Pages

Senin, 05 Januari 2015

Jawa Timur untuk Pendidikan Daerah Tertinggal

Siang itu, saya sedang berada di ruang kerja, di Kantor Program Pengembangan Profesi Guru (PPPG) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), saat ponsel saya berdering. Sebuah suara yang cukup saya kenal menyapa dari seberang. Saya langsung teringat pada laki-laki jangkung pemilik suara yang ramah itu. Saya mengenalnya lewat sahabat saya, Ibu Sirikit Syah. Waktu itu, kami, PPPG Unesa, membutuhkan satu narasumber untuk materi keterampilan berkomunikasi dan sosio-kultural. Kami biasanya menggandeng Mas Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos, yang sahabat saya dan Bu Sirikit juga, dan telah banyak mendampingi kami melakukan pengiriman, penjemputan, dan pendampingan para peserta Program Jatim Mengajar (JM) dan Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T). Namun karena pada awal Agustus 2014 yang lalu Mas Rukin berpulang akibat kecelakaan lalu lintas di kawasan Bungurasih, saya mencoba meminta bantuan Bu Sirikit untuk menggantikannya. Pengalaman dan wawasan Bu Sirikit sebagai mantan jurnalis, penulis, pelatih menulis, dosen, telah membawanya blusukan ke berbagai wilayah Tanah Air dan memberinya banyak kesempatan untuk berkunjung ke berbagai negara, ditambah dengan latar belakang pendidikannya yaitu Komunikasi, maka tepat sudah. Tetapi, meski pun Bu Sirikit sangat berminat dan ingin memenuhi permohonan kami, ternyata beliau sedang ada kegiatan lain yang tidak bisa beliau tinggalkan. 

Maka akhirnya jadilah kami diperkenalkan dengan sosok itu, Dr. Suparto Wijoyo. Bu Sirikit memastikan, beliau adalah orang yang sangat cocok untuk topik itu. Pak Parto orang yang sangat berpengalaman, kaya wawasan, atraktif, humble, pergaulannya luas dengan segala kalangan, dan senang berjejaring. 

Akhirnya kami mengundang Pak Parto untuk menjadi salah satu instruktur di kegiatan kami. Dan benar. Seperti itulah adanya. Semuanya cocok dengan yang dideskripsikan Bu Sirikit.      

Dan baru saja, orang itu menelepon. Meminta saya bergabung dengan para guru besar dan doktor dari perguruan tinggi lain serta para tokoh masyarakat dan budayawan, untuk membuat tulisan dengan tema "Jawa Timur Regional Champion, Berkompetisi dalam MEA 2015". Pada dasarnya, buku ini akan menjadi semacam antologi di mana salah satu penulisnya adalah Dr. H. Soekarwo, Gubernur Jawa Timur, yang lebih dikenal dengan nama Pakde Karwo itu.

Seketika saya heran, mengapa Pak Parto meminta saya untuk bergabung menulis dalam buku itu. Keheranan saya sangat beralasan. Saya tidak terlalu dekat dengan Pakde Karwo. Saya sekadar mengenalnya sebagai pejabat, sebagai Gubernur. Saya sekadar tahu bahwa beliau berkumis tebal dan kumis itu menambah kewibawaannya. Saya sekadar hafal wajahnya, bukan hanya karena beliau sering muncul di berbagai media, namun juga karena saya beberapa kali berkesempatan bersemuka dengan beliau. Seingat saya, saya pernah 'nggowes' bersama Pakde Karwo di Tuban saat reuni akbar SMA 2, almamater saya. Waktu itu saya berada dalam rombongan para petinggi panitia reuni dan berada dekat dengan Pakde Karwo dan rombongannya. Saya juga pernah cukup dekat--dalam arti jarak--dengan beliau saat Unesa mengadakan jalan sehat dalam rangka Dies Natalis. Saya, yang pasti, sangat mengenal wajah dan penampilan beliau, meski beliau--saya yakin--tidak mengenal saya sama sekali.

Alasan keheranan saya yang lain adalah, saya--maaf kalau harus saya katakan--tidak ada ketertarikan dengan dunia politik. Sekadar tahu informasi, cukuplah bagi saya. Sesekali berdebat dengan kawan dan nyambung, itu sudah. Saya selalu mengambil posisi menghindar bersentuhan dengan apa pun yang berbau politik, kecuali saat pemilu, saya tetap berusaha untuk menjadi warga negara yang baik dengan ikut voting. Meski beberapa kali ada saja orang yang mencoba menyeret saya dalam pusaran politik, saya tak bergeming. Saya tidak muak dengan politik, tapi saya merasa biarlah orang lain yang menggelutinya dan biarkan saya menggeluti urusan lain yang juga penting. Sesuai porsi masing-masing. 

Setidaknya dua alasan itulah yang menyebabkan keheranan saya ketika Pak Parto mengajak saya untuk menulis tentang Pakde Karwo. Dan seperti memahami pertanyaan saya, Pak Parto menjelaskan kenapa beliau mengajak saya bergabung. Pak Parto bilang, beliau sangat terkesan dengan buku saya "Berbagi di Ujung Negeri." Buku itu saya hadiahkan pada beliau sebagai salah satu tanda terima kasih kami saat Prakondisi SM-3T yang lalu, karena beliau telah membantu kegiatan kami. Sebuah buku yang mengisahkan perjalanan saya mengunjungi berbagai pelosok Tanah Air dalam rangka melakukan pendampingan Program SM-3T. Di buku itu, saya mengabarkan tentang betapa memprihatinkannya kondisi pendidikan di daerah Sumba Timur, Talaud, Aceh Singkil, Maluku Barat Daya, dan Mamberamo Raya. Betapa rendah etos kerja guru dan kepala sekolah, betapa minim daya dukung sekolah, orang tua dan masyarakat, dan betapa mereka sangat membutuhkan sentuhan pemerintah dan pihak-pihak yang mau peduli. Kondisi infrastruktur yang sangat mengenaskan, jalan yang tidak layak dan berbahaya, rumah-rumah dan sekolah yang berlantai tanah, air dan bahan makanan yang susah didapat, anak-anak ingusan yang lapar dan kurang gizi, akses layanan kesehatan yang nyaris mustahil, listrik dan sinyal yang tak jelas keberadaannya, dan kondisi lain yang sungguh membuat hati ini menangis dan bertanya-tanya: inikah Indonesiaku? 

Maka saya pun menerima tawaran Pak Parto dengan suka cita. Kenapa tidak? Menulis adalah hal yang menyenangkan bagi saya. Menulis sesuatu yang baru adalah tantangan. Apa lagi tentang seseorang yang menjadi public figure karena jabatan dan sepak terjangnya. Seseorang yang menjadi orang nomor wahid di Jawa Timur ini. Sebuah provinsi yang menjadi barometer nasional tentang kinerja pembangunan di segala bidang. 


Tulisan selanjutnya, nantikan di Buku Antologi bersama Pakde Karwo yak?

Surabaya, 5 Januari 2015
Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...