Pages

Senin, 14 November 2011

Sumba (1): Inilah Waingapu

Inilah 0 km Kota Waingapu, Ibu Kota Sumba Timur.

Batavia, berangkat 8.30 dari Juanda. Cuaca cerah sekali. Semoga perjalanan lancar.

Landing di Ngurah Rai, pukul 10.15 waktu Denpasar. Cuaca tetap cerah. Menunggu 20 menit untuk terbang lagi menuju Kupang. Duduk manis di dalam pesawat yang sedang diisi bahan bakarnya.

Pukul 12.45. Landing di El Tari Kupang. Terlambat sekitar 10-15 menit, karena ketika mau take off di Ngurah Rai tadi, ngantre agak lama disebabkan lalu lintas padat. Langit agak mendung. Sejuk di dalam pesawat. Penumpang ada yang saling berbincang, tetap duduk di kursinya, atau memanfaatkan waktu untuk berdiri supaya tidak terlalu lama duduk. Anak-anak berpindah dari satu kursi ke kursi lain, karena penumpang yang naik dari Kupang belum masuk, jadi banyak kursi kosong. Dua puluh menit lagi terbang menuju Waingapu.

Pukul 13.50. Landing di Umbu Mehang Kunda airport. Inilah Waingapu, ibukota  Sumba Timur, kota tujuan pertama kami. Panas menyengat menyambut kami. Status di layar BB saya tertulis SOS. Tidak ada sinyal untuk Axis. Hanya Simpati dan AS. IM3 kadang bisa, kadang tidak, sering tidak bisa.

Kami, saya dan pak Pramukantoro, dosen dari Teknik Listrik, disambut oleh pak Minggus, driver dari Kantor Dinas PPO (Pendidikan, Pemuda dan Olahraga). Dia mengendarai mobil kijang biru plat merah, dan membawa kami keluar dari ruang pengambilan bagasi yang pengap dan penuh asap rokok, dengan satu-satunya toilet yang kurang layak untuk toilet bandara.

Saya minta pak Minggus untuk mampir ke rumah makan. Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu lapar, tapi saya harus bertanggung jawab pada teman yang bersama saya. Istri pak Pram sudah wanti-wanti supaya saya take care betul suaminya. Harus dijaga makannya. Dia alergi hampir semua jenis makanan kecuali nasi putih dan garam. Tapi siang ini dia hampir saja pilih menu iga bakar, namun segera beralih minta soto ayam setelah memastikan kuahnya tidak kental, tanpa kol dan tauge, dan setelah kuingatkan kalau iga bakar galak utk asam urat.

Siang ini kami berbagi tugas. Saya akan berkoordinasi dengan dinas PPO utk program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Tertinggal, Terluar (SM-3T). Dinas PPO telah mengundang sekitar 50 calon peserta yang sudah mendaftar dan lulus seleksi administrasi, pada pukul 17.00 waktu Waingapu. Mereka ingin mendengar penjelasan langsung dari saya sebagai koordinator SM-3T Unesa, mengenai apa itu SM-3T, seleksi akademiknya, kegiatan prokondisinya, penugasannya, dan tentu saja beasiswa serta tindak lanjutnya setelah program selesai. Saya juga akan menjajagi kemungkinan tes akademik bisa diselenggarakan di Sumba Timur, mengingat kondisi keuangan peserta yang sebagian besar memprihatinkan, serta sebaran lokasi mereka yang jauh dari kota (rata-rata 2-3 jam dari kota, bahkan
lebih). Saya juga akan menjajagi kerja sama dengan Bupati dalam bentuk MoU, serta mencari narasumber untuk pembekalan peserta nanti. Narasumber dari daerah ini akan memberikan pelatihan keterampilan sosial dan memberikan gambaran kondisi wilayah tempat peserta ditugaskan nanti.

Sementara tugas pak Pram adalah mengumpulkan data untuk penyusunan naskah akademik strategi peningkatan kemitraan antara komite sekolah, DU/DI dan SMK. Respondennya adalah kepala sekolah, komite, guru, DU/DI, orang tua, dewan pendidikan, dan dinas PPO. Ini merupakan pekerjaan lain (dari Direktorat Dikmen), yang kebetulan juga saya sebagai koordinatornya.

Mobil memasuki kantor dinas yang sepi. Di tempat pertemuan baru ada 3 orang. Seorang guru, dan 2 orang peserta SM-3T, yang datang dari jarak 120-an km jauhnya. Tidak ada seorang pun petugas dari dinas. Awalnya aku pesimis misi kami akan berjalan lancar. Namun tak berapa lama ternyata satu per satu mereka berdatangan. Juga kepala sekolah, guru, komite sekolah, DU/DI, yang akan menjadi
responden kami. Mereka sebenarnya sudah ada dari tadi, tetapi mengisi waktu dgn beristirahat di
sekitar kantor dinas.

Sambil menunggu calon peserta SM-3T lengkap, saya dan pak Pram mulai melakukan kegiatan pengumpulan data. Kesabaran mereka menunggu kami, ketekunan mereka mengisi instrumen, dan kesantunan mereka, membanggakan kami. Mereka datang dari Pahunga, sekitar 100-an km; dan datang dari Lewa, sekitar 60 km dari Waingapu. Serta dari berbagai pelosok lain di Sumba Barat.

Pengisian angket diteruskan dengan FGD. Pak Pram terpaksa memandu sendiri karena saya harus segera berpindah ke ruangan lain. Di ruang pertemuan itu sudah menunggu 50-an anak muda Sumba Timur. Kulit mereka kebanyakan sawo matang, alis tebal, bola mata hitam tajam. Manis-manis. Sebagian dari mereka telah menunggu kami dari pagi, karena harus menyesuaikan dengan jadwal angkutan umum, atau bus kayu (yaitu truk yang ditutup dengan seng), yang membawa mereka dari semua penjuru di Sumba Timur ke kota Waingapu.

Mereka adalah calon peserta program SM-3T. Pemuda-pemudi yang akan dikirimkan ke wilayah pelosok Sumba Timur dan Papua, membantu membangun percepatan pendidikan, menjadi agent of change. Tugas mereka yang utama adalah mengajar di sekolah-sekolah miskin, membantu memecahkan berbagai persoalan pendidikan dan juga sosial kemasyarakatan. Mereka akan dibekali dengan keterampilan mengajar di kelas rangkap, serta mengajar multi-bidang, karena bisa jadi, mereka akan bertugas di sekolah di mana gurunya sangat minim, atau bahkan merekalah satu-satunya guru di sekolah itu. Mereka juga akan dibekali dengan keterampilan ketahanmalangan (survival), serta kepramukaan. Selama 12 hari, pembekalan tersebut akan diberikan, termasuk juga pelatihan menyusun perangkat pembelajaran.

Namun semua pelatihan itu baru dapat mereka ikuti bila mereka lulus tes. Tes yang meliputi TPA, akademik, Bakat Minat Keguruan, baru akan dilaksanakan 18-19 November 20122. Problem yang muncul di lapangan adalah di manakah tes itu dilaksanakan? Mereka semua berharap tes bisa dilaksanakan di Sumba Timur. Kendala jarak, waktu, uang, adalah hal-hal yang mereka kemukakan. Melihat kondisi mereka, saya tidak tega membayangkan mereka harus berangkat tes ke Unesa, apalagi kalau harus pulang karena tidak lulus. Sedih rasanya.

Maka misi saya di sini adalah juga mengupayakan supaya tes dapat dilakukan di Waingapu. Saya sudah mengantongi surat tugas dari Rektor untuk berkoordinasi dengan Kadis dan Bupati. Besok pagi, saya pastikan akan menemui beliau berdua.

LN
Waingapu, 14 November 2011

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...