Akhirnya, speedboat kami merapat di sebuah dermaga kecil tak bernama. Setelah sekitar empat puluh menit kami mengarungi laut dari Pulau Banyak. Meninggalkan Pulau Balai dengan segala hiruk pikuknya.
Benar-benar hiruk pikuk. Sejak kemarin pagi saat kedatangan kami, kami sudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang hampir selalu dipenuhi manusia. Bahkan penginapan kami pun ramai sekali. Ada banyak orang luar Pulau Balai yang menginap. Kebetulan kemarin itu bersamaan dengan kedatangan wakil bupati dan kepala dinas pariwisata beserta puluhan atau bahkan ratusan kru dinas, termasuk para duta wisatanya. Juga ada lomba memancing dan acara-acara lain. Mereka semua sedang menggelar satu kegiatan semacam promosi wisata, dan salah satu obyek wisatanya adalah Pulau Banyak. Jadilah Pulau Balai yang kecil itu, yang pada dasarnya sudah ramai, semakin ramai dipenuhi rombongan wakil bupati, dinas pariwisata, dan dinas pendidikan.
Semalam pun, kami sempat disuguhi acara penyambutan yang memamerkan berbagai macam kreasi seni, kebanyakan tari, yang ditampilkan anak-anak sekolah mulai tingkat PAUD sampai SMA. Dalam guyuran hujan yang cukup deras, acara itu berlangsung sangat meriah di dekat pantai. Kalau dituruti, kami bisa sampai pagi berada di sana, di antara masyarakat yang bergantian menyanyikan lagu-lagu dangdut sambil berjoget. Tapi begitu acara untuk para orang dewasa itu akan dimulai, saya memohon izin kepala dinas untuk undur diri, dan ternyata beliau juga malah ikut undur diri. Ya, besok masih ada perjalanan panjang yang harus kami tempuh, dan cukuplah romantika Pulau Balai ini kami nikmati.
Saat ini, setelah sekitar satu jam tadi pagi kami berbincang dengan para guru SM-3T, kami sudah berada di sini. Di sebuah pulau yang bernama Pulau Banyak Barat (PBB).
Di pulau ini, ada satu alumni PPG SM-3T Unesa yang namanya dikenal sebagai Alfi Haloban. Haloban adalah nama salah satu desa di pulau ini, tempat tinggal Alfi.
Kami akan mengunjungi beberapa sekolah di sini. Selain mengunjungi sekolah-sekolah, kami--maksudnya saya--juga akan mengunjungi Alfi. Menemui ibu dan adiknya. Ayah Alfi sudah tiada.
Sebagaimana kegemaran saya bila pergi ke mana pun, saya berusaha untuk selalu menyempatkan bersilaturahim ke rumah saudara, mahasiswa, atau teman. Rasanya bahagia sekali bila bertemu banyak saudara di tempat yang jauh semacam ini.
Haloban panas meski pagi belum lagi berajak siang. Panasnya menyengat sampai menyakiti kulit. Kami berkunjung dari satu sekolah ke sekolah lain, mulai dari PAUD, SD, SMP, dan SMA. Kami melihat betapa guru-guru SM-3T itu begitu dicintai siswa-siswanya, dan disayang guru-guru serta masyarakat setempat. Meskipun memang selalu saja ada hal-hal yang tidak mengenakkan hati, seperti guru setempat yang malas, guru yang tidak peduli, namun pada umumnya, hal-hal tersebut tidak menghambat para guru muda itu untuk melaksanakan tugas mengabdinya secara optimal.
Di Pulau Banyak Barat ini, kami menemukan satu sekolah yang sangat amat memprihatinkan. Sekolah yang pintu-pintunya hancur, papan tulisnya bolong, kursi siswa seadanya, papan penyekat kelas tidak utuh, dan tanpa ruang guru. 'Ruang guru' ada di halaman depan sekolah, jauh dari bangunan sekolah. Ruang guru yang lebih tepat disebut warung kopi, malah lebih baik warung kopi. Sedih saya melihat itu semua. Sampai seperti tak bisa berkata-kata. Entah siapa yang salah dengan keadaan ini. Tapi kalau saya jadi kepala sekolahnya, saya pasti akan sulap sekolah ini menjadi lebih layak. Toh ada dana BOS yang sebagian dananya bisa dimanfaatkan untuk perbaikan sarana sekolah. Ada orang tua dan masyarakat sekitar yang sangat mungkin bersedia membantu asal kita pandai melakukan pendekatan. Ada kepala dinas dan jajarannya yang saya yakin tak setega itu melihat sekolah yang hancur berantakan macam ini. Kuncinya, menurut saya, adalah kreativitas dan komitmen pimpinan sekolah. Pengalaman menunjukkan, sekolah-sekolah yang maju dan unggul, kunci utamanya ada pada kepala sekolah. Kepala sekolahlah yang membangun komitmen guru dan seluruh warga sekolah bahkan masyarakat sekitar. Membangun kepedulian dan prakarsa. Membangun kecintaan stakeholder pada sekolah dan pendidikan. Perlu kerja keras. Perlu energi besar. Perlu bersusah-payah. Perlu kerelaan dan passion.
Pertanyaannya, adakah ini semua dimiliki oleh kepala sekolah? Jawabannya bisa dilihat dari apa yang nampak secara kasat mata.
Pulau Banyak Barat, Aceh Singkil, 22 April 2015
Wassalam,
LN
Benar-benar hiruk pikuk. Sejak kemarin pagi saat kedatangan kami, kami sudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang hampir selalu dipenuhi manusia. Bahkan penginapan kami pun ramai sekali. Ada banyak orang luar Pulau Balai yang menginap. Kebetulan kemarin itu bersamaan dengan kedatangan wakil bupati dan kepala dinas pariwisata beserta puluhan atau bahkan ratusan kru dinas, termasuk para duta wisatanya. Juga ada lomba memancing dan acara-acara lain. Mereka semua sedang menggelar satu kegiatan semacam promosi wisata, dan salah satu obyek wisatanya adalah Pulau Banyak. Jadilah Pulau Balai yang kecil itu, yang pada dasarnya sudah ramai, semakin ramai dipenuhi rombongan wakil bupati, dinas pariwisata, dan dinas pendidikan.
Semalam pun, kami sempat disuguhi acara penyambutan yang memamerkan berbagai macam kreasi seni, kebanyakan tari, yang ditampilkan anak-anak sekolah mulai tingkat PAUD sampai SMA. Dalam guyuran hujan yang cukup deras, acara itu berlangsung sangat meriah di dekat pantai. Kalau dituruti, kami bisa sampai pagi berada di sana, di antara masyarakat yang bergantian menyanyikan lagu-lagu dangdut sambil berjoget. Tapi begitu acara untuk para orang dewasa itu akan dimulai, saya memohon izin kepala dinas untuk undur diri, dan ternyata beliau juga malah ikut undur diri. Ya, besok masih ada perjalanan panjang yang harus kami tempuh, dan cukuplah romantika Pulau Balai ini kami nikmati.
Saat ini, setelah sekitar satu jam tadi pagi kami berbincang dengan para guru SM-3T, kami sudah berada di sini. Di sebuah pulau yang bernama Pulau Banyak Barat (PBB).
Di pulau ini, ada satu alumni PPG SM-3T Unesa yang namanya dikenal sebagai Alfi Haloban. Haloban adalah nama salah satu desa di pulau ini, tempat tinggal Alfi.
Kami akan mengunjungi beberapa sekolah di sini. Selain mengunjungi sekolah-sekolah, kami--maksudnya saya--juga akan mengunjungi Alfi. Menemui ibu dan adiknya. Ayah Alfi sudah tiada.
Sebagaimana kegemaran saya bila pergi ke mana pun, saya berusaha untuk selalu menyempatkan bersilaturahim ke rumah saudara, mahasiswa, atau teman. Rasanya bahagia sekali bila bertemu banyak saudara di tempat yang jauh semacam ini.
Haloban panas meski pagi belum lagi berajak siang. Panasnya menyengat sampai menyakiti kulit. Kami berkunjung dari satu sekolah ke sekolah lain, mulai dari PAUD, SD, SMP, dan SMA. Kami melihat betapa guru-guru SM-3T itu begitu dicintai siswa-siswanya, dan disayang guru-guru serta masyarakat setempat. Meskipun memang selalu saja ada hal-hal yang tidak mengenakkan hati, seperti guru setempat yang malas, guru yang tidak peduli, namun pada umumnya, hal-hal tersebut tidak menghambat para guru muda itu untuk melaksanakan tugas mengabdinya secara optimal.
Di Pulau Banyak Barat ini, kami menemukan satu sekolah yang sangat amat memprihatinkan. Sekolah yang pintu-pintunya hancur, papan tulisnya bolong, kursi siswa seadanya, papan penyekat kelas tidak utuh, dan tanpa ruang guru. 'Ruang guru' ada di halaman depan sekolah, jauh dari bangunan sekolah. Ruang guru yang lebih tepat disebut warung kopi, malah lebih baik warung kopi. Sedih saya melihat itu semua. Sampai seperti tak bisa berkata-kata. Entah siapa yang salah dengan keadaan ini. Tapi kalau saya jadi kepala sekolahnya, saya pasti akan sulap sekolah ini menjadi lebih layak. Toh ada dana BOS yang sebagian dananya bisa dimanfaatkan untuk perbaikan sarana sekolah. Ada orang tua dan masyarakat sekitar yang sangat mungkin bersedia membantu asal kita pandai melakukan pendekatan. Ada kepala dinas dan jajarannya yang saya yakin tak setega itu melihat sekolah yang hancur berantakan macam ini. Kuncinya, menurut saya, adalah kreativitas dan komitmen pimpinan sekolah. Pengalaman menunjukkan, sekolah-sekolah yang maju dan unggul, kunci utamanya ada pada kepala sekolah. Kepala sekolahlah yang membangun komitmen guru dan seluruh warga sekolah bahkan masyarakat sekitar. Membangun kepedulian dan prakarsa. Membangun kecintaan stakeholder pada sekolah dan pendidikan. Perlu kerja keras. Perlu energi besar. Perlu bersusah-payah. Perlu kerelaan dan passion.
Pertanyaannya, adakah ini semua dimiliki oleh kepala sekolah? Jawabannya bisa dilihat dari apa yang nampak secara kasat mata.
Pulau Banyak Barat, Aceh Singkil, 22 April 2015
Wassalam,
LN