Selepas dari kantor dinas PPO, Aryanto mengantar kami membeli oleh2 dulu sebelum menuju bandara. Kami beli bagia. Sebenarnya mungkin bukan makanan khas Waingapu. Tetapi aku tdk melihat alternatif lain karena selebihnya adalah kacang, jagung, mente, bakpia....yang tidak terlalu menarik utk kubawa sebagai oleh-oleh. Bagia, setidaknya, di kemasannya yang lumayan bagus, ada tulisannya diproduksi di
Waingapu.
Kami juga diantar ke Kota Raja, Preliu. Suatu tempat yang di dalamnya terdapat kampung yang semua kerabatnya adalah pembuat kain tenun. Ada makam besar, makam raja mereka, yang dikelilingi oleh makam kerabat-kerabatnya. Ada pohon besar sekali, usianya sudah ratusan tahun, yang di dahan utamanya, terpasang kepala-kepala kerbau yang sudah mengering. Kerbau-kerbau yang disembelih untuk peristiwa-peristiwa khusus, kematian, perayaan kelahiran, pernikahan, dan sebagainya. Di dahan pohon itu, terjuntai dua lembar kain, selembar kain untuk perang (mereka punya tradisi perang antar suku setiap tahun, di bulan Februari atau Maret, bersenjata kayu, dan dalam perang itu akan jatuh korban luka dan bahkan meninggal, tapi hukum tidak berlaku, kecuali hukum adat); selembar lagi adalah kain yang menceritakan kehidupan raja, kesehariannya, sampai pada meninggalnya (ada gambar makam raja di ujung kain tersebut).
Saya membeli beberapa lembar kain utk lenan rumah tangga. Untuk oleh-oleh mas Ayik, penyuka barang-barang seni. Sebagian mungkin bisa utk saudara dan sahabat. Juga selembar sajadah (di komunitas Sumba yang mayoritas Kristen dan Protestan, kain tenun dgn motif sajadah sangat jarang). Beberapa lembar kubeli di satu penjual, beberapa lagi kubeli di penjual yang lain, supaya tdk hanya membagi rezeki di satu penjual. Begitu juga pak Pram, dia membeli beberapa lembar kain, juga dua buah kalung khas Sumba, untuk anak perempuannya. Kalung khas Sumba yang asli, kata mereka harganya bisa mencapai puluhan juta. Kalung itu akan diwariskan dari orang tua ke anak, dari adik ke kakak, dan seterusnya. Terbuat dari tanah liat, berwarna kuning oranye. Perempuan Sumba yang sudah menikah biasanya memakainya, sampai mereka sudah menjadi nenek-nenek. Juga gelang, dari bahan yang sama. Dua orang nenek-nenek yang sedang menenun, kulihat mengenakan gelang itu di tangannya.
Pukul 11.00, kami sampai di bandara. Karena belum makan dari pagi, kami bertiga makan di kafe jawa, di bandara itu. Yang jual perempuan dari Tulungagung. Sudah 7 tahun tinggal di Waingapu. Awalnya ke Waingapu untuk kulakan kulit kerbau, bahan kerupuk rambak. Dia punya usaha pembuatan kerupuk rambak di Tulungagung. Lantas ketemu jodoh di Waingapu, dan menetaplah dia di Waingapu. Dia menjual nasi campur: nasi putih, oseng-oseng tahu tempe, mie, sambel goreng daun pepaya dan pare, ikan goreng dan ayam kare. Kalau makan di situ, jangan kaget, meskipun yang jual orang sesuku (Jawa), harganya terlalu mahal. Mungkin karena kafenya (sebenarnya itu warung biasa saja, sangat biasa), nempel di dinding bandara. Tapi tetap saja, menurutku, harganya tidak rasional.
Kami lantas diantar Aryanto masuk ke ruang check-in. Dia bebas saja masuk, semua petugas sepertinya sudah mengenalnya. Baru di pintu masuk saja, kami sdh ditanya KTP oleh petugas. Aryanto meminta tiket kami dan membatu men-check in-kan. Selesai, kami lantas dibawanya ke tempat ambil boarding pass, dan masuklah kami ke ruang tunggu. Di situ, kami berpisah dengan Aryanto. Anak manis itu melepas kami dengan sangat simpatik.
Ternyata ruang tunggunya cukup nyaman dan sejuk. Toiletnya, yang tidak terpisah untuk laki-laki dan perempuan, juga lumayan bersih. Beda dengan toilet yang ada di ruang kedatangan.
Dan saat ini, kami ada di antara para penumpang yang menunggu boarding. Kuhitung tidak lebih dari 25 orang termasuk anak-anak. Hanya sekitar 8 orang di antaranya yang nampaknya bukan penduduk asli NTT, termasuk kami. Pesawat Transnusa yang akan membawa kami menuju Kupang belum nampak batang hidungnya. Menurut jadwal yang tertera di tiket, kami akan terbang pukul 12.50. Mestinya sebentar lagi boarding.
Tidak ada satu pun pesawat yang parkir. Sepi. Hanya ada kereta bagasi penuh barang, menunggu diangkut. Petugas mengumumkan pesawat akan landing pukul 12.50. Berarti hanya sebentar saja terlambatnya, sekitar 5-10 menit.
Begitu pesawat datang, bagasi dimasukkan, dan masuklah kami semua ke dalam pesawat. Tenang, lancar, tertib. Dan transnusa pun terbang membelah angkasa.
Sekitar 45 menit kemudian, kami mendarat di El Tari. Kembali ke 'peradaban'. Kembali ke kerumunan, hiruk pikuk, dan ketergesa2an. Saya mulai bertemu banyak orang berjilbab di bandara (berhari-lari di Sumba, sangat jarang ketemu orang berjilbab). Bertemu dengan orang-orang 'moderen', dengan penampilan yang sangat beda jauh dengan orang-orang yang baru saja kami tinggalkan di Waingapu atau yang bersama-sama kami di pesawat. Seperti saya, tampaknya mereka juga sedang bertolak kembali ke kota masing-masing seusai menunaikan tugas atau dinas.
Menunggu boarding. Sebentar lagi kami akan terbang dengan Batavia. Transit beberapa saat di Denpasar. Insyaallah pukul 18.00 landing di Juanda. Setumpuk pekerjaan sudah berderet di kepalaku. Besuk tes akademik utk SM-3T di kampus, ngajar di pasca, berangkat ke Tretes utk pelatihan karya tulis bagi mahasiswa bidik misi, menyiapkan materi utk hari Rabu di Jombang, email materi untuk hari Sabtu di Sidoarjo, rapat, masak, korah-korah, bersih-bersih rumah...
.
Begitu berwarnanya hidup.
Kamis, 17 November 2011
Wassalam,
LN