Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Kurikulum 2013. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kurikulum 2013. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Juli 2014

Kurikulum 2013: Target Implementasi yang Terlalu Ambisius

Siang ini, saya sedang nunggu boarding di Bandara Frans Seda, Maumere. Saya membuka tab, cek email, FB, dan baca-baca.

Sebuah artikel di Kompasiana berjudul 'Kemdikbud: Nafsu Gede, Stamina Memble', menarik perhatian saya. Sebelum membaca isinya, saya coba tebak, ini pasti tentang Kurikulum 2013.

Ternyata benar. Artikel yang ditulis Mochamad Syafei itu berbicara tentang K-13 yang fonomenal itu. Fenomenal karena 'kehebatannya.'

Betapa tidak. Kemdikbud manargetkan pada awal masuk sekolah 14 Juli 2014, K-13 harus sudah diimplementasikan. Artinya, semua guru sudah dilatih, buku-buku sudah didrop di semua sekolah, dan oleh sebab itu, 'siap tidak siap, bisa tidak bisa, K-13 harus jalan'.

Padahal, kenyataannya, tidaklah seperti itu. Tanggal 6-7 Juni yang lalu, saya diundang ke Kupang, sebagai narasumber untuk workshop K-13. Saya menyiapkan materi selengkap mungkin, meski saya berharap, saya tidak harus memulai dari awal ketika bicara tentang K-13. Artinya, saya berharap, para peserta workshop sudah memiliki pengetahuan awal yang cukup memadai tentang rasional K-13, elemen perubahan, pola pikir, dan hal-hal lain yang terkait dengan konsep. Saya berharap, saya bisa langsung berdiskusi tentang sistem pembelajaran dan penilaian dalam K-13, dan ada cukup banyak waktu untuk berlatih menyusun RPP dan instrumen penilaian.

Ternyata harapan saya tinggal harapan. Para peserta itu, sebanyak sekitar 100 peserta, yang terdiri dari guru SD, SMP, SMA dan SMK, yang datang dari segala penjuru Kabupaten Kupang, mayoritas belum paham K-13 bahkan pada tataran konsepnya. Jadilah dua hari itu kami berdiskusi intens tentang konsep K-13 sampai kepada sistem pembelajaran dan penilaian. Tidak terlalu cukup waktu untuk berlatih menyusun RPP dan instrumen penilaian.

Sekitar dua minggu setelah itu, saya rapat di Dikti, Jakarta, bersama UKMP3 (Unit Kerja Menteri Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Unit khusus menteri ini meminta kami terlibat dalam monitoring implementasi K-13, dengan melibatkan para peserta SM-3T yang bertugas di berbagai pelosok Indonesia dan para peserta PPG yang sedang ber-PPL di berbagai sekolah di kota-kota di Indonesia juga.

Waktu itu, wakil dari UKMP3 menegaskan, bahwa semua guru sudah dilatih dan semua buku sudah didrop.
"Apa?" Saya spontan bertanya. "Tidak mungkin."
"Diasumsikan begitu, Bu. Sesuai target yang dicanangkan oleh Kemdikbud."
"Diasumsikan?" Saya balik bertanya lagi. Saya mau melanjutkan kalimat saya "itu asumsi yang super ngawur", saya tahan. Saya perhalus kalimat saya, "Itu asumsi yang jauh dari kenyataan." Terbayang dalam benak saya, betapa K-13 itu bahkan sama sekali belum menyentuh semua daerah 3T yang pernah saya kunjungi pada bulan-bulan belakangan ini.
"Ya, untuk itulah, Bu, kami perlu lakukan monitoring ini."

Kemarin, saya diundang sebagai narasumber workshop K-13 di Maumere. Pesertanya sekitar 150 guru, mulai dari guru SD, SMP, SMA dan SMK.

Sebagaimana harapan saya ketika saya diundang di Kupang, saya bisa langsung berbicara tentang sistem pembelajaran dan penilaian, serta pengisian rapor. Apa lagi sebelumnya, panitia sudah memberi tahu, bahwa guru-guru yang akan mengikuti pelatihan sebagian besar sudah menerima sosialisasi dan pelatihan K-13. Mereka hanya merasa kesulitan pada sistem penilaian dan pengisian rapor.

Tapi harapan saya, lagi-lagi, tinggal harapan. Meski saya paksakan, guru-guru itu tidak akan nyambung kalau saya langsung bicara tentang sistem penilaian. Bagaimana tidak. Ketika saya tanya, 'Apa KI-1, KI-2, KI-3, dan KI-4', hanya sebagian kecil saja guru yang bisa menjawab. Bahkan pengetahuan awal mereka tentang K-13 lebih minim daripada guru-guru di Kupang, yang saya latih sekitar sebulan yang lalu.

Sebagian kecil dari peserta itu mempelajari K-13 saat PLPG tahun 2013, sebagian kecil mengikuti sosialisasi singkat, sebagian besar belum pernah menerima informasi apa pun lewat sosialisai maupun pelatihan. Ada satu dua yang mencoba belajar dari internet. Dari seluruh peserta tersebut, belum ada satu pun dari sekolah mereka yang sudah mendapatkan dropping buku-buku K-13.

Benar memang yang dikatakan banyak orang, yang saya alami, yang saya lihat. Kemdibud terlalu ambisius dengan target implementasi K-13 ini. Para pakar dan tim yang diandalkan untuk menyusun dan memastikan implementasi K-13 tentulah orang-orang yang tak diragukan kapasitasnya. Namun kondisi di lapangan dengan berbagai kendalanya nampaknya tidak terlalu cermat diperhitungkan.


Entah apa lagi yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita setelah ini.


Bandara Frans Seda, Maumere, 17 Juli 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 20 April 2014

Kurikulum 2013 (3): Tentang UN

Ketika itu, 13 April 2014, bertempat di Hotel Garden Palace Surabaya, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP) Kemendikbud, Prof. Dr. Syawal Gultom, memberikan materi tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013. Pada sesi tanya jawab, ada seorang peserta yang bertanya, bagaimana mungkin tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan dalam Kurikulum 2013 itu bisa tercapai, kalau akhirnya kelulusan siswa tetap ditentukan melalui Ujian Nasional (UN)?

Jawaban Prof. Syawal, begitu mencengangkan saya. Jawaban yang sangat di luar dugaan. Menurut mantan Rektor Unimed itu, kenapa UN harus dipersoalkan? Apa karena UN hanya mengukur kemampuan kognitif? Bukankah Ujian Sekolah (US) juga hanya menilai kemampuan kognitif? Kenapa US tidak pernah dipersoalkan? Kalau kemudian UN dijadikan sebagai alat untuk pemetaan mutu pendidikan, juga sebagai alat untuk menentukan kelulusan siswa, apa yang salah? US juga hanya untuk menilai kognitif juga, tapi tidak pernah disalahkan?

Saya termangu-mangu mencerna jawaban Prof. Syawal. Memang benar, US maupun UN mempunyai tujuan utama yang sama, antara lain untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik; mengukur mutu pendidikan;  mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah kepada masyarakat. Tujuan utamanya sama. Namun pernak-perniknya jauh, jauh berbeda.

UN baru saja berlalu beberapa hari yang lewat. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, UN memunculkan banyak persoalan. Banyak kontroversi. Sudah berbusa-busa orang mengkritisi UN, menunjukkan berbagai kecurangan dan ketidakjujuran yang mengikutinya. Kebobrokan moral seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari UN itu sendiri. Banyak guru baik yang awalnya taat pada UN, satu per satu masuk ke barisan menolak UN. Bertahun-tahun mereka berkhusnudzon pada UN, namun akhirnya harus menyerah, tidak berdaya. UN tak kunjung bermuara pada esensinya. Saat UN digelar, maka saat itulah pelajaran hidup bernama kecurangan, ketidakjujuran, kebohongan, juga tergelar. Anak didik menyaksikan sebuah tontonan tentang figur panutan, adalah kepala sekolah dan guru-guru mereka, yang sedang mencurangi UN. Bahkan anak didik tidak hanya jadi penonton, namun ikut bermain dalam drama pendidikan satu babak itu. Menghapus deretan babak pelajaran hidup yang sebenarnya, yang telah mereka jalani selama enam, sembilan, atau dua belas tahun. Menepiskan sikap religius, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, bertanggung jawab, yang mungkin sudah ditanamkan dari hari ke hari. 

Lihat pernyataan seorang guru di bawah ini: "Semalaman saya menangis hingga pagi ini mata saya mbendhul. Selama ini saya masih berpikir positif dan berharap UN akan lebih baik. Simple saja pemikiran saya, tanpa penilaian berskala nasional bagaimana menilai keberhasilan pendidikan nasional. Nyatanya? Tetap saja para pengkhianat itu menodai UN. Sebagai guru saya merasa diinjak-injak dan diludahi wajah saya oleh siapa pun yang terlibat pembocoran kunci jawaban UN. Tak ada lagi harapan untuk menyelamatkan moral anak bangsa. Bismillah, saya hijrah. Mulai semalam saya ikut barisan yang meneriakkan "HAPUSKAN UN!"  Mohon terimalah saya yang datang dengan tangis darah."

UN tidak akan menjadi sebegitu kontroversi kalau dia tidak memiliki peran yang demikian menentukan nasib seorang siswa, kredibilitas sekolah, pertaruhan dinas pendidikan, dan bahkan reputasi kepala daerah. UN tidak sesederhana sebagaimana Ujian Sekolah (US). Jelas beda. Sangat tidak rasional menyandingkan UN dengan US. Bahwa keduanya sama-sama mengukur aspek kognitif, ya. Tapi risiko karena tidak lulus US, jelas tidak sebesar risiko bila tidak lulus UN. Tidak ada satu tahap pun di sekolah yang menyebabkan siswa stres, frustasi, bahkan gantung diri, orang tua mengalami kecemasan tingkat dewa, kepala sekolah dan guru-guru tertekan sedemikian rupa, kecuali hanya UN. Proses untuk mendapatkan akreditasi sekolah saja tidak seberat itu bebannya. Upaya untuk memperoleh gelar sebagai sekolah unggulan, sekolah adiwiyata, sekolah bertaraf internasional, pun, tidak sehebat itu tekanan batinnya. Hanya UN, yang menyita begitu banyak perhatian dan energi, yang bahkan tak tertanggungkan kecuali dengan tebusan kecurangan dan ketidakjujuran.

Tentu saja tidak semua sekolah menempuh jalan pintas semacam itu. Banyak sekolah, misalnya sekolah alam, sekolah unggulan, yang tetap mengedepankan kejujuran dalam menempuh UN. Sekolah menyiapkan anak didik secara fisik dan mental. Tidak hanya dengan serangkaian kegiatan ujicoba mengerjakan soal-soal dan latihan-latihan, namun juga dalam bentuk istighosah, salat malam bersama,  membaca Kitab Suci Al-Quran, meminta maaf dan doa restu pada guru dan orang tua, dan kegiatan-kegiatan positif yang lain. Tujuannya jelas, selain untuk menyiapkan akademik mereka, juga untuk mempertebal keimanan dan kedekatan pada Yang Maha Menentukan. Usaha lahir dilakukan terus tanpa kenal lelah, namun dibarengi dengan usaha batin. Anak disiapkan untuk berhasil sekaligus gagal. Guru dan siswa berkomitmen tidak akan terpengaruh oleh bocoran jawaban soal-soal UN, dan menempuh UN dengan jujur, usaha keras dan tawakal.

Seperti itulah seharusnya. UN boleh terus. Namun jangan jadikan dia sebagai momentum untuk merusak pendidikan itu sendiri. Kembalikan UN pada esensinya, lebih sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan. Bukan sebagai alat untuk menentukan nasib anak didik.

Lebih-lebih dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 yang warna religiusitas, kesalehan sosial, pengembangan pengetahuan dan keterampilan, begitu kental. Peran guru amatlah sentral. Sekali lagi, hanya ada satu pilihan supaya Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dengan sebaik-baiknya: guru harus menginspirasi. Untuk bisa menjadi guru yang menginspirasi, maka dia harus mempu menjadi sosok panutan, menjadi uswatun hasanah.

Tentu saja tidak cukup hanya dari guru. Kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, kepala daerah, semuanya harus sama komitmennya. Menjadi sosok panutan. Siapa pun, harus menunjukkan sikap bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, mandiri, dan bertanggung jawab. 

Bila itu yang terjadi, maka tak akan ada lagi kecurangan dalam UN. Tak akan lagi terjadi bocoran jawaban soal-soal yang mengacaukan 'kesakralan' UN. Kalau pun ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi UN untuk keuntungan pribadi, misalnya dengan menyebarkan bocoran jawaban soal UN, hal itu tak berarti apa pun. Tidak laku. Dengan keteguhan hati semua pihak, maka apa pun upaya yang bertujuan untuk mengacaukan UN, tak akan ada pengaruhnya karena semuanya itu dianggap sepi.

Tanpa itu semua, UN akan tetap menjadi babak paling menyedihkan dan memprihatinkan dalam sistem pendidikan. Bukan tahap yang menantang bagi setiap anak didik untuk melaluinya dengan keberanian, keteguhan hati dan penuh daya juang. 

Inilah salah satu hal yang harus menjadi perhatian serius dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Sehebat apa pun kurikulumnya, namun kalau para aktor yang mengimplementasikannya tidak memiliki komitmen yang sungguh-sungguh, maka Kurikulum 2013 hanyalah sekedar nama. 

Hotel Grand Candi, 19 April 2014

Wassalam,
LN

Jumat, 18 April 2014

Kurikulum 2013 (2): Yang Manis-Manis dari Kurikulum 2013

Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013 yang dihelat di Hotel Garden Palace Surabaya, dilaksanakan selama empat hari, 13-16 April 2014 yang lalu. Peserta pelatihan sebanyak 246 orang, terdiri dari dosen, guru dan widyaiswara dari Indonesia bagian Timur dan Tengah. Mereka dari Jawa Timur, Kalimantan Selatan, NTT, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Papua, Papua Barat, Bali, dan NTB. Para peserta itu mewakili mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, Bahasa Inggris, Seni Budaya, PJOK, Prakarya, dan BK.

Tujuan pelatihan ini adalah menyiapkan para narasumber nasional yang nantinya akan bertugas untuk melakukan pelatihan Kurikulum 2013 kepada para instruktur nasional. Selanjutnya para instruktur nasional akan melakukan pelatihan pada guru sasaran. Karena berjenjang seperti itu, maka yang harus dipikirkan bagi para narasumber nasional adalah tidak hanya pada bagaimana menguasai Kurikulum 2013, namun yang terpenting adalah, bagaimana Kurikulum 2013 itu bisa dikuasai oleh para guru sasaran di lapangan.

Wakil Mendikbud, Prof. Dr. Musliar Kasim, membuka dan memberi penguatan implementasi Kurikulum 2013 pada acara pembukaan. Dalam presentasinya, Musliar menayangkan gambar sekolah-sekolah yang sudah menerapkan Kurikulum 2013 dan testimoni dari kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua. Sebagian besar sekolah itu ada di pelosok, seperti di Papua dan NTT.

Banyak orang berpendapat, bahwa persiapan Kurikulum 2013 terbirit-birit. Begitu juga dengan implementasinya dan sosialisasi serta pelatihan untuk para narasumber nasional, instruktur nasional, dan guru sasaran. Buku siswa dan buku guru juga masih banyak kekurangan. Semua terkesan serba dipaksanakan (atau memang faktanya dipaksakan?). 

Menurut Musliar, meski pun begitu tajam kritik pedas pada Kurikulum 2013, namun apresiasi dari banyak kalangan juga luar biasa. Pengalaman mengunjungi banyak sekolah di daerah-daerah menunjukkan bahwa Kurikulum 2013 diterima dengan sangat baik, serta memberikan pengaruh yang hebat pada perkembangan anak didik. Siswa kelas IV SD mampu menunjukkan kebisaannya dalam mempelajari buku-buku siswa. Mereka mengaku sangat menyukai Kurikulum 2013, karena kurikulum ini membuat mereka bisa belajar dengan gembira.

Dalam sebuah talkshow di  stasiun TV, seorang guru juga menyampaikan testimoni secara live, yang kurang lebih bunyinya seperti ini: "Saya sudah lebih dari 30 tahun mengajar, namun baru kali ini saya merasa senang pada kurikulum." Kemudian terkait dengan pelatihan Kurikulum 2013 tersebut, guru itu juga menegaskan bahwa waktu pelatihan selama lima hari menurutnya lebih dari cukup untuk memahami secara utuh Kurikulum 2013.

Dalam hati, saya berkata, betapa luar biasanya guru tersebut. Andai semua guru seperti itu, tak akan ada cerita bagaiman compang-campingnya pemahaman para guru di sekolah sasaran terkait dengan implementasi Kurikulum 2013 ini.

Musliar juga menampilkan sebuah tayangan tentang implementasi kurikulum di Kupang, NTT, yang luar biasa. Anak-anak jadi lebih aktif dan betah belajar serta penuh kegembiraan. Menurutnya, kondisi seperti ini tak akan ditemui pada waktu yang lalu saat Kurikulum 2013 belum diterapkan. Begitu juga di Sentani, setting sekolah sudah secara kooperatif, banyak karya siswa dipajang di dinding-dinding kelas, anak belajar dengan semangat, dan guru membimbing dengan menyenangkan. Menurut Musliar, sekali lagi, hal ini tak akan dijumpai pada waktu sebelumnya. Pernyataan semacam ini yang diulang-ulang, mengesankan seolah-olah kurikulum yang lalu tak ada bagus-bagusnya.

Tentu saja kita semua yakin, Musliar menceritakan hal yang sebenarnya. Tidak mungkin wamen yang sudah sangat berpengalaman ini mengada-ada. Ya, di sekolah-sekolah yang dikunjunginya itu, itulah yang terjadi. Anak-anak yang aktif, kelas-kelas yang hidup, dan guru-guru yang menginspirasi.

Tapi cobalah tengok, di mana sekolah-sekolah itu? Tengok jugalah sekolah-sekolah di banyak pelosok yang lain, di mana anak-anak kelas VI SD, bahkan yang sudah SMP pun belum bisa membaca dan menulis. Tengoklah seperti apa kinerja kepala sekolah dan guru-gurunya. Bukan rahasia lagi, betapa sungguh memprihatinkannya etos kerja kepala sekolah dan guru-guru itu, kendati pun mereka sudah PNS. Mangkir dari tugas dengan berbagai alasan adalah hal yang sangat berterima. Mengajar semaunya sudah menjadi budaya. Memukuli peserta didik yang dianggap salah bahkan menjadi aturan yang terus dipertahankan. 

Pada kondisi seperti itu, bagaimana mungkin kita bisa berharap pada terbentuknya sikap religius, sikap sosial, dan perolehan pengetahuan serta terbentuknya berbagai keterampilan peserta didik seperti yang diharapkan kurikulum? Sedangkan mereka tidak menemukan figur tauladan di sekitar mereka? Tidak ada model yang mampu mengilhami mereka? Tahu apa mereka tentang 'beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab", kecuali hanya sebatas hafalan yang tanpa makna? Guru-guru mereka tidak mampu menerjemahkan itu semua dalam kehidupan sehari-hari. Jangankan menjadi sosok-sosok panutan. Bahkan apa tujuan sebuah proses bernama pendidikan pun, para ujung tombak pendidikan itu sangat mungkin tak peduli.  


Sebagai narasumber nasional, saya sadar, saya harus yakin akan 'keampuhan' Kurikulum 2013. Saya juga yakin, hal-hal manis yang disampaikan oleh wamen bukanlah isapan jempol. Kurikulum baru itu memang membawa implikasi pada perubahan banyak hal, termasuk proses pembelajaran dan penilaian. Proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan saintifik dan mengembangkan kreativitas, serta penilaian yang otentik. Kurikulum itu, bila benar mengimplementasikannya, sangat mungkin akan menghasilkan anak didik dengan kualitas sebagaimana dituangkan dalam UUSPN.

Namun fakta yang kita lihat di lapangan juga menyadarkan kita, tidak mudah mewujudkannya. Tidak perlu jauh-jauh ke daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang tersebar jauh di luar Pulau Jawa sana. Di Jawa Timur saja, yang notabene menjadi barometer keberhasilan pembangunan di segala bidang, masih banyak ditemukan kendala. Berbagai persoalan mulai dari keterbatasan SDM guru, kepala sekolah, fasilitas sekolah, dan kendala geografis, tidak semudah itu bisa diatasi. 

Kita memang tidak boleh pesimis terhadap implementasi Kurikulum 2013. Kita harus optimis. Tapi kita harus sadar, apa yang disampaikan Musliar Kasim adalah bagian yang manis-manis saja. Bagian yang pahit-pahit, kita yakin, jumlahnya jauh lebih banyak. 

Justeru dengan kesadaran itu, kita harus memikirkan strategi yang lebih tepat, bagaimana supaya Kurikulum 2013 mampu menjangkau yang tak terjangkau itu. Tidak cukup rasanya dengan melatih narasumber nasional dan instruktur nasional. Bahwa guru yang akan menjadi sasaran mungkin tak terbatas, namun tanpa pendampingan yang relatif intens, Kurikulum 2013 itu akan sangat beragam terjemahannya. Jangankan pada level guru sasaran, pada level instruktur nasional dan narasumber nasional pun, tidak mudah menerjemahkan Kurikulum 2013 menjadi satu bahasa.

Bagaimana pun, genderang telah ditabuh. Kurikulum 2013 tak mungkin ditarik mundur dari kancah pembangunan pendidikan di negeri ini. Tugas kita adalah menyiapkan dan menyelamatkan generasi mendatang. Dan ini saatnya. Suka tidak suka, Kurikulum 2013 menjadi salah satu kendaraannya. Sudah bukan saatnya mempersoalkan konsep kurikulum baru ini. Yang lebih penting adalah bagaimana mengambil peran dalam mengimplementasikannya secara benar.

Surabaya, 17 April 2014

Wassalam,
LN  

Minggu, 13 April 2014

Kurikulum 2013 (1): Semua Bermula dari Kelas

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP) Kemendikbud, Prof. Dr. Syawal Gultom, malam ini memberikan materi pada acara Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013. Acara yang dihelat di Hotel Garden Palace Surabaya ini diikuti oleh 246 peserta, terdiri dari dosen, guru dan widyaiswara, dari Indonesia bagian Timur dan Tengah. 

Acara dibuka oleh Wakil Mendikbud, Prof. Dr. Musliar Kasim. Selain membuka acara, wamen juga memberikan pengarahan dan penguatan pentingnya implementasi Kurikulum 2013. Uraian tentang pengarahan wamen ini saya tuangkan dalam tulisan "Yang Manis-Manis dari Kurikulum 2013".

Setelah Prof. Musliar Kasim menyampaikan pengarahan dan penguatannya, acara dilanjutkan dengan presentasi dari Prof. Syawal. Materinya adalah Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013.

Prof. Syawal, seperti biasa, begitu bersemangat  menyampaikan materinya. Harus diakui, mantan Rektor Unimed ini memiliki kepiawaian berorasi. Suaranya yang lantang, dengan logat Bataknya yang kental, ditambah dengan wawasan dan pengetahuannya yang luas, dilengkapi dengan bumbu-bumbu humor, membuat topik apa pun yang dibawakannya selalu hidup. 

Banyak hal yang perlu dicatat dalam presentasi Prof. Syawal. Bukan hanya materi tentang kerangka dasar dan struktur Kurikulum 2013 itu sendiri. Namun pernyataan-pernyataannya yang lebih bermakna filosofis dan perlu penghayatan.

Semua berawal dari kelas. Begitulah kata Prof. Syawal. Negara yang hebat itu karena pendidikan di kelas itu hebat. Pendidikan itu adalah mengembangkan potensi anak. Pendidikan itu tidak hanya mentransfer pengetahuan dan keterampilan dari guru ke siswa. Pendidikan berbeda dengan pengajaran. Kalau guru hanya berpikir bagaimana supaya materi yang diajarkannya dipahami anak, dia tidak sedang melakukan pendidikan, namun sekadar melakukan pengajaran. Dia tidak mendidik, tetapi mengajar. 

Begitu pentingnya peran guru, sehingga semuanya bergantung dari guru. Mau jadi apa pun anak itu, terserah apa kata guru. Karena begitu pintu kelas ditutup, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di kelas. Hanya guru itu yang tahu, siswa, dan Tuhan. Kepala sekolah pun banyak yang tidak tahu apa yang dilakukan guru di kelas. Pengawas, kepala dinas, kepala badan, pun tidak tahu. Hanya guru, siswa dan Tuhan. Bahkan yang membuat kurikulum pun, tidak banyak tahu apa yang terjadi di kelas. Apa yang diperankan guru di depan siswa-siswanya, hanya guru itu sendiri, siswa-siswa, dan Tuhan yang tahu.

Kurikulum 2013 dinilai  revolusioner. Salah satunya bila dikaitkan dengan peran guru. Betapa tidak. Guru tidak hanya menilai pengetahuan dan keterampilan anak. Dia harus mengamati sikap spiritual dan sosial anak. Bagaimana ketakwaannya pada Tuhan, apakah dia melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya, apakah dia menghargai makhluk ciptaan Tuhan, dan sebagainya. Guru juga harus melihat bagaimana sikap anak terhadap temannya dan orang-orang lain di sekitarnya, apakah siswa jujur, tanggung jawab, peduli, apakah dia menghargai lingkungannya. Semua harus diamati dan dicatat. Ya, dalam Kurikulum 2013 ini, dicetak guru setengah malaikat. Bukankah mengamati dan mencatat sikap dan perilaku yang religius dan sikap sosial itu pekerjaan malaikat? Dan guru harus melakukan itu. Maka guru harus menjadi manusia setengah malaikat. Sangat revolusioner. 

Kesalehan individu seseorang yang luar biasa, belum tentu dibarengi dengan kesalehan sosial. Bila seorang anak hanya rajin beribadah, namun kurang peduli pada sesama, tidak bisa bekerja sama dengan temannya, kurang memiliki kepekaan sosial, berarti dia kurang memiliki kesalehan sosial. Maka gurulah yang harus membentuk kesalehan sosial itu, karena kesalehan individu seharusnya membangun kesalehan sosial. 

Persoalan sikap, adalah persoalan merebut hati anak. Untuk bisa merebut hati anak, maka guru harus inspiratif. Untuk bisa menjadi guru yang inspiratif, hanya satu caranya:  dia harus menjadi contoh, secara konsisten menjadi model bagi siswa-siswanya.

Kalau dari kelas, kita membangun karakter secara optimal, maka negara ini akan hebat, karena diurus oleh orang-orang yang hebat, yang berkarakter. Karakter tidak bisa dibentuk secara instan. Dia harus dibentuk sedini mungkin pada diri anak. Kurikulum 2013 memungkinkan pembentukan karakter itu sedini mungkin.

Lepas dari pro kontra terkait Kurikulum 2013, kehadiran saya di Garden Palace ini bukan sekadar untuk memenuhi undangan BPSDMPK-PMP dan tergiur dengan 'jabatan' sebagai narasumber nasional. Tujuan saya yang utama adalah untuk lebih menyelami seperti apa Kurikulum 2013, bagaimana implementasinya, apa kendala-kendala implementasinya, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang masih memenuhi benak saya. Saya termasuk orang yang skeptis terhadap Kurikulum 2013, kendati pun saya sudah beberapa kali menerima pelatihan dan bahkan sudah diminta berkali-kali untuk menjadi narasumber pelatihan Kurikulum 2013. Saya ingin mengeliminir skeptis saya ini dengan datang ke acara ini. Saya sedang berusaha untuk menjadi orang yang lebih bersahabat dengan Kurikulum 2013. Saya sedang berusaha meyakinkan diri saya tentang 'kesaktian' Kurikulum 2013 ini untuk membangun generasi masa depan, karena setelah ini saya harus bisa meyakinkan orang lain, yaitu para instruktur nasional. Bagaimana saya bisa meyakinkan orang lain kalau saya sendiri tidak yakin? 

Masih ada banyak catatan penting dari hasil Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013 ini, yang mudah-mudahan bisa saya tuangkan dalam bentuk tulisan. 

Yang jelas, saya sedang berusaha untuk bermetamorfosis...

Hotel Garden Palace Surabaya, 13 April 2014