Pages

Selasa, 01 April 2014

Mamteng 1: Menyapa Jayapura

Akhirnya, tepat pukul 13.40 WIT, pesawat Garuda yang kami tumpangi mendarat di Bandara Sentani. Panas menyengat langsung menyambut kami begitu kami keluar dari pesawat. Kami, adalah pak Suprapto (Ketua Tim Perencanaan dan Pengembangan/TPP), pak Beni Setiawan (Sekprodi Pendidikan Sain), bu Lucia Tri Pangesthi (tim ahli PPG, koordinator Program KKT), dan saya sendiri. Kami adalah tim monev SM-3T yang akan bertugas ke Mamberamo Tengah (Mamteng).

Berempat kami berangkat dari Bandara 2 Juanda pada pukul 05.10 WIB tadi pagi. Menumpang pesawat Garuda tipe Bombardier, turun di Bandara Sultan Hasanuddin Makasar, transit sekitar satu jam. Sekitar pukul 08.50 kami bertolak ke Jayapura menumpang Garuda lagi. 

Begitu sampai di tempat pengambilan bagasi, saya langsung meminta mas Beni untuk menyewa porter. Bagasi kami cukup banyak, ada sembilan koli. Selain musti menghemat tenaga untuk empat lima hari ke depan dalam rangka menjelajahi pelosok Mamteng, menyewa porter kami niatkan sebagai cara berbagi rezeki juga pada para pekerja keras itu.

Sentani yang panas semakin panas dengan 'serangan' para supir taksi di teras bandara. Saya membiarkan mas Beni bernego dengan salah seorang supir taksi. Begitu keduanya saling bersepakat, porter mengangkat semua bagasi kami ke sebuah mobil Avanza putih. Supirnya berpostur tinggi jangkung, berkulit hitam, berambut keriting, berkalung dan bergelang monel. Matanya besar dan agak kecoklatan.

Saya duduk di depan, di sebelah supir, sedang mas Beni dan kawan-kawan duduk di jok tengah. Bagasi kami semuanya ada di jok belakang.

John, nama supir itu, berasal dari Ambon. Saya pikir dia asli Papua. Memang susah membedakan orang asli Papua dengan orang asli Ambon. 'Cetakan' keduanya sangat mirip.

"Wah, orang Ambon? Berarti pinter nyanyi dong..." Kata saya pada John. Dia tersenyum, tipis. Mahal banget senyumnya. Saya mencoba-coba mencari keramahan di wajahnya. Tidak menemukan. Tapi pandangan matanya menyiratkan kalau dia dapat dipercaya dan siap membantu.

Kami diantar John ke Hotel Ratna, setelah mencoba ke hotel lain, tapi tidak cocok karena bau rokok di kamar hotel itu membuat kami susah bernafas. Bagi saya dan mas Beni, ini adalah kedatangan kedua kami di hotel yang hanya berjarak beberapa kilometer dari bandara ini. Pertengahan September tahun lalu, kami juga menginap di hotel ini saat mengantar anak-anak kami, para peserta SM-3T, yang akan bertugas di Mamberamo Raya dan di Mamberamo Tengah. Saya sendiri seperti sedang 'napak tilas' jejak-jejak kami beberapa bulan yang lalu bersama teman-teman pendamping dan para peserta.

Siang sampai sore ini, kami hanya punya satu agenda: tidur. Bangun kami terlalu awal pagi tadi, karena sebelum pukul 04.00 kami harus sudah berada di Bandara Juanda untuk check in. Saya sendiri, seperti biasa, masih sempat menyiapkan menu makan pagi dan membuatkan jus jambu biji untuk anak bojo. Itulah kalau jadi ibu rumah tangga yang sok rajin. Rasanya ada yang aneh kalau pergi keluar rumah di pagi hari tanpa menyiapkan menu sarapan lebih dulu. Konsekuensinya, saya harus bangun 'mruput'.  

Kami beristirahat sampai sore di kamar hotel yang lumayan nyaman dan sejuk. Sekitar pukul 17.00, kami baru bangun. Tidur kami adalah tidur yang lelap dan menyehatkan.

***
Selepas magrib, kami berkendara menyusuri jalan menuju Jayapura. Mobil yang membawa kami adalah mobil yang sama, Avanza putih. Tapi supirnya bukan John, melainkan rekannya. Namanya sebenarnya Safrun, tapi dia lebih sukan dipanggil Juan. Juan adalah anak laki-lakinya yang saat ini berusia tiga tahun.

Kami hanya ingin melihat-lihat Jayapura saja. Meski malam sudah jatuh sempurna, kami masih bisa melihat bukit-bukit dan danau-danau. Juga menikmati makan malam yang lezat di sebuah pujasera di dekat GOR Jayapura.

Juan adalah supir yang ramah dan cukup lihai jadi pemandu. Dia menjelaskan hampir setiap tempat yang kami lewati. Dia juga bercerita tentang perseteruan antara 'orang pantai' dan 'orang gunung' yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Meski perseteruan itu sudah agak mereda setelah ada perjanjian yang ditandatangani oleh 'orang gunung', namun itu tidak berarti stabilitas keamanan di Jayapura dan sekitarnya selalu terjamin. 

Juan juga bercerita tentang keluarganya. Istrinya adalah perawat, berasal dari Timor, keturunan Timor-Jawa. Juan sendiri, keturunan Papua-Sulawesi. Juan beragama Islam seperti mamanya, sedangkan kakaknya beragama Kristen seperti papanya. Istrinya, namanya Maria Margareta, juga beragama Islam, meski papanya beragama Kristen. Juan sekeluarga merayakan natal sekaligus hari raya Idul Fitri setiap tahun bersama keluarga besarnya. Dari caranya bercerita, nampak sekali betapa Juan menikmati keragaman dalam keluarga besarnya itu dan menghayatinya sebagai sebuah berkah.

Masa SD dan SMP Juan dihabiskan di Kendari, daerah asalnya. Sejak SMA, dia mengikuti keluarganya yang hijrah ke Sentani untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Ternyata benar. Papua lebih memberi harapan secara ekonomis dibanding Kendari. Menurut Juan, biaya hidup di Kendari murah, tapi cari uang susah. Di Jayapura, semuanya mahal, tapi cari uang gampang. Itulah sebabnya, orang tua Juan akhirnya memilih bermukim di  Jayapura sampai saat ini.

Dari Jayapura, kami kembali ke Sentani, sambil mendengarkan cerita Juan, dan melihat-lihat suasana jalanan di malam hari. Kami juga menyempatkan mampir di sebuah supermarket untuk membeli permen, biskuit, dan wafer, untuk kami bagikan pada anak-anak sekolah di pelosok Mamteng besok. 

Cukuplah menyapa Jayapura malam ini. Besok, sekitar pukul 06.00, kami akan bertolak dari Bandara Sentani menuju Wamena dengan menumpang Trigana Air. Dari Wamena, kami akan langsung menempuh perjalanan darat ke Distrik Illugwa. Besoknya, ke Distrik Eragayam dan Kelila. Perjalanan masih panjang, namun semoga tidak melelahkan.

Selamat malam, selamat beristirahat.

Sentani, 1 April 2014. 11.49 WIT.

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...