Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 15 Maret 2015

Hotel Sampang

Sebetulnya namanya bukan Hotel Sampang. Tapi untuk lebih mudahnya, juga untuk menyembunyikan identitas hotel tersebut, saya menyebutnya Hotel Sampang saja.

Malam ini kami bertiga tiba di Sampang. Saya, Pak Sulaiman (Pembantu Direktur I PPPG), dan Anang (driver). Masuk kota sekitar pukul 20.00. Besok pagi, kami akan berangkat ke MI Nurul Hidayah Bluru'an Gedinglaok. Monev Program Jatim Mengajar. Malam ini, kami hanya menginap saja di Sampang, dan melanjutkan perjalanan besok pagi.

Mencari hotel di Sampang tidaklah terlalu sulit. Kami bertanya kepada penjual nasi goreng yang mangkal di pinggir jalan, dan ditunjukkanlah arah menuju sebuah hotel. Hanya beberapa menit setelahnya, hotel itu sudah kami temukan.

Kami pun melihat daftar kamar di resepsionis. Kami putuskan, kami mengambil dua kamar VIP, satu untuk saya, satu untuk Pak Sulaiman dan Anang. Meski VIP, tarifnya tidak terlalu mahal. Maklumlah, ini hotel di kota kecil.

"Baik, Bu. Ibu nanti di dalam sini kamarnya, bapak di luar."
"Lho, kenapa begitu, Mas?"
"Ya, begitu, Bu...."
"Mbok dicarikan yang berdekatan saja to, Mas."
"Maaf, Bu, tidak bisa, karena -ibu bukan suami istri. Maaf, Bu, di sini, meskipun ini hotel, tapi kamar untuk laki-laki dan perempuan tempatnya terpisah."
"Hah?" Saya spontan mendelik. Menatap tak percaya pada anak muda brewok di depan saya itu. "Jadi tempat kamar untuk laki-laki dan perempuan terpisah?"
"Ya, Bu."
Saya manggut-manggut. Unik. Saya berkali-kali menginap di Madura, tapi baru ini ketemu hotel yang memisahkan kamar untuk laki-laki dan perempuan. Bagus, bagus. Saya bergumam sendiri. Saya pikir ini bagus juga. Hotel ini peduli pada penyakit sosial. Peduli pada aturan agama. Peduli pada bahaya berkhalwat. 

"Mas, boleh saya melihat kamar-kamarnya?"
"Mari, Bu,"

Saya mengekor di belakang mas yang ramah itu. Masuk ke ruang tengah sebuah rumah yang besar. Interiornya penuh dengan ukir-ukiran khas Madura. Artistik dan mewah. Di dinding-dindingnya, banyak pigura. Foto-foto, mungkin foto-foto pemilik hotel dan keluarganya, terpajang di beberapa bagian. Di dalam ruang besar itu, ada dua kamar. Saya dibukakan salah satunya. Kamar yang bagus, bersih, dan cukup luas. Sebenarnya nyaman. Tapi....

"Mas, untuk kamar bapak-bapak dimana?"
"Di belakang, Bu. Lewat sini..."

Saya mengekor lagi di belakang mas brewok itu. Menuju halaman belakang. Di situlah berjajar belasan kamar yang deretannya membentuk huruf U. Saat dibukakan sebuah kamar, saya langsung nyeletuk.

"Sudah, Mas, saya di sini saja, teman saya tadi di kamar sebelah. Wong terpisah saja lho, Mas..."
"Maaf, Bu...tidak bisa. Prosedurnya sudah seperti itu."
"Tapi saya takut, Mas, tidur di kamar besar tadi."

Mas itu terdiam. Berpikir sebentar.
"Kalau begitu, gini aja, Bu. Ibu pakai kamar yang ini, nanti bapak pakai kamar yang di seberang sana."
"Walah, sama saja kalau gitu Mas, jauh."
"Ya, tapi Ibu kan di luar, ramai, temannya banyak, meskipun di seberang kamar Ibu."

Saya berpikir, menimbang-nimbang. Sebetulnya, kalau melihat kondisi ruang kamarnya, saya lebih suka yang di dalam tadi. Tapi pigura-pigura di dinding itu, ada banyak gambar, termasuk foto-foto orang tua, dan saya sorangan wae di ruang sebesar itu? Kok rada-rada merinding. Hehe, asli, kadang-kadang saya penakut. 
"Ya sudah, Mas, saya ambil yang di luar saja."

Maka saya pun masuk di salah satu kamar di antara deretan kamar di satu sisi di halaman belakang hotel. Kamar saya dekat dengan ruang resepsionis. Tapi semua kamar di deretan kamar saya ini, kosong. Sementara di seberang sana, nampaknya lumayan penuh, lumayan ramai. Ya, setidaknya ada temannya, meski berjauhan begitu.

Sebenarnya saya senang-senang saja ada hotel yang begitu ketat seperti ini. Bahkan hotel di Makkah dan Madinah pun tidak seketat ini. Sekamar, kalau sudah musim haji atau umroh, laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim pun sudah lazim dalam satu kamar. Mungkin karena saking berjubelnya jamaah. Tapi bagaimana pun, situasi seperti itu membuat kami sedikit banyak merasa kurang nyaman. Kabarnya, sejak tahun ini, hal tersebut sudah mulai dibenahi, laki-laki dan perempuan kamarnya terpisah. Repotnya, yang suami isteri pun juga harus terpisah. Begitu kabar yang saya dengar dari teman-teman yang baru saja pulang haji.

Ya sudah. Semua ada plus minusnya. Yang penting, malam ini kami sudah dapat tempat untuk beristirahat, sebelum besok melanjutkan perjalanan ke pelosok Sampang.

Sampang, 13 Maret 2015

Wassalam,
LN
  

Sabtu, 07 Maret 2015

Barok

Sore ini begitu luar biasa. Barok marah hebat. Pasalnya, kamera dan lensa kesayangannya berubah posisi meski masih dalam kotaknya, kotor, lecet, dan....mungkin rusak. Dengan garang dia menghampiri bapaknya yang lagi di halaman depan.

"Bah, di mana rumah tukang goblok itu? Aku mau ke rumahnya, mau aku kaploki..."

Saya gemetaran. Barok kalau sudah marah, persis seperti warok murka. Meski tidak semua orang Ponorogo "ngedap-ngedapi' kalau marah, Barok termasuk jenis yang ngedap-ngedapi. Suaranya menggelegar sampai terdengar oleh orang sekampung. Wajahnya merah padam seperti kulit manggis. Tangannya mengepal-ngepal seperti petinju haus sasaran. Haduh, saya tak henti-hentinya baca istighfar dan memintanya untuk bersabar.

"Sabar Le, sabar Sayang..."
Dia tak peduli.
"Gak bisa lek koyok ngene suruh sabar, Bu. Ibu tahu, aku mengumpulkan semua barang itu dengan susah payah. Dihancurkan koyok ngene. Gak, gak iso. Tak parani wae wonge..."

Saya menangis.
"Le, lihat ibu, kamu nggak kasihan sama ibu? Barang itu nanti pasti ada gantinya kalau kamu ikhlas dan sabar. Gusti Allah sugih, Le...."

Barok tak peduli. Dia masih teriak-teriak. Dengan berteriak-teriak pula dia menelepon tukang itu. Sumpah serapah berhamburan dari mulutnya. Semua hewan dari kebun binatang disebutnya. Bahkan semua 'bekakas' lokalisasi pun diteriakkannya dengan fasih. Saya lemas. Duh Gusti, maafkan hamba-Mu ini. Entah dari mana anak itu mendapatkan kosakata seperti itu. Entah dari mana dia belajar kasar seperti itu. Duh Gusti, berikan hidayah-Mu. Lembutkan hatinya. Beri rasa takut pada ayah ibunya, pada Engkau. Lembutkan hatinya, Gusti....lembutkan. Engkau Yang Maha Memberi Kelembutan....

Saya terus menangis sambil gemetaran. Dada saya berdegup kencang, suara degupnya seperti terdengar di telinga saya, dan rasanya sakit sekali. Seperti dipukul-pukul. Istigfar dan shalawat terus saya lantunkan dalam hati.

Mas Ayik, suami saya, terus mencoba menenangkan Barok. Tapi semakin ditenangkan, anak itu semakin murka. Saya menghampirinya, terengah-engah menahan isak tangis.
"Le, lihat ibu, Le. Lihat Ibu. Kok kamu lebih sayang sama kamera dan lensa daripada sama Ibu se, Le?"

Barok merangkul saya. "Maaf, maaf, Bu. Maksudku nggak mau nyakitin Ibu." Sejenak saya tenang dalam pelukannya. Tapi itu hanya sekejap. Hanya sekejap. Sejurus kemudian, dia melepaskan pelukannya. 

"Tapi wong iki kurang ajar tenan." Suaranya kembali menggelegar. Kembali meledak-ledak.

Saya lemas, berjalan ke belakang, mengambil air wudhu dengan tubuh gemetaran, diikuti Mas Ayik.
"Ayo salat, Le." Ajak saya.
"Ibu salat duluan." Jawabnya tak peduli.
"Ayo jamaah."
"Nggak, aku mau salat sendiri."
"Wong biasane jamaah gitu lho, Le."
"Ya, tapi aku lagi pingin salat sendiri."

Kami pun membiarkan Barok dengan kemauannya. Kami berdua salat berjamaah di musala. Selesai salat maghrib, kami melengkapinya dengan salat sunnat ba'diyah. Lantas berlama-lama dzikir. Sambil menunggu Barok mengambil air wudhu. Ternyata dia wudhu di kamar mandi, dan salat di kamarnya, tidak di musala seperti biasa.

Saya mengambil Al-quran. Mengaji dengan suara pelan. Barok mondar-mandir berusaha memecahkan perhatian saya. Tapi melihat saya mengaji, dia akhirnya hanya duduk di depan saya.

Tiba-tiba anak itu terisak. Sambil terus menyesali kamera dan lensa-lensanya yang telah rusak. Saya merangkulnya. Mencium keningnya. Mengaduk-aduk rambut tebalnya. Memintanya bersabar. Dan menjajikan akan membantu dia mendapatkan kamera dan lensai-lensa itu kembali.

Sejujunya, saya bisa memahami kekecewaan dan kemarahan Barok, meski saya tidak setuju dengan caranya marah. Dia memperoleh kamera pertamanya sekitar tiga tahun yang lalu, saya dan bapaknya membelikannya. Dia suka fotografi dan menekuni hobinya itu tidak sekedar hobi, tetapi dia memanfaatkannya untuk belajar hidup mandiri. Dia bergabung dengan teman-temannya untuk memotret berbagai event, juga mengikuti berbagai event fotografi nasional dan internasional. Beberapa rupiah berhasil dikumpulkannya sedikit demi sedikit, sampai akhirnya dia bisa meng-upgrade kameranya dan membeli beberapa lensa. Dia berusaha sendiri, tidak meminta bapak ibunya untuk membelikannya. Memang pernah suatu ketika dia meminta kami membelikannya lensa, tapi kami janjikan setelah akhir semester, setelah dia bisa membuktikan pada kami kalau aktivitasnya di dunia foto itu tidak mengganggu kuliahnya. Rupanya Barok tidak sronto. Dan dengan usahanya sendiri, dari aktivitas fotografi dan bermusiknya, dia akhirnya mendapatkan kamera dan lensa-lensa yang diidam-idamkannya.

Dan sekarang kamera dan lensa-lensa itu berantakan. Debu-debu halus memenuhi sela-selanya. Kameranya bahkan lecet-lecet. Ya, kecewa betul dia. Sakit hati dia. Setelah mengumpulkan rupiah demi rupiah dari keringatnya sendiri...

Saya mulai mengajaknya bicara lagi. Menunjukkan contoh-contoh di sekitar, betapa kita seringkali tak berdaya dengan apa pun yang menimpa kita. Jangankan hanya kamera dan lensa, kalau Allah sudah berkehendak, dunia dan seisinya ini dapat dihancurkannya. Luluh lantak dalam waktu sekejap. Ingat tsunami, ingat gunung meletus, ingat kebakaran, ingat kecelakaan pesawat, ingat semua hal yang menyadarkan kita betapa kita tidak pernah berhak sepenuhnya dari apa pun yang kita miliki. Ada yang Maha Berhak dari yang paling berhak sekali pun. Maka, kata bapaknya: "ikhlas, nompo opo sing teko, nompo opo sing lungo."

Malam itu kami kembali salat berjamaah, menunaikan isya di musala. Setelah salat dan dzikir, kami tidak langsung beringsut dari musala. Barok bahkan menyelonjorkan kaki dan menghempaskan kepalanya di pangkuan saya yang masih bermukena. Saya mengusap-usap kepala dan keningnya dengan penuh kasih sayang. Anak ini sedang lelah lahir dan batinnya. Dan dia butuh tempat untuk menyandarkan lelahnya.

Kami mengobrol apa saja. Obrolan yang bisa menghibur hati Barok. Obrolan yang mampu menyentuh sanubarinya yang terdalam. Pada dasarnya, Barok berhati peka dan lembut, sekaligus sangat temperamental. Namun kami selalu yakin, sifat temperamentalnya akan berangsur reda, sejalan dengan kedewasaa dan kematangannya.

Kemudian, ketika saya membaca situasinya memungkinkan, saya berkata: "Dik, ada yang sebenarnya sangat memberati pikiran ibu..."
"Apa, Bu?"
"Kamu tadi....mengumpat-umpat pak tukang, kamu ngomong kasar sekali, tidak pantas lho...." Saya menunggu reaksinya sejenak, tapi Barok diam saja. "Seharusnya, kamu tidak hanya meminta maaf pada bapak ibu, tapi juga pada pak tukang..."
"Sudah kok bu..." Tukas Barok. "Aku tadi udah sms ke Pak Tukang, udah minta maaf dan udah kubilang dia tidak perlu ganti kamera dan lensa-lensaku..."

Alhamdulilah, Ya Allah. Saya nyaris menangis mendengar jawaban Barok. Perasaan lega memenuhi benak saya.

"Alhamdulilah, Sayang." Saya acak-acak lagi rambut tebalnya. "Alhamdulilah. Itu membuat ibu lega. Kamu tahu kan, Allah tidak akan memaafkan kita atas kesalahan yang kita buat pada sesama, kalau kita tidak saling memaafkan terlebih dahulu...."

"Ya, Bu...."

Malam ini begitu luar biasa. Baru tadi sore Barok marah hebat, dan saat ini dia sudah kembali menjadi anak kami yang begitu manis dan menentramkan. Ya Allah, berikan kesabaran dan hati yang ikhlas pada dirinya, berikan dia ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal, usia yang panjang barakah, serta kemuliaan di dunia dan akhirat. Amin.

Surabaya, Februari 2015

Wassalam,
LN

Kamis, 19 Februari 2015

Ketika Rumput Mulai Hijau

Musim kemarau beberapa waktu yang lalu menyebabkan rumput-rumput mengering dan pohon-pohon meranggas. Bukit-bukit menjadi gundul dan lembah ngarai menjadi merana. Sapi, kambing, kuda, nampak kurus kering karena padang tempat mereka merumput nyaris tak memberikan apa pun. Kondisi seperti itulah yang saya lihat di berbagai tempat, termasuk di daerah-daerah pedalaman di pelosok Indonesia, sekitar beberapa bulan yang lalu.

Di PPPG, kondisinya tidak berbeda jauh. Kalau saya berdiri di lantai dua, dan melihat ke seluruh penjuru halaman, rerumputan dan pepohonan hampir semuanya kering. Warnanya yang biasanya hijau menyejukkan, berubah menjadi kuning kocoklatan di mana-mana. Sampai saya berkali-kali memanggil mandor taman dan memastikan dia mengontrol anak buahnya saat menyirami tanaman, apakah disirami dengan benar atau tidak. Beberapa kali saya juga turun dan melihat bagaimana para tukang taman itu mengurus tanaman.

Tapi memang, kemarau yang begitu panas membuat kami tidak bisa berbuat banyak. Pagi dan sore tanaman disiram sebanyak apa pun, sinar matahari yang memancarkan panasnya dengan garang, membuat semua upaya seperti tak berarti. Rumput yang hijau hanya di seputaran pohon-pohon besar, radiusnya tak lebih dari semeter, sementara pohon-pohon besar itu pun daun-daunnya rontok di sekitarnya. Hamparan rerumputan, sejauh mata memandang, kuning dan coklat. Haduh, saya sampai pingin nangis rasanya melihat pepohonan dan rerumputan yang kami tanam dengan menghabiskan dana puluhan juta rupiah itu seperti 'hidup tidak, mati pun tak hendak'.

Begitu musim hujan turun, keadaan pun berubah seratus delapan puluh derajat. Hijau di mana-mana. Segar rasanya mata ini memandang. Meski genangan air di bagian-bagian tertentu juga cukup mengganggu, namun kesuburan tanaman yang memenuhi halaman gedung menjulang itu begitu menyegarkan. 

Pagi ini, begitu keluar dari mobil, saya tidak langsung memasuki gedung. Saya sengaja berjalan memutari pagar gedung yang baru kami tanam. Ratusan batang bambu yang tingginya lebih dari dua meter berbaris rapat mengelilingi halaman gedung PPPG. Di beberapa bagian, pagar seng yang semula menjadi batas area halaman, telah rebah rata dengan tanah. Beberapa pohon di depan pagar bambu nampak berdiri miring, terhempas angin dan hujan lebat semalam. Kayu-kayu yang menopangnya tidak  lagi cukup kuat. Harus ada seseorang yang membenahinya agar pohon-pohon itu kembali berdiri tegak.

Saya memutar mulai dari bagian samping kanan gedung sampai ke belakang dan ke samping kiri. Ada beberapa bagian pagar bambu yang terlalu lebar jaraknya, dan saya perkirakan masih bisa dipakai 'brobosan' oleh orang dewasa. Saya hitung, mungkin masih perlu menambah sekitar sepuluh batang bambu untuk membuat pagar hidup itu menjadi lebih rapat. 

Beberapa waktu yang lalu, saat saya menghadiri kegiatan Himapala di malam hari, saya sempat berkeliling melihat-lihat situasi halaman PPPG dari belakang. Kebetulan Sekretariat Himapala memang berada tepat di belakang Gedung PPPG, sekompleks dengan Sekretariat Menwa dan Pramuka. Saat itu, secara kebetulan, ada dua mahasiswa yang nekad 'mbrobos' dari halaman PPPG menuju asrama. Mereka bukan mahasiswa PPPG, karena saya tidak mengenal mereka dan mereka juga tidak mengenal saya. Saya perkirakan mereka mahasiswa di salah satu fakultas di Kampus Unesa Lidah Wetan ini. Mereka memanfaatkan pagar seng yang telah roboh untuk menjadi jembatan yang menghubungkan antara halaman PPPG dengan jalan. Di bawah seng itu adalah selokan. Saya heran, begitu efisiennya mereka, sampai-sampai harus mengambil risiko seperti itu. Bayangkan kalau jembatan seng itu tidak cukup kuat menopang tubuh mereka, dan mereka jatuh terperosok ke dalam selokan. Padahal hanya beberapa meter di sebelah kiri mereka adalah pintu keluar yang sebenarnya. Saya sampai geleng-geleng kepala melihat kenekadan itu. Sepertinya mereka adalah jenis mahasiswa yang tidak betah berada pada zona nyaman. Mereka termasuk jenis mahasiswa yang suka tantangan. Maka menyeberangi selokan dengan menggunakan pagar seng yang dirobohkan menjadi alternatif pemuas rasa haus akan tantangan itu.

Puas berkeliling, saya menuju ruang staf di lantai satu. Sepagi itu, semua staf PPPG sudah berada di posnya masing-masing. 

"Pak Budiman, Pak Somat, ayo ikut saya jalan-jalan." Saya memanggil dua teman staf yang tugasnya adalah mengurus taman dan perlengkapan. 

"Monggo, Bu," Kata mereka serempak.

Saya kembali ke tempat pohon yang berdiri miring tadi. Meminta kedua teman saya itu untuk membetulkan posisinya supaya tidak miring. Saya juga menunjukkan beberapa bagian pagar yang masih perlu dirapatkan dengan batang-batang bambu yang baru. Juga meminta supaya seng-seng yang sudah rebah rata dengan tanah itu diringkas, dan dilaporkan ke Bagian Perlengkapan Unesa, supaya diambil dan dibersihkan. 

"Sekalian Pak, minta tukang taman merapikan rumput-rumput ya?" Pinta saya. Ya, kalau beberapa waktu yang lalu saya sedih melihat rumput-rumput itu menguning dan mengering, sekarang saya sedih melihat rumput-rumput itu tumbuh terlalu subur tak beraturan sehingga perlu dirapikan.

"Inggih, Bu. Minggu ini tukang taman masih mengerjakan pemotongan rumput di FIP, minggu depan jadwalnya di PPPG." Kata Pak Budiman.

"O, baguslah kalau begitu."

Saya senang karena teman-teman di PPPG ini seperti seide dengan saya dalam masalah mengurus kebersihan gedung dan halaman. Seringkali mereka bahkan melakukan hal yang di luar bayangan saya. Beberapa dari mereka menanami halaman dengan lombok dan sayur-sayuran lain. Di balkon lantai dua yang luas, Anda bisa memetik kedondong, jeruk, sawo, belimbing dan jambu. Di halaman, beberapa tahun lagi, akan ada banyak buah mangga dan nangka hasil panen sendiri. Beberapa tahun lagi juga, akan ada banyak pohon peneduh yang tinggi menjulang mengimbangi tingginya gedung. Pagar hidup berupa bambu akan rapat melindungi gedung dan mengamankannya, namun tetap penuh kehangatan dan ramah lingkungan.

Tahun ini, kami terpaksa mengakhiri kerja sama dengan rekanan yang mengurusi kebersihan, karena dari hasil evaluasi kami, kerja rekanan tersebut tidak memuaskan. Bahan pembersih yang mereka gunakan tidak wangi, kabarnya karena terlalu banyak dioplos dengan bahan lain. Lantai hanya nampaknya saja bersih, tapi bersihnya tidak sempurna. Petugas kebersihan sering mengeluh karena bahan pembersih mereka dibatasi dan gaji mereka sering telat. Setidaknya yang saya ingat, dalam setahun kemarin, sempat tiga kali ada kejadian para petugas kebersihan yang jumlahnya sekitar 25 orang itu nyaris mogok kerja, karena gaji mereka belum dibayar. Dua kali mereka berbaris di depan ruang saya, dan setelah kami membantu untuk mengatasi masalah keuangan rekanan, mereka baru reda, tidak jadi mogok kerja. Tentu saja saya dan Bu Yanti sempat ngamuk ke rekanan dan mengancamnya tidak akan memperpanjang kerja sama lagi kalau mereka tidak becus mengurus tenaga kerjanya. Sudah ngurus gedung dan taman tidak beres, ngurus orang juga tidak beres. Payah kan?

Satu hal yang membuat saya dan teman-teman di PPG ini sangat kepikiran adalah ulah orang kampung di sekitar kampus Lidah ini. Beberapa bulan yang lalu, tepat pada hari ulang tahun saya, 18 Oktober 2014, ada 'kebakaran' di samping kanan gedung PPPG. Rumput ilalang yang tinggi dan rimbun itu kabarnya yang menjadi penyebab. Karena kemarau panjang, ilalang mengering, dan gesekan di antara mereka memercikkan api. Karena angin kencang, api itu membesar dan dengan cepat meluas, memangsa rumput dan pepohonan di sekitarnya, mendekat ke arah gedung PPPG. Saat itu bahkan kami sempat memanggil PMK dan dua mobil pemadam kebakaran datang menjinakkan api. Tapi apa mau dikata. Api yang memang sangat besar itu sudah sempat memangsa pipa air dan sebagian pipa jebol sudah.

Belakangan, saya mendengar, kejadian itu ternyata tidak hanya sekali dua kali, tetapi berkali-kali, dan bahkan sudah seperti langganan tiap tahun. Kabarnya, memang ada pihak-pihak yang sengaja membakar ilalang itu, untuk kemudian menanami tanah bekas tempat ilalang terbakar. Saya nyaris tidak percata dengan kabar itu,  sampai akhirnya saya melihat sendiri buktinya.

Suatu ketika, ada acara di lantai sembilan, dan kami melihat halaman PPPG yang berada di bawah sana, dan terkaget-kaget. Tanah yang beberapa waktu yang lalu terbakar, sekarang sudah ditumbuhi dengan tanaman jagung dan polowijo. Tumbuhnya rapi, subur, dan pasti sengaja ditanam oleh orang yang sudah berpengalaman. Ya, bisa jadi, kebakaran yang dulu itu memang dilakukan secara sengaja, agar tanah itu bisa dimanfaatkan saat musim hujan. 

Tentu saja kami semua prihatin dengan kenyataan itu. Ini masalah yang tidak boleh dianggap ringan. Tapi hal ini ternyata, kata banyak sumber, sudah terjadi bertahun-tahun dan berkali-kali. Bagaimana mungkin kita semua bisa membiarkan pihak-pihak luar mengacak-acak kedaulatan kita seperti ini?

Saya mengajak Pak Budiman dan Pak Somat berjalan mendekati tempat yang rawan kebakaran itu. Saya katakan, saya ingin bertemu dengan petani yang memanfaatkan tanah di seberang itu. Saya ingin mengajak mereka untuk bersama-sama menjaga lingkungan kampus. Kalau mereja ingin menanami tanah di dalam kampus dan untuk itu harus lebih dulu membakar ilalang, saya ingin mereka lebih berhati-hati dengan aksinya itu, supaya api yang dibuatnya tidak membesar dan membawa korban apa pun. Termasuk melalap pagar bambu yang kami tanam. Saya ingin Pak Somat dan Pak Budiman meminta orang untuk membuat parit di seputar gedung PPPG dan memastikan parit itu menampung air, sehingga bila ada kebakaran, api tidak sampai menyentuh pagar bambu. Kami harus melakukan itu, karena mungkin hanya itu yang masih  bisa kami lakukan dengan upaya PPPG sendiri. Sambil menunggu respon nyata dari Unesa untuk melakukan sesuatu demi menjaga kedaulatannya. Setidaknya, di beberapa kesempatan, baik dalam forum rapat resmi maupun secara informal, saya sudah menyampaikan kepada para petinggi Unesa bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk mencegah terjadinya kebakaran buatan yang sudah terjadi berulang kali. Karena tidak memungkinkan bagi saya dan teman-teman PPPG untuk mengambil kebijakan menyangkut hal itu, maka kami memilih berdamai saja dengan pihak yang memicu munculnya masalah. Yang penting damai dululah, supaya rumput-rumput dan pohon-pohon tetap hijau.....

Surabaya, 8 Februari 2015

Wassalam,
LN

Sabtu, 24 Januari 2015

Jatim Mengajar 4: Disangka Anggota ISIS

Saat ini saya dan Bu Lusi tengah berada di SD 2 Sarongan. Bercengkerama dengan anak-anak sekolah. Menanyai mereka apakah mereka kenal pak guru Eko Sumargo, apakah mereka senang diajar oleh pak guru itu, kenapa suka, apa saja yang sudah diajarkannya, dan lain-lain. Saya mendapatkan jawaban yang sangat membanggakan dari anak-anak polos itu.

"Suka sekali sama Pak Eko, orangnya sabar, tidak pernah marah, ramah, baik hati, sayang sama anak-anak, pinter ngaji, suka bermain sama anak-anak...."

Setelah cukup puas bercengkerama dengan anak-anak di halaman sekolah, kami masuk ke ruang guru. Pak Zamzuri, Pak Mukhid, Eko Sumargo, dan beberapa guru sudah menunggu. Juga dua guru dari Program Banyuwangi Mengajar. Kepala Sekolah tidak bisa hadir. Namun tadi pagi saat kami ada di hutan sinyal, beliau menelepon, meminta maaf karena ketidak hadirannya, dan memohon, supaya masa tugas Eko Sumargo ditambah. 

"Mohon Pak Eko tugasnya bisa diperpanjang setahuuuun saja, Bu..." Pintanya. Permintaan yang sama sejak kemarin kami bertelepon. Juga permintaan yang terucap dari Pak Zamsuri dan Pak Mukhid, berulang kali.

Jumlah guru di SD 2 Sarongan ada sepuluh orang, tiga orang di antaranya PNS. Mereka adalah Ismaini, S. Pd, kepala sekolah, alumnus Pendidikan Geografi, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang; Siti Nasiroh, S.Pd, kebetulan istri kasek, alumnus Pendidikan Geografi, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang; dan Zamzuri, S.Pd, alumnus BK, IKIP PGRI Jember. 

Selanjutnya Ahmad Mukhid, S.Pd (PDU, IKIP PGRI Jember) dan Katminayati, S.Pd (Geografi, Universitas PGRI Kanjuruhan), dua guru yang sudah sarjana. Guru yang lain, Yessi Wulandari, lulusan SMA, mengajar Bahasa Inggris; serta Sutriyono, lulusan PGAK, mengajar Olah Raga. Ada juga Wiwin Mardiana, lulusan SMA, kebetulan saat ini tidak bisa hadir karena rumahnya di seberang sungai, dan air sungai sedang meluap. 

Dua guru dari Program Banyuwangi Mengajar adalah Fika Rosita, S.Pd. (Lulusan PGSD) dan Tajudin, S.Pd.I, (lulusan PAI). Juga ditambah Eko Sumargo, S.Pd., lulusan Pendidikan Fisika, Unesa, peserta Jatim Mengajar.

Dilihat dari komposisinya, sekolah ini jelas kekurangan guru, baik dari segi jumlah maupun mutunya. Kehadiran Eko Sumargo memberi warna tersendiri, karena dialah satu-satunya guru yang berlatar belakang pendidikan IPA (Fisika). Maka tak pelak, semua mata pelajaran kelompok IPA, dialah yang menjadi motornya. 
Jumlah siswa SD 2 Sarongan ada 113 orang. Ada beberapa siswa yang sempat mutasi, karena mengikuti orang tua yang pindah ke tempat lain. Tapi beberapa kali terjadi, siswa yang mutasi tersebut kembali lagi, karena orang tua tidak berhasil berjuang mencari penghidupan di tempat baru. Sekarang bila ada anak meminta mutasi, sekolah tidak memberi surat keterangan resmi, karena bisa jadi anak tersebut akan kembali lagi dengan berbagai alasan.

Sebanyak empat orang guru digaji oleh perkebunan, dua di antaranya adalah Bu Katminayati dan Pak Mukhid. Setiap hari, empat guru tersebut mengisi daftar hadir di sekolah, format daftar hadir dari perkebunan. Per hari mereka digaji Rp.22.000,- untuk Senin-Kamis, dan Rp.16.000,- untuk Jumat-Sabtu. Kalau sekolah libur, gaji mereka juga libur. Pak Mukhid dan Bu Kat pernah menerima gaji hanya belasan ribu. Dari sekolah, mereka juga digaji dari dana BOS, sebesar sekitar Rp.200.000,-, sebelumnya malah hanya sekitar Rp.100.000,-. Guru-guru punya tegalan, tanahnya milik perkebunan, ada di bantaran sungai. Karena letaknya di bantaran sungai, maka ketika ada banjir seperti ini, wassalam sudah semuanya. 

Program Jatim Mengajar, menurut semua warga sekolah dan masyarakat merupakan program yang sangat positif. Ketika ditanya apa masukan untuk program ini, jawabannya seragam: supaya program ini diperpanjang, tidak hanya satu tahun, namun dua bahkan tiga tahun dan seterusnya. Eko Sumargo juga tugasnya supaya diperpanjang, minimal dua tahun.  

Tentang Eko Sumargo, pak Zam menjelaskan: "Pak Eko sangat membantu lembaga kita. Sistem pelaporan kami ke dinas kabupaten menjadi lebih cepat dan selalu tepat waktu, bahkan seringkali mendahului dari sekolah-sekolah lain." 

Pak Zam juga mengatakan, Eko membawa perubahan pada masalah pengenalan IT bagi guru-guru, karena Eko dengan senang hati mengajari mereka. Karena hal itu juga, lepas dari pro-kontra K-13, SD 2 Sarongan merupakan satu-satunya sekolah di Pesanggaran yang menggunakan rapor K-13.

Ketika saya tanya, apa pengaruh kehadiran Eko yang lain, guru-guru menyatakan bahwa kehadiran Eko memberi suntikan semangat kerja pada guru-guru dan semangat belajar pada anak-anak. Semuanya menjadi lebih disiplin, dan berbagai kegiatan menjadi lebih terarah. Eko menggalakkan majalah dinding (mading), juga membuat anak-anak gemar berkutat di perpustakaan. Buku perpustakaan yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten dan Provinsi itu awalnya belum begitu rapi pengaturannya, juga mekanisme sirkulasinya. Ada juga dua rak buku dari turis dan persatuan para guide. Eko fokus mendampingi Bu Yessi, guru yang diserahi tugas untuk mengurus perpustakaan, membangun perpustakaan menjadi lebih teratur dan nyaman.  

Ada cerita lucu tentang kegiatan mading. Anak-anak sering mengambil paku pines yang berwarna-warni untuk menempel kertas-kertas hasil karya anak-anak sekolah itu.

"Damel nopo paku pinese pak?" Tanya saya.
"Nggih disimpen damel benik-benikan ngoten, Bu, wong lare-lare niku mboten nate semerap paku pines."

Ada juga cerita lucu tapi agak menegangkan. Di awal kedatangan Eko Sumargo, ada sekelompok orang yang menolak. Termasuk salah satunya adalah perangkat dusun setempat. Mereka mengira Eko Sumargo adalah anggota kelompok Daulah Islam Irak dan Syam atau ISIS. Usut punya usut, ternyata mereka mencurigai istilah YDSF yang menempel pada Program Jatim Mengajar. Sebagaimana kita tahu, Jatim Mengajar adalah program kerjasama antara Unesa dengan Yayasan Dana Sosial Masyarakat (YDSF). Sekelompok orang itu menyangka, YDSF adalah semacam ISIS. Belakangan kecurigaan mereka bisa diredakan karena kebetulan kepala sekolah atau saudaranya merupakan donatur Al Falah. Peristiwa yang sempat membuat suasana tegang itu saat ini menjadi cerita yang amat menggelikan.

Semoga Program Jatim Mengajar bisa terus berkelanjutan. Semoga semakin banyak program semacam yang berpihak pada sekolah-sekolah di daerah-daerah tertinggal di Jawa Timur dan daerah-daerah lain di seluruh Tanah Air. Mengandalkan pada kemauan dan kekuatan pemerintah saja tidaklah cukup. Harus ada pihak-pihak yang peduli untuk mengulurkan tangan dan terjun langsung di ujung-ujung pelosok Jatim, untuk sedikit memberitan tetes-tetes kasih sayang pada anak-anak dan masyarakat yang haus akan sentuhan itu. 

Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 11 Januari 2015

Wassalam,
LN
  

Jumat, 23 Januari 2015

Jatim Mengajar 3: Kemurnian Sukamade

Buah Naga di Taman Nasional Meru Betiri.
Sukamade. Orang mengenal tempat ini sebagai sebuah dusun dalam kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Menurut data, TNMB memiliki luas mencapai 50.000 hektare. Nama Meru Betiri diambil dari nama gunung tertinggi, yaitu  Gunung (meru) Betiri. Tinggi gunung tersebut adalah 1.223 mdpl.

Sukamade juga terkenal karena pantainya yang lekat dengan berbagai jenis penyu, termasuk yang khas adalah penyu hijau. Meski telah dilestarikan dalam bentuk kawasan lindung sejak 1972, namun kabarnya hingga tahun 1979, telur penyu di Sukamade masih diburu oleh para pengumpul. Dan saat ini, pengumpulan, pemindahan anakan, dan penangkapan penyu dilarang keras, karena penyu hijau termasuk satwa yang dilindungi. 

Selain dapat melihat penyu, jika beruntung, kita juga bisa menyaksikan beberapa jenis binatang hutan, misalnya banteng, macan tutul, kijang, dan berbagai jenis monyet. Bahkan Eko Sumargo pernah melihat macan kumbang yang sedang menggaruk-garukkan kuku-kukunya di sebuah pohon. Burung merak, berbagai elang dan rangkong kabarnya juga masih sering terlihat. Flora seperti Rafflesia (bunga bangkai) juga ada. Saya sendiri sempat melihat Rafflesia yang sedang mekar dan menjelang layu, sehingga bau bangkainya tidak tercium, saat kami berjalan memasuki hutan-hutan menuju Teluk Hijau (Bay Green).  

Untuk mencapai Sukamade tidaklah mudah. Bagi Anda pemilik mobil jenis sedan atau jenis mobil keluarga yang lain, yang bukan tipe untuk offroad, sebaiknya tidak usah melakukan penjelajahan di rimba Meru Betiri hingga Pantai Sukamade. Setelah masuk pintu pos Meru Betiri, Anda akan berhadapan dengan jalan yang tak lagi beraspal. Bukan lagi jalan makadam, tapi jalan yang penuh bebatuan runcing. Bahkan, untuk sampai ke Pantai Sukamade, kita akan melewati lima anak sungai yang airnya setinggi lutut orang dewasa. Bila musim  hujan, anak sungai itu airnya meluap dan ketinggiannya bisa mencapai leher orang dewasa, bahkan bisa sampai setinggi mobil jeep. Itulah sebabnya kenapa hari ini kami tidak lagi bisa menumpang jeep untuk kembali pulang, melainkan harus naik sepeda motor dan rakit untuk menyeberangi sungai-sungai itu.

Dalam pandangan saya, keunikan Sukamade juga karena tempat ini merupakan sebuah perkampungan di tengah perkebunan yang sudah ada sejak puluhan bahan ratusan tahun silam. Rumah-rumah penduduk yang sederhana berbaris rapi di sepanjang kanan-kiri jalan tanah. Sebuah sekolah satu atap (satap) berdiri di antara rumah-rumah itu, berseberangan dengan masjid. Ada gereja tidak jauh dari mess perkebunan yang jaraknya hanya sekitar seratus meter dari sekolah dan masjid. Hamparan kebun buah naga melengkapi keindahan alamnya. Tanaman karet, mahoni, coklat, menjadi batas-batas kampung. Sungai kecil yang di sepanjang bantarannya dipenuhi dengan tanaman milik para penduduk kampung, menambah asri panorama.

Menurut cerita, perkebunan ini yang sudah ada sejak zaman Belanda, sejak tahun 1800-an. Menurut cerita juga, dusun ini dulu namanya Sukmailang, berubah menjadi Sukamati, dan akhirnya Sukamade. Kata Pak Mukhid, guru SDN Sarongan yang asli putra daerah Sukamade, pada zaman penjajahan dahulu, saat kerja rodi di tempat ini, banyak orang yang hilang, itulah makanya tempat ini dinamakan Sumailang dan Sukamati. Dikatakan juga, tempat ini sebagai kawasan paling angker dan tempatnya raja jin. Pernah terjadi satu kompi KKO hilang, dan ditemukan di Bandealit, daerah pesisir Jember Selatan, setelah 41 hari, dan semuanya dalam keadaan sehat walafiat. Penduduk percaya, mereka disembunyikan oleh para jin. Begitulah cerita itu beredar.  

Semalam, dalam guyuran gerimis, kami berjalan dari rumah Pak Kadis menuju mess perkebunan. Baru saja kami mendengar adzan isya dan lantunan suara anak-anak shalawatan, pada waktu yang hampir bersamaan, kami mendengar lantunan lagu-lagu rohani yang menggema dari arah gereja yang kami lintasi. Saya sempat mengintip dari pintu gereja yang dibiarkan terbuka, tidak lebih dari sepuluh orang di dalamnya, dengan seorang pendeta muda yang ada di mimbar.

Ada sekitar 300 KK di Sukamade, dan sekitar 1000 lebih jiwa. Mayoritas penduduk hidup dari berkebun dan bertani. Mereka tinggal di perkampungan di tengah perkebunan, dan semua kepala keluarga adalah pekerja perkebunan. Selain bekerja di perkebunan, mereka juga bertani di tegalan.

Tegalan mereka menghampar di sepanjang bibir sungai, mereka menyebutnya berem. Sebagai kawasan perkebunan, penduduk tidak diperkenankan memiliki tegalan itu, hanya bisa memanfaatkannya. Hak kepemilikan tanah tegalan tetap ada pada perkebunan.

Penduduk umumnya bekerja pagi sampai malam. Pada pagi hari sampai siang atau sore, mereka bekerja di perkebunan. Sebagian bekerja di sekolah, atau sekedar mengurus rumah. Bila malam tiba, khususnya bila musim tunggu tiba, mereka menunggu tegalan masing-masing. Kacang, kedelai, dan berbagai sayuran, semua disukai babi hutan. Selain babi hutan, monyet, rusa, banteng, semuanya berpotensi mengganggu tanaman. 

Setiap hari, Bu Katminayati misalnya, salah satu guru di SD Sarongan, hanya tidur sekitar dua jam. Pada pagi sampai siang dia mengajar di sekolah, lanjut mengurus rumah, dan malam hari dia menjaga kebun mulai selepas maghrib sampai shubuh. Seperti itulah kegiatan sehari-harinya.

Listrik, sumbernya dari genset yang dimiliki perorangan. Ada empat orang yang memiliki genset. Penduduk membayar kepada  pemilik. Tarifnya per bulan: untuk 1 televisi 14 inchi sebesar Rp.75.000,-, televisi 20 inchi Rp.90.000,-, 1 lampu 10 watt tarifnya Rp.65.000,-. Jadi kalau memakai lebih dari satu lampu, ya tinggal mengalikan saja.

Listrik menjadi barang mahal. Bu Katminayati membayar untuk listrik saja 122 ribu per bulan. Hanya untuk bisa menikmatinya sejak pukul 18.00-23.00 (5 jam), ditambah pagi hari mulai pukul 04.30-05.30 (1,5 jam). 

Suami bu Kat adalah petugas keamanan kebun. Sift kerjanya  per 24 jam. Gajian sebulan dua kali, tanggal 4 dan tanggal 19. Gajinya sebesar Rp.31.000,- per hari. Jadi per bulan sekitar Rp.500.000,-. Anaknya ada tiga, satu mahasiswa Universitas Negeri Jember, dan dua masih sekolah di SMP dan empat tahun. Ditambah dengan gaji Bu Kat sendiri sebagai guru yang dibayar oleh perkebunan dan dari dana BOS sebesar sekitar Rp.600.000,-, mereka memang harus berkebun dan bertani untuk bisa hidup lebih layak. 

Hidup di Sukamade adalah hidup yang tenang tanpa kebisingan. Tanpa polusi, tanpa macet. Tanpa sinyal, kecuali kalau kita mau ke hutan sinyal. Ada denyut kehidupan ekonomi dari perkebunan dan toko-toko kecil serta sesekali deru motor dan mobil offroad. Meski ada pabrik kecil pengolahan karet di kawasan itu, namun aktivitasnya nyaris tak mempengaruhi kemurnian lingkungan di sekelilingnya.

Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 11 Januari 2015

Wassalam,
LN

Senin, 19 Januari 2015

Jogging Silaturahim

Meskipun kemarin Mas Ayik pingsan setelah jogging, pagi ini kami berdua sudah di jalanan lagi. Ya, apa lagi kalau tidak jogging. Tapi saya pastikan Mas Ayik jalan cepat saja, tidak boleh lari-lari. Pelipis kirinya yang diperban nampak bengkak, tapi dia ngeyel mau tetap keluar rumah untuk jogging. Dia merasa sehat, hanya pelipisnya saja yang bermasalah. Dari pada dia keluar rumah sendirian, maka saya temani saja. 

Semalam, lepas Maghrib, saya memboyong Mas Ayik ke Tanggulangin. Tidur di Tanggulangin. Bertiga dengan Arga, anak kami, menemani ibu. Mumpung malam Minggu. Tentu saja ibu panik melihat kondisi Mas Ayik. Tapi setelah kami jelaskan, dan Mas Ayik juga nampak tidak terlalu menderita, ibu tenang. 

Kami menghabiskan malam Minggu dengan mengobrol dan mendengarkan ibu bercerita. Juga menikmati acara televisi. Pokoknya bersantai sesantai-santainya. Tumpukan koreksian sengaja tidak saya bawa, karena saya tidak ingin terbebani dengan pekerjaan itu. Biar full time menikmati kebersamaan dengan keluarga, meski hanya ngobrol dan menghasidkan sup hangat dan ayam goreng bikinan ibu.

Sambil jogging, kami memutuskan untuk sekalian bersilaturahim, mengunjungi Yuni, istri almarhum sahabat kami, Rukin Firda. Sambil menyelam minum air. Dapat keringat, dapat pahala silatirahim. Sehat lahir dan batin. Hehe.

Semalam, Yuni menelepon. Seperti biasa, kami mengobrol saja. Kami memang sering bertelepon, sejak sebelum Mas Rukin pergi. Sekadar saling bertukar kabar. Juga tadi malam, kami mengobrol ringan tentang acara ulang tahun Himapala. Juga tentang pengalaman Yuni di Tanah Suci. Dia bersama ketiga anaknya memang baru pulang umroh beberapa hari yang lalu. Dia menceritakan perjalanan umrohnya, dan bilang kalau dia dan anak-anak ingin kembali lagi ke sana, insyaallah dua atau tiga tahun lagi. 

"Alhamdulilah, Mbak. salah satu amanah Mas Rukin sudah aku tunaikan...." Begitu kata Yuni. 

Jarak rumah kami di Perum TAS 2 tidak terlalu jauh dengan rumah Yuni di Kalitengah, mungkin sekitar dua kilometer. Karena kami sudah terbiasa jogging dengan jarak sekitar tiga sampai lima kilometer sehari, berjalan kaki ke rumah Yuni pulang pergi tidak masalah.

Yuni kaget ketika kami muncul di rumahnya. Seperti biasa, dia memeluk saya erat.
"Yun, aku kemringet, Yun, mari jalan-jalan, wis gak usah cipika-cipiki." Kata saya melepaskan pelukan Yuni. 

Kami mengobrol di ruang tamu. Chacha, anak pertama Yuni dan Mas Rukin, keluar kamar. Dia bersiap-siap mau berangkat kerja.

"Mau ke mana, Cha?" Tanya Mas Ayik.
"Ke car free day, Om."
"Main apa meliput?" Tambah saya.
"Meliput, Tante...."

Chacha mennyalami saya, Mas Ayik, dan mamanya. Pamit kerja. Sampai malam. Dia mewarisi bakat bapaknya, jadi reporter juga. Berangkat pagi pulang malam. Hampir setiap hari seperti itu.

"Ya...gimana lagi, Mbak...papanya dulu yo ngono iku..." Kata Yuni. 

Di ruang tamu itu, nyaris tidak ada yang berubah, tetap seperti saat Mas Rukin masih ada. Juga foto-foto di dinding. Mas Rukin berdua dengan Yuni, Mas Rukin sekeluarga, Mas Rukin berpose di depan mobil offroad.... Hati saya sempat perih melihat gambar-gambar itu. Kesedihan tiba-tiba menyeruak.

"Mas Rukin seneng, Mbak...sampai karo Mas Ayik ndolani aku ngene iki...." Yuni mulai melankolis. Bercerita apa saja saat Mas Rukin masih ada. Tentang sepeda motor, mobil, anak-anak, tugasnya di sekolah, yang semuanya berkaitan dengan Mas Rukin. Laptop Mas Rukin di meja, juga diceritakannya. Dia bilang, sampai sekarang dia belum bisa membuka laptop itu. Setiap mau mulai membuka, dia menangis, teringat betapa benda itu begitu lekat dengan Mas Rukin. Akhirnya sampai saat ini, Yuni belum juga merasa kuat untuk membuka laptop itu. 

"Ndelok foto-foto sampean nang FB, walah Mbak....biyen janjian kate camping nang Banyuwangi karo Mas Rukin gak iso-iso....cutine Mas Ayik karo Mas Rukin gak ketemu-ketemu...." Yuni mulai menangis. Saya menepuk-nepuk punggungnya.

"Hayo, mulai...."

Yuni selalu seperti itu. Menangis setiap kali bercerita tentang Mas Rukin. Selalu menangis saat mengobrol dengan saya, apakah itu di telepon, atau bertemu muka seperti ini. Saya pernah bilang ke dia, "Yun, kalau kamu nangis terus begitu, kamu nanti kurus lho." Dia lantas tertawa, meski tetap sambil nangis.

"Rasanya begitu cepat, Mbak...." Matanya semakin basah.
Saya merangkulnya."Yun, sabar. Kamu harus kuat. Harus tabah. Kamu dibutuhkan anak-anak..."
"Bacakan Fatihan setiap saat untuk Mas Rukin, Yun..." Tambah Mas Ayik.
"Sudah Mas....terus saya bacakan, Mas...."

Saat situasi memungkinkan, kami pamit, setelah menghabiskan air putih yang tadi sempat disiapkan Chacha. Air putih itu tidak hanya sangat segar, namun juga sangat penting untuk menjaga supaya tidak terjadi dehidrasi atau gangguan keseimbangan elektrolit lagi, seperti kemarin. Gangguan yang menyebabkan Mas Ayik pingsan. Mosok kate mbaleni semaput maning....

Yuni mengantar kami. Di depan pintu teras, kami berbincang sebentar dengan tetangga Yuni yang kebetulan sedang ada di depan rumah mereka. Yuni mengenalkan kami sebagai sahabat-sahabat baik Mas Rukin. Dua orang ibu, tetangga Yuni, menyalami dan menyapa kami. Mereka bilang, "Bu Rukin niku nangisan, Bu..."

Saya tertawa. Mengucek-ngucek kepala Yuni. "Inggih, Bu. Niki nangisan ancene. Titip nggih, Bu. Menawi nangis dineng-neng...."

Saya menjelaskan ke ibu-ibu itu, kalau kami bersahabat sejak lama. Yuni adalah adik angkatan saya di PKK dan di Himapala, Mas Rukin teman seangkatan saya di Himapala, dan Mas Ayik kakak angkatan kami di Himapala. Mulek. 

Saya memeluk Yuni erat. Dia nggak mau melepas-lepas. Punggung saya yang basah nggak dipedulikannya. Sebenarnya tidak hanya punggung saya yang basah, hati saya juga kuyup. Rasa kehilangan saya saja begitu dalam, apa lagi Yuni dan anak-anaknya.

Tapi saya yakin, Yuni dan anak-anak bisa menghadapi cobaan ini dengan tabah. Kalau sesekali dia menangis, itu sangat manusiawi. Rasa kehilangan yang sangat membuat air matanya meleleh begitu saja karena dihempas kesedihan. Dia hanya perlu waktu untuk menata kembali perasaannya supaya lebih kuat.

"Wahai Allah, berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang bisa menjauhkan dari perbuatan maksiat kepada-Mu, dan berilah kami rasa taat kepada-Mu yang dapat memasukkan kami ke dalam surga-Mu, dan berikanlah kami keyakinan yang bisa membantu kami menghadapi setiap cobaan-Mu. Amin."


Tanggulangin, 18 Januari 2015

Wassalam,
LN

Minggu, 18 Januari 2015

Jatim Mengajar 2: Terhalang Banjir

Pagi sekitar pukul 05.00. Saya menengok keluar dari jendela kamar tempat kami menginap. Udara bersih tercium dari balik jendela. Hamparan tanaman buah naga, pohon puring, dan aneka bunga-bunga, serta pohon-pohon tinggi yang menjadi latar belakangnya, semua dengan warna aslinya. Sepertinya sayang kalau pagi yang indah ini dilewatkan begitu saja.

Saya dan Mas Ayik bersiap. Mengambil sepatu kets. Kami bermaksud jogging. Bu Lusi masih bermalas-malasan di tempat tidur. Perutnya bermasalah sejak semalam, diare, tidak jelas apa penyebabnya. Mungkin rambutan, mungkin rawon, mungkin ayam pedas, mungkin karena tangannya yang kotor. Menunya dari kemarin sama persis dengan menu saya dan Mas Ayik, tapi alhamdulilah kami baik-baik saja. Sesuai amal dan perbuatannya kali. Hehe...

Eko Sumargo sudah menunggu di depan kamar. Anak muda itu begitu sopan, tidak banyak omong, tapi di balik ketenangannya itu, dia menyimpan keteguhan dan ketekunan yang mengagumkan bagi orang-orang di sekitarnya. Sejak dari Kandangan kemarin, saat berbincang dengan Pak Zam dan bertelepon dengan Pak Ismaini, belasan kali saya mendengar pujian dan kekaguman untuk Eko Sumargo. Ketekunan dan keteguhannya sangat menginspirasi. Dia membuat banyak hal biasa menjadi luar biasa. Menghidupkan masjid, membangunkan perpustakaan dan kecintaan membaca pada anak-anak sekolah, mengenalkan IT, mengajarkan permainana-permainan termasuk permainan-permainan tradisional, mencontohkan kedisiplinan dan tanggung jawab, sekaligus mengembangkan kerelaan untuk berkorban. 

Saat kami datang semalam, Eko sedang bersiap menuju masjid, bersarung, berbaju takwa, berkopiah, begitu bersih dan teduh wajahnya. Wajah bersih dan teduhnya itu spontan berhias senyum berseri saat melihat sosok saya dan Bu Lusi. Dia mendapatkan kejutan yang sangat menggembirakan.
"Bu Luthfi..." Teriaknya, meski saya masih di dalam mobil, dan sedang 'krengkel-krengkel' mencari jalan keluar. 
"Nggak nyangka Bu Luthfi datang ke sini..." Katanya.

Dalam balutan hujan yang tak kunjung henti, di rumah kepala sekolah, saya bertanya pada Eko Sumargo.

"Siapa yang sudah mengunjungimu di sini, Ko?"
"Bapak dan Ibu saya, Bu...."
"Oya?"

Saya membayangkan, bapak dan ibu Eko pasti sudah menangis di tengah perjalanan sebelum mencapai Sukamade. Medan yang begitu berat pasti akan membuat beliau merasa trenyuh dan prihatin dengan tempat tugas anaknya yang ternyata begitu jauh dan terpencil.

"Terus bagaimana komentar bapak ibu kamu, Ko?"
"Ya....kata bapak ibu, hidup itu perjuangan, Le...."

Saya tiba-tiba merasa sangat terharu. Saya menahan diri untuk tidak terbawa dalam keharuan karena merasakan perasaan sebagai orang tua. Seorang ibu yang sedang menghayati sebuah perjuangan anaknya untuk menggapai masa depan. Di sebuah tempat yang jauh dan terisolasi, di perkampungan kecil di tengah-tengah perkebunan yang sepi, tidak ada hiburan, tidak ada sinyal, listrik yang hanya menyala separo hari, dan segala kemudahan yang harus ditinggalkannya. Bergulat dengan anak-anak sekolah, mengajarinya membaca, menulis, dan mencintai kehidupan. Bergulat dengan orang-orang, mengajari mereka bagaimana seharusnya mengemban amanah dan tanggung jawab dengan penuh ketekunan dan keikhlasan.

"Kalau boleh tahu, bapak ibu kerja di mana, Ko?" Lanjut saya.
"Ibu saya jualan sayur di pasar, Bu. Bapak saya ngarit."

Saya semakin terharu. Saya semakin kagum dengan sosok muda itu. Dia benar-benar sedang berjuang. Tidak hanya untuk masa depan dia. Namun juga masa depan keluarganya. Dan juga masa depan anak-anak bangsa di negeri kecil bernama Sukamade ini. 

Hujan deras semalam, membuat jalan-jalan dari penginapan menuju perkampungan basah di mana-mana. Di sepanjang jalan, anak-anak dan orang tua menyapa Eko. Eko membalasnya dengan senyum dan sapaan juga. 

Uniknya, para orang tua di Sukamade ini menggunakan Bahasa Madura, namun anak-anak mereka menggunakan Bahasa Indonesia. Bukan Bahasa Osing, karena mereka tidak berasal dari Suku Osing. Ada sejarah panjang mengapa para orang tua penduduk Sukamade ini berkomunikasi dengan Bahasa Madura. 

SDN 2 Sarongan, ada di tengah perkampungan kecil itu. Bukan sekolah yang jelek. Bangunannya bagus, cukup bagus. Kemarin Pak Zam bercerita kalau tahun yang lalu, dia bersama pak Ismaini, kepala sekolah, berjuang untuk mendapatkan bantuan rehab sekolah. Bupati dan kepala dinas pendidikan Kabupaten Banyuwangi sempat meninjau sekolah, sampai akhirnya bantuan itu diwujudkan. Pembangunan sekolah SD saat ini sudah selesai. Tinggal bangunan sekolah SMP yang masih belum direhab. Dua sekolah itu ada di satu kompleks, dan merupakan sekolah satu atap (satap).

"Pak Eko, mau ke mana?"
Tiba-tiba seseorang menyapa.

Dari sebuah rumah, seseorang mendekat. Diikuti seorang lagi di belakangnya, ternyata Pak Zam. 

"Ini Pak Mukhid, Bu, guru SD Sarongan juga". Kata Eko mengenalkan Pak Mukhid pada kami.

Pak Mukhid adalah pemuda asli Sukamade. Nenek moyangnya berasal dari daerah ini. Dialah sarjana pertama--dan sampai saat ini--satu-satunya sarjana yang dimiliki Sukamade. Sama dengan Pak Zam, dia alumnus Ponpes Blok Agung Darussalam dan IKIP PGRI Jember.  

Pak Mukhid dan Pak Zam mengajak kami menuju sungai, melewati jalan kecil di samping rumahnya. 

"Sungainya meluap, Bu. Banjir," kata Pak Mukhid, dengan logat Maduranya. 
"Lha terus? Kita gimana pulang nanti, Pak?" Tanya saya.
"Ya, kita lihat nanti, Bu."

Benar. Sungai di depan kami airnya penuh, mengalir deras melewati tanggul. Suaranya begemuruh. Sejauh mata memandang, yang ada adalah air dan air. Di depan sana, beberapa orang mencoba menyeberangi sungai yang kemarin kami lewati dengan mobil, dalamnya sekarang sudah mencapai leher orang dewasa. Mobil dan truk sudah tidak mungkin lagi menerobosnya.

Sekitar tiga puluh menit kami berada di sungai. Menyaksikan anak-anak kecil bertelanjang yang ceria bermain air. Mereka begitu tidak peduli. Ada kegundahan yang melingkupi bapak ibu mereka. Hamparan tanaman kebun di sepanjang sungai itu tenggelam. Tumpukan hasil kebun yang kemarin baru dipanen hanyut terbawa air. Bahkan seekor sapi yang diikat di sebuah pohon dekat sungai mati karena tenggelam.

"Kalau sudah seperti ini, sebagian anak sekolah tidak mungkin masuk, Bu. Rumah mereka ada di seberang sungai sana. Mereka nggak mungkin menyeberang. Terlalu berbahaya. Truk saja berhenti, tidak berani meneruskan perjalanan. Menunggu sampai banjir agak surut. Mungkin nanti siang, mungkin besok, mungkin lusa, atau bisa juga seminggu dua minggu lagi." Pak Zam menjelaskan.

Saya termangu-mangu, menyadari bahwa saya tidak sedang di Sumba Timur atau di Papua, namun masalah yang saya lihat hampir sama. Akses jalan yang sangat memprihatinkan, dan menyebabkan terjadinya berbagai masalah, termasuk ancaman kelaparan. Tahun kemarin, akses jalan menuju Sukamade sempat terputus lebih dari dua minggu sementara persediaan makanan menipis. Tanaman kebun habis tersapu banjir dan anak-anak nyaris kelaparan.

Dari sungai, kami kembali ke penginapan. Eko memisahkan diri dan mohon izin untuk bersiap-siap ke sekolah. Ditemani Pak Zam, kami naik mobil masuk ke perkebunan karet, mencari sinyal. Persediaan sinyal ada di bibir sungai, jaraknya sekitar satu kilometer dari penginapan. Beberapa orang sudah ada di sana, dengan tujuan yang sama. 

Di tempat itu, saya mengirim SMS pada Bu Yanti, sahabat saya di PPPG, juga pada Bu Suhartiningsih, Ketua Jurusan saya di PKK.      

"Bu Harti dan Bu Yanti, saat ini saya dan Bu Lusi sedang ada di Sukamade, di tempat yang ada sinyalnya. Jalan yang kemarin kami lewati sekarang terendam banjir. Mobil yang kemarin kami tumpangi tidak bisa lagi menerobos banjir. Kalau banjir agak surut, kami siang nanti pulang setelah dari sekolah, menumpang rakit dan naik sepeda motor. Semoga kondisi memungkinkan dan kami bisa kembali ke Surabaya dengan selamat. Mohon doanya....."  


Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 11 Januari 2015

Wassalam,
LN