Pages

Selasa, 18 Februari 2014

Pada Musim Edelweis

Hampir tak percaya, ya Anggoro menatap pemandangan di depannya. Berkali-kali mengusap matanya, barangkali apa yang dilihatnya itu hanya sebuah mimpi. Tapi tidak. Gadis itu memang Farida. Menggunakan rok dan blus dengan motif nonfigurative berwarna ungu, tas kulit hitam, ya semua itu memang milik Ida. Tapi… oh Tuhan, kakinya! Anggoro tercengang memperhatikan sepasang sepatu hitam yang melekat di kaki Ida, dan bergerak dengan bantuan sebuah kruk!
“Ida…!”
Gadis itu ternyata telah tersenyum Anggoro menyapanya. Amat arif. Seolah tak ada yang berubah pada dirinya. Seolah tak ada berpasang-pasang mata yang memperhatikannya dengan ekspresi macam-macam.
“Apa yang telah terjadi padamu selama liburan, Da?”
“Mestinya kau tidak menyambutku dengan pertanyaan seperti itu!” Ida pura-pura merajuk. Anggoro segera menyadari kesalahannya.
“Sori!” ralatnya sembari membarengi langkah Ida. “Oya, perlu kubawakan buku-bukumu?”
“Terima kasih, aku masih cukup kuat, kok.”
“Tapi, kau seperti kesulitan.” Anggoro keras kepala.
“He, apakah aku nampak demikian lemah hanya karena keadaannku seperti ini?” kata Ida datar. Kelihatannya dia tersinggung.
“Oh, tidak. Maksudku…”
“Aku tahu sebenarnya kau ingin bilang ya.”
“Dan, aku Cuma khawatir melihat keadaannmu…” Sabar sekali suara Anggoro. “Maafkan kalau caraku salah.”
“Kuharap tidak kau perlakukan aku  seperti seorang gadis lemah yang tak bisa berbuat apapun untuk dirinya sendiri,” ujar Ida tegas, tak mempedulikan keresahan di hati Anggoro. “Sebab…”
“Kenapa, Da?”
Ida menunduk menyembunyikan matanya. “Selamanya aku akan terus begini, ke mana pun tak bisa lepas dari kruk ini!”
“Da…!” Anggoro semakin terkejut. Andaikan ada petir yang menggelegar dengan tiba-tiba sekalipun, mungkin dia tak akan sekaget saat ini. “Apa tak bisa sembuh seperti semula…? Tanyanya lemah.
“Menurut dokter sih begitu.” Suara Ida terdengar tenang sekali. “Di rumah, Ayah bahkan telah menyediakan sebuah kursi roda untukku.”
“Oh!”
“Dan kau tahu apa artinya itu, Ang? Sejak saat ini, aku tak akan bisa lagi mendaki bersama kalian, merasakan dinginnya hawa gunung, mengagumi hamparan Padang Edelweis.” Kali ini suara Ida setengah mengeluh.
Anggoro menelan ludah tanpa mampu berucap sepatah kata pun. Dia merasakan ada kepedihan yang amat sangat menyergapnya dengan begitu tiba-tiba. Ya, Allah, petakan apakah ini? Desisnya dalam hati.
Keduanya terus melangkah menuju ruang kelas yang ada di ujung koridor, diikuti tatapan puluhan pasang mata. Namun Ida mencoba tak mempedulikannya, meski ia jadi sedikit serba salah. Ini baru sebuah permulaan, pikirnya tegar. Besk dan besok lagi, barangkali tak akan ada hari-hari yang luput dari keperihan.
Ya, Allah, bantu aku untuk tetap tegak menerima kenyataan pahit ini, doa hati Ida. Juga untuk menghadapi mereka, lanjutnya ketika hampir tiba di kelasnya dan beberapa temannya tengah berdiri di depan pintu, masing-masing siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan ketika melihat keadaan Ida.
“He, apakah hari ini aku akan Nampak begitu cantik sehingga kalian menatapku seperti itu?” seloroh Ida saat tak ada satupun temannya yang menyapanya. Semuanya seperti disekat keterkejutan yang sangat.
“Ida…” Asih mendekat dan merangkul bahi Ida lembut. Dialah orang pertama yang segera menyadari keadaan. “Kau datang terlambat sekali. Untung saja kuliah belum dimulai.”
“Harap maklum, Asih. Kau lihat bagaimana keadaannku sekarang, kan?”
Asih memandang sahabatnya trenyuh. Kendati suara Ida terdengar begitu pasrah dan tegar, namun mata lembut itu nampak kesakitan.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Hati-hati Asih bertanya.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” Hati-hati Asih bertanya.
“Aku kejepit pintu.”
“Da, aku serius!”
“Iya, kenapa sih, Da?” Indrawati ikut nimbrung. Disusul oleh Bambang, Wari, Helmi, Aini, Herlambang, Pram, Jaka, Cris juga… Anggoro. Mereka semua mengelilingi Ida menuntut penjelasan.
“Cuma kecelakaan kecil.” Akhirnya Ida memutuskan untuk menjawab sekadarnya. Tak tega rasanya membiarkan orang-orang baik itu menebak-nebak sendiri. “Motorku ditabrak sedan di Perapatan Gembong Tebasan.”
“Kapan?”
“Awal liburan yang lalu. Sore hari ketika aku mau melihat pengumuman nilai di kampus.”
Bambang tiba-tiba tampil. “Kau bilang tadi motormu ditabrak sedan ya? Atau sedan yang ditabrak motormu?”
“Tak ada berita ulang,” balas Ida sambil tertawa. Dibiarkannya Asih membawakan tas kuliahnya, sementara Bambang membimbingnya masuk.
Mereka adalah orang-orang baik, piker Ida setelah duduk di bangkunya. Agak risi juga dikerumuni oleh teman-temannya seperti tadi. Ada yang menolong membawakan tasnya, membantunya duduk… padahal andaikata mereka mengerti perasaannya, tentu akan menganggap sikap-sikap seperti itu sebenarnya tidak perlu.
Barangkali bagi Asih, Bambang, Anggoro, juga yang lain, perlakukan wajar. Tapi tidak untuk Ida. Ada sesuatu yang terasa menggerogoti hatinya ketika puluhan pasang mata menatapnya dengan rasa iba… seolah dia begitu lemah tanpa daya. Namun toh dia tak bisa menolak kecuali menurut. Ida sadar keadaannya jugalah yang membuat mereka bersikap begitu. Bagaimana pun, seorang gadis dengan sebelah kaki lumpuh tak akan bisa berbuat lebih banyak daripada ketika dia berkaki sempurna.
“Mungkin hari ini belum ada kuliah, Da.” Tiba-tiba Anggoro telah berdiri di sisinya. Keresahan yang sejak tadi menggantung di mata cowok itu kini telah hilang. “Daftar presensi saja belum ada.”
“Apa kau sudah ke BAAK untuk menanyakannya?”
“Belum.”
Ida tertawa lepas. Disentuhnya lengan Anggoro. “He, dari mana kita bisa dapat daftar presensi kalau tak ada yang mau mengambilnya ke BAAK? Pergilah ke sana, Ang. Biasanya ada permulaan kuliah seperti ini, setidak-tidaknya setiap jurusan sudah ada Daftar Presensinya.”
“Itu kan tugas PK.”
“Tapi aku…” Suara Ida tersekat dan dia menunduk memperhatikan kakinya. Ada luka yang menguak dari sepasang matanya yang hitam. Melihat hal itu, Anggoro seperti diingatkan oleh sesuatu.
“Oh, maafkan aku, Ida,” bisik Anggoro. Suaranya menjadi gugup. “Aku lupa kalau yang menjadi PK selama ini adalah kau. Oke, biarlah mulai hari ini aku yang bertugas mengambilnya di BAAK!” Dan secepat kilat Anggoro berlalu.
Ida tak sempat mengucapkan terima kasih, karena Anggoro cepat sekali hilang di balik pintu. Sementara teman-temannya yang lain sudha memulai kebiasaan lama, mengobrol ke sana ke mari. Satu di antara mereka harus ada yang bersedia menggantikan aku sebagai PK, pikir Ida. Dengan kaki seperti ini, tak banyak lagi yang bisa kulakukan, lanjut hatinya sedih.
Ida tengah mengira-ngira siapa orang yang mampu dan disetujui sebagai penggantinya, ketika tiba-tiba ada seraut wajah yang muncul di benaknya. Ternyata itu bukan Cuma bayangan saja. Kerumunan Bambang dan teman-temannya sempat tersibak saat seseorang akan masuk, dan sebentar saja dia telah tegak di ambang pintu sambil memandang Ida. Tatapannya kuat namun lembut. Ida tersenyum begitu melihatnya.
“Selamat bertemu kembali, Anak Muda!” selorohnya seraya member isyarat kepada cowok itu untuk mendekat. “Apa kabarmu setelah dua bulan penuh berada di kampong halaman?”
Raditya, cowok itu, baru saja akan menjawab ketika tiba-tiba saja matanya terbentur pada sesuatu yang menyandar di kursi Ida. Kruk.
“Sejak hari ini barangkali aku tak bisa lepas darinya bila pergi kuliah,” ujat Ida seolah memahami jalan pikiran Raditya. “Kaki kiriku lumpuh.” Lalu dia menceritakan apa yang menyebabkan ia menggunakan kruk dengan tenang.
“Apa yak ada harapan untuk sembuh seperti semula?” Tanya Raditya dengan kecemasan tak dibuat-buat.
Ida menggeleng lemah. “Entahlah. Menurut dokter begitu. Kalau pun bisa, itu membutuhkan waktu yang amat lama. Atau sebaliknya, bukan mustahil suatu saat kaki kiriku akan diamputasi.”
“Hei?”
“Kalau memang itu yang terbaik, apa boleh buat?”
Raditya nampak semakin tertegun. Ada semacam perubahan di matanya yang kelam. Rasa ibakah? Atau… ah, Ida berusaha mengusir pikiran-pikiran buruknya. Dia ingat, masih punya suatu janji pada Rdaitya untuk memberikan jawaban atas pernyataan cinta cowok itu, seminggu menjelang liburan yang lalu.
Dan kini, Ida sudah memiliki jawaban satu pasti; menerimanya. Tapi, masih jugakah Raditya mengharapkan jawaban itu dengan keadaannku yang tidak lagi seperti dulu? Terjadilah apa pun yang akan terjadi, ya, Allah, Gumam hati Ida sendu.
Tiba-tiba Anggoro muncul di ambang pintu sambil membawa Daftar Presensi. Wajahnya sempat berubah saat melihat Raditya berada di sisi Ida, tapi segera hilang saat dia tersenyum.
“Apa kabar, Dit?” sapanya setelah mendekat.
“Baik.”
“Lulus kan Kewiraanmu?”
“Alhamdulilla, dosennya baik hati. Dia tahu kalau aku sudah pernah tidak lulus mata kuliah Kewiraan,” gurau Raditya. Dia memang tidak sekelas dengan Anggoro maupun Ida. Mereka saling mengenal karena RAditya yang setingkay di atas Anggoro  dan Ida itu mengikuti kuliah Kewiraan di kelas mereka, sebab tahun lalu dia tidak lulus.
Cuma sebentar mereka mengobrol, karena Raditya harus segera kembali ke kelasnya. Dia bilang ada kuliah. Dan Ida hanya mengangguk maklum ketika cowok itu pamit. Lalu diraihnya Daftar Presensi dari tanggan Anggoro dan mulai mengabsen teman-temannya dengan pikiran mengambang. Barangkali aku kini terlalu bermimpi jika masih mengharapkannya, batin Ida sedih. Raditya cerdas, tampan, dinamis… sedangkan aku? Kepalanya menunduk memperhatikan kaki kirinya yang kini agak bengkak. Ah, andai tidak terjadi kecelakaan itu… Seketika Ida sadar. Tuhan, maafkan aku. Tidak sepantasnya aku mengeluh seperti ini. Dihiburnya dirinya sendiri. Untunglah aku masih bisa mengenakan sepatu, dan tidak Cuma sebelah.

***
Bertiga dengan Anggoro dan Asih, Ida bermaksud ke Sekretariat Himapala, setelah beberapa waktu tak menjenguknya.
“Anak-anak merencanakan akan mendaki Semeru dalam waktu dekat ini, pada musim edelweis,” kata Anggoro.
“Semua ikut?” tanya Ida.
“Tidak semua,” Asih yang menjawab.
“Barangkali tidak lebih dari lima belas orang,” Anggoro menyambung. “Di antaranya Amri, Priambodo, Tedi, Nurhayati, Raditya…”
Raditya! Diam-diam Ida mengulang nama itu dalam hatinya. Belakangan ini cowok itu semakin jarang muncul ke kelasnya untuk menemuinya seperti dulu. Bahkan sejak seminggu yang lalu, dia seolah menghilang dari peredaran. Dan itu menumbuhkan semacam kerinduan yang sangat di hati Ida. Entahlah. Meski dia telah berusaha menghalaunya, namun perasaan itu kian mengukungnya.
RAditya memang telah berubah. Di setiap kemunculannya, dia tak lagi suka menyinggung-nyinggung masalah cintanya yang belum terjawab, padahal Ida sudah menyediakan untuknya satu jawaban sejak dulu-dulu. Dari hari ke hari Ida semakin sadar bahwa dia amat membutuhkan Raditya. Sementara perubahan sikap Raditya juga membuatnya mengerti bahwa tidak seharusnya dia terus memupuk harapan.
“Kau sendiri tidak ikut?” tanya Ida pada Asih.
“Barangkali aku tidak ikut.”
“Dan kau, Ang?”
“Insya Allah, aku ikut.”
Kalau saja keadaanku tidak begini aku pasti ikut. Sayang kalau musim edelweiss dilewatkan begitu saja.”
“Nanti aku bisa membawakan banyak-banyak untukmu!” janji Anggoro.
“He, jangan! Kau bisa dipenjara nanti. Kembang itu kan dilindungi.”
“Demi kau taka apa, sekalipun aku harus mati,” seloroh Anggoro sambil tertawa.
Mereka kini telah sampai di secretariat, tempat yang tak pernah sepi, tak peduli siang maupun malam hari.
“He, aku ikut ke Semeru, ya?” gurau Ida pada teman-temannya sesame pecinta alam. Dia ikut bergabung dalam perbincangan mereka bersama Anggoro dan Asih.
“Untuk apa, Da? Tahun lalu kan sudah?” kata Firman mencoba memahami perasaan Ida.
“Seandainya belum pun, aku tidak mungkin bisa ikut!” Ida tertawa. “Keadaannku yang seperti ini hanya akan menyusahkan kalian!”
Anggoro memperhatikan gadis itu dengan rasa iba. Ida berbicara dengan suara yang seolah menyimpan kedukaan yang amat dalam. Itu bisa dimaklumi. Barangkali, ibarat seekor burung yang kehilangan sebelah sayapnya, itulah Farida.
Tiba-tiba Anggoro tertegun saat melihat wajah Ida berubah tegang. Bibirnya yang sedikit terbuka Nampak pias sekali. Sementara sepasang matanya tak berkedip menatap ke satu arah. Tanpa perlu bertanya Anggoro tahu apa sebabnya.
“Ida… kau tak apa-apa, kan?” bisik Anggoro sambil menggenggam telapak tangan Ida yang dingin.
Ida menatapnya dengan tiba-tiba, seperti terkejut. Matanya yang teduh mengerjap. Dia meraih tongkat penyangganya, lalu bangkit dibantu Anggoro dan Asih. Kemudian mereka pergi dari situ setelah pamit pada teman-temannya.
“Aku seperti baru terbangun dari mimpi yang amat buruk,” kata Ida dengan suara menyerupai bisikan, halus dan letih. Nadanya pun seperti orang kesakitan. Melintas di benaknya saat RAditya merangkul Mustika dan pergi berboncengan motor, baru beberapa menit yang lalu. Begitu demontratif. Sungguh, rasanya lebih baik buta saat itu. Biar dia tak melihat betapa tenangnya Raditya berlalu di depannya, seolah tak pernah mengenalnya. Tuhan, apakah kini aku memang tak berarti lagi bagi dirinya?
“Barangkali ini lebih baik,” katanya lagi dengan kemurungan yang demikian pekat di matanya. “Raditya telah melakukan sesuatu yang paling tepat. Sehingga aku jadi semakin mengerti siapa dirinya. Dan aku jadi kian yakin bahwa penantian ini tidak lagi untuknya…”
Asih memapah tubuh Ida yang setengah lunglai. Di sisi lain, Anggoro menggenggam jemarinya erat. Sebersit perasaan yang dulu sering mengganggunya mendadak muncul kembali. Bukan sekadar rasa kasihan. Tapi lebih dari itu. Semacam perasaan ingin melindungi, ingin memiliki. Bukakan pintu hati gadis ini untukku, ya, Tuhan, doa hatinya penuh harap.

***

“Kalian jadi berangkay besok?” Tanya Ida di kafetaria, saat istirahat kedua.
“Ya.” Sahut Anggoro seraya mengaduk es buah di depannya. “Kau belum menyentuh minumanmu sejak tadi, Da. Minumlah…”
Ida menurut. Pelan sekali dia meneguk minumnya.
“Hati-hati di Gunung nanti,” katanya sejurus kemudian. “Hujan-hujan begini banyak tanah pijakan yang berbahaya.”
Anggoro tertawa halus.
“Terima kasih atas wejanganmu, Anak Manis. Asal kau tahu saja, ini bukan pendakian pertama atau kedua, atau ketiga bagiku.”
Ida Cuma tersenyum samar. Getir sekali. Kalau saja kaki itu tidak begini, ingin rasanya dia ikut mendaki. Semereu kelewat bagus untuk dilewatkan begitu saja. Lebih-lebih pada musim edelweiss seperti ini. Di mana-mana mata memandang, yang Nampak adalah hamparan permadani beraneka warna yang indah dan menawan. Tuhan sungguh Maha Besar, sering Ida menggumamkan kalimat itu di tengah kekagumannya.
Diteguknya isi gelas sekali lagi. Dan dia menggerakkan kepalanya dengan benci. Kenangan-kenangan di gunung senantiasa membuat dirinya semakin terkulai. Dulu, teman-temannya menjuluki dia sebagai Macan Gunung Betina. RAditya sering menemaninya dalam pendakian, sementara yang lain masih tertinggal jauh di belakang. Bersama Raditya, dia seolah berjalan tanpa beban di atas tanah yang mendatar.
Kini semuanya telah selesai. Dan dia merasa nyaris hancur. Mustika telah menggantikan kedudukannya di sisi Raditya. Mungkin Raditya berpikir bahwa orang seperti dia hanya akan menyusahkan saja. Dan alasan itu amat wajar. Raditya tak bersalah. Begitu pun dengan Mustika. Setiap manusia berhak memperjuangkan kebahagiannya dengan cara apapun, tentu saja dalam batas-batas yang lazim. Tapi apakah dibenarkan juga jika dalam perjuangannya itu harus menyakiti orang lain?
Ida menggeleng muram. Matanya nampak lelah sekali. Nama RAditya kembali mengentak-hentak segenap hati dan perasannya. Begitu keras pada mulanya, lalu sayup… akhirnya tinggal dentingan yang tak jelas. Itupun… tak lama akan pudar juga. Dan hatinya akan kembali hampa.
“Ida, kau suka melamun belakangan ini,” tegur Anggoro menyadarkan Ida dari lamunannya.
Suara Anggoro terdengar halus di telinga Ida. Dia tersenyum lembut, namun ada duka yang samar pada senyumnya itu.
“Aku mengerti perasaanmu, Da. Cinta yang bertepuk sebelah tangan selamanya memang menyakitkan. Tapi, pernahkah engkau berpikir bahwa sebenarnya… begitulah aku selama ini?”
Ida menatap Anggoro tanpa makna, namun hatinya menangis saat menemukan ketulusan yang dalam di sepasang mata itu. Dia teringat, di sebuah bukunya, Anggoro pernah menuliskan sebaris kalmiat: Ida, kini semakin kusadari bahwa penantian ini bukan untuk siapa-siapa!
Itu setahun yang lalu. Bahkan mungkin lebih. Dan, kendari Ida pernah menolaknya, Anggoro tak pernah berubah sedikitpun. Cowok itu masih amat memperhatikan dan mengasihinya, lebih-lebih setelah dia menjelma sebagai gadis yang cacat.
“Aku berjanji akan membawakan setangkai edelweiss untukmu, sepulang dari gunung nanti,” kata Anggoro ketika mereka berjalan kembali ke kelas. Ingin sekali rasanya Anggoro menghapus kedukaan di wajah lembut yang amat dikasihinya itu. “Kau sabat menunggu sampai luas, kan? Aku ingat, hari itu bertepatan dengan ulang tahunmu. Barangkali setangkai edelweis lebih berarti bagimu daripada hadiah-hadiah berharga lainnya….”
Ida menelan ludah dengan keharuan yang amat sangat. Matanya jadi kabur karena sedikit basah. Dia sendiri tidak ingat kalau dua hari lagi adalah hari jadinya. Kenapa Anggoro mesti mengingatnya?
“Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku, Ida?”
“Oh… eh, apa?”
Anggoro menghela napas panjang. Halus sekali ketika dia berkata. “Mau kan kau sabar menungguku sampai besok luas?”
Ida mengangguk. “Ya, aku akan sabar menunggumu… sampai kapan pun. Sekalipun tanpa edelweiss!”
“Ida?” Anggoro terpana. “Kau… kenapa begitu, Da?”
“Suatu saat kau akan tahu kenapa,” jawab Ida dengan mata berpendar-pendar. Sebagian duka telah pergi dari sana. “Baru kusadari berapa bodohnya aku selama ini, mengharapkan seseorang hanya karena bentuk luarnya saja tanpa memperhitungkan pribadinya. Dan Raditya…” gumam Ida dengan suara kering. “Kepergiannya memang menyakitkan, sekaligus membukakan mataku tentang dirinya yang sebenanya.” Ida menghela napas panjang sejenak. “Sayang sekali, di balik tubuhnya yang nyaris sempurna itu tersembunyi pribadi yang mengecewakan.”
“Bicaralah yang jelas, Ida…”
“Ang…” Lembut sekali suara Ida. “Cobaan yang beruntun menimpaku selama ini membuatku semakin matang, sehingga aku bisa menerima semua kenyataan ini dengan ikhlas. Aku sadar, Allah jugalah yang menentukan nasibku; mesti berjalan begini.” Ida kembali berhenti menarik napas panjang. Lalu: “Dan kini, satu keputusan tentang kepada siapa aku mesti melabuhkan hatiku telah kuambil, kau!”
“Ida!”
“Ini bukan pelarian, percayalah…”
“Tapi…” Anggoro menatap lekat mata Ida, dan dia menemukan kepura-puraan di sana.
“Kuharap kau tidak meninggalkan aku, Ang, kendati kau bisa melakukannya. Seperti halnya Raditya yang begitu mudah meninggalkan aku, sebelum aku sempat memberikan jawaban atas pernyataan cintanya. Kau mau berjaji, bukan?”
Anggoro mengangguk tanpa sadar. Semua bagai mimpi! Akhirnya kebahagiaan itu datang juga padanya.
(Buatmu di Balikpapan: ‘Met Idul Fitri)

--cerpen ini pernah dimuat di Anita Cemerlang Volume 198, Tgl. 2 s/d 11 Juni 1986--


0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...