Pages

Minggu, 18 Januari 2015

Jogging Sampai Pingsan

Pagi ini, seperti biasa, saya jogging bersama Mas Ayik, suami saya. Kali ini, kami jogging di Masjid Agung Al-Akbar Surabaya (MAS). Biasanya kami akan memutari masjib besar itu tiga sampai lima kali, bergantung dari waktu yang tersedia dan semangat yang ada. Saya berjalan cepat, dan mas Ayik berlari-lari kecil.

Beberapa bulan ini, kami memang mengganti kegiatan bersepeda dengan lari-lari dan jalan cepat. Mas Ayik sedang gandrung lari-lari, dan saya mengimbanginya dengan berjalan cepat. Untuk perempuan empat puluh tahun ke atas seperti saya ini, lari-lari sudah tidak disarankan, begitu juga senam aerobik. Yang baik adalah olah raga jalan sehat dan senam yang tidak menggunakan hentakan-hentakan keras. Bersepeda dan renang juga baik.

Saya berhenti pada putaran ketiga. Mas Ayik juga berhenti, terus bertanya: 'wis muter ping piro?" 
"Tiga." Jawab saya sambil menunjukkan tiga jari saya. 
"Aku tak muter pisan maneh yo?"
"Yo. Tak tunggu ning kene yo."

Sementara Mas Ayik melanjutkan lari-lari kecilnya, saya membuka BB. Mulai menulis. Melanjutkan tulisan laporan perjalanan saya ke Banyuwangi, saat monev Jatim Mengajar tempo hari. Di kanan-kiri saya, beberapa perempuan juga sedang duduk-duduk membuka gadget-nya, mungkin menunggu pasangannya masing-masing, seperti saya. 

Di tengah keasyikan saya menulis, tiba-tiba Mas Ayik muncul. Nafasnya ngos-ngosan. Keringatnya bercucuran. 
"Lho, kok cepet muternya?" Tanya saya.
Mas Ayik tidak menjawab. Mengambil air minum.
"Mas, baju muslim untuk laki-laki itu apa namanya?" Tanya saya lagi.
"Gamis," kata Mas Ayik masih dengan nafas ngos-ngosan.
"Bukan, yang kemeja, Mas."
"Emm...takwa, baju takwa."
"Ya, betul."

Baru saja saya mau menulis lagi, tiba-tiba saya merasa ada yang aneh pada Mas Ayik. Dia bersandar di dinding, tapi 'ngedet-ngedet', wajahnya pucat, matanya kosong.

"Ada apa, Mas?" Tanya saya. Mas Ayik suka bercanda, suka ngusilin saya, saya kira itu juga bagian dari candanya dan keusilannya.

Belum sempat saya menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba, dengan begitu cepat, Mas Ayik ambruk, jatuh tertelungkup, terhempas ke aspal kasar. Saya langsung melempar BB saya, dan meraih Mas Ayik yang kejang-kejang. Merangkulnya dan menggerak-gerakkan tubuhnya yang dingin. 

"Astaghfirullah, astaghfirullah, Mas, Mas..... Astaghfirullah.." Saya panik, histeris, berteriak-teriak. "Pak, tolong saya, Pak... Tolong Pak... Bawa kami ke rumah sakit, Pak..." Suara saya meraung-raung. Saya membangunkan Mas Ayik, tubuhnya masih kejang-kejang, darah mengucur deras dari pelipisnya, masuk ke hidung, mengaliri bibirnya, lehernya. Seorang ibu mengulurkan kain dan menutup luka di pelipis Mas Ayik. Saya terus berteriak-teriak minta supaya kami dibawa ke rumah sakit. Dalam pikiran saya hanya satu. Mas Ayik harus segera dibawa ke rumah sakit, segera mendapatkan pertolongan, jangan sampai terlambat, jangan sampai terlambat."

"Tolong, Bapak, tolong kami Bapak..." Saya menghiba-hiba pada mobil yang lewat, keluar dari tempat parkir. Tiga mobil lewat, tak satu pun berhenti. Seorang ibu ikut mondar-mandir mencoba mencari pertolongan. Lantas datang seorang bapak-bapak, kemudian dia meminta petugas MAS untuk membantu. Di tengah kepanikan saya yang semakin memuncak, tiba-tiba saya mendengar suara Mas Ayik. 
"Sudah, Yang, aku nggak papa, sudah, jangan nangis, Yang..."
"Subhanallah, Allahu Akbar, Alhamdulilah..." Saya lega luar biasa mendengar suara Mas Ayik. Tapi saya terus berteriak minta bantuan. "Mas harus dibawa ke rumah sakit. Harus segera dibawa ke dokter." Saya terus mendekap kepala dan tubuhnya. 

Akhirnya datanglah mobil bak terbuka, milik MAS, bersama petugasnya. Supir dan salah satu petugas lagi, membantu Mas Ayik berdiri, menuntunnya masuk ke bak belakang. Saya duduk di sisi Mas Ayik. Terus mendekapnya, mencoba menghentikan pendarahan di pelipisnya. Seorang petugas duduk di depan saya, menenangkan saya. 
"Ke Rumah Sakit Cempaka saja yang Bu? Yang dekat. Biar bapak segera dapat pertolongan."
"Ya, Pak."

Di mobil, darah terus mengucur dari pelipis kiri Mas Ayik. Saya bertanya, "Apa yang sekarang Mas rasakan?"
"Tidak apa-apa."
"Mas tadi itu...." Saya menceritakan kejadian yang tiba-tiba tadi, sambil terus membersihkan darah di muka Mas Ayik.

Begitu sampai rumah sakit, dua petugas dari MAS tadi membantu kami turun. 
"Bu, kami langsung kembali ya, Bu. Nanti motornya di Masjid Agung bisa diambil sewaktu-waktu kalau sudah memungkinkan."
"Pak, lha untuk ongkos mobil ini...?"
"Sudah, tidak usah, tidak apa-apa, yang penting Bapak segera dapat pertolongan".
"Aduh, matur nuwun, nggih, Pak..."

Saya tidak mengulurkan serupiah pun untuk kedua petugas itu. Bukan hanya karena saya uang di kantung saya tidak banyak, namun saya juga sedang menikmati ketulusan kedua orang baik itu, petugas MAS. Saya salut dengan gerak cepat mereka, yang begitu sigap memberi pertolongan, dan tanpa pamrih. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, MAS.

Di rumah sakit, perawat bergerak cepat. Membersihkan luka di pelipis Mas Ayik. 
"Suster, boleh saya cuci saputangan ini di wastafel itu?" Tanya saya.
"Boleh, Bu, silahkan."
"Saya mencuci saputangan yang penuh dengan darah itu. Air cucian merah segar. Saya bilas berkali-kali. Sementara suster sibuk memberisihkan luka, mengukur tekanan darah dan detak jantung, saya sibuk membersihkan kotoran di tangan dan kaki Mas Ayik. Mencoba membuatnya senyaman mungkin. Menyeka keringat di sekujur tubuhnya. Melepas kausnya yang basah kuyup. Dan menelepon Mbak Iyah, penunggu rumah kami, untuk membawakan baju bersih dan sandal jepit. Juga mengambilkan dompet saya di tas di dalam kamar. 

Alhamdulilah, Ya Allah. Akhirnya dokter datang. Dokter yang masih muda dan tampan itu, begitu cekatan namun penuh kelembutan menangani Mas Ayik. Memeriksa luka, membubuhkan cairan merah tua, menyuntikkan obat bius, menjahitnya, dan menutup luka itu dengan perban. Tentu saja dibantu seorang suster yang juga cekatan tapi lembut. Saya menyaksikan semua proses itu dengan cermat. Meski agak ngeri juga melihat daging segar itu ditusuk-tusuk.
"Jahitannya nanti harus diangkatkah, Dok?" Tanya saya.
"Ya, Bu. Harus diangkat." Jawab dokter. "Bu, Bapak lukanya dalam sekali. Bapak perlu suntik antitetanus, agak mahal, tapi harus disuntik."
"Inggih, Dokter, tidak apa-apa." 

Selepas proses penjahitan, dokter duduk di sebelah Mas Ayik. Berbicara pada kami berdua. Menasehati supaya lebih hati-hati kalau jogging. 
"Untuk seusia Bapak, harus ingat, metabolisme tubuh sudah tidak sama lagi ketika Bapak masih muda. Jadi Bapak harus bisa mengatur pola olah raganya. Kalau jogging, sebelum, di antara, dan setelahnya, Bapak harus minum, meskipun tidak haus."

"Dok, yang menyebabkan Bapak kejang-kejang tadi itu apa nggih, Dok?" Saya menyela.

"Bisa karena gulanya drop, bisa karena dehidrasi, bisa karena keseimbangan elektrolit terganggu." Jawab dokter. "Untuk kasus Bapak, kemungkinan karena keseimbangan elektrolit, Bu." 

Sepulang dari rumah sakit, saat Mas Ayik sudah bersih, makan, dan minum obat, saya membuka google dan mencari artikel tentang bagaimana olah raga yang sehat dan tidak menyebabkan dehidrasi serta gangguan keseimbangan elektrolit. Betul kata dokter tadi. Sebaiknya 30 menit sebelum jogging, lari, dan olah raga di tempat terbuka dengan kelembaban tinggi, kita harus minum. Sekitar 30-45 menit setelah jogging, minum lagi, sambil beristirahat beberapa saat. Kalau mau jogging lagi, waktunya tidak perlu lama, cukup 15-17 menit.

Saya berkali-kali memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena musibah ini ternyata tidak seberat yang saya bayangkan. Mas Ayik kejang-kejang dan pingsan 'hanya' karena kelelahan akibat terjadinya gangguan keseimbangan elektrolit. Bukan karena yang lain. Lukanya insyaallah akan segera sembuh. Dokter tadi bilang, tiga hari lagi lukanya akan dikontrol, dan tiga atau empat hari lagi jahitannya akan diangkat, dan Mas Ayik akan segera pulih kembali.

Ya Allah, berikan kami sekeluarga kesehatan dalam keimanan, keimanan dalam keindahan akhlak, kemenangan yang disertai keberuntungan, rahmat dari sisi-Mu, keselamatan dan pengampunan, serta keridhaan dari sisi-Mu." 

Surabaya, Sabtu, 17 Januari 2015

Wassalam,
LN

2 komentar

Unknown 20 Januari 2015 pukul 00.58

Semoga selalu diberi kesehatan, Bapak dan Bu sekeluarga .... Aamiin

Purple Rose 20 Januari 2015 pukul 07.02

wahh.. dulu waktu di himapala, diajari sama seneor kalau batasan lelah waktu latihan fisik adalah pingsan. tapi kalau sudah usia lanjut beda lagi ya mbak ? heheheh... cepat sembuh mas Ayik.. (share my blog http://purplezon.blogspot.com ..^_^)

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...