Pages

Jumat, 18 April 2014

Kurikulum 2013 (2): Yang Manis-Manis dari Kurikulum 2013

Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013 yang dihelat di Hotel Garden Palace Surabaya, dilaksanakan selama empat hari, 13-16 April 2014 yang lalu. Peserta pelatihan sebanyak 246 orang, terdiri dari dosen, guru dan widyaiswara dari Indonesia bagian Timur dan Tengah. Mereka dari Jawa Timur, Kalimantan Selatan, NTT, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Papua, Papua Barat, Bali, dan NTB. Para peserta itu mewakili mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, Bahasa Inggris, Seni Budaya, PJOK, Prakarya, dan BK.

Tujuan pelatihan ini adalah menyiapkan para narasumber nasional yang nantinya akan bertugas untuk melakukan pelatihan Kurikulum 2013 kepada para instruktur nasional. Selanjutnya para instruktur nasional akan melakukan pelatihan pada guru sasaran. Karena berjenjang seperti itu, maka yang harus dipikirkan bagi para narasumber nasional adalah tidak hanya pada bagaimana menguasai Kurikulum 2013, namun yang terpenting adalah, bagaimana Kurikulum 2013 itu bisa dikuasai oleh para guru sasaran di lapangan.

Wakil Mendikbud, Prof. Dr. Musliar Kasim, membuka dan memberi penguatan implementasi Kurikulum 2013 pada acara pembukaan. Dalam presentasinya, Musliar menayangkan gambar sekolah-sekolah yang sudah menerapkan Kurikulum 2013 dan testimoni dari kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua. Sebagian besar sekolah itu ada di pelosok, seperti di Papua dan NTT.

Banyak orang berpendapat, bahwa persiapan Kurikulum 2013 terbirit-birit. Begitu juga dengan implementasinya dan sosialisasi serta pelatihan untuk para narasumber nasional, instruktur nasional, dan guru sasaran. Buku siswa dan buku guru juga masih banyak kekurangan. Semua terkesan serba dipaksanakan (atau memang faktanya dipaksakan?). 

Menurut Musliar, meski pun begitu tajam kritik pedas pada Kurikulum 2013, namun apresiasi dari banyak kalangan juga luar biasa. Pengalaman mengunjungi banyak sekolah di daerah-daerah menunjukkan bahwa Kurikulum 2013 diterima dengan sangat baik, serta memberikan pengaruh yang hebat pada perkembangan anak didik. Siswa kelas IV SD mampu menunjukkan kebisaannya dalam mempelajari buku-buku siswa. Mereka mengaku sangat menyukai Kurikulum 2013, karena kurikulum ini membuat mereka bisa belajar dengan gembira.

Dalam sebuah talkshow di  stasiun TV, seorang guru juga menyampaikan testimoni secara live, yang kurang lebih bunyinya seperti ini: "Saya sudah lebih dari 30 tahun mengajar, namun baru kali ini saya merasa senang pada kurikulum." Kemudian terkait dengan pelatihan Kurikulum 2013 tersebut, guru itu juga menegaskan bahwa waktu pelatihan selama lima hari menurutnya lebih dari cukup untuk memahami secara utuh Kurikulum 2013.

Dalam hati, saya berkata, betapa luar biasanya guru tersebut. Andai semua guru seperti itu, tak akan ada cerita bagaiman compang-campingnya pemahaman para guru di sekolah sasaran terkait dengan implementasi Kurikulum 2013 ini.

Musliar juga menampilkan sebuah tayangan tentang implementasi kurikulum di Kupang, NTT, yang luar biasa. Anak-anak jadi lebih aktif dan betah belajar serta penuh kegembiraan. Menurutnya, kondisi seperti ini tak akan ditemui pada waktu yang lalu saat Kurikulum 2013 belum diterapkan. Begitu juga di Sentani, setting sekolah sudah secara kooperatif, banyak karya siswa dipajang di dinding-dinding kelas, anak belajar dengan semangat, dan guru membimbing dengan menyenangkan. Menurut Musliar, sekali lagi, hal ini tak akan dijumpai pada waktu sebelumnya. Pernyataan semacam ini yang diulang-ulang, mengesankan seolah-olah kurikulum yang lalu tak ada bagus-bagusnya.

Tentu saja kita semua yakin, Musliar menceritakan hal yang sebenarnya. Tidak mungkin wamen yang sudah sangat berpengalaman ini mengada-ada. Ya, di sekolah-sekolah yang dikunjunginya itu, itulah yang terjadi. Anak-anak yang aktif, kelas-kelas yang hidup, dan guru-guru yang menginspirasi.

Tapi cobalah tengok, di mana sekolah-sekolah itu? Tengok jugalah sekolah-sekolah di banyak pelosok yang lain, di mana anak-anak kelas VI SD, bahkan yang sudah SMP pun belum bisa membaca dan menulis. Tengoklah seperti apa kinerja kepala sekolah dan guru-gurunya. Bukan rahasia lagi, betapa sungguh memprihatinkannya etos kerja kepala sekolah dan guru-guru itu, kendati pun mereka sudah PNS. Mangkir dari tugas dengan berbagai alasan adalah hal yang sangat berterima. Mengajar semaunya sudah menjadi budaya. Memukuli peserta didik yang dianggap salah bahkan menjadi aturan yang terus dipertahankan. 

Pada kondisi seperti itu, bagaimana mungkin kita bisa berharap pada terbentuknya sikap religius, sikap sosial, dan perolehan pengetahuan serta terbentuknya berbagai keterampilan peserta didik seperti yang diharapkan kurikulum? Sedangkan mereka tidak menemukan figur tauladan di sekitar mereka? Tidak ada model yang mampu mengilhami mereka? Tahu apa mereka tentang 'beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab", kecuali hanya sebatas hafalan yang tanpa makna? Guru-guru mereka tidak mampu menerjemahkan itu semua dalam kehidupan sehari-hari. Jangankan menjadi sosok-sosok panutan. Bahkan apa tujuan sebuah proses bernama pendidikan pun, para ujung tombak pendidikan itu sangat mungkin tak peduli.  


Sebagai narasumber nasional, saya sadar, saya harus yakin akan 'keampuhan' Kurikulum 2013. Saya juga yakin, hal-hal manis yang disampaikan oleh wamen bukanlah isapan jempol. Kurikulum baru itu memang membawa implikasi pada perubahan banyak hal, termasuk proses pembelajaran dan penilaian. Proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan saintifik dan mengembangkan kreativitas, serta penilaian yang otentik. Kurikulum itu, bila benar mengimplementasikannya, sangat mungkin akan menghasilkan anak didik dengan kualitas sebagaimana dituangkan dalam UUSPN.

Namun fakta yang kita lihat di lapangan juga menyadarkan kita, tidak mudah mewujudkannya. Tidak perlu jauh-jauh ke daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang tersebar jauh di luar Pulau Jawa sana. Di Jawa Timur saja, yang notabene menjadi barometer keberhasilan pembangunan di segala bidang, masih banyak ditemukan kendala. Berbagai persoalan mulai dari keterbatasan SDM guru, kepala sekolah, fasilitas sekolah, dan kendala geografis, tidak semudah itu bisa diatasi. 

Kita memang tidak boleh pesimis terhadap implementasi Kurikulum 2013. Kita harus optimis. Tapi kita harus sadar, apa yang disampaikan Musliar Kasim adalah bagian yang manis-manis saja. Bagian yang pahit-pahit, kita yakin, jumlahnya jauh lebih banyak. 

Justeru dengan kesadaran itu, kita harus memikirkan strategi yang lebih tepat, bagaimana supaya Kurikulum 2013 mampu menjangkau yang tak terjangkau itu. Tidak cukup rasanya dengan melatih narasumber nasional dan instruktur nasional. Bahwa guru yang akan menjadi sasaran mungkin tak terbatas, namun tanpa pendampingan yang relatif intens, Kurikulum 2013 itu akan sangat beragam terjemahannya. Jangankan pada level guru sasaran, pada level instruktur nasional dan narasumber nasional pun, tidak mudah menerjemahkan Kurikulum 2013 menjadi satu bahasa.

Bagaimana pun, genderang telah ditabuh. Kurikulum 2013 tak mungkin ditarik mundur dari kancah pembangunan pendidikan di negeri ini. Tugas kita adalah menyiapkan dan menyelamatkan generasi mendatang. Dan ini saatnya. Suka tidak suka, Kurikulum 2013 menjadi salah satu kendaraannya. Sudah bukan saatnya mempersoalkan konsep kurikulum baru ini. Yang lebih penting adalah bagaimana mengambil peran dalam mengimplementasikannya secara benar.

Surabaya, 17 April 2014

Wassalam,
LN  

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...