Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 18 Januari 2015

Jogging Sampai Pingsan

Pagi ini, seperti biasa, saya jogging bersama Mas Ayik, suami saya. Kali ini, kami jogging di Masjid Agung Al-Akbar Surabaya (MAS). Biasanya kami akan memutari masjib besar itu tiga sampai lima kali, bergantung dari waktu yang tersedia dan semangat yang ada. Saya berjalan cepat, dan mas Ayik berlari-lari kecil.

Beberapa bulan ini, kami memang mengganti kegiatan bersepeda dengan lari-lari dan jalan cepat. Mas Ayik sedang gandrung lari-lari, dan saya mengimbanginya dengan berjalan cepat. Untuk perempuan empat puluh tahun ke atas seperti saya ini, lari-lari sudah tidak disarankan, begitu juga senam aerobik. Yang baik adalah olah raga jalan sehat dan senam yang tidak menggunakan hentakan-hentakan keras. Bersepeda dan renang juga baik.

Saya berhenti pada putaran ketiga. Mas Ayik juga berhenti, terus bertanya: 'wis muter ping piro?" 
"Tiga." Jawab saya sambil menunjukkan tiga jari saya. 
"Aku tak muter pisan maneh yo?"
"Yo. Tak tunggu ning kene yo."

Sementara Mas Ayik melanjutkan lari-lari kecilnya, saya membuka BB. Mulai menulis. Melanjutkan tulisan laporan perjalanan saya ke Banyuwangi, saat monev Jatim Mengajar tempo hari. Di kanan-kiri saya, beberapa perempuan juga sedang duduk-duduk membuka gadget-nya, mungkin menunggu pasangannya masing-masing, seperti saya. 

Di tengah keasyikan saya menulis, tiba-tiba Mas Ayik muncul. Nafasnya ngos-ngosan. Keringatnya bercucuran. 
"Lho, kok cepet muternya?" Tanya saya.
Mas Ayik tidak menjawab. Mengambil air minum.
"Mas, baju muslim untuk laki-laki itu apa namanya?" Tanya saya lagi.
"Gamis," kata Mas Ayik masih dengan nafas ngos-ngosan.
"Bukan, yang kemeja, Mas."
"Emm...takwa, baju takwa."
"Ya, betul."

Baru saja saya mau menulis lagi, tiba-tiba saya merasa ada yang aneh pada Mas Ayik. Dia bersandar di dinding, tapi 'ngedet-ngedet', wajahnya pucat, matanya kosong.

"Ada apa, Mas?" Tanya saya. Mas Ayik suka bercanda, suka ngusilin saya, saya kira itu juga bagian dari candanya dan keusilannya.

Belum sempat saya menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba, dengan begitu cepat, Mas Ayik ambruk, jatuh tertelungkup, terhempas ke aspal kasar. Saya langsung melempar BB saya, dan meraih Mas Ayik yang kejang-kejang. Merangkulnya dan menggerak-gerakkan tubuhnya yang dingin. 

"Astaghfirullah, astaghfirullah, Mas, Mas..... Astaghfirullah.." Saya panik, histeris, berteriak-teriak. "Pak, tolong saya, Pak... Tolong Pak... Bawa kami ke rumah sakit, Pak..." Suara saya meraung-raung. Saya membangunkan Mas Ayik, tubuhnya masih kejang-kejang, darah mengucur deras dari pelipisnya, masuk ke hidung, mengaliri bibirnya, lehernya. Seorang ibu mengulurkan kain dan menutup luka di pelipis Mas Ayik. Saya terus berteriak-teriak minta supaya kami dibawa ke rumah sakit. Dalam pikiran saya hanya satu. Mas Ayik harus segera dibawa ke rumah sakit, segera mendapatkan pertolongan, jangan sampai terlambat, jangan sampai terlambat."

"Tolong, Bapak, tolong kami Bapak..." Saya menghiba-hiba pada mobil yang lewat, keluar dari tempat parkir. Tiga mobil lewat, tak satu pun berhenti. Seorang ibu ikut mondar-mandir mencoba mencari pertolongan. Lantas datang seorang bapak-bapak, kemudian dia meminta petugas MAS untuk membantu. Di tengah kepanikan saya yang semakin memuncak, tiba-tiba saya mendengar suara Mas Ayik. 
"Sudah, Yang, aku nggak papa, sudah, jangan nangis, Yang..."
"Subhanallah, Allahu Akbar, Alhamdulilah..." Saya lega luar biasa mendengar suara Mas Ayik. Tapi saya terus berteriak minta bantuan. "Mas harus dibawa ke rumah sakit. Harus segera dibawa ke dokter." Saya terus mendekap kepala dan tubuhnya. 

Akhirnya datanglah mobil bak terbuka, milik MAS, bersama petugasnya. Supir dan salah satu petugas lagi, membantu Mas Ayik berdiri, menuntunnya masuk ke bak belakang. Saya duduk di sisi Mas Ayik. Terus mendekapnya, mencoba menghentikan pendarahan di pelipisnya. Seorang petugas duduk di depan saya, menenangkan saya. 
"Ke Rumah Sakit Cempaka saja yang Bu? Yang dekat. Biar bapak segera dapat pertolongan."
"Ya, Pak."

Di mobil, darah terus mengucur dari pelipis kiri Mas Ayik. Saya bertanya, "Apa yang sekarang Mas rasakan?"
"Tidak apa-apa."
"Mas tadi itu...." Saya menceritakan kejadian yang tiba-tiba tadi, sambil terus membersihkan darah di muka Mas Ayik.

Begitu sampai rumah sakit, dua petugas dari MAS tadi membantu kami turun. 
"Bu, kami langsung kembali ya, Bu. Nanti motornya di Masjid Agung bisa diambil sewaktu-waktu kalau sudah memungkinkan."
"Pak, lha untuk ongkos mobil ini...?"
"Sudah, tidak usah, tidak apa-apa, yang penting Bapak segera dapat pertolongan".
"Aduh, matur nuwun, nggih, Pak..."

Saya tidak mengulurkan serupiah pun untuk kedua petugas itu. Bukan hanya karena saya uang di kantung saya tidak banyak, namun saya juga sedang menikmati ketulusan kedua orang baik itu, petugas MAS. Saya salut dengan gerak cepat mereka, yang begitu sigap memberi pertolongan, dan tanpa pamrih. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, MAS.

Di rumah sakit, perawat bergerak cepat. Membersihkan luka di pelipis Mas Ayik. 
"Suster, boleh saya cuci saputangan ini di wastafel itu?" Tanya saya.
"Boleh, Bu, silahkan."
"Saya mencuci saputangan yang penuh dengan darah itu. Air cucian merah segar. Saya bilas berkali-kali. Sementara suster sibuk memberisihkan luka, mengukur tekanan darah dan detak jantung, saya sibuk membersihkan kotoran di tangan dan kaki Mas Ayik. Mencoba membuatnya senyaman mungkin. Menyeka keringat di sekujur tubuhnya. Melepas kausnya yang basah kuyup. Dan menelepon Mbak Iyah, penunggu rumah kami, untuk membawakan baju bersih dan sandal jepit. Juga mengambilkan dompet saya di tas di dalam kamar. 

Alhamdulilah, Ya Allah. Akhirnya dokter datang. Dokter yang masih muda dan tampan itu, begitu cekatan namun penuh kelembutan menangani Mas Ayik. Memeriksa luka, membubuhkan cairan merah tua, menyuntikkan obat bius, menjahitnya, dan menutup luka itu dengan perban. Tentu saja dibantu seorang suster yang juga cekatan tapi lembut. Saya menyaksikan semua proses itu dengan cermat. Meski agak ngeri juga melihat daging segar itu ditusuk-tusuk.
"Jahitannya nanti harus diangkatkah, Dok?" Tanya saya.
"Ya, Bu. Harus diangkat." Jawab dokter. "Bu, Bapak lukanya dalam sekali. Bapak perlu suntik antitetanus, agak mahal, tapi harus disuntik."
"Inggih, Dokter, tidak apa-apa." 

Selepas proses penjahitan, dokter duduk di sebelah Mas Ayik. Berbicara pada kami berdua. Menasehati supaya lebih hati-hati kalau jogging. 
"Untuk seusia Bapak, harus ingat, metabolisme tubuh sudah tidak sama lagi ketika Bapak masih muda. Jadi Bapak harus bisa mengatur pola olah raganya. Kalau jogging, sebelum, di antara, dan setelahnya, Bapak harus minum, meskipun tidak haus."

"Dok, yang menyebabkan Bapak kejang-kejang tadi itu apa nggih, Dok?" Saya menyela.

"Bisa karena gulanya drop, bisa karena dehidrasi, bisa karena keseimbangan elektrolit terganggu." Jawab dokter. "Untuk kasus Bapak, kemungkinan karena keseimbangan elektrolit, Bu." 

Sepulang dari rumah sakit, saat Mas Ayik sudah bersih, makan, dan minum obat, saya membuka google dan mencari artikel tentang bagaimana olah raga yang sehat dan tidak menyebabkan dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit. Betul kata dokter tadi. Sebaiknya 30 menit sebelum jogging, lari, dan olah raga di tempat terbuka dengan kelembaban tinggi, kita harus minum. Sekitar 30-45 menit setelah jogging, minum lagi, sambil beristirahat beberapa saat. Kalau mau jogging lagi, waktunya tidak perlu lama, cukup 15-17 menit.

Saya berkali-kali memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena musibah ini ternyata tidak seberat yang saya bayangkan. Mas Ayik kejang-kejang dan pingsan 'hanya' karena kelelahan akibat terjadinya gangguan keseimbangan elektrolit. Bukan karena yang lain. Lukanya insyaallah akan segera sembuh. Dokter tadi bilang, tiga hari lagi lukanya akan dikontrol, dan tiga atau empat hari lagi jahitannya akan diangkat, dan Mas Ayik akan segera pulih kembali.

Ya Allah, berikan kami sekeluarga kesehatan dalam keimanan, keimanan dalam keindahan akhlak, kemenangan yang disertai keberuntungan, rahmat dari sisi-Mu, keselamatan dan pengampunan, serta keridhaan dari sisi-Mu." 

Surabaya, Sabtu, 17 Januari 2015

Wassalam,
LN

Kamis, 15 Januari 2015

Jatim Mengajar 1: Menuju Sukamade, Lupakan Pulau Merah

Minggu pagi, pukul 05.30. Mobil yang kami kendarai menembus jalanan yang masih sepi dan agak berkabut. Suami saya, Mas Ayik, pegang kemudi. Saya di sebelahnya, dan Bu Lucia (Dra. Lucia Tri Pangesthi, M.Pd), duduk di jok tengah. Mas Ayik kebetulan sedang cuti, dan dengan senang hati dia bersedia menemani kami.

Tujuan kami adalah Banyuwangi. Sebenarnya tidak sampai Banyuwangi. Menurut informasi dari berbagai sumber, juga hasil browsing di internet, kami cukup sampai ke Jajag, sebuah kecamatan setelah Kalibaru, sebelum Banyuwangi. Dari sana, Desa Sarongan, tempat tugas Eko Sumargo, peserta Program Jatim Mengajar angkatan kedua, jaraknya jauh lebih dekat dibanding bila dari Kalibaru atau Banyuwangi.  

Eko Sumargo sendiri belum bisa saya hubungi sampai detik ini, sejak dia ditugaskan lima bulan yang lalu. Tidak ada sinyal di tempat tugasnya. Beberapa hari sebelum kami berangkat, saya berusaha untuk kontak dia, hampir setiap hari. Berharap saya mendapatkan keberuntungan, bisa menghubungi dia dan memberi tahu kalau kami akan datang mengunjunginya. Tapi tidak berhasil. Dia mungkin terdampar di kawasan dunia lain, hehe.

Sekitar pukul 12.30 kami memasuki Kecamatan Jajag. Dipandu oleh Mas Yanto, saudara Bu Yanti (Dr. Suryanti, M.Pd, PD 2 PPPG), kami menuju rumah Mas Yanto di Pesanggaran. Bu Yanti memang berasal dari Banyuwangi, sehingga saudaranya banyak tersebar di Kota Blambangan itu. 

Mas Yanto dan Mbak Rini, adalah suami istri yang ramah dan penuh perhatian. Sesuai dengan profesi mereka berdua, perawat dan bidan. Mereka terbiasa merawat dan membidani orang-orang dengan keramahan, kepedulian, termasuk pada tamu-tamu seperti kami ini. 

Kami mengobrol dan berdiskusi tentang rencana perjalanan kami ke SDN 2 Sarongan. Sarongan adalah nama desa. Sekolah itu sendiri ternyata ada di Dusun Sukamade, sekitar empat jam dari Pesanggaran, dengan kondisi medan yang berat. Sukamade, kalau Anda pernah mendengar, merupakan tempat di mana menghampar Kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Ya, yang terkenal dengan penangkaran penyu itu. Di sanalah sekolah yang akan kami tuju. Di tengah perkebunan yang konon sudah ada sejak zaman Belanda.

Mas Yanto bertanya ke sana kemari kepada orang-orang melalui telepon, berkoordinasi untuk mendapatkan informasi tentang rute ke Desa Sarongan, dan bagaimana supaya kami bisa mencapai tempat tersebut. Beliau berdua sudah pernah ke sana, dan tahu betul seperti apa rutenya. Oleh sebab itu Mas Yanto berusaha untuk memastikan perjalanan kami akan aman dan lancar. 

Mas Yanto juga menghubungi seorang guru yang mengajar di SD 2 Sarongan, Pak Zamzuri, kebetulan rumah beliau ada di Kandangan, sebuah dusun di Desa Sarongan. Pak Zamzuri diminta untuk memandu kami menuju Sukamade. Juga menghubungi pemilik Land Rover yang akan kami sewa. Terios kami tak layak untuk menuju ke kawasan yang untuk mencapainya harus melalui medan yang ekstrim itu. 

Akhirnya, setelah mempertimbangkan berbagai hal, menyangkut jarak tempuh, kondisi medan, kendaraan, dan cuaca, diputuskan kami berangkat siang ini juga. Sebenarnya yang kami rencanakan sebelumnya adalah, hari ini kami akan menginap di Pulau Merah, dan saat matahari mulai beranjak menuju peraduan, kami akan berlari-lari kecil di sepanjang pantai. Baru besok paginya menuju Sarongan. Ternyata itu bukan rencana yang tepat. Sama sekali tidak tepat. Jadi, "lupakan Pulau Merah", kata saya pada Bu Lusi dan Mas Ayik.  

Setelah menikmati makan siang dengan menu ayam pedas, salah satu makanan khas Banyuwangi, dan salat Dhuhur Ashar jama' takdim, kami bersiap. Dilepas oleh Mas Yanto dan Mbak Rini, berangkatlah kami pada sekitar pukul 14.30. Meninggalkan keramahan dan kehangatan di rumah besar itu.

Mobil pun melaju, menuju Desa Sarongan. Ternyata untuk menuju ke sana, kami harus memasuki kawasan Perhutani PTP XII. Kami mengisi buku tamu di pos satpam, berfoto-foto sebentar, dan membeli kopi bubuk, namanya Kopi Lanang, di kafe di seberang pos satpam. Hutan rimbun dan hijau, penuh dengan pepohonan: karet, sengon, coklat, kopi, dan tebu. Juga bunga-bunga berdaun merah di sepanjang tepi jalan, kontras dengan warna hijau pepohonan dan warna hitam jalanan. 

Hanya sebentar saja kami berkendara di jalan mulus. Setelahnya adalah jalan makadam. Beberapa kali berpapasan dengan mobii double gardan, mobil-mobil pribadi yang lain, bus wisata, dan sepeda motor. Kalau mereka menuju jalan pulang setelah berwisata di Teluk Hijau (Green Bay), kami baru memulai perjalanan 'wisata' kami.

Sekitar satu jam kemudian, sampailah kami di Dusun Kandangan, Desa Sarongan. Pak Zamzuri sudah menunggu di Balai Desa Kandangan. Sebuah mobil 'Land Rover' (dengan tanda petik), sudah menunggu. 'Land Rover' itu sebenarnya adalah Jeep yang dimodifikasi sedemikian rupa, dengan penampilan serupa Land Rover (jauh sih sebenarnya....hehe). Tapi bagaimana pun, mobil itu lebih cocok untuk mengarungi jalanan menuju Sukamade, dibanding Terios kami, meski Terios kami adalah tipe adventure.

Sekitar pukul 17.00, kami berangkat. Drivernya, Pak Imam. Mas Ayik duduk di sebelahnya. Saya dan bu Lusi di jok tengah, bersama bagasi-bagasi kami. Di belakang, di bak terbuka, pak Zamzuri dan Pak Tajudin. Pak Tajudin, pria berpostur kecil itu, adalah peserta Program Banyuwangi Mengajar, yang tugasnya juga di SD 2 Sarongan. Kebetulan dia baru pulang mudik dari Kalibaru, tempat tinggalnya, dan bisa bersama-sama kami menuju Sukamade.

Pak Zamzuri hampir 5 tahun menjadi guru PNS, sejak 2010. Penempatan pertama langsung di SDN 2 Sarongan. Lulusan dari Pondok Pesantren Blok Agung Darussalam, Kecamatan Tegalsari, Banyuwangi. Lanjut D2 PGSD Universitas Ibrahimi, Genteng. Lanjut lagi S1 BK di IKIP PGRI Jember. Beliau adalah guru kelas. Sudah sertifikasi. 

Perjalanan dari rumah Pak Zamzuri ke Sukamade adalah perjalanan yang penuh goncangan. Kami terlempar-lempar ke kanan-kiri, ke atas-bawah. Juga diwarnai gerimis dan hujan deras. Kami kedinginan. Air hujan masuk ke dalam mobil, tampias di mana-mana. Baju-baju kami sebagian basah. Sekitar dua jam kami mengarungi daratan yang naik turun berkelok-kelok dan berbatu-batu. Batu-batunya besar-besar, 'pating pringis' di sana-sini. Sungguh, ini perjalanan yang cukup menguras adrenalin. Lihatlah jurang-jurang menganga itu. Sedikit saja 'Land Rover' ini selip, bisa fatal akibatnya. Kami jadi ingat rute-rute di Sumba Timur dan daerah-daerah 3T yang lain. Benar apa yang diceritakan Mas Yanto tadi. Untuk mencapai Sukamade, medan yang harus ditempuh tidaklah ringan. Bahkan sangat berat. Saya sendiri tidak menyangka akan menempuh perjalanan dengan medan seberat ini. Ya, karena ini di Banyuwangi gitu lho. Masih di Pulau Jawa. Jawa Timur gitu lho. 

Tapi dalam kondisi apa pun, seperti biasanya, saya selalu mengandalkan pikiran positif. Driver yang memegang kemudi ini, meski perawakannya kecil, dia sudah sangat lihai dan hafal medan. Lagi pula, Allah akan selalu melindungi kami. Kami datang ke Sukamade dengan menempuh perjalanan penuh risiko ini dengan niat baik. Bersilaturahim, itu yang pertama. Melihat kondisi Eko Sumargo, itu yang kedua. Melihat kondisi pendidikan di Sukamade dan berbagai permasalahannya, serta mencoba membantu menyelesaikan permasalahan yang ada. Mempelajari adat dan tradisi masyarakat setempat, mengeratkan persaudaraan dan kecintaan serta kepedulian. Bismillah, insyaallah Tuhan Yang Maha Pengasih akan memudahkan semuanya.

"Pak Zam, kayaknya drivernya tidak terlalu berpengalaman nih." Seloroh saya pada Pak Zam. "Coba lihat. Milih jalan saja nggak becus. Masak dari tadi lewat jalan nggronjal-nggronjal terus."

Pak Imam, driver yang ramah dan sopan itu tertawa. "Mboten wonten dalan alus, Bu...", katanya.

Tiba di Desa Sukamade saat adzan maghrib berkumandang. Eko Sumargo, menyambut kami dengan penuh suka cita dan sangat surprised. Dia tidak menyangka kami akan datang, ya, karena tidak ada kabar apa pun yang dia terima tentang rencana kedatangan kami. Begitu pula, kami juga tidak bisa memberikan kabar apa pun pada dia. Sukamade adalah tempat yang terisolir, tidak ada sinyal, kecuali di sebuah tempat di bibir sungai, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari mess guru, tempat tinggal Eko.

Hujan turun terus dengan deras, dan semakin deras. Kami singgah di rumah Kepala Sekolah. Kebetulan Pak Ismaini, kepala sekolah, dan istrinya, sedang ada di Genteng, menengok saudaranya yang sedang kritis di rumah sakit. Kami hanya bertelepon saat di Kandangan tadi. Kepala sekolah dan istrinya meminta maaf karena tidak bisa menemani kami ke Sukamade.

Kami mandi, salat Maghrib dan Isya' jama' takdim, dan menikmati makan malam. Nasi putih, mi instan, dan telor ceplok. Sementara hujan di luar tak kunjung reda, dan  kami sudah mulai berbincang tentang banjir yang sering membuat air sungai meluap, anak sekolah di seberang sungai tidak bisa ke sekolah, sembako krisis karena akses jalan terputus, dan hasil panen serta tanaman tegalan yang rusak. Kami hanya bisa berharap, semoga semuanya itu tidak terjadi lagi, juga tidak terjadi saat ini, di mana kami sedang berada di sini.

Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 10 Januari 2015

Wassalam,
LN

Senin, 05 Januari 2015

Jawa Timur untuk Pendidikan Daerah Tertinggal

Siang itu, saya sedang berada di ruang kerja, di Kantor Program Pengembangan Profesi Guru (PPPG) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), saat ponsel saya berdering. Sebuah suara yang cukup saya kenal menyapa dari seberang. Saya langsung teringat pada laki-laki jangkung pemilik suara yang ramah itu. Saya mengenalnya lewat sahabat saya, Ibu Sirikit Syah. Waktu itu, kami, PPPG Unesa, membutuhkan satu narasumber untuk materi keterampilan berkomunikasi dan sosio-kultural. Kami biasanya menggandeng Mas Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos, yang sahabat saya dan Bu Sirikit juga, dan telah banyak mendampingi kami melakukan pengiriman, penjemputan, dan pendampingan para peserta Program Jatim Mengajar (JM) dan Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T). Namun karena pada awal Agustus 2014 yang lalu Mas Rukin berpulang akibat kecelakaan lalu lintas di kawasan Bungurasih, saya mencoba meminta bantuan Bu Sirikit untuk menggantikannya. Pengalaman dan wawasan Bu Sirikit sebagai mantan jurnalis, penulis, pelatih menulis, dosen, telah membawanya blusukan ke berbagai wilayah Tanah Air dan memberinya banyak kesempatan untuk berkunjung ke berbagai negara, ditambah dengan latar belakang pendidikannya yaitu Komunikasi, maka tepat sudah. Tetapi, meski pun Bu Sirikit sangat berminat dan ingin memenuhi permohonan kami, ternyata beliau sedang ada kegiatan lain yang tidak bisa beliau tinggalkan. 

Maka akhirnya jadilah kami diperkenalkan dengan sosok itu, Dr. Suparto Wijoyo. Bu Sirikit memastikan, beliau adalah orang yang sangat cocok untuk topik itu. Pak Parto orang yang sangat berpengalaman, kaya wawasan, atraktif, humble, pergaulannya luas dengan segala kalangan, dan senang berjejaring. 

Akhirnya kami mengundang Pak Parto untuk menjadi salah satu instruktur di kegiatan kami. Dan benar. Seperti itulah adanya. Semuanya cocok dengan yang dideskripsikan Bu Sirikit.      

Dan baru saja, orang itu menelepon. Meminta saya bergabung dengan para guru besar dan doktor dari perguruan tinggi lain serta para tokoh masyarakat dan budayawan, untuk membuat tulisan dengan tema "Jawa Timur Regional Champion, Berkompetisi dalam MEA 2015". Pada dasarnya, buku ini akan menjadi semacam antologi di mana salah satu penulisnya adalah Dr. H. Soekarwo, Gubernur Jawa Timur, yang lebih dikenal dengan nama Pakde Karwo itu.

Seketika saya heran, mengapa Pak Parto meminta saya untuk bergabung menulis dalam buku itu. Keheranan saya sangat beralasan. Saya tidak terlalu dekat dengan Pakde Karwo. Saya sekadar mengenalnya sebagai pejabat, sebagai Gubernur. Saya sekadar tahu bahwa beliau berkumis tebal dan kumis itu menambah kewibawaannya. Saya sekadar hafal wajahnya, bukan hanya karena beliau sering muncul di berbagai media, namun juga karena saya beberapa kali berkesempatan bersemuka dengan beliau. Seingat saya, saya pernah 'nggowes' bersama Pakde Karwo di Tuban saat reuni akbar SMA 2, almamater saya. Waktu itu saya berada dalam rombongan para petinggi panitia reuni dan berada dekat dengan Pakde Karwo dan rombongannya. Saya juga pernah cukup dekat--dalam arti jarak--dengan beliau saat Unesa mengadakan jalan sehat dalam rangka Dies Natalis. Saya, yang pasti, sangat mengenal wajah dan penampilan beliau, meski beliau--saya yakin--tidak mengenal saya sama sekali.

Alasan keheranan saya yang lain adalah, saya--maaf kalau harus saya katakan--tidak ada ketertarikan dengan dunia politik. Sekadar tahu informasi, cukuplah bagi saya. Sesekali berdebat dengan kawan dan nyambung, itu sudah. Saya selalu mengambil posisi menghindar bersentuhan dengan apa pun yang berbau politik, kecuali saat pemilu, saya tetap berusaha untuk menjadi warga negara yang baik dengan ikut voting. Meski beberapa kali ada saja orang yang mencoba menyeret saya dalam pusaran politik, saya tak bergeming. Saya tidak muak dengan politik, tapi saya merasa biarlah orang lain yang menggelutinya dan biarkan saya menggeluti urusan lain yang juga penting. Sesuai porsi masing-masing. 

Setidaknya dua alasan itulah yang menyebabkan keheranan saya ketika Pak Parto mengajak saya untuk menulis tentang Pakde Karwo. Dan seperti memahami pertanyaan saya, Pak Parto menjelaskan kenapa beliau mengajak saya bergabung. Pak Parto bilang, beliau sangat terkesan dengan buku saya "Berbagi di Ujung Negeri." Buku itu saya hadiahkan pada beliau sebagai salah satu tanda terima kasih kami saat Prakondisi SM-3T yang lalu, karena beliau telah membantu kegiatan kami. Sebuah buku yang mengisahkan perjalanan saya mengunjungi berbagai pelosok Tanah Air dalam rangka melakukan pendampingan Program SM-3T. Di buku itu, saya mengabarkan tentang betapa memprihatinkannya kondisi pendidikan di daerah Sumba Timur, Talaud, Aceh Singkil, Maluku Barat Daya, dan Mamberamo Raya. Betapa rendah etos kerja guru dan kepala sekolah, betapa minim daya dukung sekolah, orang tua dan masyarakat, dan betapa mereka sangat membutuhkan sentuhan pemerintah dan pihak-pihak yang mau peduli. Kondisi infrastruktur yang sangat mengenaskan, jalan yang tidak layak dan berbahaya, rumah-rumah dan sekolah yang berlantai tanah, air dan bahan makanan yang susah didapat, anak-anak ingusan yang lapar dan kurang gizi, akses layanan kesehatan yang nyaris mustahil, listrik dan sinyal yang tak jelas keberadaannya, dan kondisi lain yang sungguh membuat hati ini menangis dan bertanya-tanya: inikah Indonesiaku? 

Maka saya pun menerima tawaran Pak Parto dengan suka cita. Kenapa tidak? Menulis adalah hal yang menyenangkan bagi saya. Menulis sesuatu yang baru adalah tantangan. Apa lagi tentang seseorang yang menjadi public figure karena jabatan dan sepak terjangnya. Seseorang yang menjadi orang nomor wahid di Jawa Timur ini. Sebuah provinsi yang menjadi barometer nasional tentang kinerja pembangunan di segala bidang. 


Tulisan selanjutnya, nantikan di Buku Antologi bersama Pakde Karwo yak?

Surabaya, 5 Januari 2015
Wassalam,
LN

Minggu, 04 Januari 2015

Catatan Natal

Akhirnya, saya berada di sini. Di ruang besar ini, di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung PPPG lantai 9. Dalam acara merayakan Natal bersama mahasiswa PPG dan PPGT Unesa.

Tentu saja saya tidak sendiri. Ada puluhan mahasiswa, yang hampir semuanya mengenakan busana bernuansa merah. Merekalah mahasiswa PPG dan PPGT Unesa. Juga ada Mas Yoyok dan Dik Ucik, dua teman tim ahli PPPG yang nonmuslim. Ada juga Mbak Ully, kasubag PPPG, yang datang bersama putrinya yang cantik. Mbak Ully dan putrinya Muslim, dan nampaknya hanya kami bertiga yang akan menjadi kelompok minoritas dalam ruangan ini.

Beberapa hari yang lalu, Mbak Ully bertanya ke saya. "Ibu, mohon ibu buat teks sambutan nggih, Bu, untuk acara Natal, biar nanti saya yang membacakan sambutan Ibu. Insyaallah saya bisa datang." 

Sebelum saya menjawab, tiba-tiba Dik Ucik muncul. 
"Dik Ucik natalan besok bisa datang?" Tanya saya.
"Bisa, Mbak. Saya usahakan bisa datang."
"Kalau begitu biar bu Ucik saja, Bu, yang membacakan sambutan Ibu." Tukas Mbak Ully.
"Dibuatkan ya, Mbak, sambutannya..." Tambah Dik Ucik.
"Oke." Saya mengangguk. "Insyaallah."

Setelah percakapan sore itu, saya termenung-menung. Kenapa Mbak Ully men-judge saya tidak akan datang pada acara natalan nanti? Padahal dia sebelumnya bertanya pun tidak. Biasanya dia akan memastikan dulu apakah saya akan hadir atau tidak pada suatu kegiatan mahasiswa atau pada acara apa saja, termasuk rapat. Baru kemudian dia akan mencatat apa-apa yang saya perlukan atau yang harus dipersiapkan untuk keperluan kegiatan atau rapat tersebut. Tapi ini, tiba-tiba saja dia meminta saya membuat konsep sambutan pada acara Natal supaya dia bisa membacakannya nanti bila harus mewakili saya memberi sambutan dan membuka acara.

Besoknya, Mbak Ully datang ke ruangan saya dan menanyakan konsep sambutan itu.  
"Saya belum memutuskan apakah saya bisa datang atau tidak, Mbak Ully." Kata saya.
"Oh iya, Ibu... Maaf. Baik, saya tunggu saja nggih kalau gitu kepastian dari Ibu."

Besoknya, Mbak Ully mengirim SMS. "Ibu, dresscode untuk acara natal besok, warna merah atau hijau."

Saya kembali termenung-menung. Merah atau hijau, itu warna khas Natal. Pohon cemara dengan pita-pita, lampu-lampu, topi, hiasan-hiasan, dan ornamen-ornamen khas yang lain. Dan saya mungkin akan berada di sana. Di antara lilin-lilin kecil. Juga lagu-lagu rohani yang mereka lantunkan. 

Tapi tentu saja saya tidak akan turut serta dalam ritual misa atau kebaktian mereka. Saya mungkin akan duduk di ruangan lain. Atau sekadar menjauh dari kelompok mereka. Menunggu sampai mereka selesai melakukan peribadatannya. Baru bergabung lagi di acara selanjutnya. Atau bahkan saya hanya akan sekadar memberi sambutan, menyampaikan ucapan selamat merayakan Natal, untuk kemudian pamit undur diri dan membiarkan mereka melakukan peribadatannya dengan khidmat.

Saya pun meminta pertimbangan pada Mas Ayik, suami saya. "Mas, apakah sebaiknya aku datang atau tidak?"
"Menurutmu bagaimana?" Mas Ayik balik bertanya.
"Menurutku, sepertinya aku harus datang."
"Ya. Kamu datang saja. Kamu mengayomi semua agama di PPPG itu. Muslim maupun nonmuslim. Sekadar mengucapkan selamat merayakan natal, insyaallah tidak akan merusak aqidah. Niatkan demi kerukunan dan saling menghormati."

Saya masih termenung-menung setelah pembicaraan dengan Mas Ayik itu. Memang benar. Mahasiswa PPG, apa lagi PPGT, sangat heterogen. Tidak sedikit dari mereka yang berasal dari wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani. NTT, Papua, Sulawesi, Maluku, semua ada di PPPG ini. Dan di sini, saya adalah ibu mereka.  

Sejak kecil, saya didoktrin oleh keluarga, juga oleh lingkungan saya, bahwa mengucapkan selamat Natal hukumnya haram. Saya menerima saja waktu itu. Namun semakin ke sini, saya mulai membaca, berpikir, mempertimbangkan, mengamati, dan pada akhirnya, keputusan saya jatuh pada pernyataan, bahwa sekadar mengucapkan selamat  Natal, hanya sekadar demi kerukunan dan toleransi, tidak akan merusak aqidah. Sebagai orang yang ingin lebih memahami, saya juga membaca berbagai tulisan tentang pro-kontra hukum Muslim mengucapkan selamat Natal pada nonmuslim. Dalam proses itu, juga dari hasil diskusi, saya akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa "ucapan selamat Natal boleh dilakukan oleh para muslim, semata-mata dalam konteks sosial kemanusiaan dan pergaulan kemasyarakatan, bukan keagamaan".

Sebuah tulisan Gus Dur yang saya simpan, juga menguatkan keputusan saya. "Menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama."

Gus Dur juga menulis, jika seorang muslim duduk bersama-sama dengan orang lain yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual kebaktian. 

Pada sebuah kesempatan,  Cendekiawan Muslim Salahuddin Wahid (Gus Sholah)juga mengatakan, umat Islam sah-sah saja mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Pasalnya, tidak ada dasar yang melarang Muslim mengucapkan selama Natal. "Mengucapkan selamat Natal adalah bentuk ungkapan saling menghormati antarpemeluk agama."

Menurut Gus Shollah lagi: "Ada yang mengatakan tidak boleh tapi banyak juga yang mengatakan boleh. Biarkan masing-masing mengikuti pendapatnya, intinya ada kebebasan menyikapi sesuatu dan enggak boleh dipaksa." Sebuah pernyataan yang menyejukkan dari seorang Gus Shollah, adik kandung Gus Dur itu. 

Tentu saja tuntunan saya adalah Al-Qur'an dan Hadist, dan panutan saya adalah Rasulullah SAW. Tentu saja, Gus Dur dan Gus Shollah, hanyalah sebagian dari panutan saya yang lain. Bagaimana pun, mereka berdua bukan orang sembarangan, meski sebagaimana manusia biasa, mereka tidaklah selalu sempurna. Namun dalam hal ini, saya sangat sepaham dengan sikap dan perkataan mereka tentang Natal. Sikap dan perkataan yang mustinya sudah mereka kaji secara mendalam dan mendasarkan diri pada tuntunan Al-Quran dan Hadist. Sikap dan perkataan yang memberikan kesejukan bagi kehidupan masyarakat  kita yang sangat plural ini. Sikap dan perkataan yang mengekspresikan kesantunan dan kelembutan hati Muslim yang taat pada ajaran agamanya, Islam, sebagai agama yang rahmatan lil alamin.
  
Dan akhirnya, saya berada di sini. Di ruang besar ini, di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung PPPG lantai 9. Dalam acara merayakan natal bersama mahasiswa PPG dan PPGT Unesa.

Saya pikir, hanya akan ada saya, Mbak Ully dan putrinya, di ruang ini. Saya pikir, tidak akan ada yang lain, khususnya mahasiswa PPG atau PPGT yang muslim, hadir di sini. Ternyata saya salah. Tak berapa lama, datang dua mahasiswa, Taman Walid Romadhon dan Suryadi. Saya agak surprised. Tamam, mahasiswa berjenggot itu, adalah seksi kerohanian di kepengurusan PPG angkatan kedua ini. Dia jebolan UKKI. Aktif sebagai takmir masjid. Sering 'kedapuk' jadi imam pada saat salat berjamaah, dan sering menjadi pemimpin doa dalam berbagai acara.

Dan saat ini, dia ada di sini. Menyalami teman-teman nonmuslimnya. Memberi sambutan, mewakili pengurus mahasiswa PPG, dan mengucapakan: "selamat merayakan Natal, semoga damai dan sejahtera selalu untuk kita semua." 

Dalam sambutan saya, saya berbagi cerita. Ketika suatu ketika, saya dan tim terdampar di pelosok Sumba Timur,  Maluku Barat Daya, dan Papua. Tidak bisa dihindari, saya tidur di rumah bapak camat yang nonmuslim, saya makan malam di rumah bapak pendeta, saya harus berdialog dengan para kepala suku yang entah beragama apa. Begitu banyak kendala di lapangan, transportasi, logistik, bahkan komunikasi, dan para pemuka adat dan gereja itu berada di baris terdepan membantu mengatasi semuanya. "Bagaimana mungkin kita bisa saling melukai, tidakkah kita bisa merasakan, betapa indah sebuah persaudaraan?" Begitu selalu yang saya pikirkan. Menghayati ketulusan mereka, kepedulian mereka, saya seringkali seperti tidak percaya, bagaimana kita bisa bersitegang bahkan saling menumpahkan darah di antara kita, hanya karena hasutan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab? "Jadi, mari kita lebih merekatkan tali persaudaraan, dengan tetap memegang teguh setiap keyakinan dan agama kita masing-masing, namun senantiasa saling menghargai, saling menghormati. Agama apa pun mengajarkan kasih sayang, dan sudah seharusnya kita saling mengasihi dan menyayangi. Selamat merayakan Natal, damai dan sejahtera selalu untuk kita semua." Begitu kata-kata saya menutup sambutan.

Ketika mengucapkan hal itu, saya teringat Gus Ipul (Syaifullah Yusuf, Wakil Gubernur Provinsi Jawa Timur)yang mengucapkan hal yang sama di sebuah stasiun radio. Saya juga teringat pada laporan liputan natal di berbagai stasiun TV dan surat kabar, di mana para Banser NU (Barisan Ansor Serbaguna Nahdhatul Ulama) yang secara sukarela menjaga gereja-gereja untuk memastikan para pemeluk Nasrani aman dan tenang menjalankan ibadah mereka. Bahkan diberitakan, Banser NU adalah organisasi yang paling sibuk saat Natal tiba. Mereka bergerak merapatkan barisan untuk menjaga gereja-gereja dan tempat-tempat di mana pun para umat Kristiani itu melakukan misa. Di Bandung, Surakarta, Bali, NTT, di mana-mana di seluruh Indonesia. Bagi saya pribadi, betapa indahnya menghayati kebersamaan dan kepedulian itu, meski sejatinya ada perbedaan di antara kita. 

Sayang sekali, kami yang Muslim tidak bisa berlama-lama untuk berada di ruangan auditorium ini. Waktu salat maghrib tiba, oleh sebab itu kami harus mohon izin sebelum acara usai. Kami menyalami bapak pendeta, para dosen, dan para panitia, sambil meminta maaf karena tidak bisa bergabung dalam acara selanjutnya.

Begitu keluar dari pintu lift di lantai 1, saya dikejutkan oleh serombongan mahasiswa PPG yang semuanya berpenampilan rapi. Mereka, para muslimin dan muslimat itu, datang untuk menghadiri perayaan Natal bersama teman-temannya di lantai 9. Wajah mereka semua cerah, dan senyum manis tersungging di wajah-wajah itu.

"Kok baru datang?" Sapa saya.
"Ya, Ibu. Kami sekalian menunggu salat maghrib dulu. Supaya lebih leluasa waktu kami untuk bersama teman-teman merayakan Natal."

Subhanallah. Pengalaman hidup di antara kaum nonmuslim dan bahkan kaum tak beragama selama setahun di daerah penugasan saat mengikuti Program SM-3T, ditambah dengan pengalaman bergaul dengan teman-teman mereka dari berbagai suku dan agama di asrama PPG, menjadikan mereka semua lebih terbuka dalam menyikapi perbedaan. Meningkatkan kemampuan untuk menerima dan menghormati keberagaman. Mengembangkan kepedulian dan kesetiakawanan. 

Tidak salahlah apa yang dikatakan ketua panitia dan pembawa acara tadi. Bahwa meski pada saat Natal kali ini mereka jauh dari keluarga, namun mereka merasakan betapa Natal bagi mereka tidak kalah bermakna dan berkesannya. Karena mereka tetap bisa merayakannya bersama 'orang tua' mereka di sini, serta bersama 'saudara-saudara' mereka di sini pula. Dalam kebersamaan itu, mereka belajar untuk saling menghargai, saling menghormati, saling peduli.

Sungguh indah. Mata saya sampai berkaca-kaca menikmati keindahan ini. Dalam balutan senja dan alunan adzan maghrib, saya bertiga, bersama Tamam dan Suryadi, melangkah menuju musala yang terletak di sebuah sudut di lantai 1. Berjamaah menunaikan salat, tentu saja, dengan Tamam sebagai imamnya. Di atas kami, suara mereka riuh rendah, namun tak mampu mengacaukan kekhusukan kami di sini. 

"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS 16: 18).


Surabaya, 27 Desember 2014

Wassalam,
LN

Senin, 29 Desember 2014

Melbourne 4: Hidup adalah Pilihan

Pagi ini, tanggal 4 November 2014, adalah Melbourne Cup Day. Musim festival pacuan kuda, yang menawarkan lebih dari sekadar menonton kuda-kuda berlari. Puluhan ribu warga Melbourne dan warga dari kota-kota lain di Australia datang menyaksikan pertandingan kuda tersebut.
Mereka tampil dengan sangat modis dengan gaun-gaun, jas, dan pakaian tren terkini. 

Penampilan orang-orang yang sangat indah itu kami lihat malam harinya, setelah acara tersebut usai, dan kami mencoba jalan malam untuk melihat kehidupan malam kota Melbourne. Di mana-mana, di sembarang tempat, orang berbusana modis dan eksentrik. Para perempuan lengkap dengan topi-topi lebarnya, blus punggung terbuka, berleher rendah, dan sepatu hak tinggi. Ketika mereka berjalan, sepertinya seluruh anggota tubuh mereka bergoyang.

Mengenai hal ini, saya jadi ingat film-film di TV, yang seringkali memberi tabir atau blur untuk menyamarkan bagian dada atau bagian bawah para perempuan yang terbuka. Di Melbourne ini, asli, mereka semua tidak bertabir. Tidak di-blur. Buka blak. Dan setiap orang bisa melihatnya sepuas hati terutama kalau Anda ingin dinilai telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan..haha. 

Sementara orang-orang modern itu memenuhi arena pacuan kuda, kami lebih memilih tempat lain untuk mengisi waktu. Tempat itu adalah Sovereign Hill dan  State Rose Garden. Tentang kedua tempat ini, saya akan menceritakannya nanti.

Pukul 08.00, kami sudah dijemput Mas Toro, orang Jawa Barat yang sudah menjadi permanet resident (PR) di Melbourne. Dia yang akan membawa kami ke Sovereign Hill dan ke State Rose Garden dengan mobil boss-nya. Dia adalah driver di sebuah perusahaan yang menyewakan mobil, yang kebetulan pemiliknya adalah orang Indonesia juga.

Mas Toro datang pertama kali di Melbourne sekitar tujuh tahun silam. Ditugaskan oleh perusahaannya di Jakarta (Grup Bakri), selama setahun. Selesai tugas, perusahaannya bangkrut, begitu menurutnya, dan dia memutuskan kembali ke Melbourne, demi segala kenyamanan yang sudah diperolehnya di sana selama setahun itu.

Setelah setahun di Melbourne, dia lantas membawa istri dan anaknya. Di awal-awal bulan, anak dan istrinya sempat tidak kerasan, tapi lama-lama kerasan dan justeru tidak mau pulang. Mereka sekeluarga akhirnya menjadi permanent resident (PR), dan segala kenyamanan yang tersedia membuat mereka malas pulang.

"Waktu kita di Bogor, kita susah cari waktu bersama keluarga. Saya berangkat kerja ke Jakarta selepas subuh, pulang sudah malam. Anak sudah tidur, saya sudah capek. Di sini, kami bisa sering bersama. Anak tidak stress di sekolah. Pelajarannya sedikit, lebih banyak seperti main-main. Tidak harus tes saat mau masuk ke high school. Cari uang mudah. Tidak ada macet. Beribadah lebih tenang. Kita juga mendapatkan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan semuanya, yang sama seperti citizen. Bedanya hanya, kita tidak bisa vote ketika pemilu."

"Sekarang, begitu pulang ke Indonesia, anak istri saya sudah merasa tidak kerasan setelah seminggu dua minggu di sana. Di mana-mana macet, mau ke mana-mana susah. Kalau sakit, biayanya mahal." Begitu kata Mas Toro.

Saya coba bertanya, apakah ada kemungkinan dia sekeluarga pindah kewarganegaan. Dia menjawab, untuk saat ini, keinginan itu tidak ada. Dia masih ingin kembali ke Indonesia setelah pensiun nanti. 

Untuk saat ini, seperti itulah rencananya. Tapi tidak tahu bagaimana nanti. Menurut pengamatannya, beberapa orang yang sudah pernah tinggal di Melbourne dan menjadi PR, lantas berencana pulang dan menetap kembali ke Indonesia, banyak yang akhirnya mondar-mandir saja. Beberapa bulan di Indonesia, beberapa bulan kembali lagi ke Australia. 

"Bagaimana pun, subsidi yang diberikan oleh pemerintah Australia bagi para warga yang sudah memasuki usia pensiun, tak peduli dia pegawai pemerintah atau bukan, menjanjikan kehidupan yang lebih aman dan nyaman. Ditambah dengan layanan kesehatan yang jauh lebih baik dan murah. Juga kenyamanan-kenyamanan yang lain."

Saya mendengarkan cerita Mas Toro dengan perasaan seperti ditampar-tampar. Saya bayangkan negara saya tercinta. Tentang jalan-jalannya yang macet, layanan pendidikan dan kesehatan yang mahal dan kadang-kadang kurang manusiawi, minimnya jaminan hari tua bahkan bagi para pegawai negeri sipil, dan sebagainya. Sahabat saya, Tiwik, merasa bersyukur karena saat dia sakit dan memerlukan pengobatan yang serius, dia sedang berada di Australia. Dia mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas kesehatan sekali pun dia bukan PR. Sahabat saya yang lain di Indonesia, dengan sakit yang sama, terpaksa harus membuka tabungan yang sedianya untuk keperluan penting lainnya, agar bisa berobat dan menjalani proses penyembuhan. Sampai-sampai ada ungkapan 'orang miskin dilarang sakit', untuk menggambarkan betapa mahalnya biaya kesehatan di Indonesia.

Belum lagi dalam bidang pendidikan. Haduh. Tak bisa berkata-kata. Cerita Tiwik tentang Adzra dengan berbagai keceriaannya saat di sekolah, dan sekarang ditambah cerita Mas Toro, semakin membuat saya seperti seekor lalat yang berada di pinggir mangkuk dan hanya bisa melihat kelezatan es teler di dalam mangkuk itu. Ngiler.

Iseng-iseng, saya bertanya pada Mbak Silfia.
"Mbak, kalau disuruh memilih, suka tinggal di mana? Di Indonesia apa di Melbourne?"

"Saya saat di Melbourne, di tahun pertama saja suka, Bu. Di Tahun kedua, saya sudah mulai bosan. Semua serba teratur, serba nyaman. Di Indonesia, itulah the real life."

"Tapi, kalau saya ada kesempatan kembali ke sini, mungkin saya akan kembali." Tambahnya.

"Untuk sementara, atau untuk menetap?"

"Kalau ada kesempatan untuk menetap, boleh juga. Mungkin akan saya pertimbangkan."

Saya termangu. Saya membayangkan ibu saya, saudara-saudara saya, tetangga-tetangga saya, kampus saya, mahasiswa-mahasiswa saya, tukang bakso dan tahu campur langganan, nasi pecel, nasi uduk, serabi, laut, gunung....

"Kalau ada kesempatan untuk saya bisa menetap di Melbourne, saya tak akan ambil kesempatan itu. Saya punya banyak hal yang jauh lebih penting dan berarti di Tanah Air, daripada sekadar berbagai kenyamanan di sini." Begitu gumam saya.

"Kalau begitu, Mbak Silfia lebih suka tinggal di Melbourne dong, daripada di Indonesia? Tentu saja kalau ada pilihan itu. Ya kan? Kalau sekarang, kan tidak ada pilihan...." Tukas saya.

Mbak Silfia tertawa. "Bisa jadi ya, Bu?" 

Pilihan. Ya, hidup adalah pilihan. Mana pun yang kita pilih, pasti bergantung pada situasi, kondisi, dan juga harapan serta cara kita memaknai hidup dan kehidupan itu sendiri. Kemudahan, keamanan, kenyamanan yang tersaji di depan kita, ternyata belum tentu membuat kita menjatuhkan pilihan kita pada semuanya itu. 

Tiwik, suatu saat pernah berujar: "Saya ingin cepat selesai, La. Saya pikir, buat apa saya lama-lama di sini. Saya mulai mengurangi aktivitas saya dan lebih fokus pada disertasi. Saya ingin pulang segera, saya ingin Ramadhan nanti, kami semua sudah berpuasa di rumah, di Indonesia."

Padahal Tiwik punya pilihan, dia sekeluarga tidak harus kembali ke Tanah Air kalau mau. Tapi dia memiliki banyak hal yang jauh lebih penting, yang tak akan tergantikan, bahkan oleh berbagai kenyamanan yang akan dia dapatkan dengan tinggal di Melbourne.


Melbourne, 4 November 2014 

Wassalam,
LN

Minggu, 28 Desember 2014

Melbourne 3: VIT dan University of Melbourne

Pagi ini, pukul 08.00 waktu Melbourne, kami semua sudah bersiap melakukan perjalanan kunjungan ke dua institusi. Myki yang akan menemani perjalanan tak lupa kami pastikan sudah berada di tas kami.

Kunjungan pertama adalah ke Victorian Institute of Teaching (VIT). VIT merupakan institusi yang memiliki otoritas untuk melakukan sertifikasi bagi semua guru dan calon guru di Victoria. Dia merupakan badan yang ditunjuk pemerintah.
VIT juga merupakan institusi yang telah diakui oleh Unesco sebagai institusi yang kredibel.

Kami hanya ditemui oleh dua orang, yaitu Fran Cosgrove (Director, Special Projects) dan Keith Woodward (Acting Group Manager, Standars and Professional Learning). Hanya dua orang, namun mereka bekerja dengan begitu efisien. Berbagi tugas dalam presentasi dan diskusi.

Tidak seperti di Tanah Air bila kedatangan tamu, apa lagi tamu dari luar negeri, pada umumnya tidak cukup hanya ditemui berdua saja seperti ini. Begitu juga suguhannya. Tidak seperti kalau kita menjamu tamu, yang hampir selalu dengan suguhan berbagai hidangan relatif lengkap, di sini kami hanya disuguh dua piring biskuit dan berbagai macam minuman hangat, yang kami bisa membuatnya sendiri: teh, kopi, dan coklat.

Diskusi kami berjalan dengan sangat efisien dan gayeng. Apa lagi ada Bu Pratiwi dan Mbak Silfi yang sangat membantu. Saya bertugas mempresentasikan tentang Unesa dan program-program PPG. Kami bertukar pengalaman dalam menyiapkan dan mensertifikasi guru. Ketika melihat program SM-3T, mereka kagum sekaligus menyadari betapa berbeda jauh kondisi Australia dan Indonesia, sehingga diperlukan cara yang berbeda juga dalam penyiapan guru profesional. 

Lepas dari VIT, kami beristirahat di sebuah ruang di University of Melbourne. Ruang khusus mahasiswa yang nyaman, penuh dengan sofa, buku-buku, dan pemanas ruangan. Tiwik telah mengupayakan untuk kami supaya kami bisa sekadar istirahat, minum dan shalat dhuhur. Juga sekaligus untuk menunggu waktu, sampai tiba saatnya kami bergeser ke bagian lain di universitas yang sama, beberapa saat nanti. Bagian tersebut adalah Melbourne Graduate School of Education.  

Seperti hanya di VIT, kami juga hanya ditemui oleh dua orang, yaitu Tim Brabazon (Executive Director) dan asistennya (saya lupa namanya). Suguhannya, air putih. Ya, hanya air putih. Tidak ada temannya. Kendel-kendelan, haha, begitu kata orang Jawa. Tapi kami belajar sesuatu dalam hal ini. Konsumsi tidak terlalu penting bagi orang-orang di sini. Yang penting acara rapi, diskusi bernas, dan target tercapai.

Brabazon menceritakan bagaimana sulitnya mempersiapkan guru yang profesional, guru yang memang memilih profesi guru sebagai pilihan hidupnya, dan bukan karena tidak ada pilihan karir yang lain. Ya, bahkan di Melbourne pun, profesi guru ternyata bukan menjadi pilihan bagi kebanyakan orang. Namun keberadaan institusi yang saat ini dipimpin Babrazon, telah banyak memberikan kontribusi dalam penyiapan guru, termasuk menjadikan profesi ini semakin banyak diminati.

Pada kesempatan ini, kami juga menceritakan bagaimana menyiapkan guru serta meningkatkan kompetensi guru di Tanah Air. Diskusi berjalan cukup gayeng dan sangat mencerahkan. Meski pihak VIT sempat mempertanyakan, bagaimana bisa kami menghasilkan guru dan sekaligus melakukan sertifikasi juga untuk guru? Kami katakan bahwa ke depan, sertifikasi guru tentunya juga akan dilakukan oleh sebuah lembaga khusus secara independen. Tidak lagi 'jeruk makan jeruk'.

Kesempatan mengunjungi dua institusi di Melbourne hari ini benar-benar memberi wawasan baru bagi kami semua. Meskipun mungkin peluang kolaborasi tidaklah mudah, namun setidaknya, berbagi pengalaman best practices antara kedua institusi tersebut dengan Unesa, memberikan semangat baru bagi kami untuk menjadi lebih baik ke depan.  

Hari ini kami cukup mengunjungi dua institusi. Oleh karena masih ada sedikit waktu sebelum hari gelap, maka kami tidak langsung kembali ke hotel, melainkan mampir ke Shaver. Sebuah swalayan yang menjual barang-barang bekas. Hampir semua jenis barang ada, mulai buku, alat-alat makan, alat-alat memasak, alat-alat menukang, baju, aksesoris, mainan anak-anak, selimut, lenan rumah tangga, dan lain-lain. Namun jangan bayangkan barang bekas yang sudah rongsokan. Barang bekas di Melbourne ini kondisinya masih kinyis-kinyis, dan sangat layak pakai. Orang-orang Melbourne begitu konsumtifnya sekaligus begitu modisnya, sehingga mereka enak saja beli ini beli itu dan kalau sudah bosan mereka akan lempar ke toko-toko barang bekas, dan lantas membeli yang baru atau juga yang bekas, dengan sesuka hati.

Malam hari, selepas shalat dan makan malam, kami juga menyempatkan diri ke Uereka Skydeck dan naik ke lantai 88, dengan membayar 25 dollar per orang. Menikmati Melbourne dari ketinggian dan menghayati setiap pengalaman yang sudah kami alami sepanjang hari ini. Pengalaman yang begitu mengesankan, dan sudah seharusnya semakin mempertebal rasa syukur kami atas semua kesempatan yang telah diberikan-Nya.

Melbourne, 3 November 2014

Wassalam,
LN

Selasa, 23 Desember 2014

Sumtim 2: PAUD Amanah

PAUD Amanah. 
Supported by SM-3T. 

Tulisan itu menghiasi sebuah papan nama kecil berwarna dasar kuning. Membelakangi sebuah bangunan berukuran sekitar 4x6 meter yang sebenarnya berfungsi sebagai Posyandu. Sederhana sekali. Ukuran sisi-sisi papan nama itu hanya sekitar 1,20 cm. Namun di balik kesederhanaannya, dia menyimpan sebuah cerita tentang ketangguhan dan kesabaran. 

Kalau ada yang bertanya, adakah sesuatu yang monumental dari program SM-3T di Salura? Maka, papan nama kecil itulah salah satunya. Hanya salah satunya. Karena tentu saja banyak yang telah diukir dan diwariskan oleh para peserta SM-3T sejak angkatan pertama, sejak tahun 2011. Termasuk meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan dan terbangunnya semangat cinta belajar. Terbukti anak-anak semakin hari semakin banyak yang rajin datang ke sekolah. Termasuk di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) di Pulau Salura, yang selalu ramai dipenuhi anak-anak, sejak selepas ashar sampai Isya.

Pulau Salura, satu-satunya pulau di Kabupaten Sumba Timur yang mayoritas penduduknya muslim, merupakan kampung nelayan dengan jumlah KK sekitar 130-an, dan jumlah jiwa sekitar 560-an. Kampung kecil itu seperti penuh sesak oleh anak-anak yang kurang terurus. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga nelayan. Kebanyakan keluarga memiliki anak lebih dari lima, bahkan ada yang belasan. Anak-anak mereka pada umumnya adalah anak-anak usia balita sampai usia sekolah (PAUD sampai SMA). 

Sebelumnya, Pulau Salura hanya memiliki SD saja, kemudian berkembang menjadi sekolah satu atap (satap), SD dan SMP. Bangunan sekolah SD masih sangat sederhana, hanya memilliki tiga ruang kelas, sehingga pembelajaran dilaksanakan dengan sistem kelas rangkap. Guru-gurunya, sebenarnya, ada empat orang yang PNS,  namun mereka jarang sekali datang ke sekolah, termasuk kepala sekolahnya. Guru honorer rata-rata hadir dua orang sehari, dan merekalah yang menangani kelas satu sampai enam.

Kondisi itu sudah jauh lebih baik dibanding saat Panca, satu-satunya peserta SM-3T angkatan pertama (2011), ditugaskan di tempat itu. Pada saat itu, di Salura baru ada SD saja. Tidak ada layanan kesehatan sama sekali atau puskesmas. Tidak ada tenaga medis. Sempat sebelum berangkat ke Salura, saat pelepasan di Gedung Nasional Waingapu, Panca bertanya pada saya.
"Ibu, di Salura, tidak ada puskesmas. Bagaimana kalau saya sakit?"
Saya tidak bisa menjawab, sempat was-was juga, ya, bagaimana kalau Panca sakit?
"Saya baru saja sakit, Ibu, dan masih pada tahap pemulihan." Jelas Panca.
Tapi tiba-tiba saja saya menemukan jawaban yang tepat. "Kamu jangan sakit ya? Kamu harus sehat. Tidak boleh sakit."
Dan berangkatlah Panca naik oto dengan iringan lambaian tangan dan doa saya.

Itu tiga tahun yang lalu. Saat ini, Salura sudah memiliki puskesmas, dan ada seorang bidan desa dan perawat pembantu.

Namun murid-murid di sekolah dasar itu, aduh, sedih melihatnya. Penampilan mereka, maaf, kotor, dengan baju seragam yang juga kotor dan bahkan koyak-moyak, sebuah buku dan pensil. Belum lagi kemampuan baca tulis mereka, sangat memprihatinkan. Saya sempat melihat anak-anak itu belajar dan melihat buku catatan mereka. Benar-benar prihatin sekali melihat kondisi mereka.

Murid-murid SMP, penampilan mereka lebih bersih. Mereka berseragam, pada umumnya cukup rapi. Meski kelas mereka terbatas, hanya dua lokal, dan pembelajaran juga dengan kelas rangkap, tapi mereka mempunyai lab mini, alat-alat olah raga, dan kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Ruang kelas yang hanya ada dua ruang itu, satu kelas untuk kelas 7 dan 8, satu ruang untuk kelas 9, digabung dengan lab mini dan perpustakaan mini.

Kepala sekolah SMP, Bapak Heri, merupakan figur kepala sekolah yang rajin dan penuh komitmen. Dia berasal dari Muncar, Banyuwangi, dan keluarganya sampai saat ini masih tinggal di Pasuruan. Dia tinggal bersama seorang guru bantu (Pak Yanus), dan empat orang guru SM-3T, di mes sekolah yang merangkap menjadi kantor sekolah. 

Mes itu sebenarnya bukan mes sekolah. Dia adalah rumah petak berukuran sekitar 4 x 6 meter, milik penduduk setempat, berdinding kayu dan berlantai tanah. Rumah itu disekat-sekat untuk kamar, dapur, dan ruang multifungsi. Dua orang guru SM-3T perempuan menempati satu kamar, sedang para lelaki menempati ruang multifungsi. Kerja di situ, makan di situ, tidur di situ. Ada sebuah tikar yang digelar, dan di sepanjang dinding kayu rumah itu bertumpuk buku-buku, pakaian, bahan makanan, dan dos-dos entah berisi apa. 

Jadi di rumah kecil itu, ada enam orang penghuni, dua guru perempuan, dan empat guru laki-laki. Sungguh tak terbayangkan bagaimana mereka bisa hidup dalam kondisi semacam itu selama setahun.

Kunjungan saya ke Salura, selain dalam rangka monev SM-3T, juga untuk melihat perkembangan pendidikan di pulau kecil ini. Sekaligus memastikan kondisi anak-anak kami, para peserta SM-3T. Mereka adalah Wahyudi, Nugroho, Pratiwi dan Abidah. Mereka dari prodi Pendidikan Fisika, Pendidikan Bahasa Inggris, dan PAUD.

Kegiatan guru-guru SM-3T itu begitu padat. Meski pun Pratiwi dan Abidah dari Prodi PAUD, mereka tidak hanya mengajar di PAUD yang masuknya setiap hari mulai Senin sampai Jumat. Selesai mengajar di PAUD sekitar pukul 10.00, mereka ikut membantu mengajar di SD sampai pukul 13.00. Setelah itu, lepas ashar, mereka berempat berbagi tugas mengajar mengaji di TPA, dan bersama-sama salat maghrib dan isya berjamaah.

Sore itu, saya ikut bergabung di TPA. Ikut mengajari anak-anak Salura mengaji. Hampir semuanya masih mengenali saya, yang sekitar setahun yang lalu berkunjung di tempat ini. Alhamdulilah, bapak ibu saya mewajibkan saya mengaji setiap hari, dan beliau berdualah guru mengaji saya sejak kecil. Sehingga insyaallah saya layak membantu Abidah dan kawan-kawan mengajari mengaji anak-anak Salura ini. 

Sekitar lima puluh anak itu terbagi dalam dua kelompok. Satu kelompok anak-anak yang mengaji Juz Amma, kelompok lainnya sudah pada level berikutnya. Tapi pada umumnya, anak-anak tingkat lanjut itu mengajinya masih sampai pada surat Al Baqarah. 

Mereka belajar mengaji sejak pukul 17.00 sampai Isya. Jeda untuk salat maghrib dan isya berjamaah. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing, belajar atau langsung tidur. Ditemani debur ombak dan desauan angin laut yang mendesis-desis. Begitulah sampai pagi menjelang, dan semuanya kembali beraktifitas. Para anak ke sekolah, para orang tua ke laut atau mengurus rumah.

Bila musim cumi, anak-anak sekolah banyak yang membolos. Benar. Inilah salah satu kendala pendidikan di daerah-daerah tertinggal pada umumnya. Banyak anak usia sekolah yang drop out karena masalah ekonomi. Atau setidaknya, banyak anak sekolah yang membolos pada saat musim tanam, hari pasar, atau musim panen, termasuk panen cumi seperti di Salura. Masalah ekonomi, memang menjadi salah satu kendala terbesar dalam program pemberantasan buta huruf dan wajib belajar. Kondisi ini diperparah karena kesadaran masyarakat yang masih rendah akan pentingnya pendidikan. Mereka lebih suka anak-anak bekerja dan membantu mencari nafkah untuk keluarga.

Ya, meski kesadaran masyarakat terhadap pendidikan meningkat dengan sangat signifikan, namun kendala-kendala tersebut masih terus dijumpai. Hal ini merupakan salah satu tantangan yang terus dihadapi oleh para guru SM-3T di mana pun berada.

Kembali ke PAUD Amanah. Sekolah itu dirintis oleh peserta SM-3T Unesa. Benar-benar hasil rintisan peserta SM-3T. Mereka menghimpun anak-anak kecil usia PAUD yang berserakan di mana-mana di kampung nelayan itu, mencarikan tempat bagi mereka untuk bermain dan belajar bersama. 

Tentu tidak mudah pada awalnya. Namun dengan kegigihan dan kesabaran, dengan sepenuh upaya mereka mengetuk hati para orang tua, serta meyakinkan para perangkat desa, akhirnya PAUD amanah itu bisa terbentuk. Dirintis oleh Heri Sampurna dan kawan-kawan (angkatan 2012), dilajutkan oleh Kartika Sari dan kawan-kawan (angkatan 2013), dan akhirnya terus belanjut serta semakin jelas wujudnya oleh kehadiran Abidah dan kawan-kawan (angkatan 2014).

Pagi itu, sebelum ke SD dan SMP, saya mengunjungi PAUD Amanah, dan bermain bersama dengan sekitar empat puluh anak-anak polos yang manis-manis itu. Bersama Abidah dan Pratiwi serta tiga orang bunda yang lain. Tiga orang bunda itu adalah para gadis remaja lulusan SMP yang dikader oleh Abidah dan Pratiwi untuk mengelola PAUD Amanah. Dengan demikian, bila tidak ada guru-guru SM-3T, PAUD Amanah tetap bisa hidup dan bahkan bisa lebih maju.

Saat ini, ketika matahari mulai memancarkan kehangatannya, kita tidak lagi melihat anak-anak kecil berkeliaran di kampung nelayan yang ramai itu. Anak-anak ingusan (dalam arti sebenarnya, karena hidung mereka pada umumnya beringus), kotor, kurang terurus, yang bermain pasir atau berlari-lari di sepanjang pantai. Mereka semua saat ini sudah rapi sejak pagi, dan siap berangkau ke sekolah, belajar bersama teman-teman, di bawah bimbingan para bunda, di PAUD Amanah.

Sedang mentari tetap saja memancarkan kehangatannya
Tersenyum menyaksikan celoteh anak-anak kampung yang riang
Mereka berdendang dan menari bersama
Berlomba mengukir mimpi dan berebut meraih bintang 
Oh, indahnya
Gemerlap mata bening itu adalah gemerlap masa depan...

Pulau Salura, 3 Desember 2014

Wassalam,
LN