Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 28 Desember 2013

Senja

Senja mulai jatuh perlahan
Membawa sejuta tabir dan menutup kilau matahari
Adzan maghrib berkumandang memanggil setiap insan untuk bersiap diri
Cukuplah hari ini bersibuk diri
Saatnya bersimpuh di hadapan Illahi Rabbi...

Tanggulangin, 28 Desember 2013. 17.50 WIB.


Wassalam,
LN

Soreku

Soreku adalah kelelahan yang memuncak seperti lelahnya matahari yang sinarnya meredup di ujung senja
Diamnya rumput ilalang yang tak bergerak sedikit pun karena angin telah lelah menerpanya
Gegung-gedung tinggi yang beku dan temaram lampu-lampu yang masih bermalas-malasan untuk menyala

Soreku
Menjadi sangat hidup saat sedang mengingatmu 
Bersemangat menyapa pepohonan yang di rerantingnya tersangkut bayang-bayangmu
Mencumbui aroma cemara hutan yang terendus seperti wangimu 

Aku, matahari, ilalang, gedung-gedung, lampu-lampu, semua telah lelah sore ini
Namun kerinduan menemui sosokmu dan membaui wangimu, membasuh semua lelahku

OTW Home, Wiyung
27 Desember 2013
17.00

Wassalam,
LN

Warnamu

Warnamu membuat hari-hariku menjadi semakin penuh warna
Melengkapi warna-warna indah yang ada di sekitarku
Tahukah kau pelangi yang melengkung di langit selepas hujan turun?
Atau semburat jingga yang merona menjelang matahari tenggelam di cakrawala?
Juga kuning keemasan yang terkembang saat rembulan sedang purnama?

Warnamu melengkapi warna-warna indah di sekelilingku
Menorehkan garis-garis emas di kanvas kehidupanku
Adakah dirimu pernah menampak hamparan sawah yang padinya telah rata menguning?                                    Atau seluas padang sabana dengan bukit-bukit hijau yang memayunginya?

Warnamu mengisi sudut-sudut kosong dalam memoriku, memenuhinya dengan gambar-gambar penuh suka cita
Pernahkah dirimu memandangi serombongan kuda yang berlarian di tepian pantai, berlatar batu-batu karang dan jajaran nyiur melambai?
Atau domba-domba yang bekerjaran di antara semak belukar, saat hari segera menjelang sore? 

Indahmu adalah warna-warna itu, berhembus merasuk di setiap helaan nafasku, menggurat meninggalkan jejak di dinding-dinding hatiku, dan mencair mengalir bersama aliran darahku

Warnamu, melengkapi warna-warna indah dalam kehidupanku...

OTW PPG, Macet di Wiyung
27 Desember 2013
14.00 WIB

Wassalam,
LN

Selasa, 24 Desember 2013

Perjalanan Paling Lama

Akhirnya tiba di rumah ibu. Setelah menempuh perjalanan hampir enam jam. Ya, enam jam. Ini perjalanan paling lama Surabaya-Tuban yang pernah kami tempuh. Biasanya, kami hanya perlu waktu dua sampai dua setengah jam. 

Berangkat dari rumah selepas salat maghrib, kami memasuki tol Gunungsari. Tidak pakai lama, langsung dihadang kepadatan yang luar biasa. Begitu sampai tol Romokalisari, kepadatannya sudah meningkat menjadi kemacetan. Rencana keluar melalui pintu tol Bunder, kami urungkan. Macetnya nggilani. Kami terus menuju tol Manyar. Total waktu yang kami perlukan sejak masuk pintu tol Gunungsari sampai keluar pintu tol Manyar, hampir dua jam. Cukup fantastis.

Manyar sampai Tuban lancar meski sesekali padat merambat. Sekitar lima kilometer keluar kota Tuban ke arah Jenu, di depan terminal, tiba-tiba kami dihadang kemacetan lagi. Mandeg jegrek. Truk dan mobil-mobil pribadi berderet-deret. Padahal rumah kami hanya sekitar tiga kilometer di depan. Tapi mobil kami sama-sekali tidak bisa bergerak.

Waktu saya tanya pada seorang bapak, penduduk setempat, yang sedang berdiri di pinggir jalan, kemacetan itu katanya akibat adanya kecelakaan. Entah kecelakaan apa. 

Ketika situasinya memungkinkan, mobil pun kami arahkan ke bahu jalan sebelah kiri. Mlipir-mlipir di sisi barisan truk besar. Lantas memutuskan belok ke kiri, mencari jalan-jalan alternatif masuk ke kampung-kampung. Ada tiga mobil yang mengikuti jejak kami, 'ngintil' di belakang. Untunglah Tuban tidak punya jalan jelek. Di kampung-kampung sepelosok apa pun, semua jalannya beraspal. Jadi meski sempat sekali salah jalan, dengan bertanya pada penduduk setempat, kami bisa segera kembali ke jalan yang benar,

Tiga mobil yang ngintili kami meneruskan perjalanan mereka ke Rembang dan Semarang setelah mas Ayik memberikan petunjuk arah yang mereka harus tempuh. Di ujung jalan, kami berpisah. Tiga mobil itu mengambil arah belok kiri, sedang kami belok kanan. Rumah kami hanya sekitar seratus meter dari titik persimpangan jalan itu.

Alhamdulilah. Setelah membuka pintu gerbang yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka sebelah, mobil kami meluncur memasuki halaman, langsung serong kanan, melintasi jalan di samping rumah ibu yang besar, dan parkir di belakang rumah. Lega nian. Apa lagi setelah bertemu ibu, mbak-mas dan keponakan-keponakan. Beberapa dari mereka, meski sudah hampir tengah malam, ternyata belum tidur. Menikmati malam natal sambil menunggu 'Lik-Luk' dan abah Ayik yang cakep-cakep ini....

Tuban, 24 Desember 2013

Wassalam,
LN

Senin, 23 Desember 2013

Puisi untuk Ibu

Ibu
Sore ini hujan turun deras sekali, hujan yang sama seperti kemarin-kemarin
Beberapa hari, bahkan beberapa minggu ini, langit seperti tak pernah kering, sepanjang waktu dia menumpahkan airnya ke bumi
Dinginnya sore yang merangkak menuju senja mengingatkanku pada sosokmu
Saat itu, di sore yang basah dan dingin, kau hangatkan tubuhku dengan selimut kecilku
Tanganmu yang lembut merengkuhku dalam pelukan hangatmu 
Lantas kau dekap terus aku dalam buaianmu, 
Sambil berdiri bersenandung di depan jendela, menunggu harap-harap cemas ayah pulang kerja

Ibu,
Aku sering lupa semua yang kau sudah lakukan
Aku lupa, suatu ketika, aku tarik-tarik mukenamu dalam sujudmu
Hanya supaya kau ambilkan aku segelas susu
Itu pastilah belum seberapa
Menurut cerita, aku juga suka mengencingi wajahmu, mengotori dadamu dengan muntahanku, dan bahkan kau menampung kotoranku dengan kedua telapak tanganmu
Tak terbayangkan bagaimana mungkin aku bisa lupakan semua itu

Ketika aku sudah dewasa, aku seringkali membuatmu kecewa
Membantahmu, mengabaikan nasehatmu, bahkan membohongimu
Kau hanya diam dengan mata penuh luka, menahan kemarahan dan kesakitanmu, dengan istighfar dan doa yang berhamburan dari gemetar bibirmu
Dan aku menghambur pergi dengan kemarahanku, tak peduli, meninggalkanmu terpuruk dalam tangis penuh pilu

Ibu,
Sore ini hujan turun deras sekali, hujan yang sama seperti kemarin-kemarin
Dan aku tak tahu
Adakah yang menyelimuti dirimu dalam dinginnya sore yang basah seperti ini?
Aku bahkan tak tahu, apakah kau punya selimut untuk sekedar menghangatkan tubuh tuamu?
Adakah seseorang yang menghampirimu dan menyorongkan segelas susu untukmu?
Adakah aku yang datang memelukmu dan memberikan kehangatan bagi tubuh kecilmu yang menggigil?

Maafkan aku, ibu
Ternyata aku ada di sini
Di tempat yang jauh dan tak mampu menjangkaumu
Aku masih di sini
Bergumul dengan ribuan urusan yang tak hendak kutinggalkan meski kau membutuhkanku
Maafkan anakmu, ibu
Atas ketakpedulian ini, atas keegoisan ini, atas ketidakpengertianku
Aku mohon, maafkan aku
Karena maafmu adalah energi hidupku, doamu adalah nafasku, dan keikhlasanmu adalah aliran darahku
Sehebat apa pun aku, setinggi apa pun aku, apalah artinya tanpa maaf dan doamu

Ibu, 
Meski seringkali aku menyakitimu
Percayalah, aku sangat mencintaimu, walau tak selalu mampu membahagiakanmu
Percayalah, doaku senantiasa kupanjatkan untukmu, semoga kau dalam lindungan Illahi Robbi selalu
"Allaahummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kamaa robbayaani shaghiiraa"
Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan ibu bapakku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil
Amin Yaa Rabbal alamiin...

Selamat hari ibu...

Surabaya, 22 Desember 2013

Wassalam,
LN

OTW Lawang
(Mendampingi bapak ibu...)

Jumat, 20 Desember 2013

Sepanjang Jalan Doho

Menyusuri sepanjang jalan Ndoho, di Kota Kediri yang berselimut rinai, rintiknya berpendar-pendar membasahi jalan
Menggiring setiap orang berteduh di teras-teras pertokoan yang panjang

Menyusuri sepanjang jalan Ndoho, sambil bergayut erat di lenganmu
Menapak jejak romantisme berpuluh tahun silam, romantisme yang tak lekang oleh waktu
Masih kunikmati rasa dan debar-debar itu, seperti dulu

Menyusuri sepanjang jalan Ndoho, meliuk-liuk di sela-sela para penjual makanan jajanan: pecel tumpang, nasgor, mie goreng, wedang kopi, roti dan bolu
'Ini seperti Malioboro saja', katamu
Lantas menunjuk relief-relief di dinding-dinding toko
'Lihat itu, sayang, itu bangunan-banguna kuno'
Sesaat sebelum kau gamit lenganku, duduk di atas tikar
Menikmati sepincuk pecel tumpang, menghayati suapan demi suapan, ditemani alunan musik para pengamen remaja ingusan

Menyusuri sepanjang jalan Ndoho, di Kota Kediri yang berselimut rinai, rintiknya berpendar-pendar membasahi jalan
Dinginnya malam yang semakin beranjak, terasa hangat karena tanganmu melingkari pinggangku
Hangatnya menyelusup di dinding-dinding waktu, menembus batas kelamnya langit, menghimpun semua kenangan yang berserak di sepanjang jejakmu dan jejakku
Jejak kita
Menyatu dalam satu bahasa qalbu: I love you...


Kediri, 20 Desember 2013. 22.00 WIB.

Wassalam,
LN

Selasa, 17 Desember 2013

Guru Besar 'Tertua' Unesa: Prof. Dr. Poedjiastoeti, M.Si

Wanita itu tidak lagi muda. Usianya 66 tahun. Saat ini, dia sedang berdiri di podium. Membacakan makalahnya yang berjudul 'Upaya Menyajikan Pembelajaran Kimia untuk Siswa SMALB Tunarungu'. Suaranya lantang, tegas, penuh percaya diri. 

"Perkenankan saya pada kesempatan ini, di usia 66 tahun, menyampaikan pidato pengukuhan ini." Begitu dia mengawali pidatonya. Ya, wanita itu, hari ini dikukuhkan sebagai guru besar Unesa. Bersama dengan dua guru besar yang lain, Prof. Dr. Endang Susantini (FMIPA) dan Prof. Dr. Ali Maksum (FIK). 

Apa yang menjadikan wanita itu begitu istimewa di mata saya adalah ketekunan dan kesabarannya. Perjalanan panjang telah ditempuhnya untuk sampai pada tahap ini, dikukuhkan sebagai guru besar, jabatan tetinggi dalam bidang akademik. Jabatan itu diperolehnya pada tanggal 1 Juni 2011 atau tepatnya pada usia 63 tahun 6 bulan 6 hari. Itu merupakan usia tertua dalam memperoleh jabatan guru besar di antara guru besar di Unesa. 

Namun tidak lama setelah diperolehnya jabatan itu, dia harus menerima kenyataan, bahwa masa kerjanya sudah menjelang berakhir. Proses pengajuan pensiun telah diluncurkan oleh Senat Unesa ke Pusat. Artinya, jabatan sebagai guru besar itu hanya sekejap saja dinikmatinya. Permohonannya pada Senat Unesa untuk memperpanjang batas usia pensiunnya, dengan berbagai pertimbangan, tidak diluluskan.

Ternyata Allah SWT berkehendak lain. Turunnya peraturan mendikbud tentang batas usia pensiun guru besar sampai usia 70 tahun, memberinya kesempatan untuk terus mengabdikan diri di Unesa. Subhanallah.

Poedjiastoeti adalah sosok teladan tentang ketekunan dan kesabaran. Wanita kelahiran Wonosobo itu menyelesaikan pendidikan sarjananya di IKIP Surabaya pada tahun 1977 dalam program studi Kimia. Selanjutnya dia melanjutkan ke UGM, mengambil program studi Kimia Analitik, dan mendapatkan gelar Magister Sain pada tahun 1995. Baru pada tahun 2010, dia mendapatkan gelar Doktor Pendidikan IPA dari UPI. Ya, setelah lima belas tahun dia memperoleh gelar magisternya.

Ketekunannya juga tercermin dari karya-karyanya baik dalam bidang penelitian, pengabdian masyarakat, maupun karya ilmiah dalam bentuk buku maupun artikel yang dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah serta berbagai seminar nasional dan internasional. Beberapa hasil karya itu terbaca di daftar riwayat hidupnya, dan betapa dia adalah dosen yang cukup produktif.

Dalam usianya yang tidak lagi muda, Poedjiastuti adalah tauladan bagi kita semua. Dengan ketekunan, kesabaran, berhusnudzon dan pasrah sepenuhnya pada kehendak Illahi, apa yang nampaknya tidak mungkin menjadi sangat mungkin. Berikhtiar sekuat tenaga, fokus, dan biarkan Allah SWT yang menentukan. Do the best, let God does the rest. itulah kuncinya.

Selamat, Prof. Poedji. Semoga jabatan guru besar ini menjadi berkah bagi semua. Amin YRA.

Gedung Serba Guna Unesa, 17 Desember 2013. 11.10 WIB.

Wassalam,
LN

Kamis, 12 Desember 2013

Senandung Anak Sulung

Saya terperangah membaca sebuah surel yang masuk di inboks akun email saya. pagi setengah siang hari ini, Kamis, 12 Desember 2013. Di tengah mengikuti acara Seminar dan FGD Penyelenggaraan Pendidikan Guru: Dari Rintisan Menuju Pembakuan", di Hotel Atlit Century, Jakarta.

Elina, pengirim surel itu, meminta saya membuat pengantar untuk buku antologi puisi 'Senandung Anak Sulung'. Dia adalah salah satu mahasiswa Program Profesi Guru Pasca Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (PPG Pasca SM-3T). 

"Ibu Luthfi, yang telah menjadi sosok bunda kedua bagi kami, saya Elina (dari Prodi Bahasa Indonesia). Bu, kami mahasiswa PPG Prodi Bahasa Indonesia telah
mengumpulkan puisi yang mestinya harus sudah kami masukkan ke percetakan pada beberapa bulan lalu. Akan tetapi karena beberapa hal, rencana tersebut mundur dan tidak sesuai dengan rencana. Kami insyaallah akan mencetaknya pada bulan Januari sehubungan dengan waktu perkuliahan yang semakin singkat. Dengan waktu yang singkat ini dan dengan mohon maaf atas email ini, berkenankah Ibu memberikan tanggapan atau kesan terhadap hasil karya kami? Sungguh menjadi suka cita bagi kami jika Ibu berkenan meskipun hasil karya kami sangat sederhana".

Elina dan kawan-kawannya benar-benar telah memberi saya kejutan yang luar biasa. Betapa tidak, selama ini, sebagai Direktur Program PPG Unesa, saya tak bosan-bosannya memberi dorongan pada para semua mahasiswa untuk menulis, termasuk menulis pengalaman berkesan mereka selama mengikuti PPG. Sebagian besar sudah menulis, termasuk Elina dan kawan-kawannya. Meski tulisan mereka tidak semua bagus, namun setidaknya telah terhimpun beberapa tulisan yang layak dibukukan, tentu saja setelah dilakukan penyuntingan. Pada saat kami sedang melakukan pemilihan dan penyuntingan tulisan-tulisan tersebut, tiba-tiba kabar rencana penerbitan antologi cerpen ini saya terima. 

Luar biasa anak-anak ini. Ternyata diam-diam mereka telah melakukan gerilya, melakukan gerakan di belakang saya, kasak-kusuk merencanakan sebuah konspirasi, yang bernama 'gerakan literasi'. Kalau ada istilah 'rapat gelap', maka inilah 'gerakan literasi gelap' itu.  

Saya lebih terperangah setelah membaca puisi-puisi mereka. Sampai 'mbrebes mili' saya membacanya. Terharu, bangga, gemas. Anak-anak 'nakal' ini telah mengaduk-aduk hati saya tanpa perasaan. Puisi-puisi mereka begitu bagus, menyentuh, mengharu-biru dan....membanggakan. 

Begitu saja terbayang sosok-sosok muda yang saya sayangi itu. Wajah-wajah manis mereka yang lucu, ceria, menyimpan mimpi, penuh optimisme. Mereka adalah anak-anak pertama kami, angkatan pertama PPG Pasca SM-3T Unesa. Oleh sebab itu, mereka memberi judul antologi puisi mereka sebagai 'Senandung Anak Sulung'.

Bagaimana pun, apa yang sudah mereka lakukan adalah bukti sebuah komitmen. Mereka telah berbuat tanpa banyak bicara. Mereka telah menyumbangkan satu tonggak sejarah dalam pengembangan budaya literasi. Mungkin hanya sebuah tonggak kecil, namun bagaimana pun, akan meninggalkan jejak di sana. Bersama jejak-jejak lain...menuju pembangunan generasi yang lebih gemilang. Generasi yang lebih sadar baca-tulis. Generasi yang lebih literat.

Terima kasih, anak-anakku. Kalian telah membuat kami semua bangga. Teruslah berkarya, dan jadilah guru yang tidak hanya mampu mengajar dan mendidik, namun guru-guru yang mampu menginspirasi. 


Jakarta, 12 Desember 2013

Wassalam,
Luthfiyah Nurlaela

Sabtu, 07 Desember 2013

Suatu Siang, tentang Kurikulum 2013

Suatu siang, saat saya sedang menunggu waktu untuk menguji tesis mahasiswa di ruang sidang Pascasarjana, dering telepon seluler saya berbunyi. 

"Halo..."
"Assalamualaikum, bu prof..." Suara di seberang.
"Waalaikum salam. Apa kabar pak?"
"Kabar baik, bu prof. Nyuwun sewu, bu prof, kami mau konsultasi lagi. Kami mau mengadakan kegiatan workshop. Mohon arahan, bu, kira-kira kegiatan workshopnya nopo nggih?"

Ini adalah telepon dari seseorang, sebut saja namanya Ngabdul, yang merupakan aktivis di sebuah LSM. Nama LSM-nya keren. Berkaitan dengan pendidikan.

Pertanyaan seperti ini, bukan yang pertama. Seingat saya, ini sudah yang keempat. Hampir setiap tahun sejak tiga tahun ini, dia melontarkan pertanyaan yang sama. 

Awal mulanya, waktu itu, saya ditugasi pak Rektor untuk menggantikan beliau menjadi narasumber di sebuah acara seminar pendidikan. Temanya tentang peningkatan kompetensi guru. Nah, sejak itulah, saya hampir setiap tahun diundang untuk menjadi narasumber seminar yang diselenggarakan oleh LSM tersebut. Pernah ditandemkan dengan Ketua PGRI Jawa Timur, pernah juga dengan Kepala Dinas Provinsi Jawa Timur dan pakar pendidikan dari perguruan tinggi lain.

"Saat ini kan sedang hangat diperbincangkan Kurikulum 2013, pak. Menurut saya, temanya tentang Kurikulum 2013 itu saja...." Saya memberi saran. 

"Lha tapi ini kan tahun 2013 sudah mau habis, bu prof...."
"Maksudnya?"
"Kan sudah mau masuk tahun 2014, bu prof. Apa tidak kadaluwarsa nanti kalau kita mengangkat topik Kurikulum 2013?"

Apa? Saya keheranan.
"Kadaluwarsa gimana, pak?"

"Gini lho, bu prof. Ini kan sudah mau akhir tahun 2013. Lha kalau kita mengangkat topik Kurikulum 2013, apa masih sesuai, wong tahunnya sudah mau habis."

Alamakkkk.

"Pak, sekarang ini, kurikulum yang dipakai kan Kurikulum 2013. Sudah disosialisasikan terus-menerus dan bahkan sudah diimplementasikan di banyak sekolah mulai dari SD, SMP, dan SMA. Namanya memang Kurikulum 2013. Tapi berlakunya kan sampai 2014 dan seterusnya..."

"Woo....ngoten, prof..."

"Sebelumnya kan pakai KTSP. Itu kurikulum sejak tahun 2006. Dipakai terus dan baru tahun 2013 ini dipakai kurikulum baru. Itu pun belum semua sekolah menerapkan."

"Wooo.....ngoten nggih, prof."

"Meskipun sudah disosialisasikan di mana-mana, tapi masih banyak guru yang belum paham. Jadi masih sesuai kalau akan disosialisasikan. Atau kalau tidak, ya topik yang lebih spesifik, misalnya pengembangan perangkat pembelajaran dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Gitu pak."

Woo....ngoten nggih, prof. Nggih nggih menawi ngoten, prof." Dia seperti kegirangan karena sudah mulai ngeh. 

"Prof, dados topiknya nopo, prof?"

"Pengembangan perangkat pembelajaran dalam rangka Implementasi Kurikulum 2013."

"Nggih nggih, prof. Kulo catet rumiyin, prof." Dia nampaknya mulai mencatat. "Prof, menawi topiknya menyusun RPP mawon dospundi, prof?"

Halahhhh.....

"Lha iya to pak.... Perangkat itu kan ya salah satunya RPP itu.... Termasuk juga media pembelajaran, modul, LKS, penilaian dan asesmennya..."

"Wooo... nggih, nggih, prof."

"Inggah-inggih ngertos saestu to pak?"
"Inggih, prof.....insyaallah ngertos prof..." Suaranya ragu-ragu.
"Nggih pun...monggo didiskusikan sama teman-temannya sana." Lanjut saya.
"Nggih, prof, nggih. Maturnuwun nggih, prof. Nyuwun pangapunten sudah mengganggu, prof..." Dia menutup teleponnya setelah bersalam.

"Ada apa, bu...kok njenengan koyok jengkel gitu..." Tanya pak Suparji, teman sesama tim penguji. Dia ternyata nguping pembicaraan saya barusan.

"Iki lho pak....LSM pendidikan nduwe duit, lagi bingung nggawe kegiatan." Jawab saya.

"Hehe..." Pak parji tergelak. "Uwakeh bu LSM sing koyo ngono kuwi. LSM pendidikan tapi ra paham pendidikan..."

Nah kan....

Dan tibalah waktunya untuk menguji...

Surabaya, 7 Desember 2013

Wassalam,
LN 
(otw Pacet, ngguyubi warga RT 04 RW 07 Kelurahan Karah).

Rabu, 04 Desember 2013

Puisi Buat Bung Ayik

Bung Ayik,
Pagi ini gerimis ilmu
Aku saksikan kau di sana membacanya dengan duduk syahdu
Membalik halaman keluarga selembar demi selembar dan mendakinya pada setiap pendakian atau turun ketika terjal dan berjalan perlahan ketika curam memanjang, dan berteduh berhari-hari ketika hujan petualangan tak kunjung reda, berderak dari pesisir Talaud, mengarungi deru laut hingga meretas jejak-jejak peradaban Papua

Bung,
Siang ini udara tidak lekas panas oleh terik mentari yang datang kadang tak pernah bertanya dan mengetuk pintu rumah kita, tapi kau berdiri dengan khidmat, menceritakan melodi kehidupan yang pasir, berbutir-butir banyak sekali, beribu-ribu, berjuta-juta, dan bermuara-muara, dan kau begitu dekati pantaimu dengan gelombang riak yang putih berderit-derit ke pinggir

Aku tak mengenalmu dalam diamku tapi akau menyapamu dalam irama yang tak biasa ketika siang itu kau bunyikan peluit kebaikan di antara gelegak anak-anak tak bersendal untuk mengeja "a" pada alam dan "b" pada bismillah 

Aku bertafakur semenjak itu padahal kutahu kau tak pernah kulihat dalam setiap gelombang dan angin buritan di atas spedboot yang melaju begitu dalam di antara angin laut yang biru juga tatapan alam yang rua 

Hanya sayapmu membaca semua yang tak kulihat dan tak pernah kudengar dan terus saja melintasi beribu peradaban, menjuntai di antara gemeletak tangis, tawa, deru, debu, dua puluh empat jam dalam sekali putaran hari

Aku melepas ingatan sejenak, kapankah anginmu tidur dalam sehari ini jika setiap kepala anak-anak itu terus bergemuruh merangkai harapan-harapannya dengan senyum yang tak bisa kubayangkan getarannya? 

Hei Bung, 
Ke sinilah sebentar saja dan letakkan dulu matahari di pundakmu agar kau bisa telentang sambil minum kopi yang kuseduh sore ini, lepaskan segala kepenatan pengabdianmu pada isterimu yang terus meretas jejak peradaban di bumi nusantara ini tanpa pernah lekang dan berhenti, berhentilah sejenak saja untuk menjadi inspirasi bagi bidadari yang kau sunting ketika bumi menunjuk pada dua puluh tiga derajat penantian panjang yang nyaris tak pernah habis

Aku habiskan suaraku memanggilmu tapi kau tetap bergerak seperti angin yang memasuki kerongkongan dan nafas setiap pengabdian dan tak pernah kau mengibarkan namamu pada setiap jejak yang kau retas bersama suara suara bumi yang rumi

Bung Ayik,
Katakataku hanyalah ijuk di bukit beludru yang nyaris tak mengenal garam...tapi aku merasakan air lautmu terbang ke angkasa membentuk awan-awan kehidupan dan menjadi mendung yang menurunkan hujan kesempatan agar benih-benih yang bertebaran di muka bumi tumbuh menjadi pohon-pohon kehidupan yang terus bercerita tentang kemaslahatan dan kemanusiaan

Aku hanya bersimpuh di sini
Menyaksikan setiap benih lahir menjadi para pengabdi dan ikut serta bertafakur pada bumi, pada air, pada angin yang mengabdi pada Ilahi...

Selamat Ulang Tahun
Semoga Tetap Menjadi Inspirasi bagi sesama, melalui isteri dan keluarga, anak-anak, sahabat, dan siapa saja...

Jakarta, 4 Desember 2013
Habe Arifin 

Selasa, 03 Desember 2013

PUISI ULTAH UNTUK MAS AYIK

Mas Ayik,
Hari ini adalah hari ulang tahunmu yang ke-50
Ya, kepala lima
Tidak terasa ya

Sepertinya baru kemarin
Saat kau sunting aku 
Waktu itu usiaku 23
Masih imut, langsing, kinyis-kinyis..
Dan kau menginjak 27 tahun
Muda, gagah, ngganteng...

Tidak terasa...
Dua puluh tiga tahun sudah kita jalani bahtera rumah tangga
Dengan seorang pangeran tampan semata wayang hasil buah cinta kita

Ada banyak liku-liku
Dengan segala suka duka
Senyum, tangis, susah, senang
Kadang terselip marah, benci, cemburu, curiga
Namun semua terkalahkan oleh cinta

Ya, cinta
Kata orang, cinta bukanlah segala-galanya
Kalau lapar tidak ada makanan, orang tak akan kenyang hanya dengan makan cinta
Kalau di kantong tak ada uang, beras tetap tak terbeli kalau cuma mengandalkan cinta

Tapi kita tahu, cinta tidaklah sesederhana itu
Cinta adalah tanggung jawab, kepedulian, kepercayaan, konsekuensi, kasih sayang dan pengorbanan
Kau telah buktikan, kau punya semuanya
Kau sudah lakukan segalanya untuk cinta kita
Hanya satu yang kau tak bisa
Memutus rasa cinta itu
Mematahkan jembatan kasih sayang yang menghubungkan hati kita
Merenggut saat suka maupun duka 
Dalam cinta yang nafasnya terhembus di mana-mana
Butirannya tertabur di mana-mana
Di setiap sudut rumah kita
Di halaman, di setiap pohon dan bunga
Di gunung, bukit, hutan, tanah lapang
Di sepanjang jalan, di setiap kelokan
Di senyum sanak saudara dan para sahabat
Di tukang rujak, warung sego pecel, resto-resto dan mall
Juga di tenda, kamar-kamar hotel dan villa

Mas Ayik,
Setiap saat, di mana pun, kau selalu memanggilku dengan sebutan 'yang'
Ketika masih muda dulu, itu pastilah kependekan dari kata 'sayang'
Sampai saat ini pun, kau masih memanggilku dengan sebutan itu
Meski kita sudah sama-sama beranjak tua
Katamu, 'yang' saat ini tidak hanya berarti sayang
Namun lebih tepatnya adalah eyang
Ya, 'ngunduri tuwo', katamu
Sebentar lagi anak kita akan menikah, punya anak-anak
Anak-anak itu adalah cucu-cucu kita
Mereka akan memanggil kita dengan sebutan 'eyang'
Eyang kakung dan eyang putri...
Haha...senangnya
Tak sabar rasanya menanti masa-masa itu

Tapi demi memastikan bahwa yang kau maksud adalah memang 'sayang', dan bukan 'eyang'
Kau lebih sering memanggilku dengan sebutan 'sayang' dan tidak sekedar 'yang'
"Sayang, ambilkan kunci mobil..."
"Mau aku kupasin mangga, sayang?"
Dan sayang-sayang yang lain
Dalam hati aku bahagiaaa sekali
Ya, siapa sih yang tidak bahagia bila disayang?

Mas,
Aku kolokan banget ya?
Judes, galak, cemburuan, ngambekan, ngamukan, senengane mleruk, mecucu
Setiap kali menghadapi kelakuanku
Kamu begitu sabar
Hanya diam, memandangiku, geleng-geleng kepala, sambil tersenyum...
"Mosok profesor kok kayak gini se..." Katamu. "Tapi nggak papa, aku seneng kok....itu tandanya cinta..."
Ya sudah...
Kuterus-teruskan saja marahku
Biar bisa bermanja-manja denganmu
Biar bisa selalu mencuri perhatianmu
Biar tak ada peluang sedetik pun kamu berpaling dariku

Aku egois ya?
Suka memang sendiri
Suka menuntut ini-itu
Suka merajuk seperti anak kecil
Biarin
Hehe

Mas Ayik,
Selamat ulang tahun ya
Panjang umur, sehat, barokah
Semakin cinta padaku dan anak kita
Juga keluarga besar kita
Juga kerabat dan para sahabat kita
Dan, tentu saja
Semakin cinta pada Dia Yang Maha Memberi Cinta...

Surabaya, 4 Desember 2013

Wassalam,
LN

Sabtu, 30 November 2013

Wisata Edukasi 5: Panen Mangga

Pagi di Madiun. Hotel Setiabudi, tempat kami menginap, sudah sibuk meski belum pukul 06.00. Halaman hotel yang penuh dengan kendaraan roda empat itu sudah dipenuhi orang berlalu lalang. Mereka adalah para pekerja, salesman dan sejenisnya, termasuk para pebisnis berbagai bidang usaha yang sedang menyiapkan mobil dan berbenah.

Ya, kata mas Samar, teman kuliah saya, guru SMK Madiun, yang memesankan kamar di hotel ini untuk kami, hotel Setiabudi memang hotelnya para sales. Ramai terus, terutama yang di lantai bawah. Tapi meskipun begitu, hotel ini bersih dan nyaman. Lantai 2, 3 dan 4  cukup tenang dan kamar-kamar dengan fasilitas standard room sangat layak kalau hanya sekedar untuk melepas lelah semalam dua malam.

Semalam, setelah menjelajah kecamatan Ngrayun, Ponorogo, kami memasuki kota Madiun pada sekitar pukul 20.00. Langsung menyantap nasi pecel Yu Gembrot, ditraktir mas Samar. Kemudian diantar mas Samar juga menuju Hotel Setiabudi. Kamar-kamar kami ada di lantai dua. 

Sementara menunggu bu Lucia mandi, saya mengobrol dengan mas Samar sekeluarga dan juga dengan Zahrotul Fitri, mantan mahasiswa saya yang sekarang juga mengajar di SMK Madiun, satu sekolah dengan mas Samar. Ngobrol ngalor ngidul sampai sekitar pukul 22.30. 

Begitu mereka pulang, Mujiono, wartawan  Duta, minta waktu untuk mewawancarai saya. Ya sudah, sekalian capek, saya layani saat itu juga, sampai pukul 23.10 (waduh, kayak melayani apa gitu....haha). Begitu selesai, saya mandi, salat, tidur. Menyusul bu Lucia yang sudah pulas.

Pagi ini, kami akan mengunjungi SDN 3 Bodag di Kecamatan Kare dan SDN 5 Batok di Kecamatan Gemarang. Ada Bahrun dan Rofi'i di sana, dua peserta Jatim Mengajar. Tapi kami akan mampir dulu ke kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Madiun yang ada di jalan Tiron, Nglames. Kulonuwun, sekalian memastikan siapa pemandu yang akan mendampingi kami mengunjungi kedua sekolah tersebut.

Bersama kepala UPTD Kecamatan Kare dan Kepala Sekolah SDN 3 Bodag, kami menyusuri jalan-jalan beraspal dan jalan-jalan tanah berbatu yang dipadatkan. Naik turun dan kelok-keloknya tidak seperti saat di Ngayun kemarin. Jauh lebih nyaman. Tidak harus menahan nafas karena medan berat. Perut juga tidak perlu mulas karena perjalanan kali ini benar-benar tanpa ketegangan. Waktu yang diperlukan juga tidak terlalu lama, hanya perlu sekitar 30 menit dari pertigaan Ndungus yang menuju RS Paru.  

SDN 3 Bodag kondisinya jauh lebih baik dibanding sekolah-sekolah yang kami kunjungi di kecamatan Ngrayun, Ponorogo, kemarin. Setidaknya dari jumlah ruang kelas dan luas lokalnya. Meskipun, begitu bicara tentang guru, siswa, dan fasilitas, kondisinya tak berbeda jauh.  

Guru di sekolah ini ada 10 orang, yang sudah PNS 6 orang, 4 orang di antaranya sudah sertifikasi. Siswa berjumlah 51 orang. Kelas I ada 9 orang, kelas II ada 12, Kelas III 4 orang, kelas IV 7 orang, kelas V 11 orang dan kelas VI ada 8 orang. Masing-masing kelas menempati satu ruang, jadi bukan merupakan kelas rangkap seperti di Ngrayun. Karena siswa sedikit, kursi di kelas banyak yang kosong. Bertolak belakang dengan kondisi kelas-kelas di SDN 3 Sendang, Ngrayun. Di sana, siswa-siswa harus duduk berdempet-dempet karena bangku terbatas.

Yang mengagumkan, insentif guru GTT di sekolah ini hanya sebesar 75 ribu. Ya, kurang dari 100 ribu. Fantastis. Entah apa yang bisa mereka lakukan dengan insentif bulanan sebesar itu.

Menurut kepala sekolah, dorongan dari orang tua, yang mayoritas buruh tani, kepada anak-anaknya pada umumnya sangat kurang. Oleh sebab itu, guru-gurulah yang harus giat memberikan motivasi pada para siswa. Beberapa guru di sekolah ini hampir selalu memiliki anak asuh setiap tahunnya. Mereka menampung anak yang ingin bersekolah tapi tidak mampu, agar mereka tetap bisa bersekolah.  
Bahrun, peserta Jatim Mengajar yang bertugas di sekolah ini, tinggal bersama bapak kepala sekolah. Dia bertugas sebagai guru pengganti di semua kelas, terutama kelas atas. Selain mengajar, dia juga memberi les, mengajar di TPA, dan bahkan sudah beberapa kali menjadi imam dan khotib di masjid.

Dari Bodag, setelah menyerahkan kenang-kenangan dan sedikit dana untuk kas sekolah, kami bergerak menuju Gemarang. Tujuan kami adalah SDN 5 Batok. Kali ini, kami tidak bersama pemandu. Cukup dipandu dari jauh oleh Kepala UPTD Kecamatan Gemarang. Juga mengandalkan google map. Meski kadang google map tidak terlalu cerdas untuk memandu kita di tempat-tempat terpencil, namun saat ini, dia cukup pintar. Spontan saya mengucapkan 'terima kasih, google', begitu sekolah yang kami cari itu ada di depan mata.

Rofi'i, peserta Jatim Mengajar yang bertugas di SDN 5 Bodag, berlari-lari kecil menyambut kami. Senyumnya cerah, pipinya tampak tambun. Dia kerasan benar di tempat ini, terlihat dari raut wajahnya. Setelah bertanya kabarnya, saya langsung menembaknya dengan tugas pertama. 

"Rofi'i, entah gimana caranya, aku minta kamu carikan mangga untuk kami semua. Mungkinkah?"
"Oh, sangat mungkin, ibu, beres." Jawabnya. "Bener?" "Ya, bu, bener."

Mangga, memang menjadi pusat perhatian kami semua sejak masuk ke jalan Raya Kare menuju Gemarang tadi. Tentu saja, selain pemandangan alam yang luar biasa indahnya. Lembah dan bukit yang menjadi latar belakang persawahan dan kebun-kepun yang menghijau. Juga hutan-hutan jati yang diselingi dengan pepohonan lain yang rapat. Jalan yang berkelok-kelok naik turun tapi cukup mulus, sehingga membuat kami serasa benar-benar sedang berwisata.

Kami baru tahu, ternyata Gemarang adalah penghasil mangga. Sepanjang jalan, perkebunan mangga, kebanyakan mangga gadung (arumanis), dengan buahnya yang siap dipetik, membuat kami penasaran. Penasaran ingin memetik maksudnya.....hehe. Makanya, begitu bertemu Rofi'i, kami langsung memberinya instruksi untuk mendapatkan mangga.

Selain mangga, tanaman coklat dan jambu mente sebenarnya juga merupakan pemandangan lain di sepanjang perjalanan kami. Namun, dibanding dengan tanaman mangga, keduanya tidak terlalu menonjol. Menonjolnya mangga juga terlihat dari tumpukan buah itu di beberapa titik di pinggir jalan. Mangga-mangga itu menunggu dikemas dalam peti-peti kemas, siap dibawa ke Jakarta. 

Hujan turun cukup deras saat kami berbincang dengan kepala sekolah di ruangannya yang sempit dan agak gelap. Sementara bu Lucia mengecek tagihan tugas yang harus dipenuhi Rofi'i, kami berbincang tentang kondisi guru, siswa, dan fasilitas sekolah, serta menanyakan kinerja Rofi'i selama mengabdi di sekolah tersebut.

Menurut kepala sekolah, bapak Santoso, SDN 5 Batok memiliki guru sebanyak 11 orang, termasuk kepala sekolah dan Rofi'i. Guru PNS ada 6 orang, 1 di antaranya sudah sertifikasi, dan 2 sedang dalam proses sertifikasi. Karena tidak memiliki guru agama, sekolah mendatangkan guru agama dari SDN 1 Batok. Guru olah raga dan guru seni juga belum ada. Sementara itu, guru kelas masih ada 2 orang yang GTT. Mereka itulah, bersama 4 guru kelas yang lain, yang bertanggung jawab di setiap kelas di sekolah yang jumlah siswanya 86 itu.

Tugas Rofi'i adalah menjadi guru pengganti di kelas-kelas yang kosong. Selain itu juga membantu membenahi administrasi sekolah. Di sore hari, dia memberi les, ekstakurikuler Pramuka dan musik.

Di bidang sosial kemasyarakatan, Rofi'i sedang mengupayakan bantuan pengadaan air bersih ke YDSF. Kemarin bahkan YDSF sudah datang untuk melakukan survei kemungkinan pemberian bantuan itu. Selain untuk air bersih, Rofi'i juga mengajukan bantuan pembangunan masjid dan bantuan sembako bagi masyarakat miskin.

Menurut kepala sekolah, kinerja Rofi'i sangat bagus. Sangat membantu sekolah. Termasuk menyusun laporan atau data yang diminta UPTD dan dinas pendidikan. Siswa juga semakin rajin karena Rofi'i giat mengisi kegiatan ekstrakurikuler untuk mereka. Kepala sekolah berharap program Jatim Mengajar terus berlanjut dan SDN 5 Batok tetap menjadi sekolah tempat penugasan.

Di tengah hujan yang deras, kami berpamit, setelah menyerahkan kenang-kenangan berupa buku dan sedikit dana untuk kas sekolah. Tidak perlu menunggu hujan reda karena tidak jelas kapan hujan akan reda. Kami meminjam payung para orang tua yang sedang menunggu anak-anaknya, menjemput mereka pulang. Di bawah payung, kami berlarian menembus hujan menuju mobil. Meski dingin terasa begitu menusuk tulang, tapi kami senang. Hari ini, tunai sudah tugas kami. Tidak hanya itu, ada dua dus mangga di bagasi mobil. Siap dinikmati di sepanjang perjalanan yang masih panjang, yang harus kami tempuh untuk kembali ke Surabaya.

Sekian laporan wisata edukasi hari ini, sampai bertemu dengan laporan wisata edukasi berikutnya....

Madiun, 28 November 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 28 November 2013

Wisata Edukasi 4: Lebih Rendah dari Gaji Pekerja Pabrik

Dalam balutan mendung dan kabut serta udara dingin, kami berempat bersepedamotor dengan empat orang guru. Tidak tanggung-tanggung. Begitu pantat menempel di sadel sepedamotor, jalan menanjak langsung memaksa kami menahan nafas menikmati sensasinya. Mesin yang menderu-deru dan guncangan-guncangan, tak memberi kami kesempatan sedikit pun untuk sekedar melakukan pemanasan. Setidaknya menyiapkan mental dan posisi tempat duduk.

Yang membonceng saya adalah pak Santoso, guru Agama, dan nampaknya guru paling senior di SDN 2 Sendang. Saya memasrahkan keselamatan diri saya pada kepiawaiannya mengendarai motor, selain, tentu saja, pada lindungan Allah SWT. Beberapa kali kami harus turun dan berjalan belasan bahkan puluhan meter di jalan yang sangat curam dan licin, karena sepeda motor tidak kuat menanjak, atau tidak berani menurun dengan beban berat.

Kami juga melintasi jembatan gantung yang panjang di atas sungai besar yang arusnya sangat deras. Warna airnya yang coklat keruh dengan riak-riak putih bekerjaran menimbulkan kengerian tersendiri di hati. Kalau sungai ini penuh, jembatan ini tak ada artinya. Jalan yang menghubungkan kampung sebelah dengan sekolah terputus, dan siswa maupun guru-guru yang rumahnya di kampung tersebut, tidak akan bisa mencapai sekolah.

Ya, ini bukan di Sumba Timur atau di Papua, kawan. Ini di sebuah desa bernama Sendang, di Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Ponorogo itu, kalau tidak salah,  masih termasuk Jawa Timur. Memang betul. Sensasinya tidak kalah dengan di Sumba Timur atau di tempat lain di daerah 3T. Hanya untuk mecapai sekolah, guru dan siswa harus bersama-sama menempuh risiko karena begitu beratnya medan.

Di bawah guyuran gerimis, hati saya juga dipenuhi gerimis. Lebih-lebih setiap kali pak Santoso menceritakan kondisi anak-anak sekolah dan guru-guru, terutama guru GTT. Anak-anak yang rapi dan bersih-bersih itu, bukanlah sesuatu yang serta merta. Dana BOS harus disisihkan untuk membelikan baju dan sepatu mereka. Sebelumnya, mereka mengenakan sepatu 'jitu'. Artinya, 'drijine metu'. Ya, sepatu bolong, jebol, berjendela. Yang selalu ditekankah oleh kepala sekolah, 'mosok pak guru lan bu gurune tok sing resik-resik.....anak-anake yo kudu resik....". Maka mengajari mereka, memberi contoh mereka, untuk selalu berperilaku bersih, adalah tugas sehari-hari. Termasuk konsekuensi harus membelikan mereka seragam dan sepatu dari dana BOS. Juga alat-alat sekolah yang lain. Meski dana BOS itu adalah dana mereka, namun kalau diberikan dalam bentuk uang, bisa-bisa tidak tepat sasaran.

Dan gaji guru GTT? Alhamdulilah, sudah ada insentif dari Pemda sebesar 1,7 juta yang diterimakan per tiga  bulan. Selain itu, mereka juga mendapatkan 10 rb tiap masuk kerja. Tapi, hari gini? Sampai di mana uang gaji sebesar itu? Dengan harga kebutuhan sehari-hari yang harus mereka penuhi untuk menghidupi keluarga? Sedang tuntutan tugas mereka sebagai guru begitu berat?

Bandingkan dengan upah pekerja pabrik. Di Ponorogo, bahkan hanya lulusan SD, begitu masuk kerja, gaji pertama mereka sebesar 1 juta, sesuai UMK. Tidak besar memang. Tapi masih lebih besar dibanding insentif guru-guru GTT yang sudah bertahun-tahun mengabdikan diri mereka mencerdaskan anak-anak bangsa itu.

Insentif sebesar itu, yang meskipun lebih kecil dibanding gaji pertama pekerja pabrik, masih jauh lebih besar bila dibandingkan insentif guru-guru GTT di tempat lain. Mungkin kita semua sama-sama tahu bahwa guru-guru GTT bahkan ada yang hanya menerima sekitar 100-200 rb per bulan sebagai insentifnya. Ya. Itu pun seringkali tidak diterimakan tiap bulan, namun per triwulan sesuai turunnya dana BOS, karena memang insentif mereka dicuilkan dari dana APBN itu.

Guncangan-guncangan di sepanjang jalan makadam yang naik turun berkelok-kelok itu seperti mengguncang-ngguncang perasaan saya. Saya sebenarnya bukan baru kali ini mendengar begitu memprihatinkannya gaji guru GTT. Namun dalam kondisi yang begini lengkap, sekolah yang fasilitasnya serba terbatas, medan berat yang harus ditempuh, anak-anak sekolah yang miskin, dan ketulusan guru-gurunya untuk mengabdi, membuat kegundahan saya serasa begitu sempurna. Mata saya nanar menatap jalan-jalan berbatu-batu itu. Keindahan bukit, lembah, hutan-hutan pinus, seperti hampa. Kata-kata pak Santoso yang juga ikut bergetar-getar di antara deru mesin sepedamotor, seperti suara malaikat dari langit. "Menjadi guru seperti ini, bu.....kedah dipun niati ibadah......"

"Inggih, pak. Leres...." Jawab saya, sambil mengencangkan pegangan tangan saya pada bagian belakang sadel sepedamotor. Jalan menanjak curam dan saya tidak ingin melorot ke belakang. "Ibu mendel kemawon nggih, meniko radosani pun minggah." Saya menjawab, "inggih, pak. Dalem mendel kalih shalawatan mawon..." Pak Santoso tertawa.

Kami tiba di SDN 7 Baosan Kidul pada sekitar pukul 14.00. Perjalanan berat yang harus kami tempuh begitu melelahkan. Membuat lutut, paha, pantat, pinggang, punggung, lengan dan leher, sakit dan kaku-kaku.

Tapi semua itu terbayar dengan keramahan kepala sekolah dan guru-guru serta bapak penjaga sekolah. Teh hangat menyapa tenggorokan kami. Cerita-cerita tentang profil sekolah, kinerja guru, kondisi siswa, mengalir ditemani cuaca mendung dan hawa yang dingin menusuk. 

Heri, yang ditugaskan di sekolah ini, dipuji sebagai sosok yang sangat rajin. Anak-anak sekolah yang menurut kepala sekolah, bapak Suparyanto, S.Pd., pada dasarnya sudah rajin, semakin rajin dengan kehadiran pak Heri. Pukul 06.00 anak-anak sudah tiba, dan Heri sudah menyiapkan semuanya bersama pak Jemadi, penjaga sekolah yang kebetulan juga bapak kost-nya.

Sekolah ini memiliki siswa 111 orang, dengan 10 guru, termasuk Heri. Tiga guru di antaranya sudah PNS (termasuk kepala sekolah dan penjaga sekolah), dan selebihnya adalah GTT.

Mau tahu berapa gaji guru GTT di sekolah ini? Gaji guru GTT adalah sebesar 125.000/bulan, diterima per triwulan. Ya, 125 ribu. Dicuilkan dari dana BOS. Terbayang nggak seberapa banyak lembaran uang sebesar itu? Yang biasanya kita gunakan hanya untuk sekali dua kali makan baik sendiri atau bersama teman. Dan itu gaji guru GTT untuk sebulan.

Di desa Baosan Kidul ini, listrik masuk baru sekitar 3 bulan yang lalu. Jadi jangan bayangkan ada komputer, laptop, LCD, atau media pembelajaran berbasis komputer lainnya di sekolah. Untuk mengetik saja, sebelum ada listrik, kasek musti pergi ke rental komputer di Ponorogo. "Isin bu, mosok laporan-laporan lan data badhe diketik manual. Konco-konconipun sampun ngangge komputer sedanten."

Pukul 15.30, setelah menyerahkan empat buah buku dan sedikit dana untuk kas sekolah, bersama para guru dari SDN 7 Baosan dan Heri, kami bergerak menuju Gawangan, di mana mobil kami menunggu. Gerimis rapat, kabut mulai turun. Saya membonceng Heri. Dua kali kami nyaris jatuh tergelincir, 'mrusut' ke belakang karena jalan licin dan menanjak curam, berbatu-batu.

Pada pukul 16.30, sampailah kami di Gawangan. Di sana sudah menunggu cak Jum dan pak Hadi, kepala SDN 3 Sendang, yang masih setia menunggu.

Dipandu oleh pak Hadi yang sekarang mengendarai mobil sendiri, kami bergerak menuju SDN 2 Mrayan. Hanya sebentar ketemu jalan beraspal yang agak halus. Selebihnya makadam lagi, naik-turun lagi, curam dan berkelok-kelok lagi.

Melihat rute dan medan yang begitu berat, tak terbayangkan jika kunjungan kami tidak dipandu. Sangat mustahil bisa menempuh perjalanan yang luar biasa sulit ini. Yang membutuhkan nyali sekaligus keteguhan niat. Untunglah, sejak dari Dinas Pendidikan Ponorogo, kami terus didampingi para petugas dan guru yang tulus. Serupiah pun mereka tidak mau menerima dari kami meski hanya untuk sekedar membeli bensin. Dipaksa-paksa pun, mereka tetap bersikeras menolak.

Kami tiba di SDN 2 Mrayan pada pukul 17.15. Sekolah sudah sepi, tapi masih ada kepala sekolah, seorang guru, seorang penjaga sekolah, dan Wachid, peserta Jatim Mengajar.

Bapak kepala sekolah, Suyanto, S.Pd., mengungkapkan rasa terima kasihnya karena kehadiran Wachid. Beliau berharap program ini akan terus berlanjut dan sekolahnya tetap menjadi sasaran penugasan.
 
Wachid ditugasi membantu guru kelas IV dan VI. Sore hari, dia mengisi  les dan ekstrakurikuler Pramuka. Dia juga bertugas mengisi kelas-kelas kosong sebagai guru pengganti. Dengan demikian, Wachid harus terus standby kapan pun dibutuhkan.

Tapi Wachid sempat mengeluhkan siswa-siswa yang cenderung malas, kurang motivasi belajar. Saya katakan, "justeru itu adalah tugasmu untuk membuat mereka memiliki motivasi belajar. Kamu pikir, memangnya buat apa kamu jauh-jauh dikirim ke sini?" Wachid tertawa mendengar pertanyaan saya. "Iya ya, bu..." katanya.

Pukul 17.45. Setelah kami serahkan empat buah buku dan sejumlah dana untuk kas sekolah, mobil kami bergerak meninggalkan sekolah, menuju kota Ponorogo. Menempuh jalan makadam yang kondisinya  naik turun berkelok-kelok dan sangat curam. Lagi. Melewati bukit-bukit yang bersabuk pipa-pipa air. Ditemani keramahan khas" wong ndusun", yang selalu menyapa, "monggo, pinarak...." Juga suara-suara binatang hutan yang ramai riuh rendah.   
 
Apa yang bisa saya sarankan setelah mengalami perjalanan sepanjang hari ini adalah: jika Anda sedang hamil muda, atau ada masalah dengan ambeien atau osteoporosis, saya sarankan untuk tidak coba-coba berkunjung ke Sendang, Baosan atau Mrayan. Haha...

Hari semakin gelap dan kami sedang berada di tengah hutan. Masih di atas jalan makadam. Jendela mobil yang semula kami biarkan terbuka, kami tutup. Udara sudah tidak hanya sejuk, tapi juga dingin menusuk. Binatang-binatang malam yang beterbangan mengkhawatirkan kami kalau-kalau mereka masuk mobil dan terbawa sampai Surabaya. Bisa repot kami nanti kalau mereka minta dipulangkan kembali ke Ngrayun. Hehe..

Ditemani suara alam yang masih lamat-lamat terdengar meski mobil sudah tertutup rapat, saya memutar musik. Dan mengalunlah suara Ermi Kulit.  "Malam ini, kasih....teringat aku padamu. Seakan kau hadir di sini menemaniku...


Ngrayun, Ponorogo, 27 November 2013.


Wassalam,
LN