Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 Mei 2022

SEPI


Sebuah puisi

Bicara tentang hati

Rasa yang tak terkatakan

Kata yang tak teruraikan

 

Dalam sepi

Puisi kian sunyi

Membuai lamunan diri

Tentang rindu dan mimpi-mimpi

Tentang makna hidup sejati

 

Ke mana arah tujuan

Dermaga tak jua dalam jangkauan

Meski sang surya hampir mencapai peraduan

 

Detik demi detik

Seperti berputar

Seperti bergerak

 

Tak kunjung sampai ke titik harapan

 

Sebuah puisi

Adalah lukisan hati

Adalah sepi...

 

Patra Jasa Semarang, 5 Mei 2013

Sabtu, 07 Mei 2022

Bulir Padi


Bulir-bulir padi itu adalah harapan, tidak hanya bagi para petani pemilik sawah

Bulir-bulir padi itu juga harapan bagi para kuli penggarap dan penunggu sawah

Bahkan mungkin harapan itu jauh lebih besar

Karena bulir-bulir itulah sumber kehidupan mereka

Satu-satunya

 

Saat anak isteri ada di desa menunggu sepetak kebun atau ladang

Atau menemani orang tua, nenek, kakek yang sudah uzur

Para kuli itu berteriak-teriak mengusir serombongan burung mungil yang sedang mencoba keberuntungan

Hinggap dari satu helai ke helai tanaman padi yang lain

Terbang berhamburan saat suara para penunggu hingar-bingar memecah keheningan

Bertengger di pohon-pohon tinggi menunggu kesempatan

 

Bukan hanya burung-burung liar itu yang menggelisahkan para petani

Juga terpaan angin yang merobohkan padi-padi yang mulai menguning itu

Dan hama entah apa namanya yang membuat daun-daun padi mengering dan bulir-bulirnya menguning tidak rata

 

Bulir-bulir padi itu adalah harapan petani, penggarap, dan penunggu sawah

Di setiap bulirnya menyimpan kisah tentang kerasnya hidup, etos kerja, dan ketangguhan

 

Surabaya, 6 Mei 2018

Jumat, 10 Oktober 2014

Dirimu

Oleh: Luthfiyah Nurlaela

Diriku masih berdiri mematung. Menatap nanar pusara itu. Seperti tak percaya diri ini. Benarkah itu dirimu, yang berbaring di bawah taburan kembang merah berseling hijau, yang harumnya semerbak mewangi? Berbaur dengan wewangian yang menebar dari bunga-bunga kamboja? Aroma wangi yang lain, entah wangi apa, wangi sekali, itukah wewangian dari surga yang dibawa malaikat yang menjemputmu untuk diantarkan ke haribaan-Nya?

Semalam, diriku dan dirimu masih berbincang, meski hanya lewat SMS.
"Liburan telah usai.....kerja....kerja...kerja...." Katamu.
Lantas kubalas: "Jadi hari ini dirimu sudah di kantor? Selamat bekerja ya."

Diriku juga bertanya, apakah besok pagi, dirimu akan hadir di acara halal bi halal. Dirimu bilang ya, namun paginya, dirimu akan menghadiri pernikahan seorang teman dulu, baru meluncur ke acara halal bi halal di kampus.

Diriku juga mengingatkan acara halal bi halal besoknya lagi, di rumahsenior kita, yang dirimu diminta untuk menjadi seksi dokumentasi.
"Nah, ya itu yang aku masih ada ganjalan," katamu.
"Kenapa?"
"Minggu itu, aku harus ke Jember, ngantar adiknya Dik Yuni."
"Walah, ya deh."
"Aku tidak punya hari libur lagi selain hari itu."
"Ya deh."
"Kok ya deh, ya deh. Coba kalau dirimu di posisiku."
"Ya deh, paham."

Karena malam sudah larut, diriku pamit berangkat tidur. Namun tiba-tiba, SMS-mu masuk lagi. "Nemu foto..." Tulismu. Sebuah gambar, diriku dan Arga kecil di gendonganku, membuatku keheranan.

"Dari mana dirimu dapat foto itu?" Tanyaku.
"Lha dirimu gimana lho, naruh foto sembarangan. Untung yang nemu wartawan baik-baik. Kalau yang nemu wartawan yang suka bikin sensasi, gimana?"
Aku tak mempedulikan pertanyaanmu. Kalau yang menemukan foto itu wartawan yang suka bikin sensasi pun, tidak masalah. Tidak ada yang aneh dalam foto itu. Adakah yang aneh dari foto seorang ibu yang menggendong anaknya?

"Dari mana dirimu dapat foto itu?" Aku mengulang pertanyaan. Itu foto zaman baheula, puluhan tahun silam. Tidak tersimpan dalam bentuk file. Kok bisa-bisanya dirimu memperolehnya. Diriku punya file-nya saja tidak.

Tapi dirimu tidak menjawab pertanyaanku.
"Jawab dong." Pintaku. "Kalau dirimu tidak menjawab, tak siwak."
"Wakakak....ancaman lama muncul lagi."
"Hayo, jawab. Siwak lho."
"Wakakakak...see you tomorrow?"

See you tomorrow. Itu kata-kata terakhirmu malam itu. Tapi, seperti hari-hari sebelumnya, aku tidak terlalu berharap dirimu muncul pada siang itu, saat acara halal bi halal digelar. Dirimu sering mblenjani janji. Meski ingkar janjimu selalu karena sesuatu hal yang memang tidak terduga, termasuk karena dirimu bangun kesiangan. Seingatku, beberapa kali dirimu meminta maaf karena tidak bisa hadir di suatu acara, atau tidak bisa tepat waktu untuk suatu pertemuan, hanya karena terlambat bangun. Alamak....dasar wartawan.

Sore ini, baru kusadari, 'see you tomorrow', adalah kata-katamu yang benar-benar terakhir. Tidak akan ada kata-kata lain lagi setelah itu. Benar-benar kata-kata terakhir. 

***

Hatiku kosong memandangi namamu yang tertulis di pusara. Senja yang jatuh, meski dihiasi matahari jingga yang tersangkut di pepohonan, begitu sendu. Para pelayat mengerubungi kuburmu yang tanahnya masih basah, membacakan tahlil dan doa-doa. Suaranya seperti menggema menuju langit. Di sana, aku bayangkan, ribuan bidadari telah siap menyambut arwahmu. Mereka semua tersenyum, aromanya semerbak mewangi, dan wajahnya berseri-seri.

Meski di sini, semua orang menunduk layu. Yuni, istri tercintamu, menyandarkan kepalanya pada anak lelakimu. Lunglai. Dua anakmu yang lain ada di sisi kanan kirinya, terisak pilu. Betapa teriris hati ini menyaksikan semua itu.

Adzan maghrib berkumandang, mengiringi langkah para pelayat menjauh dari kuburmu. Istri dan ketiga anakmu melangkah dengan berat, juga menjauh dari kuburmu. Mata mereka sembab. Wajah mereka kehilangan sinarnya. Namun bibir mereka tetap mencoba tersenyum saat menyampaikan ucapan terima kasih pada para pelayat, serta memintakan maaf untuk dirimu. Senyum yang pahit. Teramat pahit.

Yuni, siang tadi, meneleponku saat aku dan Mas Ayik, suamiku, serta teman-teman kita semua, sedang berada di sekretariat Himapala. Aku baru saja selesai memberikan kata sambutan untuk acara halal bi halal itu.

"Mbak, apa Mas Rukin di situ?" Tanya Yuni.
"Tidak, Yun, belum datang"
"Aku  kira Mas Rukin di situ, Mbak. Dia pergi dari pagi."
"Aku dari jam sembilan-an ada di sini, Yun, Mas Rukin belum datang sampai sekarang."
"Mbak, aku dengar dia kecelakaan...."
"Hah, kecelakaan gimana? Kamu dengar dari siapa?"
"Dari Radar, Mbak... Tapi hapenya aku telepon nggak nyambung-nyambung...."
"Yun, coba hubungi terus, aku juga akan coba hubungi. Semoga Mas Rukin baik-baik saja."

Lantas aku mencoba meneleponmu. Tersambung. Tapi bukan dirimu yang mengangkat. Suara seorang perempuan, menjelaskan semuanya dengan terbata-bata. Dirimu mengalami kecelakaan, dan meninggal.  Jasadmu ada di RS Siti Khatijah.

Oh Tuhan. Tubuhku terasa berguncang hebat. Dadaku berdegup keras. Bibirku bergetar. Tangisku pun pecah. Dengan hati hancur aku menghambur ke arah Mas Ayik, berbisik di telinganya.

"Mas..... Mas Rukin kecelakaan, dan meninggal...."
"Apa? Innalillahi wa inna ilaihi rojiun."
"Sekarang jenazahnya di RS Siti Khatijah, Mas...."
"Ayo kita langsung ke sana."

Sebelum bangkit dari duduknya, Mas Ayik berbisik di telinga Mas Joko, senior kita.
"Rukin kecelakaan, Mas... Meninggal."
"Apa? Innalillahi wa inna ilaihi rojiun." Wajah Mas Joko langsung merah padam, matanya berkaca-kaca.

Kami pun pamit dari acara yang sedang ramai-ramainya itu. Tak mempedulikan pertanyaan teman-teman kenapa kami pamit lebih dulu, dengan wajah yang diliputi kepanikan sekaligus kesedihan. Biarlah Mas Joko yang menjelaskan kabar itu pada mereka. Aku sudah tidak sanggup berkata-kata. Aku hanya ingin segera sampai di tempat di mana dirimu berada.

Begitu sampai di depan ruang jenazah RS Siti Khadijah, Mbak Yani, rekan kerjamu, yang menerima teleponku tadi, menyambut kami. Mas Arif, rekan sekantormu juga, bertanya, apakah aku dan Mas Ayik ingin melihat jenazahmu. Kami berdua mengangguk. Tapi Mas Ayik melarangku.
"Biar aku dulu yang lihat, Sayang. Kamu nanti saja..."

Mas Ayik tahu aku tidak akan tegar melihatmu sudah tiada. Mas Ayik tahu aku tak akan kuat melihatmu dengan tubuh penuh luka. Maka aku pun menurut. Terpekur di sudut. Menghayati kedukaanku. Membiarkan air mata mengaburkan pandanganku.

Tak berapa lama, adzan dhuhur berkumandang. Kami, aku dan belasan teman Himapala yang sudah mulai berdatangan, menunaikan salat di mushala. Air mataku tumpah di atas sajadah. Tak kuasa aku menahan kesedihan ini. Kutanyakan pada Tuhan, mengapa harus dirimu? Yang begitu setia dan berarti dalam menemaniku dan kawan-kawan seperjuangan?

****

Tak akan pernah kulupa betapa berartinya jejak-jejak yang telah dirimu ukir di setiap perjuangan kita. Pedalaman Sumba Timur telah dirimu jelajahi, bahkan melebihi dari yang pernah kami semua singgahi. Waingapu, Katala Hamulingu, Tabundung, Pinupahar, lanjut ke Ramuk, tempat guru perempuan muda yang tinggal sendirian di tengah hutan itu. Juga SD Umandudu, sekolah yang dikelilingi bukit dan lembah menakjubkan. Sebagian rute Tawui-Okatana bahkan dirimu tempuh dengan berjalan kaki. Menembus hutan belantara, menaiki dan menuruni bukit, melanggar sungai-sungai. Tak ada keluhan sedikit pun dari mulutmu. Wajah basahmu yang penuh keringat tetap tersenyum. Sekali-sekalinya dirimu mengeluh hanya ketika, tanpa dirimu sadari, kertas-kertas catatan perjalanan yang dirimu simpan di kantung celana, basah terendam air saat dirimu melanggar sungai yang arusnya sangat deras. Dengan rapi dirimu menjemur kertas-kertas itu, di teras SD Okatana, sambil menunggu singkong rebus yang disiapkan para guru muda itu.

Beberapa hari setelahnya, tulisan hasil liputanmu muncul di koran nasional. Tidak tanggung-tanggung. Tiga hari berturut-turut. Tulisan yang mengabarkan betapa mengenaskan kondisi pendidikan di daerah Sumba Timur. Betapa miskin masyarakatnya. Betapa memprihatinkan etos kerja kepala sekolah dan guru-guru asli putra daerah. Namun betapa menakjubkan alamnya yang masih murni. Padang savana, kuda-kuda Sumba, dan pantai-pantai yang permai. Juga, betapa mengagumkan semangat belajar anak-anak negeri. Meski harus menembus hutan belantara, naik-turun bukit, menempuh jarak berkilo-kilo meter, mereka datang ke sekolah, dengan kaki telanjang yang penuh luka karena tergores bebatuan dan duri-duri yang tajam.

"Ibu Guru, Saya Ingin Membaca," adalah buku pertama hasil kompilasimu atas tulisan ratusan guru pengabdi di Sumba Timur. Buku yang mengabarkan tentang betapa memprihatinkan kondisi pendidikan, sarana-prasarana, etos kerja guru dan kepala sekolah, daya dukung orang tua dan masyarakat. Juga betapa besar arti perjuangan para guru muda itu untuk membangunkan cita-cita dan mimpi-mimpi anak bangsa. Mereka tak kenal lelah berbagi, menyapa anak-anak di titik-titik terjauh. Benar-benar pengabdian yang tak kenal batas wilayah. Mereka tidak hanya mengajar membaca dan menulis. Mereka datang sebagai guru-guru berjubah kasih-sayang.

Dirimu bekerja keras untuk mewujudkan buku itu, juga buku-buku tentang Sumba Timur lainnya. Bahkan dirimu merasa harus kembali ke Sumba Timur untuk melengkapi data agar tulisan itu lebih sempurna. Dirimu pergi berlayar ke Pulau Nusa, berbaur dengan masyarakat setempat dan para guru pengabdi. Menyelami kehidupan mereka, mendengarkan cerita dan keluh-kesah, menyemangati. Dua buku yang lain, yang terasa sekali betapa dirimu mengemasnya dengan sepenuh jiwa, adalah 'Jangan Tinggalkan Kami', dan 'Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita'.

Masih ingat jugakah dirimu, saat kita bertiga berlayar dari Saumlaki menuju Pulau Babar? Kita terayun-ayun di atas Laut Banda selama sembilan jam. Ketika tiba di Pelabuhan Tepa, malam telah merangkak, dan kita begitu lelah. Namun sambutan Bapak Pendeta dan orang-orang di sana begitu ramah. Sepiring ubi rebus, lengkap dengan sayur bunga pepaya dan ikan laut, dibalut dengan keramahan dan kehangatan mereka, mengusir rasa lelah seketika.

Diriku, dirimu dan Mas Heru, adalah tiga orang yang terdampar di pulau yang begitu asing. Menyapa setiap jengkalnya dengan ketulusan berbalut kenekadan. Ya. Apa yang membawa kita sampai di pulau kecil di bagian Maluku Barat Daya itu, kecuali dorongan untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri kondisi pendidikan dan masyarakatnya, serta sekedar berbagi sapa dan senyuman?

Selama tiga hari itu, kita menyusuri Pulau Babar, mulai dari Tepa, Nakarhamto, Letwurung dan Ahanari. Kita saksikan betapa memprihatinkannya kondisi pendidikan di sana. Sekolah berlantai tanah, berdinding papan, beratap kayu-kayu lapuk. Sekolah tanpa buku, bahkan tanpa guru. Kalau pun ada guru, kaki para guru itu pada baminyak. Seng betah di tempat. Begitulah kebanyakan guru-guru di daerah-daerah terpencil itu, suka mangkir dari tugas.

Di pulau asing itu, salib ada di mana-mana. Tidak hanya di gereja-gereja, namun juga di dinding-dinding rumah, di pohon-pohon kelapa. Orang-orang selalu menyapa 'selamat pagi, Bapak' atau 'selamat malam, Ibu', begitu ramah, meski segelas sopi hampir selalu setia mendampingi. Di tanah itu, kita belajar tentang toleransi yang sebenarnya. Kita menghayati makna harmoni dalam perbedaan dengan nyata. Menepiskan rasa saling curiga, meski baru pertama berjumpa.

Begitu banyak pengalaman menakjubkan. Suatu sore, ketika kita bertiga terayun-ayun di Kapal Marsela, bertolak dari Pelabuhan Tepa menuju Pelabuhan Galala, Ambon, kita mendapatkan pengalaman yang bagi diriku, begitu traumatis. Seekor kura-kura ditangkap para ABK. Kura-kura itu tubuhnya penuh tali. Dia ditarik kuat-kuat dari laut, dan tubuhnya yang penuh luka itu terhempas keras di dalam kapal. Semua orang mengerubunginya. Dirimu dan Mas Heru sibuk memotret. Aku ikut mendekat, dan hatiku teriris-iris. Pedih. Dirimu pasti masih ingat, mata kura-kura itu berair. Dia menangis. Dia kesakitan. Mata itu, adalah mata yang memohon belas kasihan. Tapi tak ada satu pun dari kita yang peduli. Aku beringsut masuk kamar, dengan kepala dipenuhi bayangan tentang kura-kura yang kesakitan itu. Aku hanya bisa menuliskan kesedihanku. Aku terus menulis dan menulis sampai larut malam. Sampai akhirnya tertidur dan bayang-bayang kura-kura yang menangis itu terbawa dalam mimpi.

Selama dua malam di kapal Marsela itu, kita melihat kerumunan orang di mana-mana. Mereka bermain kartu, sebotol sopi dan gelas-gelas plastik ada di tengah-tengah mereka. Mushala mereka penuhi dengan baju-baju, kasur, dan tikar untuk bermain kartu. Namun begitu mereka melihat kita mengambil air wudhu, mereka semua semburat membuyarkan diri. Menggulung tikar mereka, menghimpun kartu-kartu, gelas-gelas plastik dan botol sopi. Dengan ramah dan sopan, mereka menyilakan kita menggunakan mushala untuk shalat.

Kita, mungkin hanya kita, tiga orang yang berbeda di antara mereka. Kita seperti tengah terdampar di dunia lain. Namun betapa mereka menghargai keberadaan kita, dengan cara mereka. Mereka tahu kita perlu ketenangan ketika kita bersujud di mushala yang menjadi ruang multifungsi itu, namun mereka sedikit pun tidak mengusik. Mereka begitu indah dalam balutan kulit hitamnya, mata bulat yang kadang bersemu merah. Bahkan dalam diam pun, mereka begitu indah.

Lebih dari sepekan kita habiskan waktu untuk menelusuri Pulau-Pulau Babar itu. Sinyal antara ada dan tidak. Begitu unik perilaku sinyal di sana. Dia ada di pohon-pohon, ada di bukit-bukit terjal, ada di pantai. Kadang ada di jendela-jendela. Seringkali dia seperti memenuhi ponsel kita, tapi tak ada sesuatu pun yang kita bisa lakukan dengannya. Tidak bisa menelepon dan mengirim SMS, namun SMS bisa masuk. Begitulah. Tidak salah jika mereka, guru-guru muda yang kita kunjungi itu, menyebut sinyal di MBD adalah sinyal parlente.

***
Pertengahan September tahun lalu kita kembali berpetualang. Mendampingi sembilan belas guru muda yang akan mengabdikan diri di Kabupaten Mamberamo Raya. Sebuah kabupaten baru di pelosok Papua.

Bersama kita, adalah dua orang kru sebuah stasiun televisi swasta. Dirimulah yang akhirnya harus memandu mereka. Meski mereka cukup berpengalaman, namun pengalaman dirimu sebagai jurnalis senior membuat mereka memerlukan ide-ide yang berbeda dan cermerlang dari orang seperti dirimu.

Kita terbang dari Surabaya menuju Jayapura saat pagi masih gelap. Sebuah perjalanan yang menyenangkan. Dengan anak-anak muda, yang semuanya laki-laki, yang sangat bersemangat. Ya, tak ada seorang pun guru perempuan yang kita bawa. Kondisi medan dan keamanan di Mamberamo Raya yang belum terlalu menjanjikan membuat kita belum berani mengambil risiko dengan menugaskan guru perempuan di sana.

Esoknya, dari Jayapura, kita menumpang bus menuju Kabupaten Sarmi. Bus Damri milik pemerintah daerah. Selama sepuluh jam kita menempuh perjalanan dengan kondisi jalan yang sangat bergelombang, dan melintasi ratusan jembatan. Ya, ratusan jembatan. Hampir setiap kilometer kita melintasi jembatan rusak atau jembatan yang setengah jadi sepanjang perjalanan sejauh dua ratus kilometer lebih itu. Kalau ada laut bergelombang, di sinilah kita menemukan daratan yang bergelombang. Beberapa dari anak-anak mabuk karenanya. Mereka muntah-muntah, muka mereka pucat pasi, dan tubuh mereka nampak lemas. Perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan.

Ternyata itu baru awalnya saja. Esoknya, kita harus menumpang speedboat, mengarungi Samudra Pasifik, menuju muara Sungai Mamberamo. Tiga speedboat melaju di atas laut yang bergelombang, terhentak-hentak dengan sangat keras. Selama tiga jam itu, sekali lagi, beberapa anak kita mengalami mabuk laut. Kasihan mereka. Perjalanan dari Surabaya menuju Jayapura, ditambah dengan perjalanan darat yang panjang dari Jayapura menuju Sarmi, telah membuat mereka mengalami kelelahan yang cukup parah. Namun, meski wajah mereka kelelahan, semangat mereka tidaklah padam. Semangat untuk mengabdi, mengambil bagian dalam pembangunan pendidikan di ujung-ujung negeri.

Setelah tiga jam berspeedboat melintasi Samudera Pasifik, tibalah kita di muara Sungai Mamberamo. Di sebuah rumah singgah di Warembori. Kita sempat menyapa kampung nelayan yang ramah itu. Memasuki sebuah sekolah dasar dan bercengkerama bersama para siswa dan guru yang hanya satu-satunya. Bangunan sekolah itu terbuat dari kayu dan papan-papan. Beberapa kelas disekat-sekat karena kelas tidak cukup untuk semua jenjang. Oya, meski anak-anak itu sudah akan lulus SD, beberapa dari mereka masij belum bisa membaca dengan lancar.

Tapi kita tentu saja tidak heran dengan kondisi itu. Kita sudah mengunjungi berbagai pelosok negeri ini. Kemampuan baca tulis dan hitung anak-anak di tempat-tempat yang nyaris tak terjangkau itu memang sangatlah rendah. Pernah suatu ketika, di pelosok Sumba Timur, kita melihat seorang siswa yang menghitung 24 + 16 = 13. Ya, dia mengitungnya dengan cara 2 + 4 + 1 + 6. Lucu? Tentu saja tidak. Kita merasa begitu prihatin. Bodohkah dia? Juga tidak. Dia hanya tidak mendapatkan pembelajaran yang benar. Dia hanya belum menemukan seseorang yang tepat untuk mengajarinya berhitung dengan baik. Dia hanya perlu waktu untuk membuktikan bahwa dia pun memiliki kemampuan yang cemerlang, sama cemerlangnya dengan teman-temannya di kota. Dia hanya perlu tangan-tangan lembut yang menyentuhnya dengan penuh kasih-sayang. Dia perlu sosok panutan. Dia perlu guru-guru yang mampu membangkitkan kecintaannya pada belajar dan ilmu pengetahuan.

Suatu ketika, di sebuah sekolah, diriku bertanya pada seorang siswa. Dia ada di antara belasan temannya yang mengerumuniku. Baju mereka semua lusuh, sebagian ada yang koyak-koyak. Bau badan mereka, maaf, begitu tak sedap, sepertinya jarang sekali mandi. Mereka anak-anak ingusan, dalam arti yang sebenarnya. Ya, hidung mereka hampir semuanya beringus.

"Selamat pagi..." Sapa diriku.
"Selamat pagi.." Jawab mereka malu-malu.
"Siapa namamu?" Tanyaku, pada seorang anak, sembari memasang senyum termanisku.
Tapi anak itu diam saja. Aku bertanya pada seorang anak di sebelahnya. Sama. Anak perempuan mungil yang manis tapi dekil itu hanya diam.

"Ibu jangan begitu bertanyanya." Kata seorang guru, yang ada di antara mereka, dan sejak tadi memperhatikanku.
"Maksudnya?"
Guru itu mendekat pada seorang anak.
"Siapa kamu punya nama?" Tanyanya, dengan logat yang sangat khas.
"Melki." Jawab anak itu.

Diriku tercengang. Serta merta aku menyadari, betapa tidak kontekstualnya caraku bertanya. Mereka sama sekali tidak mengenal struktur kalimat pertanyaanku, meski itu benar dari kaidah bahasa. Mereka, lebih-lebih, sama sekali tidak mengenal logatku.

Kembali ke perjalanan kita menuju Mamberamo Raya. Dari rumah singgah di Warembori, kita melanjutkan perjalanan menuju Kasonaweja. Tentu saja setelah menyantap makan siang yang disiapkan oleh ibu kepala sekolah. Menu makan siang yang sangat spesial. Nasi putih, mie instan rebus, dan ikan kering.

Perjalanan ke Kasonaweja begitu menegangkan. Selama empat jam kita terhentak-hentak dalam speedboat yang sedang melaju di atas sungai Mamberamo. Ya, sebenarnya hanya sungai, namun arus deras di bawahnya membuat perjalanan tidak terlalu aman. Tetapi ketegangan kita semua terhibur dengan pemandangan di sepanjang perjalanan yang begitu indah, meski sejauh mata memandang hanyalah bentangan air dan air. Juga tertutup dengan niat kuat dan pikiran positif. Tuhan akan melindungi kita, melindungi orang-orang yang sedang berjuang di jalan-Nya. Menggapai tempat-tempat terjauh demi sebuah pengabdian mencerdaskan anak-anak negeri, bukankah itu bisa dikatakan berjuang di jalan-Nya? Kalau pun terjadi sesuatu pada kita semua, Tuhan telah memilihkan jalan terbaik untuk menemui-Nya. Jalan jihad. Jalan orang-orang yang dijanjikan tempat terindah di surga-Nya. Namun, syukurlah, Tuhan begitu mengasihi kita, mengasihi anak-anak di pelosok-pelosok itu, sehingga memberi kita kesempatan dan kesempatan lagi untuk mengunjungi mereka, berbagi ketulusan dan kepedulian.

Kasonaweja tercapai saat hari sudah menjelang sore namun cuaca begitu panas. Benar apa yang dikatakan kepala dinas pendidikan Mamberamo Raya. Tentang cuaca, orang mengatakan, "hujan sungguh mati, panas sungguh mati." Menandakan hujan yang tak pernah absen, dan bahkan hampir selalu menyebabkan banjir tahunan. Sekaligus, karena Mamberamo Raya menghampar di atas batubara, maka panasnya juga luar biasa.

Sumba Timur, Maluku Barat Daya, dan Mamberamo Raya, adalah tiga tempat yang begitu berarti bagi kita. Beberapa karya buku telah terlahir untuk mengabadikan keindahannya dan juga suka duka perjuangan para guru muda itu. "Jangan Tinggalkan Kami," "Berbagi di Ujung Negeri", dan "Memeluk Pelangi Negeri Kalwedo", telah menjadi saksi semua keindahan dan perjuangan itu. Namun, sedihnya, meski dirimu sudah menuntaskan "Memeluk Pelangi Negeri Kalwedo", dirimu ternyata tidak sempat melihat wujud akhirnya. Dirimu pergi saat buku itu belum selesai dicetak. Cover di buku itu adalah karyamu, tata letaknya juga, baris-baris setiap kalimat di dalamnya, begitu kental oleh sentuhanmu.

Setidaknya, telah dirimu tinggalkan semuanya itu untuk kami semua sebagai warisanmu.

***
Siang ini, kuterima SMS dari sahabat kita, Sirikit Syah.
"Bu, aku dan teman-teman siap mengajar di kelas literasi besok siang. Bu, jadi ingat Mas Rukin. Pingin nangis rasanya...."

Diriku sebenarnya sudah tidak mau lagi membiarkan kesedihan terus-menerus memberati hatiku. Sudah dua minggu berlalu, sejak kami mengantar dirimu ke peristirahatan terakhirmu. Sejak saat itu, hari-hariku dipenuhi dengan bayang-bayangmu. Meratapi terus kepergianmu. Menangis setiap kali mengingatmu. Mempertanyakan pada Tuhan, kenapa harus dirimu, yang begitu kami butuhkan? Setiap saat kuhadirkan doa, berharap Tuhan mengampuni semua dosamu, dan merengkuhmu dalam dekapan hangat-Nya. Memberikan surga terindah-Nya. Seperti keindahan yang telah dirimu taburkan di mana-mana.

"Kukenang dirimu dengan begitu indah." Begitu sebuah bunyi status di akun facebook seorang mahasiswa. Dia, dan juga teman-temannya, begitu merasa kehilangan. Gambar-gambarmu terpasang di status akun mereka. Saat dirimu ada di pelosok-pelosok wilayah tempat penugasan bersama mereka. Juga saat dirimu ada di kelas, ada di ruang seminar, di lorong-lorong gedung,  mengajari mereka tentang literasi.

"Dirimu tidak hanya mengajari kami bagaimana menulis dengan baik, namun juga mengajari kami bagaimana menjalani kehidupan dengan berguna." Begitu kata seorang mahasiswa. Dirimu telah membuatnya yakin bahwa dia bisa dan mampu menulis, dan tulisan-tulisannya itu akan menjadikan hidupnya lebih berarti.

Terlalu banyak yang sudah dirimu lakukan untuk kami. Terlalu banyak goresan tinta yang telah dirimu tuliskan tentang anak-anak negeri. Terlalu banyak kesedihan dan keprihatinan dari tempat-tempat terjauh itu, yang telah dirimu kabarkan kepada setiap orang. Berharap itu semua akan mengetuk hati para penguasa negeri, para guru, para orang tua, para pejabat, siapa pun juga, untuk lebih peduli mengurus pendidikan. Memastikan mereka di titik-titik terjauh dari NKRI ini tersentuh dan tak terabaikan.

Sore ini, diriku berkendara dari bandara Juanda sepulang dari tugas luar kota, menuju rumah. Saat melintasi tempat di mana kecelakaan itu terjadi, kecelakaan yang merenggut nyawamu, dadaku bedegup kencang. Hatiku menangis pilu. Pagar oranye yang berjajar di sepanjang jalan yang menjadi pembatas untuk kendaraan umum itu, yang dipasang sejak kecelakaan itu terjadi, semakin merobek-robek hati. Kenapa baru sekarang pagar pembatas itu dipajang? Kenapa harus menunggu korban jatuh dulu? Kenapa harus dirimu yang jadi tumbal?

Beberapa hari yang lalu, saat diriku melintas di jalan ini, kulihat ada karangan bunga di tempat di mana dirimu tergilas bus gila itu. Beberapa hari yang lalu, selama beberapa hari, orang-orang melakukan tabur bunga di tempat itu. Media massa menulis tentang kecelakaan yang menimpa dirimu, membeberkan betapa bobroknya pengaturan lalu-lintas di tempat itu, betapa tak berdayanya para petugas untuk melakukan penertiban, betapa tak beradabnya para supir kendaraan umum. Meski di sana sudah terpasang rambu-rambu jalan, semuanya itu tak ada gunanya.

Negeri ini mungkin ditakdirkann untuk menjadi negeri yang haus tumbal. Sekolah diperbaiki setelah ada  siswa yang terluka atau meninggal karena tertimpa langit-langit yang runtuh. Bendungan dibuat setelah sungai meluap dan menelan puluhan bahkan ratusan korban banjir. Pelajaran tanggap bencana diajarkan di sekolah-sekolah setelah terjadi tsunami dan gunung meletus yang meluluh-lantakkan sebagian negeri. Penyuluhan anti narkoba dan penyakit kelamin dilakukan di mana-mana setelah ribuan bahkan jutaan orang terpapar dan terjangkiti. Dan kini, di tempat itu, pagar pembatas dipasang setelah terjadi kecelakaan yang meminta korban. Dan korban itu adalah dirimu.

Bagaimana pun, meski harus mempertaruhkan nyawa, dirimu telah berhasil membuka mata semua orang untuk menyadari betapa lemahnya penegakan hukum dan peraturan berlalu-lintas. Ya, bahkan setelah dirimu berpulang pun, dirimu masih meninggalkan hikmah untuk kita semua. Masih memberikan kemanfaatan bagi sesama. Setidaknya, setelah kejadian kecelakaan yang menimpa dirimu itu, lalu lintas di tempat itu menjadi lebih teratur, dan memberikan kenyamanan bagi setiap pengguna jalan.

Dirimu memang sudah tiada. Namun dirimu akan selalu menyemangati siapa pun yang pernah mengenalmu. Lihatlah, di kelas-kelas itu, sahabat-sahabat kita tetap bertahan mengajarkan literasi pada para calon pendidik yang datang dari segala penjuru Tanah Air itu. Sirikit Syah, Much. Khoiri, Eko Prasetyo, Anwar Djaelani, mereka semua mengisi kelas-kelas di mana anak-anak muda itu belajar tentang menulis dan tentang kehidupan. Ya, seharusnya dirimu ada di sana, ada di antara mereka. Bukankah dirimu yang telah memulai semuanya ini? Tapi, baiklah, apa boleh buat, Tuhan berkehendak lain. Dia memanggilmu begitu cepat karena Dia begitu mencintaimu. Tapi, seperti kata sahabat kita, Sirikit Syah, semangatmu terus hadir bersama kami semua.

"You may have died, dear friend
But the memory of you will stay forever
I promise to continue our journey, even without you...
With you, in spirit...."

Dan orang baik itu, dirimu, sekarang sudah pergi, pergi untuk selamanya
Namun kenangan-kenangan itu tak mungkin sirna
Hal-hal baik yang telah kau wariskan
Juga ribuan cita-cita yang masih kau gantungkan
Semangat yang tak pernah padam untuk mengabdi pada kehidupan

Sahabat,
Kulantunkan Al Fatihah dan doa-doa,
Untuk mewakili kesedihanku, menggantikan cucuran air mataku, menyiratkan rasa kehilanganku
Di sini, aku, sahabatmu
Dan ratusan rekan baikmu, ratusan pendidik muda generasi setelahmu
Hanya mampu mengucap
Selamat jalan, sahabat kami, bapak kami, guru kami
Allah telah memanggilmu ke pangkuan abadi-Nya
Dalam rengkuhan kasih sayang-Nya
Semoga kau damai selalu di sisi-Nya

Surabaya, 15 September 2014


(Mengenang 40 hari berpulangnya sahabat Rukin Firda, 10 September 2014).

Selasa, 18 Februari 2014

Pada Musim Edelweis

Hampir tak percaya, ya Anggoro menatap pemandangan di depannya. Berkali-kali mengusap matanya, barangkali apa yang dilihatnya itu hanya sebuah mimpi. Tapi tidak. Gadis itu memang Farida. Menggunakan rok dan blus dengan motif nonfigurative berwarna ungu, tas kulit hitam, ya semua itu memang milik Ida. Tapi… oh Tuhan, kakinya! Anggoro tercengang memperhatikan sepasang sepatu hitam yang melekat di kaki Ida, dan bergerak dengan bantuan sebuah kruk!
“Ida…!”
Gadis itu ternyata telah tersenyum Anggoro menyapanya. Amat arif. Seolah tak ada yang berubah pada dirinya. Seolah tak ada berpasang-pasang mata yang memperhatikannya dengan ekspresi macam-macam.
“Apa yang telah terjadi padamu selama liburan, Da?”
“Mestinya kau tidak menyambutku dengan pertanyaan seperti itu!” Ida pura-pura merajuk. Anggoro segera menyadari kesalahannya.
“Sori!” ralatnya sembari membarengi langkah Ida. “Oya, perlu kubawakan buku-bukumu?”
“Terima kasih, aku masih cukup kuat, kok.”
“Tapi, kau seperti kesulitan.” Anggoro keras kepala.
“He, apakah aku nampak demikian lemah hanya karena keadaannku seperti ini?” kata Ida datar. Kelihatannya dia tersinggung.
“Oh, tidak. Maksudku…”
“Aku tahu sebenarnya kau ingin bilang ya.”
“Dan, aku Cuma khawatir melihat keadaannmu…” Sabar sekali suara Anggoro. “Maafkan kalau caraku salah.”
“Kuharap tidak kau perlakukan aku  seperti seorang gadis lemah yang tak bisa berbuat apapun untuk dirinya sendiri,” ujar Ida tegas, tak mempedulikan keresahan di hati Anggoro. “Sebab…”
“Kenapa, Da?”
Ida menunduk menyembunyikan matanya. “Selamanya aku akan terus begini, ke mana pun tak bisa lepas dari kruk ini!”
“Da…!” Anggoro semakin terkejut. Andaikan ada petir yang menggelegar dengan tiba-tiba sekalipun, mungkin dia tak akan sekaget saat ini. “Apa tak bisa sembuh seperti semula…? Tanyanya lemah.
“Menurut dokter sih begitu.” Suara Ida terdengar tenang sekali. “Di rumah, Ayah bahkan telah menyediakan sebuah kursi roda untukku.”
“Oh!”
“Dan kau tahu apa artinya itu, Ang? Sejak saat ini, aku tak akan bisa lagi mendaki bersama kalian, merasakan dinginnya hawa gunung, mengagumi hamparan Padang Edelweis.” Kali ini suara Ida setengah mengeluh.
Anggoro menelan ludah tanpa mampu berucap sepatah kata pun. Dia merasakan ada kepedihan yang amat sangat menyergapnya dengan begitu tiba-tiba. Ya, Allah, petakan apakah ini? Desisnya dalam hati.
Keduanya terus melangkah menuju ruang kelas yang ada di ujung koridor, diikuti tatapan puluhan pasang mata. Namun Ida mencoba tak mempedulikannya, meski ia jadi sedikit serba salah. Ini baru sebuah permulaan, pikirnya tegar. Besk dan besok lagi, barangkali tak akan ada hari-hari yang luput dari keperihan.
Ya, Allah, bantu aku untuk tetap tegak menerima kenyataan pahit ini, doa hati Ida. Juga untuk menghadapi mereka, lanjutnya ketika hampir tiba di kelasnya dan beberapa temannya tengah berdiri di depan pintu, masing-masing siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan ketika melihat keadaan Ida.
“He, apakah hari ini aku akan Nampak begitu cantik sehingga kalian menatapku seperti itu?” seloroh Ida saat tak ada satupun temannya yang menyapanya. Semuanya seperti disekat keterkejutan yang sangat.
“Ida…” Asih mendekat dan merangkul bahi Ida lembut. Dialah orang pertama yang segera menyadari keadaan. “Kau datang terlambat sekali. Untung saja kuliah belum dimulai.”
“Harap maklum, Asih. Kau lihat bagaimana keadaannku sekarang, kan?”
Asih memandang sahabatnya trenyuh. Kendati suara Ida terdengar begitu pasrah dan tegar, namun mata lembut itu nampak kesakitan.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Hati-hati Asih bertanya.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” Hati-hati Asih bertanya.
“Aku kejepit pintu.”
“Da, aku serius!”
“Iya, kenapa sih, Da?” Indrawati ikut nimbrung. Disusul oleh Bambang, Wari, Helmi, Aini, Herlambang, Pram, Jaka, Cris juga… Anggoro. Mereka semua mengelilingi Ida menuntut penjelasan.
“Cuma kecelakaan kecil.” Akhirnya Ida memutuskan untuk menjawab sekadarnya. Tak tega rasanya membiarkan orang-orang baik itu menebak-nebak sendiri. “Motorku ditabrak sedan di Perapatan Gembong Tebasan.”
“Kapan?”
“Awal liburan yang lalu. Sore hari ketika aku mau melihat pengumuman nilai di kampus.”
Bambang tiba-tiba tampil. “Kau bilang tadi motormu ditabrak sedan ya? Atau sedan yang ditabrak motormu?”
“Tak ada berita ulang,” balas Ida sambil tertawa. Dibiarkannya Asih membawakan tas kuliahnya, sementara Bambang membimbingnya masuk.
Mereka adalah orang-orang baik, piker Ida setelah duduk di bangkunya. Agak risi juga dikerumuni oleh teman-temannya seperti tadi. Ada yang menolong membawakan tasnya, membantunya duduk… padahal andaikata mereka mengerti perasaannya, tentu akan menganggap sikap-sikap seperti itu sebenarnya tidak perlu.
Barangkali bagi Asih, Bambang, Anggoro, juga yang lain, perlakukan wajar. Tapi tidak untuk Ida. Ada sesuatu yang terasa menggerogoti hatinya ketika puluhan pasang mata menatapnya dengan rasa iba… seolah dia begitu lemah tanpa daya. Namun toh dia tak bisa menolak kecuali menurut. Ida sadar keadaannya jugalah yang membuat mereka bersikap begitu. Bagaimana pun, seorang gadis dengan sebelah kaki lumpuh tak akan bisa berbuat lebih banyak daripada ketika dia berkaki sempurna.
“Mungkin hari ini belum ada kuliah, Da.” Tiba-tiba Anggoro telah berdiri di sisinya. Keresahan yang sejak tadi menggantung di mata cowok itu kini telah hilang. “Daftar presensi saja belum ada.”
“Apa kau sudah ke BAAK untuk menanyakannya?”
“Belum.”
Ida tertawa lepas. Disentuhnya lengan Anggoro. “He, dari mana kita bisa dapat daftar presensi kalau tak ada yang mau mengambilnya ke BAAK? Pergilah ke sana, Ang. Biasanya ada permulaan kuliah seperti ini, setidak-tidaknya setiap jurusan sudah ada Daftar Presensinya.”
“Itu kan tugas PK.”
“Tapi aku…” Suara Ida tersekat dan dia menunduk memperhatikan kakinya. Ada luka yang menguak dari sepasang matanya yang hitam. Melihat hal itu, Anggoro seperti diingatkan oleh sesuatu.
“Oh, maafkan aku, Ida,” bisik Anggoro. Suaranya menjadi gugup. “Aku lupa kalau yang menjadi PK selama ini adalah kau. Oke, biarlah mulai hari ini aku yang bertugas mengambilnya di BAAK!” Dan secepat kilat Anggoro berlalu.
Ida tak sempat mengucapkan terima kasih, karena Anggoro cepat sekali hilang di balik pintu. Sementara teman-temannya yang lain sudha memulai kebiasaan lama, mengobrol ke sana ke mari. Satu di antara mereka harus ada yang bersedia menggantikan aku sebagai PK, pikir Ida. Dengan kaki seperti ini, tak banyak lagi yang bisa kulakukan, lanjut hatinya sedih.
Ida tengah mengira-ngira siapa orang yang mampu dan disetujui sebagai penggantinya, ketika tiba-tiba ada seraut wajah yang muncul di benaknya. Ternyata itu bukan Cuma bayangan saja. Kerumunan Bambang dan teman-temannya sempat tersibak saat seseorang akan masuk, dan sebentar saja dia telah tegak di ambang pintu sambil memandang Ida. Tatapannya kuat namun lembut. Ida tersenyum begitu melihatnya.
“Selamat bertemu kembali, Anak Muda!” selorohnya seraya member isyarat kepada cowok itu untuk mendekat. “Apa kabarmu setelah dua bulan penuh berada di kampong halaman?”
Raditya, cowok itu, baru saja akan menjawab ketika tiba-tiba saja matanya terbentur pada sesuatu yang menyandar di kursi Ida. Kruk.
“Sejak hari ini barangkali aku tak bisa lepas darinya bila pergi kuliah,” ujat Ida seolah memahami jalan pikiran Raditya. “Kaki kiriku lumpuh.” Lalu dia menceritakan apa yang menyebabkan ia menggunakan kruk dengan tenang.
“Apa yak ada harapan untuk sembuh seperti semula?” Tanya Raditya dengan kecemasan tak dibuat-buat.
Ida menggeleng lemah. “Entahlah. Menurut dokter begitu. Kalau pun bisa, itu membutuhkan waktu yang amat lama. Atau sebaliknya, bukan mustahil suatu saat kaki kiriku akan diamputasi.”
“Hei?”
“Kalau memang itu yang terbaik, apa boleh buat?”
Raditya nampak semakin tertegun. Ada semacam perubahan di matanya yang kelam. Rasa ibakah? Atau… ah, Ida berusaha mengusir pikiran-pikiran buruknya. Dia ingat, masih punya suatu janji pada Rdaitya untuk memberikan jawaban atas pernyataan cinta cowok itu, seminggu menjelang liburan yang lalu.
Dan kini, Ida sudah memiliki jawaban satu pasti; menerimanya. Tapi, masih jugakah Raditya mengharapkan jawaban itu dengan keadaannku yang tidak lagi seperti dulu? Terjadilah apa pun yang akan terjadi, ya, Allah, Gumam hati Ida sendu.
Tiba-tiba Anggoro muncul di ambang pintu sambil membawa Daftar Presensi. Wajahnya sempat berubah saat melihat Raditya berada di sisi Ida, tapi segera hilang saat dia tersenyum.
“Apa kabar, Dit?” sapanya setelah mendekat.
“Baik.”
“Lulus kan Kewiraanmu?”
“Alhamdulilla, dosennya baik hati. Dia tahu kalau aku sudah pernah tidak lulus mata kuliah Kewiraan,” gurau Raditya. Dia memang tidak sekelas dengan Anggoro maupun Ida. Mereka saling mengenal karena RAditya yang setingkay di atas Anggoro  dan Ida itu mengikuti kuliah Kewiraan di kelas mereka, sebab tahun lalu dia tidak lulus.
Cuma sebentar mereka mengobrol, karena Raditya harus segera kembali ke kelasnya. Dia bilang ada kuliah. Dan Ida hanya mengangguk maklum ketika cowok itu pamit. Lalu diraihnya Daftar Presensi dari tanggan Anggoro dan mulai mengabsen teman-temannya dengan pikiran mengambang. Barangkali aku kini terlalu bermimpi jika masih mengharapkannya, batin Ida sedih. Raditya cerdas, tampan, dinamis… sedangkan aku? Kepalanya menunduk memperhatikan kaki kirinya yang kini agak bengkak. Ah, andai tidak terjadi kecelakaan itu… Seketika Ida sadar. Tuhan, maafkan aku. Tidak sepantasnya aku mengeluh seperti ini. Dihiburnya dirinya sendiri. Untunglah aku masih bisa mengenakan sepatu, dan tidak Cuma sebelah.

***
Bertiga dengan Anggoro dan Asih, Ida bermaksud ke Sekretariat Himapala, setelah beberapa waktu tak menjenguknya.
“Anak-anak merencanakan akan mendaki Semeru dalam waktu dekat ini, pada musim edelweis,” kata Anggoro.
“Semua ikut?” tanya Ida.
“Tidak semua,” Asih yang menjawab.
“Barangkali tidak lebih dari lima belas orang,” Anggoro menyambung. “Di antaranya Amri, Priambodo, Tedi, Nurhayati, Raditya…”
Raditya! Diam-diam Ida mengulang nama itu dalam hatinya. Belakangan ini cowok itu semakin jarang muncul ke kelasnya untuk menemuinya seperti dulu. Bahkan sejak seminggu yang lalu, dia seolah menghilang dari peredaran. Dan itu menumbuhkan semacam kerinduan yang sangat di hati Ida. Entahlah. Meski dia telah berusaha menghalaunya, namun perasaan itu kian mengukungnya.
RAditya memang telah berubah. Di setiap kemunculannya, dia tak lagi suka menyinggung-nyinggung masalah cintanya yang belum terjawab, padahal Ida sudah menyediakan untuknya satu jawaban sejak dulu-dulu. Dari hari ke hari Ida semakin sadar bahwa dia amat membutuhkan Raditya. Sementara perubahan sikap Raditya juga membuatnya mengerti bahwa tidak seharusnya dia terus memupuk harapan.
“Kau sendiri tidak ikut?” tanya Ida pada Asih.
“Barangkali aku tidak ikut.”
“Dan kau, Ang?”
“Insya Allah, aku ikut.”
Kalau saja keadaanku tidak begini aku pasti ikut. Sayang kalau musim edelweiss dilewatkan begitu saja.”
“Nanti aku bisa membawakan banyak-banyak untukmu!” janji Anggoro.
“He, jangan! Kau bisa dipenjara nanti. Kembang itu kan dilindungi.”
“Demi kau taka apa, sekalipun aku harus mati,” seloroh Anggoro sambil tertawa.
Mereka kini telah sampai di secretariat, tempat yang tak pernah sepi, tak peduli siang maupun malam hari.
“He, aku ikut ke Semeru, ya?” gurau Ida pada teman-temannya sesame pecinta alam. Dia ikut bergabung dalam perbincangan mereka bersama Anggoro dan Asih.
“Untuk apa, Da? Tahun lalu kan sudah?” kata Firman mencoba memahami perasaan Ida.
“Seandainya belum pun, aku tidak mungkin bisa ikut!” Ida tertawa. “Keadaannku yang seperti ini hanya akan menyusahkan kalian!”
Anggoro memperhatikan gadis itu dengan rasa iba. Ida berbicara dengan suara yang seolah menyimpan kedukaan yang amat dalam. Itu bisa dimaklumi. Barangkali, ibarat seekor burung yang kehilangan sebelah sayapnya, itulah Farida.
Tiba-tiba Anggoro tertegun saat melihat wajah Ida berubah tegang. Bibirnya yang sedikit terbuka Nampak pias sekali. Sementara sepasang matanya tak berkedip menatap ke satu arah. Tanpa perlu bertanya Anggoro tahu apa sebabnya.
“Ida… kau tak apa-apa, kan?” bisik Anggoro sambil menggenggam telapak tangan Ida yang dingin.
Ida menatapnya dengan tiba-tiba, seperti terkejut. Matanya yang teduh mengerjap. Dia meraih tongkat penyangganya, lalu bangkit dibantu Anggoro dan Asih. Kemudian mereka pergi dari situ setelah pamit pada teman-temannya.
“Aku seperti baru terbangun dari mimpi yang amat buruk,” kata Ida dengan suara menyerupai bisikan, halus dan letih. Nadanya pun seperti orang kesakitan. Melintas di benaknya saat RAditya merangkul Mustika dan pergi berboncengan motor, baru beberapa menit yang lalu. Begitu demontratif. Sungguh, rasanya lebih baik buta saat itu. Biar dia tak melihat betapa tenangnya Raditya berlalu di depannya, seolah tak pernah mengenalnya. Tuhan, apakah kini aku memang tak berarti lagi bagi dirinya?
“Barangkali ini lebih baik,” katanya lagi dengan kemurungan yang demikian pekat di matanya. “Raditya telah melakukan sesuatu yang paling tepat. Sehingga aku jadi semakin mengerti siapa dirinya. Dan aku jadi kian yakin bahwa penantian ini tidak lagi untuknya…”
Asih memapah tubuh Ida yang setengah lunglai. Di sisi lain, Anggoro menggenggam jemarinya erat. Sebersit perasaan yang dulu sering mengganggunya mendadak muncul kembali. Bukan sekadar rasa kasihan. Tapi lebih dari itu. Semacam perasaan ingin melindungi, ingin memiliki. Bukakan pintu hati gadis ini untukku, ya, Tuhan, doa hatinya penuh harap.

***

“Kalian jadi berangkay besok?” Tanya Ida di kafetaria, saat istirahat kedua.
“Ya.” Sahut Anggoro seraya mengaduk es buah di depannya. “Kau belum menyentuh minumanmu sejak tadi, Da. Minumlah…”
Ida menurut. Pelan sekali dia meneguk minumnya.
“Hati-hati di Gunung nanti,” katanya sejurus kemudian. “Hujan-hujan begini banyak tanah pijakan yang berbahaya.”
Anggoro tertawa halus.
“Terima kasih atas wejanganmu, Anak Manis. Asal kau tahu saja, ini bukan pendakian pertama atau kedua, atau ketiga bagiku.”
Ida Cuma tersenyum samar. Getir sekali. Kalau saja kaki itu tidak begini, ingin rasanya dia ikut mendaki. Semereu kelewat bagus untuk dilewatkan begitu saja. Lebih-lebih pada musim edelweiss seperti ini. Di mana-mana mata memandang, yang Nampak adalah hamparan permadani beraneka warna yang indah dan menawan. Tuhan sungguh Maha Besar, sering Ida menggumamkan kalimat itu di tengah kekagumannya.
Diteguknya isi gelas sekali lagi. Dan dia menggerakkan kepalanya dengan benci. Kenangan-kenangan di gunung senantiasa membuat dirinya semakin terkulai. Dulu, teman-temannya menjuluki dia sebagai Macan Gunung Betina. RAditya sering menemaninya dalam pendakian, sementara yang lain masih tertinggal jauh di belakang. Bersama Raditya, dia seolah berjalan tanpa beban di atas tanah yang mendatar.
Kini semuanya telah selesai. Dan dia merasa nyaris hancur. Mustika telah menggantikan kedudukannya di sisi Raditya. Mungkin Raditya berpikir bahwa orang seperti dia hanya akan menyusahkan saja. Dan alasan itu amat wajar. Raditya tak bersalah. Begitu pun dengan Mustika. Setiap manusia berhak memperjuangkan kebahagiannya dengan cara apapun, tentu saja dalam batas-batas yang lazim. Tapi apakah dibenarkan juga jika dalam perjuangannya itu harus menyakiti orang lain?
Ida menggeleng muram. Matanya nampak lelah sekali. Nama RAditya kembali mengentak-hentak segenap hati dan perasannya. Begitu keras pada mulanya, lalu sayup… akhirnya tinggal dentingan yang tak jelas. Itupun… tak lama akan pudar juga. Dan hatinya akan kembali hampa.
“Ida, kau suka melamun belakangan ini,” tegur Anggoro menyadarkan Ida dari lamunannya.
Suara Anggoro terdengar halus di telinga Ida. Dia tersenyum lembut, namun ada duka yang samar pada senyumnya itu.
“Aku mengerti perasaanmu, Da. Cinta yang bertepuk sebelah tangan selamanya memang menyakitkan. Tapi, pernahkah engkau berpikir bahwa sebenarnya… begitulah aku selama ini?”
Ida menatap Anggoro tanpa makna, namun hatinya menangis saat menemukan ketulusan yang dalam di sepasang mata itu. Dia teringat, di sebuah bukunya, Anggoro pernah menuliskan sebaris kalmiat: Ida, kini semakin kusadari bahwa penantian ini bukan untuk siapa-siapa!
Itu setahun yang lalu. Bahkan mungkin lebih. Dan, kendari Ida pernah menolaknya, Anggoro tak pernah berubah sedikitpun. Cowok itu masih amat memperhatikan dan mengasihinya, lebih-lebih setelah dia menjelma sebagai gadis yang cacat.
“Aku berjanji akan membawakan setangkai edelweiss untukmu, sepulang dari gunung nanti,” kata Anggoro ketika mereka berjalan kembali ke kelas. Ingin sekali rasanya Anggoro menghapus kedukaan di wajah lembut yang amat dikasihinya itu. “Kau sabat menunggu sampai luas, kan? Aku ingat, hari itu bertepatan dengan ulang tahunmu. Barangkali setangkai edelweis lebih berarti bagimu daripada hadiah-hadiah berharga lainnya….”
Ida menelan ludah dengan keharuan yang amat sangat. Matanya jadi kabur karena sedikit basah. Dia sendiri tidak ingat kalau dua hari lagi adalah hari jadinya. Kenapa Anggoro mesti mengingatnya?
“Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku, Ida?”
“Oh… eh, apa?”
Anggoro menghela napas panjang. Halus sekali ketika dia berkata. “Mau kan kau sabar menungguku sampai besok luas?”
Ida mengangguk. “Ya, aku akan sabar menunggumu… sampai kapan pun. Sekalipun tanpa edelweiss!”
“Ida?” Anggoro terpana. “Kau… kenapa begitu, Da?”
“Suatu saat kau akan tahu kenapa,” jawab Ida dengan mata berpendar-pendar. Sebagian duka telah pergi dari sana. “Baru kusadari berapa bodohnya aku selama ini, mengharapkan seseorang hanya karena bentuk luarnya saja tanpa memperhitungkan pribadinya. Dan Raditya…” gumam Ida dengan suara kering. “Kepergiannya memang menyakitkan, sekaligus membukakan mataku tentang dirinya yang sebenanya.” Ida menghela napas panjang sejenak. “Sayang sekali, di balik tubuhnya yang nyaris sempurna itu tersembunyi pribadi yang mengecewakan.”
“Bicaralah yang jelas, Ida…”
“Ang…” Lembut sekali suara Ida. “Cobaan yang beruntun menimpaku selama ini membuatku semakin matang, sehingga aku bisa menerima semua kenyataan ini dengan ikhlas. Aku sadar, Allah jugalah yang menentukan nasibku; mesti berjalan begini.” Ida kembali berhenti menarik napas panjang. Lalu: “Dan kini, satu keputusan tentang kepada siapa aku mesti melabuhkan hatiku telah kuambil, kau!”
“Ida!”
“Ini bukan pelarian, percayalah…”
“Tapi…” Anggoro menatap lekat mata Ida, dan dia menemukan kepura-puraan di sana.
“Kuharap kau tidak meninggalkan aku, Ang, kendati kau bisa melakukannya. Seperti halnya Raditya yang begitu mudah meninggalkan aku, sebelum aku sempat memberikan jawaban atas pernyataan cintanya. Kau mau berjaji, bukan?”
Anggoro mengangguk tanpa sadar. Semua bagai mimpi! Akhirnya kebahagiaan itu datang juga padanya.
(Buatmu di Balikpapan: ‘Met Idul Fitri)

--cerpen ini pernah dimuat di Anita Cemerlang Volume 198, Tgl. 2 s/d 11 Juni 1986--


Selasa, 06 Agustus 2013

TERKENANG PULAU SALURA

Senja hari di Salura
Matahari berpamit dari balik bukit
Bersama gumpalan mega berarak

Riuh rendah ceria anak pantai
Bersahut dengan debur ombak
Menyongsong malam
Menanti ribuan kunang-kunang dari perahu nelayan

Akankah ditemukan
Serombongan cumi yang sedang berpesta
Berkeliling berlomba berebut cahaya
Siap terjebak dalam perangkap dan jala
Mewujudkan harapan para pengelana

Senja hari di Salura
Akankah kembali kupetik keindahannya......

Tanggulangin, 4 Agustus 2013. 13.05 WIB

Rabu, 17 Juli 2013

Puisi: Dua Puluh Tiga Tahun Yang Lalu

Siang yang cerah
Langit bersih tanpa goresan awan
Wajah-wajah berhias senyum bahagia
Membaur dalam jalinan janur kuning dan pita aneka warna
Ditingkahi bunyi-bunyian musik rebana
Lengkap dengan beragam sajian sederhana nan mengundang selera

Sebuah pelaminan indah
Hasil karya para sahabat dan kerabat
Di situlah sepasang kekasih itu bersapa
Pada semua orang yang datang menghampirinya
Diapit ayah bunda tercinta
Mereka membagikan binar-binar penuh pesona
Peluk cium dan kehangatan sarat suka cita

Hari ini kurengkuh dirimu
Agar kita bisa saling memiliki
Saling memberi arti
Saling menjaga
Saling mencinta
Sampai kapan pun jua
Saat ajal memisahkan kita

Mari kita saling berbimbing tangan 
Bersama menuju satu tujuan
Merajut sejarah hidup dan kehidupan
Sekarang dan selamanya

Dua puluh tiga tahun yang lalu
Serasa baru kemarin
Saat kita saling menautkan hati
Berjanji untuk saling mengasihi
Semoga kan tetap abadi

Selamat ulang tahun, Sayang
Selamat ulang tahun untuk kita berdua

Surabaya, 17 Juli 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 14 Juli 2013

Puisi Buka Puasa untuk Bapak Ibu

Bapak Ibu,
Ini kami sedang melaju
Kami bertiga: anak lanangmu, diriku, dan cucumu
Di sore sebelum senja jatuh
Saat jalan cukup lengang dan teduh
untuk membawa kami kepadamu

Tidak perlu repot-repot, Bapak Ibu
Sengaja tak kukabarkan kepadamu
Tentang rencana bertandang ke rumahmu
Untuk menikmati buka bersama hari ini
Karena, seperti biasa
Kau akan menyiapkan semuanya
Masak besar untuk kami
Menyediakan semua makanan kesukaan kami
Dan itu akan membuatmu sibuk
Akan membuatmu lelah
Kami tidak ingin Bapak Ibu lelah

Tidak, Bapak Ibu, tidak perlu
Ini sudah kubawakan semuanya untuk kita berbuka nanti
Nasi putih, urap sayur, kothokan tahu tempe, ayam bumbu rujak, dan rempeyek kacang dan ebi
Juga ada pie susu dan roti bolu
Ada juga jadah kesukaanmu... 

Nasi putihnya masih panas
Kumasak sendiri sore ini
Urap sayur, kothokan tahu tempe, dan ayam bumbu rujak
Kumasak siang tadi dibantu Iyah

Iyah juga yang pagi tadi pergi ke pasar untuk berbelanja
Sementara mesin cuci berputar dan meja seterika sudah disiapkannya
Anak itu, memang luar biasa
Belasan tahun bersama kita
Apa pun akan dilakukannya untuk kita
Tak terbayangkan jika tak kumiliki dia....

Sambil menunggu Iyah datang dari pasar
Saya sempatkan potong rambut dan facial
Di rumah saja
Dengan beautician langganan 
Haha, tentu saja bukan untuk acara buka bersama ini
Semata karena itu sudah lama tak kulakukan
Karena didera oleh berbagai aktivitas dan kesibukan
Saat ini, mumpung ada kesempatan

Bapak Ibu,
Tadi siang tiba-tiba tetangga sebelah memberi sekotak pie susu
Ya, sepasang muda suami istri yang rupawan dan baik hati itu
Katanya, oleh-oleh dari Bali
Bukankah itu kue kesukaanmu
Bentuk tipis tartelette dengan isi susu kering itu legitnya menggigit
Padat gizi, dan tentu saja, empuk
Sangat cocok untuk kau nikmati berdua
Sambil duduk di beranda menunggu waktu tarawih tiba

Bapak Ibu, ini kami sudah mau sampai
Pasti kalian terkejut sekaligus senang bukan kepalang
Anak, mantu dan cucu tersayang tiba-tiba datang
Mencium tanganmu dan memberi pelukan sayang
Pasti rasanya seperti mendapatkan segenggam berlian

Bapak Ibu
Cukup kau buatkan kami teh manis saja
Rasanya itulah yang kami rindukan sejak lama
Oya, jangan terlalu banyak gula
Kasih dan sayangmu telah cukup untuk melepas dahaga...

Otw Tanggulangin, 14 Juli 2013. 16.20 WIB.

Wassalam,
LN