Pages

Senin, 28 April 2014

Telepon Penipuan

Selesai sudah ujian disertasi pagi ini. Saya dan tim penguji yang lain menyalami ibu Rina Febriani, mahasiswa S3 PTK PPS UNY yang baru saja dinyatakan lulus ujian tertutup, dengan beberapa revisi yang harus diselesaikannya dalam kurun waktu tiga bulan. Bu Rina adalah dosen Jurusan PKK UNJ. Pagi ini dia mempertanggungjawabkan disertasinya tentang Pengembangan Kurikulum Diploma 3 Tata Boga. Meski banyak revisi untuk disertasinya, setidaknya dia sudah berhasil melampaui satu tahap. Tinggal setahap lagi, ujian terbuka,

Pak Nurcholis, driver PPS UNY yang disediakan untuk menjemput dan mengantar saya, tergopoh-gopoh menyambut saya di depan pintu lift saat saya tiba di lantai 1. 
"Sebentar nggih, Pak. Nunggu bu Rina. Mau menemani saya mampir beli oleh-oleh. Pesawat saya masih jam 15. Tidak apa-apa kan, Pak?"
"O inggih, mboten nopo-nopo, Bu. Monggo.."
Sementara saya menunggu bu Rina di ruang dosen yang sepi, sebuah telepon masuk.
"Buk...." Suara seorang remaja di seberang, menangis sesenggukan. "Aku Barok, Buk... Aku dijebak koncoku, Bukk....kenek narkoba, Buk..."
"Kamu siapa?" Suaranya sama sekali bukan suara Arga. 
"Aku Barok, Buk... Arga, Buk... Barok Argashabri."
"Kamu kenapa?"
"Iki pak Polisine, Bu. Aku di Polda..."
Lantas telepon berpindah tangan. Berganti dengan suara yang berat, berwibawa, tenang sekali.
"Selamat siang, Bu. Apa benar ini Ibu Luthfiyah Nurlaela?"
"Ya, benar, Pak"
"Ini kami dari Polda, Bu. Anak ibu..."
"Kenapa anak saya, Pak?" Suara saya panik. Lebih tepatnya, pura-pura panik. Saya ingin mengisi waktu dengan mengisengi orang yang lagi iseng ini.
"Ibu tahu dia ada di mana?"
"Dia ada di rumah, tidur."
"Ibu yakin? Dia ada di sini, Bu. Dia sedang dalam masalah. Mohon maaf, Bu, anak ibu dijebak temannya. Dia tertangkap membawa narkoba. Kelihatannya ini hari naas anak Ibu."
"Sebentar, Pak. Bapak siapa namanya?"
"Saya dari Polda, Bu."
"Baik, Pak. Saya sedang ada di Yogya. Biar suami saya meluncur ke Polda, mengurus anak saya."
"Begini, Bu. Saya bantu saja..."
"Tidak, Pak. Biar saya telepon suami saya, biar dia urus anak kami di Polda."
"Tidak perlu, Bu. Cukup dengan ibu saja."
Dia memaksa terus. Ngomong banyakkk sekali. Intinya memaksa supaya saya mendengarkan penjelasannya. Saya naik pitam. "Pak, tahu nggak, saya sedang di Yogya. Percuma bapak ngomong sama saya. Suami saya ada di Surabaya. Biar suami yang ngurus."
"Bu, Ibu mau kami bantu tidak?" Suaranya meninggi.
"Tidak." Saya ngotot. "Saya punya banyak teman di Polda. Saya tidak perlu bantuan Bapak. Paham?"
"Bu! Masalah ini saya yang nangani. Hanya saya yang bisa bantu ibu!"
Klek. Ponsel saya matikan. Bersamaan dengan bu Rina yang tiba-tiba muncul di depan pintu ruang dosen. Bersama dua teman sekelasnya, Pak Lilik dan Pak Pri.

"Ibu, pakai mobil pak Lilik saja, kita antar ibu makan siang sekalian beli oleh-oleh." Kata bu Rina.
"Ini....ada mobil dan driver Pasca."
"Sama mobil saya aja, bu.." Pak Lilik menjawab.
"Baik..." Saya menghampiri pak Nurcholis, dan menyampaikan kalau saya bareng pak Lilik dan kawan-kawan, sehingga dia tidak perlu mengantar saya.

Di mobil, saya menelepon Mas Ayik yang masih cuti setelah meninggalnya bapak. 
"Arga di mana, Mas?"
"Di rumah, tidur.."
Jawaban yang sudah saya duga. Pagi tadi, waktu saya mau berangkat, Arga masih umek sama PC dan gitarnya. Hari Senin dia tidak ada kuliah. Semalaman dia nggetu main musik. Biasanya dia akan tidur sepanjang siang untuk mengganti tidur malamnya yang tertunda.

"Ada apa?" Tanya Mas Ayik.
"Ada yang telepon, katanya dari Polda. Ngaku namanya Arga. Terus ada polisi juga yang menjelaskan kalau Arga kejebak temannya, tertangkap bawa narkoba."
"Onok-onok ae." Kata Mas Ayik.
"Heranku, mereka bisa menyebut lengkap nama Arga, juga namaku, Mas.."
Mas Ayik tidak menjawab. Mungkin sama pikirannya dengan saya, dari mana orang-orang iseng itu dapat menyebut persis nama lengkap Arga dan saya ya?

Sebenarnya ini bukan pengalaman pertama saya ditelepon penipu seperti ini. Seingat saya, ini yang ketiga. Makanya saya tidak kaget meski kadang suara sengaja saya buat pura-pura panik. Biar menyenangkan orang yang menelepon. Tapi kalau sudah sebel, telepon saya matikan. Klek.

Ya Allah, lindungilah kami dan keluarga kami dari segala marabahaya....


Bandara Adisucipto, Yogyakarta, 28 April 2014

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...