Pages

Kamis, 17 November 2011

Sumba (4): Keadaan Sesungguhnya…

Rabu, 16 November 2011

Tidak semanis yang kami bayangkan. Koordinasi jauh-jauh hari, bahkan sampai tadi malam pun masih berkoordinasi dengan Kasubag Dinas PPO dan Ketua Dewan Pendidikan, pagi ini, sampai pukul 10.00, kami hanya dibuat menunggu di ruang kadis. Dua orang datang dari SMK 1 Loli, seorang waka dan seorang lagi orang tua siswa. Ketika saya tanya, mana yang lain, mereka malah balik bertanya, siapa
yang lain, bu? Guru, komite, dan wakil dari DU/DI, tanyaku. Ternyata mereka tidak diinformasikan kalau harus datang bersama mereka semua. Bahkan ditelepon saja juga baru tadi pagi, dan hanya diminta membawa ortu.

Hampir setengah jam kemudian, datanglah seorang lagi. Kepala Sekolah SMK Lamboya. Sama dengan yang tadi, beliau juga tidak tahu kalau harus dating bersama guru, komite, dan sebagainya. Beliau baru rapat di ruang bupati, ditelepon oleh petugas dari dinas, diminta datang ke kantor dinas, karena ada
pengisian data dari direktorat. Hampir setengah jam kemudian, tiga orang datang. Dari SMK  Waikabubak. Seorang guru, seorang lagi wakil dari DU/DI, dan seorang lagi sekretaris komite sekolah.
Ya sudah. Kami harus puas. Ada kepala sekolah, ada komite sekolah, ada guru, ada orang tua. Semua terwakili. Maka kami bagikan instrumen utk mereka isi. Menjelaskan maksud pengisiannya, dan menyilakan mereka bertanya bila tdk memahami maksud pertanyaan/pernyataan dalam instrumen.

Tidak semudah yang kami bayangkan. Bahkan memahami butir-butir instrumen pun tidak mudah bagi mereka. Kami coba menjelaskan, mereka masih saja bertanya. Kalau kami memberikan pertanyaan, harus dijelaskan maksudnya berkali-kali. Itu pun kadang-kadang, meminjam istilah pak Pram, ditakoni ngalor jawabe ngidul.

Ruangan yang sejuk jadi terasa 'sumuk'. AC tidak ada. Kipas angin juga tadak ada. Orang-orang yang awalnya kuandalkan ternyata tidak memenuhi harapan. Overestimate. Capek juga rasanya. Sekaligus membuat kami prihatin. Seperti inikah kualitas SDM di sini? Daerah yang subur, namun tak nampak kaya-kaya penduduknya. Tanah subur yang seharusnya bisa digarap dan memberikan hasil bumi yang melimpah. Nyaris tidak ada industri yang bisa digunakan sebagai tempat praktik siswa, kecuali hotel-hotel kecil.

Utk bidang lain, harus pergi ke Bima, Denpasar, Mataram, dan Surabaya (untungnya dibiayai oleh Pemda). Fasilitas praktek sangat minim. Bahkan ada salah satu SMK, yaitu SMK 1 Lamboya, 27 km dari Waikabubak, listrik belum masuk ke sana. Mereka memiliki belasan unit komputer, tapi karena listrik pakai genset, kamputer hanya bisa dioperasikan maksimal 5, sehingga prakteknya gantian. Inilah 'SMK Sastra' itu. SMK dgn minim sarana prasarana praktek, dgn kemampuan SDM yang terbatas baik jumlah maupun mutunya, dan dengan lingkungan yang kurang mendukung.

Pengisian instrumen selesai pukul 14.00. Sesiang itu, hanya segelas teh dan dua-tiga potong pisang goreng yang masuk perut kami. Di sini tidak ada 'suguh-gupuh' seperti kebiasaan kita di Jawa. Tidak ada tawaran makan siang. Bahkan sekadar barbasa-basi pun, tidak ada.

Kami pamit pulang dan tidak jadi mampir ke sekolah2. Hujan turun cukup deras, dan ketua dewan pendidikan tidak merekomendasikan kami utk ke sekolah2 karena jalannya tidak cukup aman dalam kondisi hujan seperti ini. Maka kami langsung menuju Sumba Timur, setelah makan di warung Padang. Sepiring nasi, sayur daun ketela dan nangka muda, paru goreng, udang goreng, lengkap dengan sambal merah dan hijau....cukup utk cadangan energi menuju Waingapu.

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...