Pages

Minggu, 20 April 2014

Mamteng 6: Papua, Mari Maju Bersama (4)

Masyarakat Ilugwa adalah orang-orang yang ramah. Keramahan mereka membuat para guru SM-3T merasa betah dan nyaman. Kekhawatiran pada kondisi keamanan di Ilugwa, ternyata tidak beralasan. Mamteng bukan wilayah konflik. Konflik yang terjadi lebih banyak secara internal dalam wilayah Mamteng sendiri. Baku tarik politik yang tak kunjung selesai. Wajar, mengingat Mamteng adalah kabupaten yang baru. Baku tarik juga terjadi antara Mamteng dan Mamra (Mamberamo Raya), khususnya terkait dengan batas wilayah. Namun baku tarik ini hanya terjadi di dalam ruang rapat, dan tidak pernah memicu persoalan dan kekacauan di masyarakat. 

Dukungan masyarakat yang tulus tercermin pada cerita para guru SM-3T. "Bapak guru jangan takut-takut main ke rumah kami. Bapak guru kami lindungi." Begitu kata penduduk setempat untuk meyakinkan para guru SM-3T tentang kondisi keamanan.

Setiap sore, Faishol dan kawan-kawannya, bermain bola dengan anak-anak sekolah. Dasar anak-anak. Bola voli dialihfungsikan jadi bola kaki. Karuan saja, bola voli itu cepat rusak. 

Jumlah siswa SMP Illugwa sebanyak 51 orang. Siswa SMA ada 8 orang, 2 di antaranya sudah punya anak, tapi belum berkeluarga. Artinya, anak tersebut dihasilkan dari hubungan di luar nikah. Meski sudah ada seorang anak dari hubungan itu pun, mereka tetap tidak menikah. Mas kawin yang sangat mahal dan syarat-syarat lain membuat pernikahan menjadi hal yang rumit di Papua. 

Uniknya, sepasang 'suami isteri' itu, adalah siswa di SMA Ilugwa. Yang perempuan duduk di kelas X, dan yang laki-laki duduk di kelas XI. Anak mereka dirawat oleh orang tua pihak perempuan.  

Hal semacam itu bisa dikatakan lazim terjadi di wilayah-wilayah seperti Papua, dan, setahu saya, juga di Sumba Timur. Di Sumba Timur, saya menemukan ada seorang guru yang mempunyai dua anak, dari dua orang laki-laki, namun tidak punya suami. Hamil di luar nikah juga banyak terjadi. Sebenarnya hal seperti itu juga pasti ada di tempat lain, di wilayah perkotaan. Bedanya, di wilayah yang lebih maju, di Jawa misalnya, hal itu dianggap aib yang harus ditutupi karena melanggar aturan agama dan moral. Dianggap sebagai sesuatu yang sangat memalukan. Di Papua dan di beberapa wilayah pelosok, hal semacam itu lebih berterima. Itulah yang saya katakan, batasan moral, norma dan etika di daerah pelosok seringkali berbeda jauh dengan masyarakat di perkotaan pada umumnya. Termasuk budaya minum minuman beralkohol, yang juga lebih berterima di kelompok masyarakat tersebut.  

Guru di SMP Ilugwa jumlahnya ada 15 orang, 9 di antaranya PNS. Selebihnya adalah guru honorer, baik honorer provinsi maupun honorer kabupaten. Dari 9 guru PNS, yang hadir rutin sebanyak 2 orang. Yang lainnya, dalam satu bulan, hanya datang sekali dua kali. Sebagian besar keluarga para guru itu ada di Wamena, hal itulah yang dijadikan alasan untuk mangkir dari tugas, dan menyebabkan tingkat kehadiran guru sangat rendah. 

Tingkat kehadiran guru yang sangat rendah ini lazim terjadi di daerah 3T. Pada umumnya, kendala geografis dan medan berat yang menjadi alasan. Kepala sekolah yang hanya datang ke sekolah sebulan sekali, merupakan hal yang biasa. Guru-guru yang datang ke sekolah hanya untuk mengambil gaji, juga sangat lumrah. Kelas dibiarkan kosong tanpa rasa bersalah. Siswa yang terlambat, dipukul,  sudah menjadi budaya, meski pun guru-gurunya sendiri kerap datang seenaknya. 

Saya sempat mempertanyakan hal tersebut kepada staf Dinas Pendidikan yang mendampingi kami. Petugas itu membenarkan hal tersebut. Sudah berkali-kali guru-guru yang suka mangkir dari tugas itu diperingatkan, tetapi tidak mempan. Pernah diberi sanksi gaji tidak diberikan, malah mengancam dengan parang, meneror keluarga bendahara dinas, atau bahkan mengancam akan membakar rumah. Seperti itulah perilaku buruk itu berkembang dan terus-menerus berulang, sulit diperbaiki. Kondisi tersebut semakin rumit karena sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang masih terhitung kerabat dekat para petinggi. Ya, nepotisme yang begitu kental membuat situasi semakin tidak kondusif. 

Sebenarnya kalau pemda turun tangan langsung, mungkin hal seperti itu bisa dikurangi. Namun itulah, tidak terlalu mudah untuk mendapatkan komitmen Pemda dalam urusan mengendalikan perilaku guru. Apa lagi kalau sudah menjelang Pemilu dan Pilkada. Urusan yang lain jadi terabaikan, termasuk urusan pendidikan dengan segala ikutannya.

Prihatin. Itulah selalu yang saya rasakan setiap kali mendengar cerita tentang etos kerja guru di wilayah 3T. Tidak di Sumba Timur, Talaud, Maluku Barat Daya, Aceh Singkil, dan di Papua, etos kerja sebagian besar guru sangat mengenaskan. Entah bagaimana mengubah perilaku buruk itu. Guru-guru SM-3T pun tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya berusaha menampilkan kinerja terbaik, agar bisa menjadi motivasi dan contoh bagi guru-guru yang lain. Kalau pun itu tidak berhasil, setidaknya, kelas tidak sering kosong, anak-anak selalu ada yang mengajar, dan semangat belajar bisa dibangun. 

"Kami tidak peduli lagi, ibu, guru-guru itu mau datang atau tidak. Yang penting kami mengajar, melaksanakan tugas sebaik-baiknya." Begitu kata guru-guru muda itu. "Kasihan anak-anak yang sudah datang ke sekolah, padahal mereka dari segala penjuru, yang jaraknya tidak dekat. Medannya sulit lagi..."

Sering terpikir di benak saya, kapan daerah 3T bisa maju, kalau orang-orangnya sulit dan bahkan resisten untuk diajak berubah? Menurut data, pada tahun 2012, secara Nasional, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua Barat berada di peringkat 29, dan IPM Provinsi Papua menempati urutan 33 dari 33 provinsi di Indonesia. Melihat permasalahan Papua sebagai provinsi dengan status otonomi khusus yang dimilikinya, harus ada program khusus juga untuk orang asli Papua agar memperoleh peluang dalam mencapai derajat yang sama dengan masyarakat di provinsi yang lain. Program khusus tersebut saat ini sudah bergulir, yang disebut sebagai Program Afirmasi. Tujuan program ini adalah  untuk mengurangi kesenjangan antara Jawa dan Papua. Nama program tersebut adalah Program Afirmasi Pendidkan Menengah (ADEM) dan Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK). Program-program semacam ini, tentu saja akan sangat membantu percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat, dan diharapkan akan terus berlanjut. Namun tetap saja, etos kerja para pelaku pendidikan di sanalah yang menjadi kuncinya. 

Kehadiran para guru SM-3T  hanyalah setahun, dan akan diperpanjang lagi dengan kehadiran para penggantinya bila program berlanjut. Ibarat sapuan kuas di atas kanvas, warna-warna yang mereka goreskan pada jiwa anak-anak didik, lama-lama akan pudar ditelan waktu, tanpa adanya penguatan dari guru-guru asli Papua. Transformasi kultur yang mereka sudah lakukan, akan hilang karena tidak mendapatkan dukungan. Sepulangnya mereka dari sana, anak didik akan kembali pada dunia yang sama sebelumnya. Dunia yang tidak memberi cukup keleluasaan bagi mereka untuk mengembangkan potensi, tidak memberikan ruang untuk berkreasi, dan bahkan tidak memberikan peluang bagi mereka untuk menjadi diri sendiri. Dunia yang penuh dengan tekanan, miskin figur panutan, dan kurang menghargai pendidikan.

Papua, mari maju bersama, demi generasi yang lebih berdaya....

Ilugwa, Mamteng, Papua, 2 April 2014

1 komentar

Anonim

Mari kita berdo'a untuk mereka dan bersyukur karena kita masih lebih beruntung.

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...