Pagi ini, sekitar pukul 09.30, saat saya masih terlelap, saya dikejutkan oleh sebuah telepon. Dengan malas, saya raih ponsel di atas meja di sebelah kiri saya.
"Assalamualaikum, Bu Prof..."
"Waalaikum salam...."
"Masih istirahat?"
"Ya..." Suara saya mungkin seperti suara orang setengah mabuk. "Tadi pukul setengah enam baru masuk penginapan...." Lanjut saya.
"Baik. Saya hanya ingin sampaikan, bupati rupanya sudah berangkat tadi malam ke kegiatan lain. Tapi saya sudah melapor ke sekda, kalau hari ini kita akan menghadap."
"Melapor ke sekda?"
"Ya, betul."
"Melapor bagaimana?"
"Ya, melapor kalau hari ini kita akan menghadap."
"Lho?"
"Maaf, Bu Prof, saya sudah di lobi."
"Di lobi?" Saya langsung 'jenggirat'. Ya Allah, saya ini ada di mana?"
"Maaf, ini pak kadiskah?"
"Betul, Bu Prof."
"Oh, maaf, Bapak.... Maaf, saya belum sepenuhnya sadar ini." Kepala saya terasa berat. "Maaf, Bapak....nyawa saya belum kembali semua ini...."
Pak Kadis tertawa keras.
"Baik, tidak apa-apa, Bu Prof. Saya tunggu di lobi."
Maka saya pun 'njrantal' ke kamar mandi. Untungnya, tadi pagi, begitu masuk penginapan, saya langsung mandi. Mbak Ully juga. Semalaman berada dalam perjalanan dari Medan ke Aceh Singkil membuat tubuh seperti 'katutan' macam-macam, sehingga begitu ketemu air, maunya langsung membersihkan badan.
Jadi kalau sekarang kami tidak mandi, memang kami tidak perlu mandi lagi. Apa lagi Pak Kadis sudah menunggu di lobi. Waduh, bisa kualat kami nanti kalau membuat beliau menunggu terlalu lama.
Bertiga kami keluar menemui Pak Kadis dan stafnya, kabid program. Berbincang sebentar, dan berangkatlah kami.
Saya, Bu Ully, dan Mas Syamsul (Dr. Syamsul Sodiq, Kajur Pendidikan Bahasa Indonesia), masuk ke mobil dinas yang semalam menjemput kami dari Bandara Kualanamu Medan dan membawa kami menuju penginapan ini. Pak kadis, Yusfit Elmi, S.Pd, duduk bersebelahan dengan driver di depan. Pak kabid duduk di jok belakang.
Tujuan kami pagi ini adalah Kuala Baru. Namun sebelum ke sana, kami menuju kantor kabupaten, dan bertemu sekda, Drs. Azmi. Berkenalan dan berbincang sebentar tentang Program SM-3T dan masukan-masukan sekda untuk kepala dinas dalam melayani dan merespon program tersebut. Juga harapan-harapannya untuk keberlanjutan program. Juga kekagumannya pada semangat pengabdian para guru SM-3T. Dari apa yang dikatakannya, nampaknya Bapak Sekda ini cukup memahami apa itu Program SM-3T.
Dari kantor kabupaten, kami langsung menuju ke Kuala Baru. Di sana ada SMK 1 Kuala Baru dan dua anak kami, peserta SM-3T, bertugas. Kami akan mengarungi Sungai Singkil, sungai terbesar di Aceh Singkil, untuk mencapai Kuala Baru.
Cerita tentang Sungai Singkil yang diapit rawa-rawa sudah sering kami dengar. Rawa-rawa itu luasnya sekitar 5000 ha dan menjadi paru-paru dunia. Juga cerita tentang buaya predator yang tak jarang memakan korban manusia. Setahun ini ada dua orang sudah dimangsanya, dan satu orang yang nyaris menjadi mangsa. Para predator itu ada di sepanjang sungai, di rawa-rawa, berjemur, sambil menunggu korban.
Kami bertujuh menaiki spreedboat. Sekitar empat puluh menit perjalanan dari Singkil ke Kuba, singkatan dari Kuala Baru. Tak terbayang sebelumnya saya akan mengunjungi Kuba, dan berspeedboat bersama Fidel Castro-nya, yaitu Kepala Sekolah SMK 1 Kuba.
Panas menyengat. Suhu di Aceh Singkil jauh lebih panas daripada di Surabaya. Syukurlah saya sudah terbiasa dengan suhu panas. Kulit hitam saya adalah bukti kalau saya tahan panas.
Sungai penuh, dan airnya meluber memenuhi rawa-rawa di sepanjang bantaran sungai. Untunglah. Pak Kadis bilang, kalau air penuh seperti ini, buaya tidak keluar. Artinya, perjalanan jadi lebih aman.
Bicara tentang keamanan dalam perjalanan laut dan sungai, tempo hari sebelum berangkat, saya sudah wanti-wanti pada pak Kadis, supaya kami disiapkan pelampung. Tapi beliau bilang: "Saya kira itu tidak perlu, Bu Prof...kita hanya mengarungi sungai." Dan saya tetap ngotot minta disediakan pelampung. Enteng saja beliau bilang..."Itu hanya mengarungi sungai?"
Beliau menyanggupi, tapi ternyata itu sekadar menghibur hati saya saja. Saat ini kami berspeedboat tanpa pelampung, dan saya agak bergidik melihat air sungai yang coklat keruh itu melimpah sementara tepi sungai berjarak puluhan bahkan mungkin ratusan meter dari speedboat kami. Itu pun, berupa rawa-rawa. Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk, entah bagaimana kami bisa menyelamatkan diri, sementara di antara kami tidak semua bisa berenang. Tidak, insyaallah itu tidak akan terjadi. Lihatlah, driver speedboat itu begitu lihai. Meski kadang-kadang speedboat terasa miring ke kanan atau ke kiri, dia begitu tenang, dan mengesankan semua baik-baik saja. Sesekali dia mengurangi kecepatan speedboat saat berpapasan dengan robin. Laju speedboat yang menyebabkan air sungai bergelombang membahayakan keselamatan robin, si perahu kecil itu.
Robin, adalah sebutan utk perahu bermotor kecil yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk melakukan perjalanan dari Kuba ke Singkil dan sebaliknya, dengan ongkos Rp. 10.000,- untuk sekali jalan. Dinamakan robin, sebenarnya karena mesin perahu itu merk-nya robin. Seperti banyak orang menyebut yamaha atau honda untuk sepeda motor, sanyo untuk pompa air, dan aqua untuk air mineral, dan sebagainya.
SMK Negeri 1 Kuba merupakan SMK Kelautan dan Perikanan. Memiliki 80 siswa, dengan sebanyak 22 guru dan tenaga kependidikan. Bukan sekolah yang buruk, meski dia berada di kecamatan tertinggal. Kuba dikelilingi oleh sungai dan laut, dan satu-satunya tempat mengungsi bila terjadi gempa adalah masjid. Belum ada akses keluar kampung yang luasnya hanya sekitar 14 km persegi itu selain melalui sungai menuju Singkil.
Singkil adalah tempat terdekat untuk berbelanja keperluan sehari-hari masyarakat Kuba. Juga tempat terdekat bagi anak-anak kami, Wenni dan Dewi, untuk mengambil insentif bulanannya. Sebulan sekali mereka menumpang robin ke Singkil dan berbelanja keperluan bulanan mereka. Mereka tinggal di mes sekolah dan memasak sendiri.
SMK 1 Kuba berada di ujung kampung dan sekitar 500 meter dari sekolah adalah kampung nelayan. Di lokasi tertinggal itu hanya ada 2 SD, 1 SMP, dan 1 SMK. Bukan persoalan mudah menyedot animo masyarakat yang hanya terdiri dari sekitar 60 KK itu untuk masuk sekolah. Kalau siswa SMK saat ini bisa mencapai 80 siswa, itu bukan karena kebetulan. Tapi salah satunya karena promosi gencar yang dilakukan oleh kepala sekolah yang masih muda itu. Selain itu, karena outcome sekolah dinilai cukup baik oleh masyarakat. Tahun kemarin, sekolah berhasil mengeksport sejumlah lulusannya ke perusahaan di China dan Argentina. Sekolah juga sudah melakukan kerja sama dengan beberapa perusahaan di Medan dalam rangka penyaluran lulusan, selain juga sebagai tempat untuk praktek industri.
Kami pamit dari SMK Negeri 1 Kuba sekitar pukul 14.30, setelah makan siang dengan menu nasi putih, sayur kangkung, dan pepes ikan. Menu yang lezat pada saat yang tepat. Sejak pagi belum ada sebutir nasi pun yang masuk mulut. Tidak ada waktu untuk sarapan karena begitu bangun tidur kami sudah langsung berkegiatan.
Di bawah terik matahari yang panas menyengat, kami kembali berspeedboat menuju Singkil. Mengarungi sungai yang airnya coklat keruh dan ribuah hektar rawa mengapitnya. Mungkin ada puluhan atau ratusan buaya predator sedang mengintai. Namun ada Dia Yang Maha Memberi Keselamatan yang selalu melindungi.
Aceh Singkil, 20 April 2015
"Assalamualaikum, Bu Prof..."
"Waalaikum salam...."
"Masih istirahat?"
"Ya..." Suara saya mungkin seperti suara orang setengah mabuk. "Tadi pukul setengah enam baru masuk penginapan...." Lanjut saya.
"Baik. Saya hanya ingin sampaikan, bupati rupanya sudah berangkat tadi malam ke kegiatan lain. Tapi saya sudah melapor ke sekda, kalau hari ini kita akan menghadap."
"Melapor ke sekda?"
"Ya, betul."
"Melapor bagaimana?"
"Ya, melapor kalau hari ini kita akan menghadap."
"Lho?"
"Maaf, Bu Prof, saya sudah di lobi."
"Di lobi?" Saya langsung 'jenggirat'. Ya Allah, saya ini ada di mana?"
"Maaf, ini pak kadiskah?"
"Betul, Bu Prof."
"Oh, maaf, Bapak.... Maaf, saya belum sepenuhnya sadar ini." Kepala saya terasa berat. "Maaf, Bapak....nyawa saya belum kembali semua ini...."
Pak Kadis tertawa keras.
"Baik, tidak apa-apa, Bu Prof. Saya tunggu di lobi."
Maka saya pun 'njrantal' ke kamar mandi. Untungnya, tadi pagi, begitu masuk penginapan, saya langsung mandi. Mbak Ully juga. Semalaman berada dalam perjalanan dari Medan ke Aceh Singkil membuat tubuh seperti 'katutan' macam-macam, sehingga begitu ketemu air, maunya langsung membersihkan badan.
Jadi kalau sekarang kami tidak mandi, memang kami tidak perlu mandi lagi. Apa lagi Pak Kadis sudah menunggu di lobi. Waduh, bisa kualat kami nanti kalau membuat beliau menunggu terlalu lama.
Bertiga kami keluar menemui Pak Kadis dan stafnya, kabid program. Berbincang sebentar, dan berangkatlah kami.
Saya, Bu Ully, dan Mas Syamsul (Dr. Syamsul Sodiq, Kajur Pendidikan Bahasa Indonesia), masuk ke mobil dinas yang semalam menjemput kami dari Bandara Kualanamu Medan dan membawa kami menuju penginapan ini. Pak kadis, Yusfit Elmi, S.Pd, duduk bersebelahan dengan driver di depan. Pak kabid duduk di jok belakang.
Tujuan kami pagi ini adalah Kuala Baru. Namun sebelum ke sana, kami menuju kantor kabupaten, dan bertemu sekda, Drs. Azmi. Berkenalan dan berbincang sebentar tentang Program SM-3T dan masukan-masukan sekda untuk kepala dinas dalam melayani dan merespon program tersebut. Juga harapan-harapannya untuk keberlanjutan program. Juga kekagumannya pada semangat pengabdian para guru SM-3T. Dari apa yang dikatakannya, nampaknya Bapak Sekda ini cukup memahami apa itu Program SM-3T.
Dari kantor kabupaten, kami langsung menuju ke Kuala Baru. Di sana ada SMK 1 Kuala Baru dan dua anak kami, peserta SM-3T, bertugas. Kami akan mengarungi Sungai Singkil, sungai terbesar di Aceh Singkil, untuk mencapai Kuala Baru.
Cerita tentang Sungai Singkil yang diapit rawa-rawa sudah sering kami dengar. Rawa-rawa itu luasnya sekitar 5000 ha dan menjadi paru-paru dunia. Juga cerita tentang buaya predator yang tak jarang memakan korban manusia. Setahun ini ada dua orang sudah dimangsanya, dan satu orang yang nyaris menjadi mangsa. Para predator itu ada di sepanjang sungai, di rawa-rawa, berjemur, sambil menunggu korban.
Kami bertujuh menaiki spreedboat. Sekitar empat puluh menit perjalanan dari Singkil ke Kuba, singkatan dari Kuala Baru. Tak terbayang sebelumnya saya akan mengunjungi Kuba, dan berspeedboat bersama Fidel Castro-nya, yaitu Kepala Sekolah SMK 1 Kuba.
Panas menyengat. Suhu di Aceh Singkil jauh lebih panas daripada di Surabaya. Syukurlah saya sudah terbiasa dengan suhu panas. Kulit hitam saya adalah bukti kalau saya tahan panas.
Sungai penuh, dan airnya meluber memenuhi rawa-rawa di sepanjang bantaran sungai. Untunglah. Pak Kadis bilang, kalau air penuh seperti ini, buaya tidak keluar. Artinya, perjalanan jadi lebih aman.
Bicara tentang keamanan dalam perjalanan laut dan sungai, tempo hari sebelum berangkat, saya sudah wanti-wanti pada pak Kadis, supaya kami disiapkan pelampung. Tapi beliau bilang: "Saya kira itu tidak perlu, Bu Prof...kita hanya mengarungi sungai." Dan saya tetap ngotot minta disediakan pelampung. Enteng saja beliau bilang..."Itu hanya mengarungi sungai?"
Beliau menyanggupi, tapi ternyata itu sekadar menghibur hati saya saja. Saat ini kami berspeedboat tanpa pelampung, dan saya agak bergidik melihat air sungai yang coklat keruh itu melimpah sementara tepi sungai berjarak puluhan bahkan mungkin ratusan meter dari speedboat kami. Itu pun, berupa rawa-rawa. Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk, entah bagaimana kami bisa menyelamatkan diri, sementara di antara kami tidak semua bisa berenang. Tidak, insyaallah itu tidak akan terjadi. Lihatlah, driver speedboat itu begitu lihai. Meski kadang-kadang speedboat terasa miring ke kanan atau ke kiri, dia begitu tenang, dan mengesankan semua baik-baik saja. Sesekali dia mengurangi kecepatan speedboat saat berpapasan dengan robin. Laju speedboat yang menyebabkan air sungai bergelombang membahayakan keselamatan robin, si perahu kecil itu.
Robin, adalah sebutan utk perahu bermotor kecil yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk melakukan perjalanan dari Kuba ke Singkil dan sebaliknya, dengan ongkos Rp. 10.000,- untuk sekali jalan. Dinamakan robin, sebenarnya karena mesin perahu itu merk-nya robin. Seperti banyak orang menyebut yamaha atau honda untuk sepeda motor, sanyo untuk pompa air, dan aqua untuk air mineral, dan sebagainya.
SMK Negeri 1 Kuba merupakan SMK Kelautan dan Perikanan. Memiliki 80 siswa, dengan sebanyak 22 guru dan tenaga kependidikan. Bukan sekolah yang buruk, meski dia berada di kecamatan tertinggal. Kuba dikelilingi oleh sungai dan laut, dan satu-satunya tempat mengungsi bila terjadi gempa adalah masjid. Belum ada akses keluar kampung yang luasnya hanya sekitar 14 km persegi itu selain melalui sungai menuju Singkil.
Singkil adalah tempat terdekat untuk berbelanja keperluan sehari-hari masyarakat Kuba. Juga tempat terdekat bagi anak-anak kami, Wenni dan Dewi, untuk mengambil insentif bulanannya. Sebulan sekali mereka menumpang robin ke Singkil dan berbelanja keperluan bulanan mereka. Mereka tinggal di mes sekolah dan memasak sendiri.
SMK 1 Kuba berada di ujung kampung dan sekitar 500 meter dari sekolah adalah kampung nelayan. Di lokasi tertinggal itu hanya ada 2 SD, 1 SMP, dan 1 SMK. Bukan persoalan mudah menyedot animo masyarakat yang hanya terdiri dari sekitar 60 KK itu untuk masuk sekolah. Kalau siswa SMK saat ini bisa mencapai 80 siswa, itu bukan karena kebetulan. Tapi salah satunya karena promosi gencar yang dilakukan oleh kepala sekolah yang masih muda itu. Selain itu, karena outcome sekolah dinilai cukup baik oleh masyarakat. Tahun kemarin, sekolah berhasil mengeksport sejumlah lulusannya ke perusahaan di China dan Argentina. Sekolah juga sudah melakukan kerja sama dengan beberapa perusahaan di Medan dalam rangka penyaluran lulusan, selain juga sebagai tempat untuk praktek industri.
Kami pamit dari SMK Negeri 1 Kuba sekitar pukul 14.30, setelah makan siang dengan menu nasi putih, sayur kangkung, dan pepes ikan. Menu yang lezat pada saat yang tepat. Sejak pagi belum ada sebutir nasi pun yang masuk mulut. Tidak ada waktu untuk sarapan karena begitu bangun tidur kami sudah langsung berkegiatan.
Di bawah terik matahari yang panas menyengat, kami kembali berspeedboat menuju Singkil. Mengarungi sungai yang airnya coklat keruh dan ribuah hektar rawa mengapitnya. Mungkin ada puluhan atau ratusan buaya predator sedang mengintai. Namun ada Dia Yang Maha Memberi Keselamatan yang selalu melindungi.
Aceh Singkil, 20 April 2015