-3T sehingga mengundang pandangan negatif.

Dua peserta yang diusir dari rumah tempat mereka tinggal itu, dituduh telah melakukan pencemaran nama baik atas seorang warga yang notabene adalah guru di sekolah tempat mereka mengajar. Guru itu sudah dianggap sebagai ibu mereka. Ketika mereka mendapatkan masalah, dengan maksud untuk berterus-terang, mereka mengungkapkannya pada guru tersebut. Tapi apa yang terjadi?

Entah karena caranya yang salah, atau karena hal lain, keterus-terangan mereka justeru membuat guru itu berang. Mereka dianggap mengada-ngada. Guru itu, yang juga adalah pemilik rumah yang mereka tinggali, marah besar, dan mengusir mereka dari sekolah, bahkan dari desa tersebut. Kebetulan suami guru itu adalah ketua komite sekolah, seorang pendeta, dan sangat berpengaruh di desa itu.  Kabarnya, kedua anak itu harus menyembelih babi untuk mengembalikan nama baik keluarga guru tersebut, namun tetap harus pergi dari desa dan sekolah. Sampai saat ini, kami masih terus berkoordinasi dengan dinas PPO untuk mengurai masalah tersebut.
    
Kondisi pelosok Sumba Timur yang sepi (namanya saja pelosok), jauh dari keramaian dan hiburan, kultur masyarakat tradisionalnya yang sulit diajak untuk melakukan sesuatu yang baru, yang mungkin berarti bagi kemajuan dan peningkatan taraf hidup mereka; membuat para peserta SM-3T ini seperti kurang kerjaan. Energi mereka yang berlebih menyebabkan mereka mulai berbuat aneh-aneh.  

Mereka pada umumnya berangkat dengan idealisme tinggi, dan terus memegang idealismenya. Bekerja dengan sepenuh hati untuk memajukan sekolah dan masyarakat tempat mereka mengabdi. Meskipun kepala sekolah tidak hadir karena jarak rumah dan sekolah yang sangat jauh dengan medan yang sangat sulit (sampai saat ini, ada satu sekolah, yang kepala sekolah hanya datang 6 kali; selama hampir 6 bulan), tidak ada pengawas, guru-guru PNS yang seringkali dihinggapi sakit M (Malas), peserta SM-3T tetap memegang teguh komitmen. Berbagi tugas mengisi kelas-kelas yang kosong karena guru yang seharusnya mengajar tidak masuk, memberi pelajaran tambahan bagi MPB (murid peringkat bawah) yang belum bisa baca tulis dan bagi siswa-siswa lain yang memerlukan, bergaul dengan masyarakat sekitar, bercocok tanam, dan melakukan aktifitas positif yang lain.

Namun bagi mereka yang tidak kuat memegang komitmen, hal-hal yang menjurus ke pelanggaran norma dan etika umum mulai dilakukan. Kultur di Sumba Timur, jujur saja, masih sangat kental dengan adat dan kebiasaan yang berlawanan dengan nilai-nilai luhur yang kita anut pada umumnya. Minuman keras menjadi minuman pembuka atau penutup di berbagai pertemuan resmi. Di situ, mulai dari pejabat dari kabupaten, perangkat kecamatan dan desa, kepala sekolah dan guru-guru, sangat leluasa minum-minuman; bahkan di depan murid-muridnya. Beberapa peserta SM-3T yang tidak 'kuat iman', terindikasi ketularan kebiasaan tidak terpuji itu.

Oleh karena setiap hari para peserta itu bergaulnya dengan teman yang itu-itu saja, maka berlakulah pepatah Jawa 'tresno jalaran soko kulino'. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa mereka adalah anak-anak muda yang sedang pada usia-usia 'masa kawin'. Beberapa pasang di antara mereka sudah 'jadian', mungkin puluhan. Ada yang dengan sesama peserta SM-3T Unesa, ada yang dengan peserta SM-3T universitas lain (di Sumba Timur, selain Unesa, juga ada UNM dan Unima). Yang bikin pusing dan perut mulas adalah kalau mereka jadian dengan orang-orang setempat, mulai dari pemuda desa, pegawai kecamatan, atau bahkan camat. Mereka selalu berusaha mencari kesempatan untuk plesir, kadang-kadang 'dibela-belain' meninggalkan tugas di sekolah. Tentu hal seperti ini sangat mengundang pandangan negatif, dan bisa merusak citra SM-3T dan sosok guru ideal yang sedang dipersiapkan melalui program ini. 

Bulan ini kami memulangkan tiga peserta karena melakukan pelanggaran berat. Tentu saja atas persetujuan Rektor dan Kepala Dinas PPO Sumba Timur. Prinsipnya, peraturan harus ditegakkan. Sekali kita membiarkan mereka melanggarnya, maka seterusnya mereka akan terus melakukan pelanggaran. Dikti memuji tindakan tegas kita, dan menyatakan hal itu juga akan diberlakukan di universitas lain penyelenggaran SM-3T.
Mereka ditugaskan sebagai 'agent of change', seharusnya menularkan hal-hal baik untuk membawa perubahan. Tidak justeru larut dan menjadi bagian dari tradisi negatif yang melanggar norma umum dan kesusilaan.

Puluhan peserta kami panggil atau kami beri peringatan keras, dan bila tidak ada perkembangan ke arah yang baik, maka tidak ada pilihan lain, mereka juga harus pulang. Pulang, tidak berarti hanya pulang saja. Namun juga harus mengembalikan seluruh biaya yang sudah mereka terima, mulai dari biaya tes, prakondisi, pemberangkatan, asrama, serta insentif dan bantuan biaya hidup. Sesuai kontrak yang mereka tandatangani, bila mereka melanggar perjanjian, misalnya karena melakukan tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai agama/moral/susila, apalagi kalau dinilai sebagai pelanggaran berat, maka mereka harus membuat surat pernyataan mengundurkan diri dari program SM-3T dengan segala konsekuensinya. Tiga peserta itu, telah melakukan penandatangan surat pengunduran diri dan kesanggupan untuk mengembalikan semua biaya yang sudah mereka gunakan/terima.

Inilah episode terberat SM-3T. Sebagai ibu mereka, sebenarnya hati saya teriris ketika melepas mereka. Bagaimana pun mereka telah menjadi bagian dari kami. Dalam waktu yang tidak singkat. Berbagi suka-duka bersama dalam segala situasi.
Apalagi semua dari mereka yang harus pulang itu adalah dari keluarga yang tidak berada. Mengembalikan semua biaya yang sudah mereka terima tentu akan menjadi beban berat tersendiri bagi mereka dan keluarganya.

Tapi kesempatan emas ini telah mereka sia-siakan. Hidup adalah pilihan. Dan setiap pilihan mengandung konsekuensi. Semua ini akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka, juga bagi teman-temannya yang lain, dan bagi kami semua.

Semoga
    
Umalulu dan Rindi, 9-12 Mei 2012

LN

Jumat, 04 Mei 2012

Simpati untuk SM-3T

Sekitar dua minggu yang lalu, saya menerima telepon dari seorang guru di Taman, Sidoarjo. Beliau memberitahukan bahwa beliau sedang menghimpun bantuan baju seragam sekolah dari siswa-siswa kelas 6 SD dan kelas 3 SMP yang sebentar lagi lulus. Ya, tentu saja baju seragam layak pakai. Baju seragam ini akan disumbangkan kepada anak-anak sekolah di Sumba Timur melalui Program SM-3T Unesa. Beliau, bapak itu, salah satu putrinya sedang mengikuti program SM-3T Unesa. Cerita tentang kondisi memprihatinkan anak-anak sekolah di Sumba Timur yang beliau dengar dari putrinya, mendorong beliau dan guru-guru yang lain berinisiatif untuk menggalang bantuan seragam sekolah layak pakai.

Sebelumnya, dua orang mahasiswa dari jurusan Psikologi dan Konseling FIP Unesa menemui saya. Mereka membawa proposal penggalangan bantuan untuk Sumba Timur. Di proposal itu, tertuang bahwa para mahasiswa yang bergabung dalam BEM Jurusan BK sedang melakukan penggalangan 10 ribu buku. Mereka merangkul semua BEM jurusan di lingkungan Unesa, bahkan juga dari perguruan tinggi di luar Unesa. Buku itu akan disumbangkan untuk sekolah-sekolah dan siswa-siswa di Sumba Timur, melalui program SM-3T. 

Kemarin, setelah upacara Hardiknas di rektorat, saya bertemu dengan Miftah, gadis manis yang menjadi koordinator kegiatan penggalangan buku itu. Dia mengabarkan, saat ini sudah terkumpul 1500 buku. Melalui upayanya dan teman-temannya, pertamina insyaallah juga akan memberikan sumbangan buku-buku baru dari berbagai penerbit, dan bahkan ada kemungkinan memberangkatkan beberapa mahasiswa ke Sumba Timur, untuk melakukan kegiatan penyerahan sumbangan buku tersebut.

Sampai saat ini, di kas SM-3T sudah terkumpul dana sekitar Rp. 10.000.000,- dari berbagai sumber: FIP, FMIPA, FBS, bahkan dari ISWI, dan dari berbagai sumber yang lain secara pribadi. Dana itu kami kumpulkan untuk membeli baju seragam anak sekolah. Kami telah memesan 1000 stel baju seragam, untuk siswa kelas 1 sampai dengan kelas 5 SD, seragam laki-laki dan perempuan. Tentu saja, jumlah 1000 seragan itu masih sangat-sangat jauh dari kebutuhan sesungguhnya. Harga seribu stel baju seragam itu mencapai sekitar 35 juta. Seiring dengan berjalannya waktu, kami yakin, dana akan terus mengalir dari mana-mana, dan biaya pemesanan baju seragam sekolah itu akan bisa terbayar, bahkan kami bisa melakukan pemesanan kedua dalam jumlah yang lebih banyak. Who knows? Bukankah Tuhan Maha Kaya?

Sumbangan barang juga terus mengalir: baju layak pakai, obat-obatan, buku-buku, dan alat-alat sekolah. Sebagian dari bapak ibu dosen FIP, FIS dan FMIPA. Beberapa dari orang-orang yang baru saya kenal, yang mengaku dirinya sebagai alumni. Ada juga dari mahasiswa, temannya mahasiswa, dan temannya teman mahasiswa. Senang dan bangga menyadari begitu banyaknya orang yang peduli, dan benar-benar menunjukkan bukti kepeduliannya.

Problem yang saat ini muncul adalah bagaimana mengirim semua bantuan itu. Dua hari yang lalu, kami sudah menjajagi kemungkinan pengiriman melalui jasa ekspedisi, ternyata biayanya sangat mahal. Tiga puluh lima ribu rupiah per kilo. Jauh lebih mahal dibanding dengan biaya kelebihan bagasi kalau kita naik pesawat, hanya 10 ribu per kilo. 

Alhamdulilah, Tuhan memang Maha Pengasih. Di tengah kebingungan kami, seseorang dikirimkan untuk membantu memberi jalan keluar.

Dialah mas Wahju. Sosok di belakang layar berbagai gerakan luar biasa yang telah dilakukan IKA Unesa. Laki-laki flamboyan yang tampan, baik hati, ramah, dan penuh perhatian. Juga, tentu saja, kaya. Kaya harta dan, yang lebih penting, kaya hati. Hanya dengan telepon sana telepon sini, insyaallah, masalah biaya pengiriman bantuan untuk anak-anak sekolah terpecahkan. 

Terimakasih, mas Wahju.... 

Betapa indahnya pertemanan. Betapa indahnya kepedulian. Betapa indahnya kebersamaan.

Wassalam,
LN

Kamis, 03 Mei 2012

Konvensi Aptekindo

Landing di Sultan Hasanuddin Airport pada 12.40 WIT. Ada 34 orang dalam rombongan Unesa. Dua orang dari Prodi S2 PTK (saya dan Dr. IGP Asto), selebihnya adalah pejabat di lingkungan FT, mulai dari dekan, semua pembantu dekan, kajur dan jajarannya. 

Hari ini sampai tanggal 6 Mei nanti, kami akan mengikuti Konvensi Nasional ke-6 Aptekindo (Asosiasi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan) dan Temu Karya ke-17 FT/FPTK-JPTK se-Indonesia. Selain konvensi dan temu karya, kegiatan ini juga dipadukan dengan seminar internasional TVET (Technical and Vocational Education and Training). Konvensi Aptekindo dan Temu Karya ini merupakan kegiatan dua tahunan. Lokasi penyelenggaraanya bergiliran dari satu kota ke kota yang lain, dengan panitia gabungan dari berbagai perguruan tinggi yang menjadi anggotanya. 

Tadi, di pesawat, saya duduk berdampingan dengan bu Lusia Rahmawati, sekjur PTE,  masih muda dan manis. Sebelah kanan saya adalah Dr. Soerjanto, mas Kaha. Lama sekali saya tidak pernah ngobrol dengan mas Soer. Maka kesempatan tadi saya manfaatkan untuk saling berkabar. Terutama menanyakan kondisi kesehatan istri beliau, yang kabarnya sedang sakit. Dari cerita mas Soer, sakit istrinya nampaknya cukup serius. Doa saya, semoga ibu Soerjanto segera diberikan kesembuhan, kesehatannya membaik dan pulih, sehingga bisa terus mendampingi suami dan putra-putri tercinta.

Kembali ke konvensi Aptekindo.  Acara hari pertama ini nanti, tentu saja, adalah opening ceremony. Bertempat di Hall Clarion Hotel, kami akan beramah tamah dalam welcome party-gala dinner pada pukul 18.00. Diteruskan dengan sambutan-sambutan, mulai dari Dekan FT UNM selaku ketua panitia, Drs. Ganefri, P.hD selaku ketua panitia, rektor UNM, gubernur Sulawesi Selatan, dan ditutup dengan sambutan dari Mendikbud yang sekaligus akan membuka acara secara resmi. Tentu saja, diiringi dengan pagelaran seni, salah satunya adalah tari tonkonan dari Tana Toraja. Tonkonan adalah miniatur rumah Toraja. 

Besok, hari kedua, adalah sesi panel. Beberapa pembicaranya adalah Prof. Dr. Supriadi Rustad (Dir Ditendik, Dikti), Surya Dharma, M.Pd, P.hD (Direktur P2TK Dikmen), Prof. Ir. Illah Sailah (Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Dikti Kemdikkbud), dan Ir. Anang Tjahyono, M.T (Direktur Pembinaan SMK). Setelah makan siang, sesi panel dilanjutkan lagi, dengan pembicara meliputi Michio Horiguchi (Silver Expert JICA Japan), Prof. Dr. Nor Aisyah Buang (Universitas Kebangsaan Malaysia), Prof. Dr. Ruhizan (pakar IT dan Pendidikan Kejuruan Malaysia), dan Jack Brain (TVET Expert). 

Setelah sesi panel, masuklah sesi pararel. Ada lima kelompok pada sesi ini, tiap kelompok membahas subtema yang berbeda. Pada tiap kelompok ditampilkan 6 makalah terpilih. Makalah saya, berjudul 'The Teaching and Learning of Home Economics with Problem-Based and Character-Based Learning Models', terpilih untuk ditampilkan di kelompok tiga. Thanks, Mbak Sirikit, telah membantu menterjemahkan makalah saya.....

Makassar, 3 Mei 2012

Wassalam,  
LN