Pages

Rabu, 16 November 2011

Sumba (3): Masyarakat dan Alam Sumba Barat

Pukul 14.30 waktu Waingapu. Siang ini kami bergerak menuju Sumba Barat. Ditemani Ariyanto, pemuda kelahiran Kupang, yang namanya sama sekali tdk berbau Kupang. Pemuda lajang 28 tahun, jangkung, kulit sawo matang, wajahnya seperti kebanyakan orang Sumba, dan rambutnya ikal. Dia berkalung berbahan monel, berbandul salib, dengan gelang-gelang  besar dari bahan yang sama. Waktu saya tanya kenapa masih melajang, bukankah gadis Sumba cantik-cantik, dia bilang, ya betul, ibu, cantik-cantik, tapi
mahal. Saya harus mengumpulkan uang dulu untuk beli kuda dan kerbau untuk menebusnya. O o..... Ariyanto kami sewa bersama mobilnya utk mengantar kami ke Sumba Barat. Tujuan ke Sumba Barat semata-mata utk mengumpulkan data komite sekolah.

Jalan menuju Sumba Barat berkelok-kelok, naik-turun, dengan perbukitan kapur di sisi kanan-kirinya, berseling dengan lembah dan ngarai, serta jurang-jurang yang curam. Pada beberapa bagian mengingatkanku pada rute antara Ponorogo dan Pacitan, beberapa bagian mengingatkanku pada pelosok Tuban, Bojonegoro, Lamongan, yang gersang dan kekurangan air. Sempat kami melihat serombongan perempuan dan anak-anak  bergerombol dengan menenteng jurigen-jurigen, mereka sedang mengantri untuk mendapatkan air.

Beberapa kilometer sebelum memasuki Lewa, sekitar 50 km dari Waingapu, ada serombongan anak dan remaja membawa kom plastik di tangannya, berisi dagangan yang dijajakan pada para pengendara. Jagung rebus dengan kulitnya, kacang rebus, telur rebus, dan juga-yang khas-adalah buah sirih. Yang terakhir ini biasa dikunyah-kunyah dengan kapur (di Jawa namanya 'nginang'), oleh para wanita maupun
pria, sehingga melihat mulut mereka, gigi dan bibir yang merah kecoklatan adalah pemandangan biasa.

Aku membeli jagung rebus 10 ribu, dapat 6, yang 3 dari seorang gadis kecil berusia 8 tahunan, dan 3 lagi dari seorang gadis belasan tahun. Wajah manis mereka penuh peluh dan nampak lelah. Sekantung kacang rebus yang sepertinya sudah tidak segar lagi, kubeli dari seorang bocah lelaki belasan tahun yang
nafasnya ngos-ngosan karena memburu mobil kami.

Beberapa kali kulihat segerombolan kuda yang sedang merumput (mungkin kuda-kuda itulah yang menghasilkan susu kuda liar), kerbau yang beriringan, dan puluhan sapi menyeberang jalan. Rumah-rumah panggung beratap tinggi menjulang, atau rumah-rumah khas Sumba yang beratap jerami. Anak-anak  belasan tahun yang kulitnya hitam legam,  sedang bekerja bermandi peluh ikut melakukan pekerjaan memperbaiki jalan.

Jarak satu rumah dengan rumah yang lain sangat jauh, kadangkala puluhan kilometer. Saya membayangkan, apa yang mereka makan, di mana mereka membeli kebutuhan sehari-hari, dan apa yang dilakukan anak-anak mengisi waktu senggangnya, di mana mereka bersekolah. Sejauh perjalanan yang sudah kami tempuh, sekitar 2 jam dari Waingapu, aku hanya melihat 1 sekolah. Tepat di jalan
yang berkelok tajam, dan sekolah itu ada di bawah sana.

Semakin menjauh dari Sumba Timur, keadaan alamnya semakin subur. Pemandangan hijau dan rimbun di mana-mana, air melimpah di sawah dan rawa-rawa, beberapa rumah sedikit lebih modern, dengan parabola bertengger di salah satu sudut di halamannya. Aku baru tahu kalau mereka harus punya parabola utk bisa melihat TV. Menurut Ariyanto, hanya rumah-ramah yang ada parabolanya itulah yang punya TV. Wah, kalau begitu TV pasti masih menjadi barang mewah bagi mereka, karena kalau beli TV juga harus beli antene parabola. Dan memang tidak banyak rumah yang memiliki parabola; sampai menjelang masuk kabupaten Waikabubak, kuhitung hanya belasan.
Dan tentu saja, kemiskinan tetap mendominasi. Seringkali kulihat para wanita menyunggi jurigen berisi air di kepalanya, atau anak-anak usia sekolah yang bekerja di pinggir-pinggir jalan, dengan wajah lelah dan pakaian lusuh mereka.  Jam di tanganku menunjuk angka 17.00. Masih sekitar dua jam lagi kami mencapai Waikabubak, ibukota Sumba Barat. Nicky Astria mendayu-dayu melantunkan lagu-lagu yang kukenal tapi lupa judulnya. Ariyanto, driver kami, memegang kemudi menyusuri jalan yang meliuk-liuk. Kuperhatikan, kecepatan rata-ratanya cuma sekitar 60 km/jam. Aku senang caranya pegang kemudi. Rileks, fokus. Membuat kami merasa nyaman utk tetap beraktivitas. Aku mebuka laptop, mengecek berkas-berkas dari peserta SM-3T karena hasilnya harus segera kukirim ke Surabaya, melalui sms tentu saja, karena internet tdk bisa. Pak Pram sibuk mengabadikan hampir setiap jengkal pemandangan yang ditemuinya.

Tiba di Waikabubak, kami langsung ke hotel Kuranto. Menurutku lebih tepat disebut penginapan. Bu Titin Gah, kasubag Umum dinas PPO Sumba Barat, sudah menunggu kami. Orangnya cantik, khas Sumba, matanya bulat tajam, terkesan cerdas. Beliau memastikan besuk pagi kami bisa bertemu dengan kepala sekolah, komite sekolah, guru, DU/DI, dan orang tua siswa di kantor dinas. Tak berapa lama, ketua dewan pendidikan datang. Pensiunan pejabat dinas, sudah berumur, tapi masih enerjik. Senang kami merasakan sambutan hangatnya.

Kami membicarakan teknis kegiatan besok. Pengisian instrumen dilakukan di kantor dinas. Semua responden sdh dihubungi. Setelah itu, saya akan mampir ke sekolah-sekolah sebelum bertolak ke Sumba Timur. Ketua dewan pendidikan nampaknya berharap betul saya bisa ke sekolah-sekolah.

Tapi ada yang menggelisahkan saya. Pak Pram asam uratnya kumat. Kakinya diseret ketika turun dari mobil, dengan wajah meringis menahan sakit. Semper. Walah. Ini pasti gara-gara makan mie goreng semalam. Mie dengan minyak yang klomoh, pakai kol. Meskipun sebenarnya pak Pram sudah menyisihkan kol-nya supaya tidak 'katut' termakan, tapi tentu saja tidak mungkin menyisihkan minyaknya. Wah wah wah....bisa diprotes aku sama istrinya....

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...