Pages

Rabu, 05 Maret 2014

Kisah Mobil Dinas

Hari ini saya memperoleh mobil dinas. Merk-nya Toyota Avanza, keluaran tahun 2008. Sama seperti mobil dinas para Dekan dan Direktur Pasca serta Kepala Lembaga dan UPT di lingkungan Unesa. 

Saya menandatangani Berita Acara Serah Terima mobil itu siang tadi, di kantor kabag perlengkapan. Setelah tanda tangan, saya menerima kunci kontak dan STNK. Satu kunci kontak dan STNK mobil, dan satu kunci kontak dan STNK sepeda motor. Sepeda motor itu untuk digunakan staf PPG yang tugasnya sebagai pengantar surat.

Karena mobil dinas, mobil itu berplat merah. Saya bilang mobilnya bengesan (pakai lipstick). Saya langsung menyerahkan kunci kontak dan STNK kepada Anang, driver PPG.

"Kamu ambil mobil dinasnya, di kabag perlengkapan. Biar aku nyetir sendiri bawa mobilku."
"Terus, ibu, saya bawa ke mana mobilnya?"
"Ke PPG."
"Terus ibu ke PPG-nya gimana? Masak ibu mau nyetir sendiri."
"O iya ya..." Saya berpikir sejenak. Malas juga nyetir sendiri ke Lidah. Macetnya itu lho, apa lagi kalau sore hari, waktunya pulang, bisa bikin stres di jalan. "Bagaimana sebaiknya ya?"
"Apa ibu saya antar ke PPG dulu, terus nanti saya balik ke sini untuk ambil mobil dinas?"
"Terus, pulangnya aku gimana?"
"O iya ya...." Gantian Anang yang linglung.
"Gini aja. Aku akan parkir mobilku di rumah, kamu nyusul. Ntar kita ke PPG pakai mobil dinas saja."
"Inggih, ibu."

****

Siang ini, saya meluncur ke PPG dengan mobil dinas. Mobil itu, maaf, baunya apek. Saya membuka jendela meski AC menyala, berharap bau apek dan aroma tembakau tidak mulek di dalam. Jok mobil juga kotor di beberapa bagian, karpetnya berdebu, dan ada bekas-bekas oli di beberapa bagian dinding dan langit-langitnya. 
"Nang, ini mobil jorok banget sih..." Kata saya.
"Iya, ibu....kurang terawat."
"Padahal sebelum diserahkan ke kita, bu Ratih bilang kalau mobil diservis, di-balancing, di-spooring...." Bu Ratih adalah kabag perlengkapan.
"Ya, tapi kan bu Ratih tidak bilang kalau dibersihkan, ibu..."
"Iya ya... Bener juga."
Saya gebres-gebres. Aroma di dalam mobil benar-benar memancing penyakit alergi saya kambuh.
"Nang, ntar minta duit mbak Evi, bawa mobil ini ke salon mobil. Biar bersih, biar wangi."
Mbak Evi adalah PUMK PPG.
"Inggih, ibu."
"Dirawat, Nang, mobilnya. Cek olinya, cek rodanya, cek semua. Ini fasilitas, musti dirawat dengan baik. Jangan mentang-mentang punya negara. Ngerti ya, Nang."
"Inggih, ibu..."

***
Mas Ayik, suami saya, setelah beberapa tahun bekerja sebagai kabag personalia di PT Jacobs Biscuits, sejak 2004 dapat mobil dinas. Panther Touring. Karena mas Ayik bekerja di perusahaan swasta, mobil dinasnya tidak berplat merah, tapi hitam.

Mobil dinas itu bukan mobil baru. Tapi mobil itu terawat. Mas Ayik juga merawatnya dengan baik, seperti mobil milik sendiri. Memang BBM dan biaya perawatan dari perusahaan, namun meskipun begitu, mas Ayik sesekali tidak eman mengeluarkan dana pribadi untuk perawatan-perawatan kecil yang dia merasa cukup pakai dana pribadinya.

Untuk masalah sifat 'melu handarbeni', mas Ayik adalah tauladan saya. Waktu kami masih belum punya rumah sendiri, ketika baru saja menikah, kami mengontrak rumah. Rumah itu masih baru, belum ada plafonnya, dindingnya belum diplamir apalagi dicat, kamar mandinya juga masih semipermanen.

Dengan menyisihkan sedikit demi sedikit gajinya (waktu itu saya belum bekerja selain jadi koasisten di jurusan PKK), mas Ayik membeli plamir dan cat. Dia melakukan sendiri, saya membantunya sebisa saya, me-mlamir dan mengecat rumah kontrakan kami, setiap hari sepulang kerja. Dia juga minta izin pada pemilik rumah untuk memasang plafon. Tentu saja pemilik rumah senang-senang saja. Mas Ayik tidak minta pemilik rumah untuk 'nguruni'. Prinsipnya, meski pun rumah kontrakan, tidak milik sendiri, toh kami sekeluarga yang menempati. Kalau tidak nyaman, kami juga yang merasakan. Kalau nyaman, kami juga yang menikmati. Jadi rawatlah rumah seperti milik sendiri.

Seperti itu jugalah sikap mas Ayik pada mobil dinasnya. Sampai suatu ketika, mas Ayik ingin mobil dinas itu jadi miliknya, saking sayangnya. Dia sampaikan keinginannya itu pada manager perusahaan, bahwa dia ingin membeli mobil dinas itu. Ternyata tidak dikabulkan. Sebagai gantinya, mas Ayik malah diberi mobil baru. Tapi mas Ayik harus membayar sebesar 40 persen dari harga mobil itu, yang 60 persen dibayar perusahaan. Ya tentu saja mas Ayik mau-mau saja. Mobil pun dikirim ke rumah. Mas Ayik memilih Swift saja, yang terjangkau dengan uangnya, dan supaya ada mobil kecil. Sementara ini, yang kami miliki adalah mobil keluarga.

***

Sebelum saya memperoleh mobil dinas, saya tentu saja menggunakan mobil saya pribadi. Unesa menyediakan driver. BBM saya atasi sendiri. Saya, waktu itu hanya meminta ke pak PR 2, supaya saya diberi driver. Kondisi jalan yang macetnya luar biasa bila pergi pulang dari rumah ke PPG dan sebaliknya, membuat saya suka stres di jalan.

Bila ada keperluan ke bank, ke jasa pengiriman, menjemput tamu, dan sebagainya, PPG selalu pakai mobil pribadi saya. Kadang-kadang, kalau saya sedang tidak di PPG, mobil bu Yanti atau pak Sulaiman, juga digunakan untuk berbagai keperluan. 

Belakangan ini, para staf, sering menanyakan, kapan PPG dapat mobil dinas. Memang volume kegiatan di PPG semakin lama semakin besar, sehingga keberadaan mobil operasional sangat penting. Teman-teman staf kadang merasa sungkan kalau harus pakai mobil pribadi kami untuk berbagai keperluan itu. Makanya mereka menanyakan tentang mobil dinas untuk PPG.

*** 
Mobil dinas itu, inginnya saya parkir di kantor, di PPG sana. Atau di parkiran di kampus Ketintang.  
"Gimana kalau kamu setiap pagi ambil mobil di kantor, Nang, baru jemput saya?" Saya meminta pertimbangan Anang,
"Ibu, apa tidak riskan?"
"Maksudnya?"
"Rumah saya di Driyorejo. Kalau harus ambil di PPG atau di Ketintang, apa tidak riskan telat, ibu? Di Wiyung dan Gunungsari itu macetnya luar biasa. Belum lagi kalau ibu ngajar jam tujuh pagi..."
"Jadi gimana sebaiknya?" 
"Seperti biasa saja, ibu, saya langsung ke rumah ibu, parkir motor di rumah ibu.."
"Maksudmu, mobil dinas diparkir di rumah saya?"
"Iya, ibu..."
"Alamakkkk..."
Anang tertawa. 

Kalau boleh memilih, sebenarnya saya lebih senang mobil dinas itu tidak parkir di rumah saya. Rumah saya yang kecil mungil dan sangat sederhana, sepertinya tidak cocok menjadi tempat parkir mobil berplat merah. Apa lagi kalau mempertimbangkan segi kenyamanan jiwa dan raga, mobil berplat hitam tentulah lebih nyaman.

Tapi tentu saja saya harus mempertimbangkan banyak hal. PPG membutuhkan mobil operasional, dan driver di PPG adalah Anang. Saya membutuhkan Anang untuk mengantar saya mondar-mandir, dan sangat tidak praktis kalau dia harus mengambil mobil ke kampus dulu, baru menjemput saya di rumah. 

Tapi saya sudah woro-woro ke para staf, siapa pun yang memerlukan mobil itu untuk keperluan dinas, mobil bisa digunakan, dan tidak perlu sungkan-sungkan. Kalau kemarin ada rasa sungkan karena berurusan dengan mobil pribadi, sejak saat ini, rasa sungkan itu tidak perlu lagi. Para staf nampaknya ikut bersuka ria menyambut mobil dinas itu.....

Surabaya, 4 Maret 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...