Nampaknya saat ini adalah saat klimaks program SM-3T. Begitu banyak persoalan yang terjadi di lapangan. Mulai dari peserta yang diusir dari rumah tempat mereka tinggal selama ini, peserta yang melanggar nilai-nilai susila, peserta yang sakit (seperti biasanya), dan peserta yang terindikasi sedang menjalin hubungan dekat dengan perangkat kecamatan/desa, pemuda setempat, atau dengan sesama peserta SM-3T sehingga mengundang pandangan negatif.
Dua peserta yang diusir dari rumah tempat mereka tinggal itu, dituduh telah melakukan pencemaran nama baik atas seorang warga yang notabene adalah guru di sekolah tempat mereka mengajar. Guru itu sudah dianggap sebagai ibu mereka. Ketika mereka mendapatkan masalah, dengan maksud untuk berterus-terang, mereka mengungkapkannya pada guru tersebut. Tapi apa yang terjadi?
Entah karena caranya yang salah, atau karena hal lain, keterus-terangan mereka justeru membuat guru itu berang. Mereka dianggap mengada-ngada. Guru itu, yang juga adalah pemilik rumah yang mereka tinggali, marah besar, dan mengusir mereka dari sekolah, bahkan dari desa tersebut. Kebetulan suami guru itu adalah ketua komite sekolah, seorang pendeta, dan sangat berpengaruh di desa itu. Kabarnya, kedua anak itu harus menyembelih babi untuk mengembalikan nama baik keluarga guru tersebut, namun tetap harus pergi dari desa dan sekolah. Sampai saat ini, kami masih terus berkoordinasi dengan dinas PPO untuk mengurai masalah tersebut.
Kondisi pelosok Sumba Timur yang sepi (namanya saja pelosok), jauh dari keramaian dan hiburan, kultur masyarakat tradisionalnya yang sulit diajak untuk melakukan sesuatu yang baru, yang mungkin berarti bagi kemajuan dan peningkatan taraf hidup mereka; membuat para peserta SM-3T ini seperti kurang kerjaan. Energi mereka yang berlebih menyebabkan mereka mulai berbuat aneh-aneh.
Mereka pada umumnya berangkat dengan idealisme tinggi, dan terus memegang idealismenya. Bekerja dengan sepenuh hati untuk memajukan sekolah dan masyarakat tempat mereka mengabdi. Meskipun kepala sekolah tidak hadir karena jarak rumah dan sekolah yang sangat jauh dengan medan yang sangat sulit (sampai saat ini, ada satu sekolah, yang kepala sekolah hanya datang 6 kali; selama hampir 6 bulan), tidak ada pengawas, guru-guru PNS yang seringkali dihinggapi sakit M (Malas), peserta SM-3T tetap memegang teguh komitmen. Berbagi tugas mengisi kelas-kelas yang kosong karena guru yang seharusnya mengajar tidak masuk, memberi pelajaran tambahan bagi MPB (murid peringkat bawah) yang belum bisa baca tulis dan bagi siswa-siswa lain yang memerlukan, bergaul dengan masyarakat sekitar, bercocok tanam, dan melakukan aktifitas positif yang lain.
Namun bagi mereka yang tidak kuat memegang komitmen, hal-hal yang menjurus ke pelanggaran norma dan etika umum mulai dilakukan. Kultur di Sumba Timur, jujur saja, masih sangat kental dengan adat dan kebiasaan yang berlawanan dengan nilai-nilai luhur yang kita anut pada umumnya. Minuman keras menjadi minuman pembuka atau penutup di berbagai pertemuan resmi. Di situ, mulai dari pejabat dari kabupaten, perangkat kecamatan dan desa, kepala sekolah dan guru-guru, sangat leluasa minum-minuman; bahkan di depan murid-muridnya. Beberapa peserta SM-3T yang tidak 'kuat iman', terindikasi ketularan kebiasaan tidak terpuji itu.
Oleh karena setiap hari para peserta itu bergaulnya dengan teman yang itu-itu saja, maka berlakulah pepatah Jawa 'tresno jalaran soko kulino'. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa mereka adalah anak-anak muda yang sedang pada usia-usia 'masa kawin'. Beberapa pasang di antara mereka sudah 'jadian', mungkin puluhan. Ada yang dengan sesama peserta SM-3T Unesa, ada yang dengan peserta SM-3T universitas lain (di Sumba Timur, selain Unesa, juga ada UNM dan Unima). Yang bikin pusing dan perut mulas adalah kalau mereka jadian dengan orang-orang setempat, mulai dari pemuda desa, pegawai kecamatan, atau bahkan camat. Mereka selalu berusaha mencari kesempatan untuk plesir, kadang-kadang 'dibela-belain' meninggalkan tugas di sekolah. Tentu hal seperti ini sangat mengundang pandangan negatif, dan bisa merusak citra SM-3T dan sosok guru ideal yang sedang dipersiapkan melalui program ini.
Bulan ini kami memulangkan tiga peserta karena melakukan pelanggaran berat. Tentu saja atas persetujuan Rektor dan Kepala Dinas PPO Sumba Timur. Prinsipnya, peraturan harus ditegakkan. Sekali kita membiarkan mereka melanggarnya, maka seterusnya mereka akan terus melakukan pelanggaran. Dikti memuji tindakan tegas kita, dan menyatakan hal itu juga akan diberlakukan di universitas lain penyelenggaran SM-3T.
Mereka ditugaskan sebagai 'agent of change', seharusnya menularkan hal-hal baik untuk membawa perubahan. Tidak justeru larut dan menjadi bagian dari tradisi negatif yang melanggar norma umum dan kesusilaan.
Puluhan peserta kami panggil atau kami beri peringatan keras, dan bila tidak ada perkembangan ke arah yang baik, maka tidak ada pilihan lain, mereka juga harus pulang. Pulang, tidak berarti hanya pulang saja. Namun juga harus mengembalikan seluruh biaya yang sudah mereka terima, mulai dari biaya tes, prakondisi, pemberangkatan, asrama, serta insentif dan bantuan biaya hidup. Sesuai kontrak yang mereka tandatangani, bila mereka melanggar perjanjian, misalnya karena melakukan tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai agama/moral/susila, apalagi kalau dinilai sebagai pelanggaran berat, maka mereka harus membuat surat pernyataan mengundurkan diri dari program SM-3T dengan segala konsekuensinya. Tiga peserta itu, telah melakukan penandatangan surat pengunduran diri dan kesanggupan untuk mengembalikan semua biaya yang sudah mereka gunakan/terima.
Inilah episode terberat SM-3T. Sebagai ibu mereka, sebenarnya hati saya teriris ketika melepas mereka. Bagaimana pun mereka telah menjadi bagian dari kami. Dalam waktu yang tidak singkat. Berbagi suka-duka bersama dalam segala situasi.
Apalagi semua dari mereka yang harus pulang itu adalah dari keluarga yang tidak berada. Mengembalikan semua biaya yang sudah mereka terima tentu akan menjadi beban berat tersendiri bagi mereka dan keluarganya.
Tapi kesempatan emas ini telah mereka sia-siakan. Hidup adalah pilihan. Dan setiap pilihan mengandung konsekuensi. Semua ini akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka, juga bagi teman-temannya yang lain, dan bagi kami semua.
Semoga
Umalulu dan Rindi, 9-12 Mei 2012
LN
1 komentar
belajar dari pengalaman orang lain untuyk menatap hidup ke dEPAN,.
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...