Pages

Minggu, 23 Maret 2014

Ke Pamekasan, Membayar Hutang

Adik ibu saya, Bulik Karimah, meninggal dunia tanggal 29 Januari 2014 yang lalu, pada usia 75 tahun. Beliau berdomisi di Pamekasan, tepatnya di Desa Plakpak, Kecamatan Pegantenan. Suaminya, Kyai Bakir, sudah berpulang beberapa puluh tahun yang lalu, waktu saya masih kecil.
  
Bulik Karimah selama ini tinggal bersama anak perempuannya sekeluarga, namanya Dik Khoiriyah. Suami Dik Khoiriyah, Dik Ghofur, adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Mujtama'. Sebuah pesantren yang mengelola sekitar 1500 santri laki-laki dan perempuan, mulai dari santri kecil sampai santri mahasiswa.
  
Ibu tiba dari Tuban ke rumah kami kemarin sore, diantar mas Ipung sekeluarga. Mas Ipung adalah kakak saya. Dia dan anak istri, serta dua anak saudara kami yang lain, berniat menikmati akhir pekan di Surabaya, sekalian mengantar ibu.

Para keponakan saya itu memang sudah lama ingin berkunjung ke Surabaya. Kebetulan di dekat rumah kami ada taman baru, namanya Taman Jangkar (Jambangan Karah). Lumayan menarik untuk tempat bermain anak-anak. Juga dekat dengan Masjid Al-Akbar, yang bila hari Sabtu dan Minggu, ramainya luar biasa. Banyak hiburan, banyak orang jualan, banyak tontonan. Juga dekat dengan Royal Plaza, yang bisa membuat betah siapa pun yang ingin melemaskan kaki, dengan belanja atau sekedar window shopping. 

Jadi pagi ini, kami hanya berangkat berempat. Saya sekeluarga dan ibu. Mas Ipung sekeluarga mau jalan-jalan sendiri, karena kebetulan dia sudah takziyah ke Pamekasan saat hari H bulik kami berpulang waktu itu. Saya sekeluarga yang belum sempat takziyah.  

Kami berangkat pukul 08.48, setelah membereskan rumah. Setelah semua sarapan dan dapur serta rumah kembali rapi. Arga pegang kemudi, mas Ayik di sebelahnya, sementara saya dan ibu duduk di belakang.

Yang namanya Arga, doyan ngomongnya luar biasa. Ada saja topiknya. Mulai dari musik, fotografi, mobil, burung, sepeda, apa saja. Karena bapaknya juga sama doyan ngomongnya, jadilah mobil kami ramainya seperti ruang diskusi. Saya dan ibu hanya sekali-sekali saja berkomentar.

Persis saat adzan dhuhur, kami tiba di Masjid Syuhada di alun-alun Pamekasan. Kami salat di masjid tersebut. Masjid berlantai tiga yang megah dan bersih, namun sepi. Di mana-mana, saya sering menemui kondisi seperti ini, masjid yang megah tapi sepi. Ramainya hanya sesaat, yaitu waktu salat lima waktu. Atau pada saat salat Jumat dan tarawih.

Kami tiba di Ponpes Al Mujtama' pada sekitar pukul 13.00. Disambut dengan hangat oleh Dik Khoiriyah sekeluarga. Saudara misan saya yang dipanggil bu Nyai Khoir ini usianya sepantaran saya. Anaknya empat, yang pertama sudah sarjana. Meski jarang bertemu, kami sangat akrab, dan peluk cium penuh kerinduan mewarnai pertemuan kami.

Siang ini, kami menghabiskan waktu mengobrol di teras rumah yang sejuk karena semilir angin, ditemani kue-kue ringan. Saya selalu menyukai suasana seperti ini. Bertemu kerabat, bercerita banyak hal, berkangen-kangenan, seperti nge-charge jiwa dan raga. 

Kami sempat beristirahat sejenak di kamar besar di rumah induk yang megah. Hanya sebentar, tidak lebih dari satu jam. Lantas kami berempat, diantar Azizah, putri sulung Dik Khoir, berziarah ke makam Bulik Karimah. Makam itu letaknya dekat saja, dalam kompleks ponpes. 

Di bawah gerimis yang hangat (karena matahari bersinar terang), kami berjalan menuju makam. Di makam yang masih baru itu, baru Bulik Karimah satu-satunya yang disemayamkan di situ. Semasa hidupnya, beliau memang sudah berpesan, di mana pun beliau meninggal, di makam itulah beliau ingin dikuburkan. Beliau memilih tempat itu karena tempat itu ada di lingkungan ponpes. Pilihan beliau tidak salah, nyatanya,  hampir setiap hari beliau ditahlilkan oleh para santri.

Kami berpamit saat sore mulai jatuh. Arga kembali pegang kemudi, tapi saat ini dia mengajukan syarat. Berhenti sejenak di pantai Camplong untuk berburu matahari terbenam.

"Kasihan Mbah Uti, Ga...nanti kemalaman," kata saya.
"Nggak kok, bu, sebentar saja. Tiga puluh menit."
"Hah, tiga puluh menit? Ya sudah, tidak apa-apa." Tukas saya. "Mboten menopo nggih, mbah uti?" Tanya saya pada ibu. 
Ibu menggeleng sambil tersenyum. "Ora popo." Beliau justeru ikut turun untuk bersama-sama menikmati pantai. 
"Ya, waktunya nuruti karepe bocah...tadi kan bocahe wis nuruti karepe orang tua.." Kata saya.

Kami melanjutkan perjalanan lagi setelah puas menikmati Pantai Camplong sambil menunggu senja. Sempat singgah di sebuah masjid di Sampang, untuk menunaikan salat maghrib.

Perasaan saya begitu lega. Sebenarnya, kami sudah lama sekali ingin berkunjung ke Pamekasan, sejak Bulik Karimah berpulang Januari yang lalu. Namun karena kesibukan, keinginan itu tidak kunjung terwujud. Alhamdulilah, hari ini Allah memberikan izin-Nya. Seperti lepas dari beban hutang saja perasaan saya saking leganya....

Tana Mera, Bangkalan, 23 Maret 2014. 18.48 WIB.


Wassalam,
LN
(OTW Surabaya) 

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...