Ibu mertua saya, Hj. Sri Lestari (almarhumah), adalah praktisi zero waste. Membaca postingan Bunda Aryani Widagdo tentang zero waste, mengingatkan saya pada Ibu Mertua, yang notabene adalah Ibundanya Mas Ayik Baskoro Adjie .
Ibu adalah sosok yang rajin dan irit. Kalau ada tempe dan tahu goreng yang disajikan untuk makan malam dan tidak habis, paginya sudah jadi oseng tahu tempe yang lezat. Ibu biasa menyajikan oblok-oblok atau blendrang yang meskipun mungkin gizinya sudah banyak hilang, namun rasanya enak sekali. Jenis hidangan seperti sambel tumpang, bothok, rempah (gorengan yang dibuat dari kelapa parut), telur atau ikan bumbu bali, abon, bahkan es buah atau jus buah, seringkali merupakan hasil rekayasa zero waste.
Kalau sudah begitu, Bapak Mertua dan kami semua biasa berkomentar, “modif, modif. Gak montor tok sing dimodif." Ibu tertawa saja dan kami menikmati hidangan hasil modifikasi itu dengan nikmat.
Ibu selalu ngopeni dengan baik hidangan-hidangan yang tidak habis dan menyulapnya menjadi hidangan lain yang lezatnya tak terbantahkan. Kami tidak pernah khawatirkan kelayakan dari setiap hidangan yang dimasak Ibu, termasuk hidangan hasil modifikasi.
Untuk urusan pemanfaatan bahan makanan pun, Ibu sangat cermat. Misalnya kalau bikin udang goreng, maka kepala udang akan disisihkan, dihaluskan dan menjadi bahan tambahan untuk membuat kekian, bakwan sayur, atau dadar jagung. Tidak ada yang terbuang. Belakangan saya tahu dari info Jeng Widowati Budijastuti , kalau cangkag udang itu bermanfaat untuk kesehatan. Menurut yang saya baca, cangkang udang merupakan sumber kalsium, mineral seperti magnesium, potasium, fosfor, dan juga mengandung protein.
Begitu juga dengan bahan makanan yang lain, Ibu berusaha sesedikit mungkin menyisakan sampah. Namun memang Ibu tidak memiliki pengolahan sampah, misalnya untuk menjadi kompos. Sampah bahan makanan biasanya diwadahi kantung plastik dan dibuang di tempat sampah di depan rumah. Oya, tapi sampah berupa kulit bawang merah dan bawang putih, seringkali Ibu kumpulkan untuk membuat telur pindang. Telur yang direbus dengan kulit bawang dan jambu biji akan menjadi telur rebus yang berwarna coklat dan berpola.
Tidak hanya dalam urusan makanan. Ibu yang hobi menjahit, hampir selalu membuat baju-bajunya sendiri. Mulai menggambar desain, membuat pola, memotong, menjahit, dan seterusnya, dilakukannya sendiri. Daster, kebaya, atasan, terusan, rok, selendang, kerudung, piyama, yang memenuhi lemari pakaian Ibu, hampir semua adalah hasil karya sendiri. Ibu juga suka membuatkan kami semua, anak cucunya, baju-baju yang diberi sulaman nama masing-masing. Banyak sekali hasil karya ibu, termasuk lenan-lenan.
Bagaimanakah Ibu memperlakukan sisa kain? Nah, disinilah kepiawaian Ibu nampak sekali. Semua kain sisa jahitan dikumpulkan Ibu, diwadahi dalam sebuah keranjang besar. Ibu mengisi waktu senggangnya dengan menjahit kain-kain perca itu menjadi berbagai macam lenan dan bahkan juga baju dan piyama. Ada sprei, taplak meja, keset, sarung bantal, tutup kulkas, dan pernak-pernik yang lain. Tatakan gelas, tatakan mangkok penghidang, tudung saji, cempal, celemek, hampir semua sudah dibuat Ibu.
Ibu berpulang pada 2018. Sebagian barang hasil karya Ibu saat ini sudah tidak ada lagi, sudah rusak karena dimanfaatkan. Tidak terpikir oleh kami saat itu untuk setidaknya menyisihkan sekadar sebagai kenang-kenangan. Tapi masih ada cukup banyak peninggalan Ibu yang menjadi bukti betapa Ibu adalah sosok yang tidak mau diam, kreatif, dan inspiratif.
Di rumah kami, ada sprei, taplak, dan beberapa lenan hasil karya Ibu yang kami pasang dengan penuh rasa bangga. Lenan-lenan itu adalah hasil karya berwawasan zero waste. Sebagian sudah berubah warna atau aus dimakan usia. Namun melihatnya, senantiasa mengingatkan kami semua pada cinta dan kasih sayang Ibu.
Memanfaatkan hasil karya Ibu insyaallah menjadi amal jariyah Ibu, yang pahalanya terus mengalir. Amiin ya Rabb.