Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 28 November 2013

Wisata Edukasi 3: Uji Nyali....

Pagi di Ponorogo. Setelah semalam menempuh perjalanan dari Surabaya. Hotel La-tiban, tempat kami menginap, sedang menggeliat. Teh dan kopi disajikan di meja-meja di depan kamar-kamar. Menurut resepsionis, menu makan pagi hari ini adalah nasi goreng. Saya minta diganti nasi pecel bungkus saja, tentu saja tidak bisa. Memangnya warunge mbahe? Hehe...

Saya dan bu Luci pun bergegas keluar hotel. Untuk apa kalau tidak dalam rangka berburu sego pecel. Kalau Anda ke Ponorogo, dan belum makan nasi pecel, maka kunjungan Anda tidak lengkap.

Ternyata tidak hanya nasi pecel yang kami dapatkan. Tapi juga tempe goreng, tahu goreng, punten (nasi dan kelapa parut dilumatkan menyerupai tetel atau jadah), singkong goreng dan pisang goreng.

Pagi ini, kami menjadwalkan diri untuk mengunjungi para peserta Jatim Mengajar di Kecamatan Ngrayun. Kami, adalah saya, pak Rahman, bu Lusi dan Mujiono (wartawan Harian Duta). Ada tiga lokasi yang akan kami kunjungi. SDN 3 Sendang, SDN 7 Baosan Kidul, dan SDN 2 Mrayan. Berturut-turut, di sana ada Rudy, Heri dan Wachid.

Kami mampir dulu ke Kantor Dinas Pendidikan di Jalan Gondosuli. Bertemu ibu Ismiyatun, yang selama ini menjadi contact person kami, yang ternyata adalah tetangga depan rumah bapak ibu mertua. Bertemu kepala dinas, mengobrol sebentar, menyerahkan empat buah buku sebagai kenang-kenangan dari kami. Lantas pamit, bergerak menuju Ngrayun.

Syukurlah, bu Ismiyatun sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Kami didampingi seorang pemandu, petugas dari UPTD Ngrayun, namanya pak Joko, alumni Seni Rupa IKIP Surabaya angkatan 1986. Dari UPTD Ngrayun nantinya, kami akan 'ditampani' oleh Kepala Sekolah SDN 2 Sendang sebagai pemandu berikutnya. Estafet.

Sekitar pukul 07.30, kami berangkat dari kantor dinas, menuju Bungkal, mengarah ke Ngrayun. Jalan naik 'ndeder', menurun curam, berkelok-kelok. Banyak bagian jalan yang rusak meski tidak seberat di Sumba Timur atau Papua. Pemandangannya masih sangat alami, hutan pinus, lembah-lembah dan ngarai, bukit-bukit landai (tidak bertumpuk-tumpuk seperti di Sumba Timur). Sesekali melewati perkampungan dengan belasan rumah. Masih cukup mengasyikkan untuk dinikmati. AC mobil sengaja dimatikan dan jendela dibiarkan terbuka, agar kesejukan alam lebih asli.

Sampai di UPTD Ngrayun pada pukul 08.30. Ditemui oleh bapak Boyadi, S.Pd., yang mewakili Kepala UPTD. Bersama Kepala SD 3 Sendang yang sudah datang menjemput, beliau berunding mengatur strategi kunjungan kami. Diputuskanlah untuk mengunjungi tempat terjauh dulu, yaitu SDN 3 Sendang. Pertimbangannya, karena kalau hujan turun, tempat itu tidak bisa dikunjungi. Jalan licin dan sangat berbahaya. 

Pukul 08.50, dari UPTD Ngrayun, bergerak menuju Sendang. Dipandu oleh bapak Kepala Sekolah dan seorang petugas dari UPTD. Mereka berboncengan naik motor, dan mobil kami mengekor di belakangnya.

Jalan rusak berat di banyak bagian meski beraspal. Naik turun, berkelok-kelok, hutan, lembah, ngarai. Kata bu Lucia, serasa di Sumba. "Jalannya..... sudah luar biasa....wow lagi". Katanya sambil tertawa campur ngeri.

Lima belas menit kemudian, mobil memasuki jalan makadam. Cak Jum, driver kami, menyerahkan tugasnya dengan 'lego lilo' pada bapak kepala sekolah yang menawarkan untuk menggantikannya pegang setir, dan cak Jum yang ganti membonceng sepeda motor. Nampaknya ada simbiosis mutualisme (atau komensalisme?). Antara kepala sekolah yang tidak tega melihat cak Jum mengemudi, dan cak Jum yang mungkin tidak terlalu yakin melihat medan berat seperti itu. 

Di sepanjang jalan, banyak ditemui jalan yang terbuat dari lempung gunung. Licin, lengket sekali. Banyak genangan air yang membuat jalan menjadi semakin membahayakan. Ban mobil sempat hanya berputar saja tanpa bergerak. Padahal jurang menganga hanya sejengkalan saja. Hutan pinus yang langsing tinggi menjulang berada di sebelah kanan-kiri jalan, dilengkapi lembah dan ngarai. Kami dikocok-kocok di dalam mobil, meskipun jarum speedometer nyaris tidak bergerak dari angka nol saking pelannya. Jalannya yang menanjak, 'ndeder'-nya luar biasa, kalau lagi turun, curamnya juga luar biasa. Ditambah dengan jurang-jurang yang menganga. Bikin perut mulas. Di pelosok Sumba Timur yang medannya seekstrim itu pun, tidak sempat membuat perut saya mulas. Ngeri. 

Pukul 10.30. Sampailah di SDN 3 Sendang. Sekolah yang dikelilingi bukit dan lembah. Hujan rintik menyambut kami. Guru-guru berbusana PSH dan siswa-siswa yang berseragam batik, menebar senyum penuh kehangatan. Juga Rudy, yang berbusana batik, rapi sekali, dengan senyumnya yang cerah menceriakan.

Drs. Hadi Suminto, kepala sekolah itu, telah berhasil memimpin mereka menjadi sosok-sosok yang santun dan ramah. Sekolah dengan kelas-kelas yang bersih meski satu ruang untuk dua kelas (kelas rangkap). Sepatu-sepatu siswa berbaris rapi di depan kelas, sengaja dilepas supaya kelas tetap bersih. Poster-poster bernuansa pengembangan karakter tertempel di banyak titik. Halaman sekolah yang kecil itu berpagar tanaman hidup yang langsung berhadapan dengan bukit dan lembah.

Sekolah ini seperti sebuah telaga yang mampu menghapus segala dahaga. Ketegangan dan kelelahan karena untuk mencapainya musti uji nyali, hilang seketika diguyur dengan kehangatan, keramahan dan kemurnian yang begitu alami. Menyejukkan, membuat betah. Tidak bisa tidak, komitmen kepala sekolah yang santun namun penuh dedikasi itulah yang begitu kental mewarnai.

Ada sembilan orang guru, termasuk Rudy, peserta Jatim Mengajar. Yang sudah PNS 3, yaitu kasek, guru agama, penjaga sekolah. Selebihnya adalah guru GTT. Lulusan PGSD 1 orang, Pendidikan Bahasa Indonesia 1 orang, Pendidikan Sejarah 1 orang. Sisanya masih kuliah, 2 orang di PGSD UT, dan 1 orang di STKIP Ponorogo.

Jumlah siswa seluruhnya 75 orang. Sekolah yang berdiri sejak 1980, yang awalnya sebagai SD kecil ini, sekarang memiliki 75 siswa. SD kecil, dengan sistem pembelajaran bermodul, ternyata tidak bertahan lama karena modulnya tidak kontinyu alias seret, maka beralihlah sekolah itu menjadi SD konvensional.

Rudy, tugas utamanya sebagai guru kelas di kelas IV. Dia, meskipun Sarjana Pendidikan Sejarah, akhirnya harus menjadi guru borongan, karena berperan sebagai guru kelas. Termasuk mengajar Bahasa Inggris dan Bahasa Jawa. Dia menikmati tugas akademik maupun sosialnya dengan baik. Berkomunikasi dan berbaur dengan masyarakat dengan luwes. Keberadaannya, menurut kasek dan guru-guru, sangat membantu. Rudy juga mengajar ekstrakurikuler Pramuka, dan mengajar di TPA.

Selama di sini, dia tinggal di mes sekolah. Di mes itu disediakan dipan dan kasur oleh kepala sekolah. Untuk makan, Rudy menumpang pada penduduk setempat yang tidak tega melihat Rudy memasak sendiri.

Di tempat ini, air agak susah, tapi sekarang, karena sudah mulai musim penghujan, air sumber mulai tersedia. Meski begitu, Rudy mengajukan bantuan pengadaan air bersih ke YDSF. Supaya bisa mengatasi kelangkaan air di musim kemarau.

Menurut kasek, Program Jatim Mengajar ibarat 'semilir angin' yang menyejukkan. Sekolah ini sangat kekurangan guru. Permohonan bantuan tenaga guru sudah berkali-kali diajukan ke pemda, tapi tidak kunjung terwujud. Kehadiran Rudy adalah angin semilir itu, benar-benar memberikan manfaat. Oleh sebab itu, kepala sekolah berharap, program yang merupakan kerjasama antara Unesa dan YDSF ini bisa terus berlanjut, dan SDN 3 Sendang tetap dijadikan tempat penugasan.

Setelah saya salat dhuhur di musala dekat sekolah (milik masyarakat), yang untuk mencapainya musti 'ngos-ngosan' karena harus menaiki jalan makadam menanjak sekitar seratus meter, saya juga meminta Rudy membuat proposal pembenahan musala. Tidak ada tempat wudhu di musala itu. Bangunannya yang hanya sekitar 48 meter persegi itu pun dindingnya belum dicat, lantainya belum diplester/dikeramik. Menyedihkan. Padahal di situlah guru dan anak-anak sekolah itu menumpang salat.

Sewaktu saya masuk ke kelas I, dan meminta anak-anak mungil itu membaca, sebagian dari mereka sudah bisa membaca, meski masih 'grotal-gratul'. Sebagian belum bisa. Namun di kelas II, hampir semuanya sudah bisa membaca dengan lumayan lancar. Jauh lebih lancar dibanding anak-anak kelas V atau VI di Sumba Timur dan Papua. 

SD 3 Sendang ini belum memiliki perpustakaan. Meskipun ada bantuan buku-buku dari DAK Kabupaten Ponorogo, buku-buku itu masih tersimpan. Kepala sekolah mempunyai ide untuk membuat perpustakaan nonruangan. Ya, hanya itu satu-satunya cara supaya buku-buku itu bisa dimanfaatkan dengan baik, sementara ruang untuk perpustakaan tidak dimiliki. Rudy saya minta untuk merancang peerpustakaan nonruangan itu, apa saja yang diperlukan, berapa biayanya, kami akan membantu untuk mewujudkannya.

Hujan mereda, tinggal gerimis kecil. Kabut menutupi puncak-puncak bukit. Menyembunyikan kontur lembah dan ngarai. Dalam kesejukan alam yang begitu murni, ditingkahi suara teriakan-teriakan riang anak-anak sekolah, dan keramahan serta ketulusan kepala sekolah dan guru-guru, kami menikmati menu makan siang. Nasi tiwul, lodeh tempe, urap sayur, tempe goreng panjang yang dibalur tepung singkong, dan ayam goreng. Nikmatnya luar biasa. Waktunya mengisi perut. Sebelum melanjutkan perjalanan. 

Konon, uji nyali belum berakhir. Empat orang guru dengan sepeda motornya masing-masing sudah siap mengantarkan kami menuju SDN 7 Baosan Kidul. Rute untuk mencapai sekolah itu, tak kalah hebohnya dengan rute yang baru saja kami tempuh tadi. Maka mobil harus berbalik arah, tidak perlu mengantar kami karena jalannya terlalu berbahaya untuk roda empat. Cukup tunggu saja di sebuah tempat yang bernama Gawangan.

Kami menyerahkan empat buah buku untuk kenang-kenangan. Juga sejumlah dana untuk kas sekolah. Tidak banyak, tapi insyaallah bermanfaat. Kepala sekolah dan guru-guru menerimanya dengan suka hati dan penuh rasa syukur. Untaian doa mengalir dari mulut mereka mengiringi langkah-langkah kami.

Baiklah. Sampai jumpa di Baosan Kidul....

Sendang, Ngrayun, Ponorogo, 27 November 2013


Wassalam,
LN

Senin, 25 November 2013

Kabar Gembira Dari Papua

Pagi ini, pukul 07.30, sebuah SMS masuk ke ponsel saya. "Ibu, saya ingin telepon, bisakah?" Spontan saya balas, "silakan, Ilham...". Meski sebenarnya saya sedang sarapan di Sabtu pagi yang cerah ini, saya menghentikan aktivitas saya. Mencuci tangan dan bersiap menerima telepon.

Ilham Saputra, adalah koordinator peserta SM-3T yang ditugaskan di Mamberamo Raya. Sebenarnya awalnya bukan dia koordinatornya. Namun karena Faisal, koordinator yang pertama, tempat tugasnya yang di SMP Satap Bonoi Distrik Sawai, tidak terjangkau sinyal, maka tugas sebagai koordinator dialihkan ke Ilham. Konon, tempat tugas Ilham, yaitu di SMP Negeri Poiwai Distrik Sawai juga, masih terjangkau sinyal, meski untuk mendapatkannya, Ilham musti menyeberang laut dengan perahu atau speedboat sejauh lima belas menit. Sempat juga tugas koordinator dialihkan ke Salman, yang lokasi tugasnya ada di Burmeso. Namun ternyata, meski di tempat Salman tersedia sinyal, dia toh tidak bisa menghubungi siapa-siapa juga, karena di tempat tugas teman-temannya, sinyal tidak ada.

Saya mengobrol panjang lebar dengan Ilham pagi itu, setelah melepas suami berangkat ke kantor. Dia menceritakan tempat tugasnya. Di sebuah sekolah favorit, yaitu di SMP Negeri Poiwai. Meski sekolah favorit, masih banyak siswa kelas VII bahkan VIII yang masih belum bisa baca tulis dan hitung. Ilham dan Haris, rekannya sesama peserta SM-3T, memberi pelajaran tambahan kepada siswa di sore hari, termasuk membimbing mereka berkegiatan ekstrakurikuler Pramuka dan Baris-Berbaris. 

"Wah, sangat berkesan, bu. Senang tapi juga gemes. Senang karena ada banyak kegiatan. Gemes karena anak-anak itu baru bisa paham kalau sudah diajari sepuluh kali." Kata Ilham saat saya tanya bagaimana kesannya. "Malasnya itu lho, bu....minta ampun. Tapi sekarang sudah mulai ada perubahan kok, bu... Mereka mulai rajin-rajin."

Saya senang mendengar cerita Ilham. Semangatnya untuk memotivasi anak-anak supaya tidak lagi malas, serta mencintai sekolah dan belajar, itulah yang sangat penting. Lebih-lebih bila kemudian ada dukungan dari orang tua siswa, yang pada umunya juga sangat minim. Semangat belajar, bekerja keras, tidak pantang menyerah, mencintai sesama, menghargai keragaman, dan memiliki kemauan untuk berkembang, adalah nilai-nilai yang harus terus-menerus ditanamkan pada mutiara-mutiara di ujung negeri tersebut. Tentu saja, semuanya ini jauh lebih penting dan berharga daripada sekedar lulus UN.

Sekolah itu memiliki siswa tidak lebih dari 100 orang. Ada 36 siswa kelas VII, 36 siswa kelas VIII, dan 35 siswa kelas IX. Gurunya ada 6 orang. Sebenarnya ada 10 guru PNS yang ditugaskan di sekolah tersebut, namun yang datang hanya 3 orang. Tujuh yang lain tak diketahui keberadaannya.

Kondisi seperti ini, bisa dikatakan 'sudah jamak' di mana pun di daerah 3T. Guru yang ditugaskan tidak datang. Bahkan kepala sekolah saja, juga bisa berbulan-bulan baru menengok sekolahnya. Namun gaji terus menerima. Jadi budaya 'magabu' sudah biasa. Makan gaji buta.

Hal ini juga yang merisaukan Bupati Mamberamo Raya. Saat beliau memberikan kata sambutannya pada acara penerimaan peserta SM-3T September yang lalu, beliau bertekad untuk melakukan pemetaan guru secara cermat, sehingga tidak ada lagi guru yang magabu. Termasuk guru-guru kontrak. 

Meski sekolah favorit, ternyata kekurangan guru tetap menjadi persoalan. Akibatnya, Ilham yang sebenarnya lulusan Pendidikan Sendratasik (Prodi Seni Musik) itu, musti mengajar Fisika, Kimia, PPKn, selain Kesenian. 

"Hah? Bisa kamu, Ilham?" Tanya saya. "Seni Musik suruh ngajar Fisika, Kimia?" "Bisa, bu. Saya SMA-nya IPA. Kalau untuk mengajar SMP, saya masih bisa, bu. Daripada mereka nggak diajar.".

Sama halnya dengan Haris, meskipun dia lulusan Prodi BK, dia juga musti mengajar Sosiologi dan Matematika Dasar. "Daripada kelas kosong, bu. Pokoknya gimanalah, bu, supaya anak-anak selalu ada kegiatan." Kata Haris. 

Ilham bilang, jarak yang diperlukan untuk mencapai tempatnya dari Kasonaweja (ibukota Mamberamo Raya) adalah sekitar tujuh jam dengan menumpang speedboat. Tapi jarak tempuh dari Serui hanya sekitar tiga jam. Ada sekitar delapan orang peserta yang tempat tugasnya lebih dekat dengan Serui daripada dengan Kasonaweja. Oleh sebab itu, Ilham menyarankan, bila tim monev nanti akan berkunjung, ada baiknya juga jika melalui Serui, tidak hanya melalui Kasonaweja, seperti saat pemberangkatan dulu.

Meskipun tempatnya jauh dari Kasonaweja, namun keadaan di sana menyenangkan. Listrik menyala mulai jam 06.00-01.00. Listrik itu dari genset yang dimiliki sekolah. Air juga selalu tersedia. Bagaimana dengan tempat tinggal? Kata Ilham, bahkan dibanding dengan kamar kostnya sewaktu kuliah dulu, tempatnya yang sekarang jauh  lebih nyaman. Dua buah kasur busa yang masih baru, khusus dibeli dan disediakan untuk mereka. Ditempatkan di sebuah kamar yang cukup luas, satu rumah dengan kepala sekolah. 

Untuk urusan makan, juga tidak ada masalah. Di sekolah itu ada asramanya, yang menampung anak-anak sekolah yang rumahnya jauh. Ada dapur dan tukang masaknya. Ilham dan Haris tinggal makan saja. Di awal kedatangan dulu, mereka menyetorkan beras, minyak goreng, gula, sarden kaleng, ke dapur asrama. Tapi mereka malah dimarahi, dibilang tidak perlu setor bahan makanan, karena semua sudah tersedia. 

Wow, bejo betul kedua anak tersebut. 'Saya seperti tidak sedang berada di Papua, Ibu', katanya. 'Semuanya ada, kecuali sinyal.'

Untuk mendapatkan sinyal, Ilham harus menumpang perahu kayu, orang setempat menyebutnya perahu kole-kole, hanya dengan membelikan bahan bakar sebanyak lima liter. Tidak harus menunggu speedboat. Sewaktu-waktu, kapan pun dia ingin menyeberang untuk mendapatkan sinyal, dia bisa menumpang perahu kole-kole langganan, asal laut dalam keadaan teduh.

Harga bahan makanan juga tidak terlalu mahal. Beras kemasan 10 kg harganya Rp.130.000,-, yang kemasan 20 kg harganya 250.000,-. "Itu sudah beras paling bagus, bu, bukan beras Bulog".

Buavita, minuman kesukaan Ilham (maaf, bukan bermaksud promosi), yang di Surabaya biasanya seharga Rp.4.000,-, di sana Rp.7.000,-. Ya, selisihnya lumayan juga, namun jauh lebih murah dibanding di Kasonaweja yang harganya Rp.10.000,-.

Yang unik dan menarik, di sana masih dikenal jual-beli dengan cara barter. Orang-orang membawa ikan dan hasil kebun mereka ke sekolah, dan ditukar dengan rokok, bukan uang. Kebetulan di sekolah itu ada koperasi, dan koperasi itu sangat membantu kebutuhan sekolah. 

Yang juga menyenangkan lagi, anak-anak sekolah pandai membuat alat musik ukulele. Bahannya dari kulit kayu yang ringan yang diperoleh dari pantai, sementara senarnya dari senar pancing. Saat ilham cerita, dia sudah pesan ukulele untuk dibawanya pulang tahun depan nanti, saya spontan juga minta dipesankan. "Untuk Barok, Ilham". Barok, nama lain Arga, kebetulan karena sama-sama di Sendratasik, Ilham juga kenal baik anak saya itu. "Ya, bu, saya pesankan juga untuk Barok".

Begitulah, kalau 'beruntung', anak-anak SM-3T bisa mendapatkan tempat tugas yang nyaman, meski untuk mencapai tempat tugas tersebut, mereka harus menempuh medan berat dan berisiko. Namun, semua ada plus-minusnya. Di tempat yang nyaman seperti itu, bisa jadi mereka bersyukur, bisa jadi justeru merasa kurang tantangan. Tahun lalu, beberapa anak SM-3T, termasuk di antaranya perempuan, minta dipindahkan ke tempat lain yang lebih terpencil, sehingga kehadiran mereka lebih dibutuhkan dan lebih bermakna.

Surabaya, 16 November 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 17 November 2013

Literasi, Pemodelan, dan Konsekuensi

Oleh: Luthfiyah Nurlaela
 
"Saat Anda ingin mengajak seseorang untuk melakukan sesuatu, maka Anda harus melakukannya dulu untuk diri Anda sendiri." 

Itulah yang terjadi dengan ajakan saya pada para mahasiswa saya, agar mereka mau menulis. Saya harus melakukannya dulu. Saya musti menjadi contoh bagi mereka sebagai orang yang cinta menulis. Tidak hanya sekedar mengajak atau mendorong. Kalau cuma nyuruh-nyuruh, siapa sih yang nggak bisa? Menyuruh, konsekuensinya, memberi contoh. Mendorong, konsekuensinya, menjadi model. 

Apakah literasi? Secara sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar.

Dalam sebuah laporan 'Literacy: Profile of America’s Young Adult' yang ditulis oleh Kirsch (1986), literasi kontemporer didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.

Budi Darma, bagawan sastra dari Unesa, saat bicara tentang pentingnya literasi pada acara Kampanye Literasi di Auditorium PPPG Unesa, Kampus Lidah Wetan, 29 Juni 2013 yang lalu, mengemukakan bahwa seorang yang 'literate', berarti bisa membaca. Kebalikan dari 'iliterate', tidak bisa membaca. Membaca dalam pengertian ini tentu saja dalam arti luas, termasuk membaca lingkungan, membaca momentun, membaca kesempatan, harus kritis, dan mampu memecahkan masalah.

Literasi juga sangat berkaitan dengan bagaimana mengekspresikan pikiran, yaitu menulis. Pikiran seseorang akan lebih tertata bila diekspresikan dalam bentuk tulisan. Orang yang pandai menulis biasanya lebih kritis, karena dia harus banyak membaca untuk bisa menulis dengan baik. Atau setidaknya, dia harus melakukan proses berpikir dulu sebelum atau selama menulis. 

Sekarang ini, generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000), Direktur International Literacy Institute (ILI), University of Pennsylvania,  menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga hal tersebut merupakan sebagian  indikator rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM). 

IPM, terjemahan dari Human Development Index (HDI), sebagaimana yang kita ketahui, merupakan pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh Indonesia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang, dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Berdasarkan laporan UNDP (United Nations Development Programme), IPM Indonesia pada saat ini meningkat. Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang kuat dalam setiap indikator IPM pada beberapa tahun terakhir. Peningkatan IPM ini membawa Indonesia pada posisi 121 di seluruh dunia, meningkat tipis dari tahun sebelumnya yang menempati urutan 124.

Namun, meskipun demikian, nilai IPM Indonesia masih di bawah rata-rata negara dengan IPM menengah. Bahkan masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata IPM negara di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik.

Melek huruf atau melek aksara, sebagai salah satu indikator IPM, sangat dekat dengan literasi. Unesco mendefinisikan melek huruf sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan baca-tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dan hal ini berkaitan langsung dengan kemampuan seseorang untuk memperoleh pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.

Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.


PemodelanKeinginan saya sih sebetulnya supaya mahasiswa tidak sekedar mau menulis, tapi rajin menulis. Tapi berat nian. Alih-alih rajin menulis, mereka mau menulis saja sudah sangat ruarrr biasa. 

Betul. Tidak banyak mahasiswa yang mau menulis, apa lagi rajin menulis. Lihat saja tugas-tugas makalah mereka. Apa yang mereka buat lebih sebagai produk 'copy-paste', bukan makalah. Mereka sekedar mengumpulkan bahan-bahan dari internet, untuk bisa ditampilkan saat presentasi. Seringkali sumber referensinya juga kurang credible, misalnya diambil dari blog, tulisan-tulisan yang anonim, atau dari wikipedia. Masih mending kalau mereka mengambilnya dari artikel journal-online atau e-book, misalnya. Tapi yang terjadi, tidaklah seperti itu. 

Ya, internet memberikan kemudahan bagi mereka untuk membuat makalah dengan cara potong kompas. Dengan hanya duduk di depan komputer atau laptop satu-dua jam saja, bahan apa pun bisa mereka dapatkan dengan cepat. Namanya internet, apa pun bisa masuk. Tulisan-tulisan sampah pun tersedia. Makanya kalau kita tidak pintar memilih, maka sampahlah yang akan kita dapat. Termasuk artikel-artikel yang tidak jelas penulis dan sumber referensinya.

Mahasiswa kebanyakan juga tidak melakukan pengkajian atas bahan-bahan yang mereka peroleh. Tidak meramunya sedemikian rupa supaya menjadi sebuah hasil kajian atas berbagai konsep dan teori beserta analisisnya. Apa yang mereka hasilkan bukanlah sebuah karya tulis sebagai wujud proses berpikir kritis. Sekedar ambil, himpun, jadilah. Seperti membuat kliping saja.

Kalau dikaitkan dengan domain kognitifnya Bloom, kegiatan mahasiswa dalam menulis makalah, lebih banyak pada level berpikir tingkat rendah (lower order thinking/LOT). Hanya berkisar pada to remeber dan tounderstand, dan sedikit  to apply. Belum menjangkau kepada tingkat berpikir yang lebih tinggi (higher order thinking/HOT), misalnya pada level to analyze dan to evaluate, apalagi ke level to create. Nyaris tidak ada proses berpikir kreatif di sana.
    
Kembali ke soal ajakan saya. Oleh karena saya menginginkan mahasiswa saat menulis makalah benar-benar melakukan proses berpikir rasional yang mendasarkan pada landasan teori yang kuat, maka saya harus menunjukkan, seperti apa makalah atau artikel yang baik. Selain berupa artikel jurnal dari internet, saya juga membawakan contoh-contoh jurnal ilmiah cetak (saya benar-benar khawatir, mahasiswa tidak paham apa itu jurnal ilmiah). Tidak tanggung-tanggung, dalam jurnal itu, saya harus memastikan, ada tulisan saya di sana. Saya juga meminta mereka untuk membuka laman pribadi saya, yaitu www.luthfiyah.com, dan menemukan berbagai artikel ilmiah di sana. Tentu saja, adalah artikel ilmiah tulisan saya sendiri.

Contoh atau model. Ya. Hal ini begitu pentingnya hampir dalam pembelajaran apa pun. Albert Bandura (Slavin, 2002), seorang tokoh teori belajar sosial, memastikan bahwa seseorang bisa belajar dengan cara mengamati (observational learning). Dalam proses belajar melalui pengamatan ini, maka model menjadi sangat penting. Model, bisa berupa orang (guru, siswa, praktisi misalnya), dan bisa berupa media pembelajaran (media visual, audio, audio-visual, multimedia, buku, dan bahan-bahan tercetak yang lain).

Pemodelan (modelling), juga menjadi ciri khas metode pembelajaran langsung serta menjadi salah satu komponen penting dalam model pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran langsung yang dalam pengelolaan lingkungan belajarnya memerlukan peran sepenuhnya dari guru, mensyaratkan adanya presentasi dan atau demonstrasi pengetahuan/keterampilan dari guru atau model. Siswa akan menaruh perhatian atau atensi atas apa yang ditampilkan guru/model, baru melakukan latihan di bawah bimbingan guru berdasarkan apa yang telah dilihatnya (belajar melalui pengamatan). Modelling membuka peluang lebih besar terjadinya atensi, retensi dan produksi pada diri siswa. Di ujung tahap ini, peran guru adalah memotivasi dan memberi penguatan (Joyce and Weil, 1992).

Pemodelan juga akan memperbesar peluang terjadinya tingkat pemrosesan informasi yang optimal. Apa yang dilihat dan dipelajari oleh siswa, akan lebih bisa bertahan lama, karena pengetahuan atau keterampilan itu disimpan dalam memori jangka panjang, yang dapat dipanggil kembali sewaktu-waktu jika diperlukan.

Kembali ke soal pemodelan. Dosen seharusnya menjadi model untuk pembelajaran apa pun, terutama untuk mata kuliah yang diampunya. Seorang dosen seni musik, hanya akan menjadi bahan tertawaan mahasiswanya kalau dia bermain piano dasar saja tidak bisa. Seorang dosen tata boga, akan sangat tidak elok kalau dia masak nasi saja gosong-gosong melulu. Maka, kalau Anda mengajak mahasiswa untuk menulis, betapa tidak adilnya jika Anda sendiri bukan orang yang mampu memberikan contoh bagaimana menulis. 

Konsekuensi Sekarang apa hubungan literasi dengan konsekuensi? Sebenarnya bukan literasi itu sendiri, namun ajakan untuk berliterasi itulah yang mengandung konsekuensi. 

Sebagai Direktur Program Pendidikan Profesi Guru (PPPG) Unesa dan Koordinator Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T) dan Jatim Mengajar, saya mewajibkan peserta SM-3T dan PPG untuk menulis. Tulisan mereka adalah tentang pengalaman yang paling berkesan selama menjalankan tugas pengabdian di daerah 3T atau selama menempuh PPG. 

Syukurlah, dari angkatan pertama (2011), saat ini telah dihasilkan dua tulisan: "Ibu Guru, Saya Ingin Membaca" dan "Jangan Tinggalkan Kami". Dalam waktu dekat, akan terbit sebuah buku "Setahun Hatiku untuk Sumba Timur". Tidak seperti dua buku sebelumnya yang ditulis secara borongan, buku ini merupakan karya tunggal Ali Asy'ari, seorang peserta SM-3T dari Program Studi Pendidikan, Jasmani dan Kesehatan, Unesa. 

Saya ingin bercerita tentang buku Ali Asy'ari ini. Saya pernah mengirimkannya pada Eko Prasetyo, seorang penulis, editor, instruktur menulis, dan pegiat literasi. Saya ingin penulis muda berbakat itu mengeditnya. Tapi, setelah beberapa hari saya mengirimkannya, dengan halus dia 'menolak', dan memberikan masukan untuk tulisan itu supaya lebih layak diterbitkan. Dia katakan, "gaya tulisan Ali begitu genuine, berkarakter. Tapi Ali harus memperkaya diksi-diksi dan bisa mendaur lebih banyak informasi'. Eko Prasetyo juga menyarankan, supaya naskah Ali dijadikan semacam novel yang berbasis true story (semacam Laskar Pelangi). 

Tdak ada pilihan, saya akhirnya mengambil keputusan untuk mengeditnya sendiri, dibantu Rukin Firda. Namun dalam perjalanannya, saya praktis mengeditnya sendiri, karena Rukin Firda tidak kunjung ada waktu untuk menyentuhnya sampai deadline buku itu harus naik cetak. Berbulan-bulan saya 'ngerjain' buku Ali yang tebalnya lebih dari 300 halaman itu, di antara kesibukan saya mengajar, membimbing, tugas-tugas tambahan yang lain, termasuk menulis dan mengedit buku saya sendiri. Apa boleh buat. Harga sebuah konsekuensi. 

Saat ini, saya juga 'terpaksa' mengambil keputusan untuk melakukan penyeleksian dan pengeditan buku tentang pengalaman mengikuti PPG, yang ditulis oleh para peserta PPG angkatan pertama. Ada lebih dari dua ratus tulisan, namun, tentu saja, tulisan itu tidak semuanya layak untuk dibukukan. Bahkan, Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos yang selama ini menjadi langganan kami untuk mengedit naskah-naskah buku yang akan kami terbitkan, sudah angkat bendera putih. Menyerah. Dia katakan, tulisan-tulisan itu 'terlalu berat' untuk dibukukan. Ceritanya hampir sama, monoton, kurang menarik.

Tapi tidak. Saya harus tetap membukukan tulisan-tulisan itu, tentu saja setelah saya memilih dan mengeditnya. Ini bukan hanya urusan 'kalah janji'. Tapi juga menyangkut bagaimana memberi apresiasi. Bagaimana pun, anak-anak muda itu telah berusaha, dan seperti apa pun hasilnya, usaha itu musti diapresiasi. Saya masih melihat ada beberapa tulisan panjang yang bisa diedit lantas dihimpun begitu saja, dan dibukukan, sebagai 'Pernak-Pernik PPG Unesa'. Memang tidak bisa memenuhi harapan PR I yang menginginkan tulisan-tulisan mereka dapat dikelompokkan dalam tema-tema. Tidak bisa. Cukuplah dengan memilih tulisan yang cukup layak, dan kemudian mengeditnya, menghimpunnya, lantas menerbitkannya. Lupakan tema-tema. 

Inilah yang saya maksud konsekuensi. Setiap ajakan mengandung konsekuensi. Karena saya telah mengajak mereka untuk menulis dan menjanjikan akan membukukan tulisan-tulisan mereka, maka pada saat di mana saya sudah tidak bisa lagi meminta bantuan orang lain untuk mengedit naskah-naskah itu, maka saya harus melakukannya sendiri. Lagi pula, saya sedang tidak bermaksud menerbitkan sebuah  buku yang layak jual, namun semata sebuah buku yang akan menandai dan menjadi tonggak sejarah pembudayaan literasi di PPPG. Buku itu akan menjadi contoh hasil karya bagi para peserta PPG angkatan selanjutnya, dan akan memotivasi mereka untuk menulis dan menghasilkan buku-buku yang lebih baik. Sekali lagi, adalah harga sebuah konsekuensi. 

Tapi untunglah, saya menikmati konsekuensi tersebut. Meski tidak bisa secepat kilat saya mengerjakan pengeditan sebuah naskah buku, namun pada akhirnya selesai juga. Ya, karena saya akan memasang tugas itu sebagai salah satu prioritas, di antara prioritas yang lain. Prioritas itu mengandung tanggung jawab. Tidak hanya pada diri sendiri, namun juga pada para mahasiswa dan lembaga. Juga tanggung jawab pada dunia pendidikan, khususnya pada pengembangan budaya literasi. Dan, tentu saja, tanggung jawab pada Allah Yang Maha Memberi Ilmu dan Kemampuan.

Tuban, 17 November 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 23 Oktober 2013

Theresia Taur dan PLPG

Perawakannya tinggi besar, kulit coklat, rambut ikal, mata bulat, garis wajah keras, semuanya khas NTT. Wanita 54 tahun itu adalah guru SMP  Katolik San Karlos Habi, Maumere. Tergolong wanita mahal senyum. Wajahnya lebih banyak seperti menyimpan beban, hal itu nampak juga dari sorot matanya yang terlindung kaca mata.

Ini kali kedua saya bertemu dengannya. Dalam momen yang sama, yaitu PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Ya, setahun yang lalu, dia sudah mengikuti program sertifikasi guru ini. Karena belum lulus, dia diberi kesempatan lagi untuk ikut pada tahun ini.

Saya bisa merasakan betapa beratnya beban ini bagi dia. Selama sepuluh hari terkurung dalam ruangan, mulai pagi sampai sore. Jauh dari kampung halaman, jauh dari keluarga, kerabat dan teman-teman. Malamnya masih harus mengerjakan tugas-tugas, atau minimal, membaca modul. Lebih-lebih bila saat kegiatan peer teaching, dia harus menyiapkan RPP dan kelengkapannya. Besoknya, melakukan praktik mengajar di bawah bimbingan dosen. 

Di bawah bimbingan dosen, baginya, mungkin lebih tepatnya adalah di bawah pengawasan dosen. Pengalaman gagal tahun lalu mungkin telah membuatnya begitu trauma sehingga sebuah bimbingan pun bahkan dia anggap lebih seperti pengawasan. Aktivitas untuk mencari-cari kesalahan. Mungkin. Meski pada kenyataannya, tidaklah seperti itu.

Belum lagi beban mental yang memenuhi pikirannya, kemungkinan tidak lulus lagi dalam PLPG kedua ini. Bila itu yang terjadi, maka 'habislah' dia sebagai guru. Dia akan dikembalikan ke Dinas Pendidikan di kabupatennya sana, dan entahlah, jadi apa dia nanti....

Saya melihat wanita itu sudah begitu lelah. Dia tidak terlalu bersemangat mengikuti sesi demi sesi dalam PLPG. Dia duduk menghadapi modul dan kertas-kertas. Kadang matanya memejam sekejap, kepalanya terangguk-angguk, lantas geragapan melihat ke saya yang sedang menjelaskan, mencoba sekuat tenaga mencurahkan perhatiannya pada penjelasan saya. Tidak selalu berhasil memang. Tak lama kemudian, kejadian yang sama berulang lagi. Mata memejam, kepala terangguk....dan seterusnya. 

Saya membiarkan semuanya itu tanpa mencoba untuk mengganggunya. Suara saya mungkin cukup lembut untuk meninabobokan wanita itu. Saya meneruskan saja diskusi dengan 16  peserta PLPG yang lain. Tiga di antaranya adalah mahasiswa saya dulu ketika S1. Selebihnya lulusan dari berbagai perguruan tinggi. Juga ada yang lulusan SMA. Termasuk wanita itu. 

Wanita yang bergaris wajah keras, namun bermata sayu itu, bernama Theresia Taur. Di antara para peserta PLPG Tata Boga, nampaknya dialah yang paling senior. Meski nampaknya dia tidak terlalu bersemangat mengikuti sesi demi sesi, namun keberadaan dia di sini membuktikan, sesungguhnya dia menyimpan  semangat terpendam. 

Ya, selain bu Theresia, begitu saya memanggilnya, sebenarnya ada dua temannya yang lain yang tahun lalu tidak tulus PLPG Tata Boga, serta belasan yang lain di bidang lainnya. Tapi beberapa di antara mereka, tidak mau menempuh kembali PLPG-nya. Sudah kapok, dengan berbagai alasan. Biaya yang harus dikeluarkan dari tempatnya yang nun jauh di sana, atau karena sudah pesimis duluan, atau sudah 'nggak butuh', acuh, apatis, masa bodoh.

Ibu Theresia, tidak termasuk golongan itu. Dia, meski dengan tubuh dan pikirannya yang lelah, hadir di ruang ini. Duduk menghadapi modul dan berkas-berkasnya. Kadang-kadang sambil terkantuk-kantuk. Tanpa senyum.

******

Tapi itu hari kemarin. Hari ini, saya melihat wajah lelah di depan saya itu banyak tersenyum. Saat mereka sedang melakukan diskusi kelompok untuk melakukan analisis kurikulum 2013, saya bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain. Lantas memutuskan berhenti di kelompok ibu Theresia. Berhenti di situ. Mengobrol ringan untuk mencairkan kebekuan, di antara aktivitas diskusi mereka.

Dan saya menikmati senyum tulus dari wajah yang sudah mulai menua itu. Mata bulatnya yang indah, seperti kemarin, nampak lelah. Namun bibirnya beberapa kali menyunggingkan senyum manis. 

Tiga puluh tahun dia mengajar. Cukup dengan ijazah SMA. Saat ini, golongannya III-C. Bukan PNS, tapi guru tetap yayasan. Oleh karena masa kerjanya sudah lebih dari dua puluh tahun, dia memenuhi syarat untuk mengikuti PLPG.

Lulus PLPG, saat ini, baginya, bukanlah melulu demi tunjangan profesi pendidik (TPP). Pendapatan dari suaminya yang guru PNS, dan anak sulungnya yang sudah bekerja di kapal, cukuplah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Lulus PLPG, bagi dia, lebih pada kebutuhan untuk pencitraan diri. Pertaruhan akan nama baik dan harga diri. Mungkin tidak seekstrim itu....mungkin. Namun lulus PLPG, apa lagi dia sudah menempuhnya untuk yang kedua kalinya ini...adalah amat sangat penting. Pertaruhan akan profesinya sebagai guru. Lulus, berarti dia layak disebut sebagai guru profesional. Tidak lulus, berarti....dia tidak layak untuk menjadi guru.

Tidak layak menjadi guru. Adakah sebutan yang lebih menyedihkan dari seorang guru yang sudah mengabdi lebih dari tiga puluh tahun?

*****

Bagi saya, tidak terlalu mudah mengajar peserta PLPG. Usia mereka yang sebagian besar sudah tidak muda lagi, bahkan ada banyak yang jauh di atas usia saya, dengan motivasi belajar yang tidak bagus-bagus amat, dan kelelahan fisik dan mental karena stres. Ditambah lagi dengan pengetahuan mereka yang pada umumnya sudah out of date, sudah aus, akibat tidak pernah di-upgrade. Belum lagi materi PLPG yang padat berisi. Mulai dari materi Kebijakan Peningkatan Profesi Guru, Kurikulum 2013, Pembelajaran, Asesmen, Penelitian Tindakan Kelas, dan seterusnya....

Kalau hanya berorintasi pada ketuntasan materi, gampang. Kalau cuma transfer of knowledge, mudah. Tapi tentu saja bukan itu tugas kita sebagai instruktur. Memahamkan mereka, memastikan mereka memegang kata-kata kunci, intisari dari tiap materi, kemanfaatan materi dan penerapannya untuk peningkatan kinerja mereka sebagai guru, itulah yang penting. Membawakan materi dengan menarik, mempertahankan perhatian mereka untuk terus bertahan pada materi, jauh lebih berat dibandingkan mengajarkan materi itu sendiri.

Maka saya pun lebih senang mengajar dengan cara sebisa mungkin menghindari ceramah. Kalau pun ada ceramah, itu hanya penjelasan singkat. Itu pun, meski singkat, sudah cukup berhasil membuat satu dua dari mereka terangguk-angguk kepalanya karena mengantuk. 

Selanjutnya adalah mereka akan bekerja sendiri. Bisa secara individual, bisa kelompok. Kemarin, saya meminta mereka untuk mebuat peta konsep saat belajar tentang model-model pembelajaran. Saya memberi contoh bagaimana membuat peta konsep yang baik. Saya pastikan juga, peta konsep yang baik, hanya dihasilkan oleh orang yang memiliki pemahaman yang baik pada materi yang dipetakonsepkan. Maka mereka pun terpaksa membaca modul. 

Begitu juga ketika membahas asesmen. Satu per satu mereka saya minta membaca alinea demi alinea. Sambil mendiskusikannya. Lantas saya minta mereka menggarisbawahi ide-ide pokok, kata-kata kunci, dan kalimat-kalimat yang dianggap penting. Yang saya tayangkan dengan powerpoint, adalah contoh-contoh bentuk asesmen langsung dalam bidang boga. Seperti apa lembar pengamatan dalam pembelajaran tata boga, lembar penilaian kinerja, lembar penilaian proyek, portofolio, dan penilaian diri.

Siang ini, saat membahas PTK, saya minta mereka langsung bekerja secara kelompok. Mengerjakan soal-soal latihan yang ada di modul. Potong kompas. Untuk bisa menjawab, toh mereka harus membaca modul. Ya, waktu pertemuan yang hanya dua jam tatap muka, sungguh tidak memadai untuk menjelaskan PTK sampai mereka paham. Jadi yang terpenting, mereka tidak mengantuk, semua aktif, dan tetap bersemangat membaca. Saat setiap kelompok menampilkan hasil diskusinya dalam menjawab soal-soal, saya baru memberikan penekanan-penekanan pada kata-kata kunci, hal-hal yang penting, dan memberikan gambaran utuh tentang apa itu PTK.

****

Sore ini, adalah sesi terakhir saya bersama mereka. Besok sampai hari minggu, mereka akan bersama dengan instruktur yang lain, kawan-kawan saya. Saya ingin mengakhiri sesi saya dengan manis, memastikan mereka akan terus bersemangat. Selalu menjadi 'a learning person', supaya pengetahuan dan keterampilan mereka terus terasah. Berusaha sebaik mungkin. Urusan lulus dan tidak, biarlah Tuhan yang memutuskan. Apa pun keputusan-Nya, yakinlah, bahwa itu pilihan terbaik.

Dan mata lelah itu berbinar-binar saat saya menghadiahinya buku 'Khasanah Kuliner Tradisional Jawa Timur'. Meski bukan orang Jawa Timur, dia sangat bersuka cita dengan buku itu. Menghadiahkan buku untuk ibu Theresia Taur, bukanlah tanpa alasan. Dialah peserta PLPG paling senior di kelas ini, yang datang dari tempat yang paling jauh, dan keberadaannya di tempat ini tidak mungkin terjadi tanpa semangat dan keinginannya untuk terus maju. 

Buku kedua juga saya serahkan pada peserta termuda, namanya Siti Fatimah, guru dari Madura. Saya selalu menggoda dan memintanya tersenyum, karena wajahnya yang selalu sedih itu sebenarnya sangat manis dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Dengan penuh suka cita dia menerima buku itu, dan mencium tangan saya dengan penuh haru.

Tiga buku 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca', saya hadiahkan juga untuk tiga guru dari NTT yang lain. Kisah-kisah inspiratif para peserta SM-3T saat mengabdi di Sumba Timur, NTT, yang tertuang di buku itu, saya harapkan bisa memacu semangat dan motivasi mereka untuk lebih meningkatkan kompetensinya sebagai guru, demi membagun pendidikan di NTT ke arah yang lebih baik.
  
Bagi dua belas peserta yang lain, yang sore ini belum kebagian buku, saya janjikan, tetap akan saya beri buku masing-masing satu, besok atau besoknya. Buku yang akan saya hadiahkan itu adalah 'Berbagi di Ujung Negeri'. Ya, baru besok, buku itu dikirim kepada saya. 

Semoga buku-buku itu menjadi kenangan yang manis untuk mereka.  Sebentuk bukti persahabatan dan pertemanan, yang tidak hanya dibatasi oleh empat dinding kelas bernama kelas PLPG.


Gedung PPPG, 22 Oktober 2013

Wassalam,
LN

Minggu, 13 Oktober 2013

Wisata Edukasi (2): Di Lamongan, ada sekolah di tengah hutan

SDN Kedungbanjar itu akhirnya ketemu. Berada di Desa Kedungbanjar, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Setelah kami sempat beberapa kali kesasar. Pasalnya, tidak seperti SDN Jatipandak yang bisa dilacak dengan google map, SDN Kedungbanjar tak terdeteksi. Desa Kedungbanjar saja yang nampak, itu pun tidak terlalu jelas. Maka kami pun terpaksa memanfaatkan GPS konvensional, turun dari mobil dan bertanya pada orang-orang arah menuju Kedungbanjar.

Sekolah di tengah hutan itu merupakan satu-satunya sekolah di desa tersebut. Bersama Arif, guru yang kami tugaskan dalam Program Jatim Mengajar, kami melihat-lihat ruang-ruang sekolah dan sekelilingnya. Satu ruang adalah ruang guru, ada beberapa meja kursi dan rak buku. Satu ruang untuk perpustakaan, tapi rak belum ada, buku belum tertata, berantakan seperti kapal pecah. Jendela bagian belakangnya juga banyak yang bolong-bolong besar, yang ditambal-tambal tripleks. Satu ruangan untuk kelas I dan II, sedang satu ruang lagi untuk kelas III, IV, V dan VI. Dua ruang terakhir itu lantainya sudah berkeramik. Menurut Arif, ruang itu baru saja di rehab.  

Sama dengan dua sekolah yang saya lihat di Jatipandak, siswa SDN Kedungbanjar juga tidak banyak. Jumlah seluruhnya ada 20 orang.
Kelas I ada 5 orang, kelas II, III, IV, masing-masing ada 2 orang, kelas V ada 4 orang dan kelas VI ada 5 orang. Gurunya ada 5 orang, termasuk kepala sekolah. PNS-nya 2, kepala sekolah dan seorang guru.  GTT-nya ada 3. Ditambah Arif, jumlah guru sekarang menjadi 6 orang.

Desa Kedungbanjar hanya terdiri dari 67 KK, dengan 307 jiwa. Jadi memang penduduknya tidak terlalu banyak. Menurut kepala sekolah, semua anak usia sekolah sudah bersekolah. Anak usia SD bersekolah di SDN Kedungbanjar. Sedangkan anak usia SMP dan SMA bersekolah di SMP Wudi dan di Sukobendu atau Kedungpring. 

Saat kami berkeliling, seorang siswa Arif, namanya  Agung Andrianto, selalu bersama kami. Agung kelas VI SDN Kedungbanjar. Nampaknya dia cukup dekat dengan Arif. Waktu saya tanya, senangkah diajar pak Arif, dia jawab, 'nggih seneng, bu....wonten sing ngajar Matematika." "Lha opo sakdurunge gak onok sing ngajar Matematika?" Tanya saya. "Wonten, bu, pak Sundoyo." Terus, apa bedanya dengan pak Arif?" Saya bertanya lagi. "Nggih pokoke seneng wonten pak Arif......" Jawabnya. Saya tidak ingin melanjutkan pertanyaan saya, karena saya memang tidak ingin membanding-bandingkan Arif dengan guru-guru yang sudah ada. Yang saya inginkan adalah kehadiran Arif bisa membantu semuanya, membantu mengajar Matematika dan mata pelajaran yang lain, sesuai dengan kemampuannya. Termasuk membantu membenahi manajemen sekolah, juga perpustakaan sekolah yang masih akan dirintis. 

Cita-cita Agung dalam pandangan saya, begitu sederhana. Ingin menjadi kepala dusun. "Kenapa, Gung, kok ingin jadi kepala dusun?" Dia hanya tersenyum malu-malu. Setelah saya tanyakan ke Arif, ternyata karena bapaknya adalah seorang kepala dusun, dan Agung ingin kelak bisa menggantikan jabatan bapaknya itu.

Agung mempunyai seorang adik perempuan, duduk di kelas V SDN Kedungbanjar juga. Mereka berangkat jam 06.00 pagi dari rumah menuju sekolah, jalan kaki. Kadang-kadang Agung bawa sepeda angin, tapi katanya, lebih sering turun dan nuntun sepedanya, karena jalannya jelek dan naik turun. 

Waktu saya tanya, sebelum berangkat ke sekolah, sudah sarapan belum, dia jawab "sudah, bu. Sarapan nasi goreng". "Selain nasi goreng, apa lagi?" "Nggih nasi goreng niku bu.." "Mosok nasi goreng terus?" "Nasi putih, bu..." Jawabnya. "Lauknya apa? Tahu, tempe, telur, kecap, krupuk....?" Dia berpikir, mengingat-ingat... "Ayam, bu. Mbeleh sendiri. Tapi sudah lama...." 

Setelah puas melihat-lihat sekolah, kami bergerak menuju tempat tinggal Arif, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari sekolah. Ternyata Arif menumpang di rumah kepala desa. Kami bertemu dengan pak kades dan bu kades, di rumahnya yang sangat sederhana untuk sebuah jabatan kepala desa. Rumah yang masih setengah jadi, dengan perabot yang juga sederhana. Pak kades baru sekitar tiga bulan menjabat, sejak Juni 2013. Saya menyampaikan terima kasih kepada beliau sekeluarga karena sudah menampung Arif, dan memohon bimbingannya untuk Arif, agar Arif bisa belajar dan melakukan banyak hal selama masa pengabdiannya.

Arif sendiri, adalah lulusan UAD (Universitas Ahmad Dahlan) Yogyakarta, tahun 2013, dari program studi Pendidikan Fisika. Pembawaannya sangat sopan, dan dia, saya lihat, begitu peduli pada anak-anak. Beberapa kali dia mengingatkan Agung, "pakai tangan kanan, Gung..." atau "Itu lho, ditanya ibu, dijawab dengan baik...". Saya berharap, di tempat ini, dia bisa menjadi uswatun hasanah, menjadi tauladan bagi anak-anak didiknya, serta masyarakat pada umumnya. Juga mampu membawa perubahan untuk membangun semangat kebersamaan, kerukunan, dan semangat belajar sepanjang hayat.

Di awal-awal kehadirannya di desa ini, Arif sempat dibingungkan dengan masalah MCK. Di desa Kedungbanjar, hampir sama dengan di desa Jatipandak, MCK nyaris tidak ada di rumah-rumah penduduk. Bahkan di rumah kades pun, tidak ada. Kalau Anas di Jatipandak masih bisa menumpang di sekolah untuk buang hajat, Arif di minggu pertama tidak buang hajat besar sama-sekali. Diempet. Pompa di sekolah rusak, sehingga MCK-nya tidak ada airnya. Mau ikut-ikutan pergi ke hutan seperti penduduk setempat, dia tidak bisa. Sampai akhirnya, dia menemukan MCK di Polindes. Syukurlah. Maka sejak saat itu, Arif selalu pergi ke Polindes untuk buang hajat. Cukup dua hari sekali. Wah, saya sampai geleng-geleng kepala. "Jangan diempet, Rif, bisa jadi penyakit lho. Orang itu normalnya setiap hari be'ol..." Saya mengingatkannya.

Listrik tidak masalah di Kedungbanjar, sudah ada sejak 1999. Tapi air.....susah sekali. Sejak kami memasuki desa Wudi, satu-satunya desa yang menjadi pintu masuk menuju Kedungbanjar, beberapa kali berpapasan dengan para ibu yang sedang memikul drum-drum berbentuk kotak berisi air. Keringat mereka bercucuran. Mereka mengambil air dari sebuah sumur yang jaraknya lumayan jauh. 

Sepanjang perjalanan sejak dari waduk Nggondang menuju Kedungbanjar, kami melewati beberapa jembatan, dan sungai-sungai di bawahnya  kering kerontang. Sama sekali tidak ada air setetes pun. "Yo iki Lamongan....." Kata mas Ayik. "Udan gak iso ndodok, ketigo gak iso cewok...."

Mas Ayik pernah KKN di Lamongan, tepatnya di desa Sidodowo, Kecamatan Mojo. Dia lumayan faham Lamongan. Ungkapan itu, juga dia peroleh dari masyarakat setempat. Lamongan, seperti yang kita ketahui, sebagian wilayahnya selalu menjadi langganan banjir setiap tahun. Namun begitu musim kemarau tiba, maka air menjadi barang langka.

Sebelum pamit, kami diminta mengisi buku tamu oleh pak kades. Buku tamu yang masih baru, usianya sama dengan usia menjabatnya pak kades, baru tiga bulan. Saya lihat, tanggal 13 September 2013, ada nama Suwarno (Unesa) dan Masyhari (YDSF). Keperluan, mengantar guru Jatim Mengajar. Karena saat ini tanggal 13 Oktober, berarti persis sebulan yang lalu Arif datang di tempat ini. Masih ada sebelas bulan lagi yang harus dilaluinya bersama masyarakat dan anak-anak sekolah di sini. Semoga kehadirannya mampu memberikan perubahan bermakna. Mampu menjadi pelita bagi anak-anak didiknya, melambungkan mimpi dan cita-cita mereka, untuk meraih masa depan yang cemerlang. Mengantarkan mereka menjadi generasi yang cerdas (fathonah), jujur (siddiq), peduli(tabligh) dan bertanggung jawab (amanah).  

Semoga Allah SWT meridhoi. Amin ya Rabb....

Lamongan, 13 Oktober 2013

Wassalam,
LN

Wisata Edukasi

Akhirnya kami, saya dan suami, sampai di tempat ini. Di SDN Jatipandak. Sekolah di tengah perkampungan. Di sebuah desa bernama Jatipandak, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan. Sore hari, saat senja siap jatuh. 

Tak pelak, kekaguman saya tak terbendung. Hampir tidak percaya saya menatap empat bangunan itu. Sebuah bangunan bercat oranye, terdiri dari empat ruang. Itulah bangunan yang paling indah di antara tiga bangunan yang lain. Satu bangunan dengan ukuran yang sama, melintang di ujungnya, membentuk huruf L, namun kondisinya bertolak belakang. Bangunan itu tak bercat, tak berpintu, banyak bagian temboknya yang retak, rangkanya melengkung, atapnya koyak, siap ambruk. Satu lagi, bangunan rumah sederhana, lumayan layak meski tembok depannya retak besar. Itulah mes guru. Jauh lebih layak dibandingkan dengan satu bangunan di depannya, yang terdiri dari tiga petak. Tiga petak itu, juga mes guru. Tak terawat, tak layak huni. Temboknya kusam, pintu tripleknya nyaris hancur. 

Beberapa anak sedang bermain di sebuah luncuran dan ayunan, di depan mes itu. Seorang ibu menemani mereka. Tawa ceria mereka, bertolak belakang dengan suasana kusam dan sungup yang melingkupi sekitarnya.

Kami berjalan melihat sekeliling. Mas Ayik sibuk mengambil gambar. Saya melongok ke bagian dalam bangunan bercat oranye, bangunan yang paling indah itu. Dari terali kawat yang sudah berkarat, saya bisa melihat bangku-bangku, papan tulis dan dinding-dinding yang kusam, lantai tanah yang kotor, dan debu di mana-mana. Beberapa hiasan dinding, lukisan di atas kertas, sepertinya karya siswa, bahkan tak mampu memberikan sentuhan keindahan. Kekaguman saya semakin menjadi-jadi. Betapa mungkin anak bisa betah belajar di kelas yang 'senyaman' ini?

Saya menjauh dari bangunan itu. Mendekati bangunan koyak di dekatnya. Hanya melihat-lihat dari teras. Tak berani masuk. Bangunan ini sepertinya siap menimpa siapa saja begitu ada kaki yang menginjak lantai tanahnya. Saya ngeri sendiri membayangkan hal itu.

Saya menjauh dari kelas-kelas yang rusak itu. Menyapa gadis-gadis kecil di halaman sekolah. "Halo adik-adik, siapa yang sekolah di sini?" Dua gadis manis mendekat. Malu-malu menyebutkan namanya saat saya tanya.  

Nama anak itu cukup panjang, Leli Tri Wahyuni Ainur Rochimah, siswa kelas empat (seingat saya, Ainur Rochimah adalah nama asli Inul Daratista, mungkin orang tua Leli, nama panggilan anak itu, penggemar berat Inul...hehe). Yang satunya lagi, namanya Fatazilun Dwi Saskia, kelas empat juga. Panggilannya Ilun.

Sambil menunggu Anas, peserta Jatim Mengajar yang bertugas di Jatipandak ini, saya mengobrol dengan dua anak itu. Selama mengobrol, teman-teman mereka satu per satu datang, bergabung. Jadilah kami mebentuk forum kecil dengan topik seputar sekolah mereka. 

Tidak perlu bertanya ke kepala sekolah atau guru untuk bisa mendapatkan beberapa informasi tentang sekolah ini. Leli dan Ilun saja sudah cukup paham. Jumlah siswa seluruhnya ada 20. Rinciannya: kelas I tidak ada siswanya, kelas II ada 9 siswa, kelas III ada 3, kelas IV ada 5, kelas V ada 1, dan kelas VI ada 2. Bahkan kedua anak itu bisa menyebut semua nama siswa di sekolah itu. Juga siswa Taman Kanak-Kanak. Oya, di sekolah itu, satu kelas untuk TK, satu kelas untuk kelas II dan III, dan satu kelas untuk kelas IV, V dan VI.

Menurut Leli dan Ilun, gurunya ada enam, yaitu bu Wiwin, bu Utami, pak Ma'un, pak Yogi, pak Saidi, pak Matlan. Pak Ma'un mengajar agama, pak Saidi mengajar olah raga. Pak Matlan adalah kepala sekolah. Dua guru yang lain, adalah guru kelas, tentu saja mengajar semuanya. Saat saya tanya, apakah mereka kenal dengan pak Anas, guru baru di sekolah itu, mereka menggeleng.

Jumlah siswa TK ada 9 orang, dengan dua orang guru, namanya bu Issa dan bu Sus. Saat saya minta Leli dan Ilun menyebutkan nama-nama siswa TK, mereka juga hafal semua.

Sekolah setiap hari masuk jam 7.30, pulang jam 11.30. Selama jadi siswa di sekolah itu, Leli dan Ilun belum pernah melaksanakan upacara bendera. Mereka juga tidak hafal lagu Indonesia Raya. Teks Pancasila juga tidak hafal. Beberapa lagu seperti Satu Nusa Bangsa, Padamu Negeri, dan Garuda Pancasila diajarkan oleh guru olah raga. Namun mereka juga tidak hafal saat saya ajak bernyanyi bersama.

Di tengah perbincangan kami, Anas datang, bersepeda motor. Mengenakan jaket almamater, bersarung dan berkopiah. Anas, lulusan STKIP Trenggalek tahun 2012, jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia itu, adalah salah satu peserta Jatim Mengajar. Sebuah program kerja sama antara Unesa dan Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF). Tahun ini merupakan angkatan pertama. Dari 26 calon peserta, hanya 7 yang lolos. Ketujuh peserta itu kami tugasnya di Lamongan 2 orang, Madiun 2 orang, dan Ponorogo 3 orang. 

Program Jatim Mengajar kami kemas persis seperti program SM-3T, mulai dari persyaratan peserta, seleksi, prakondisi, dan tugas-tugasnya selama di tempat pengabdian. Prakondisinya juga sama, yaitu di Kodikmar. Bedanya, peserta Jatim Mengajar harus bisa mengaji, karena ada muatan dakwahnya, dan sementara ini hanya khusus untuk laki-laki. Bedanya lagi, usai mereka melaksanakan tugas pengabdian, tidak ada 'reward' untuk mengikuti PPG (Program Profesi Guru), meski saat ini kami sedang berupaya ke kemdikbud, supaya peserta Jatim Mengajar bisa menempuh PPG juga usai masa pengabdian mereka. Ya, harus ada apresiasi bagi fihak-fihak yang berinisiatif untuk berpartisipasi membantu percepatan pembangunan pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Pemerintah belum, atau tidak akan mampu mengatasi semuanya, maka gerakan-gerakan besar maupun kecil dari fihak mana pun yang secara konsisten ikut membantu menyelesaikan berbagai persoalan pendidikan khususnya di daerah-daerah tertinggal, musti diapresiasi.

Ternyata Anas tidak mengajar di sekolah ini. Pantas saja tadi Leli dan Ilun tidak mengenalnya. Ternyata ada SDN Jatipandak yang lain, sekitar dua kilometer dari tempat ini. "Baiklah, kalau begitu, mari ke sekolahmu",
kata saya.

Kalau tadi untuk mencapai tempat ini saya membonceng mas Ayik (dengan meminjam sepeda motor orang kampung, tempat kami memarkir mobil di ujung jembatan), maka saya sekarang membonceng Anas. Sepeda motor yang dikendarai mas Ayik sepertinya sudah cukup tua, dan terlalu berat untuk kami bebani berdua. Selain itu, dengan membonceng Anas, saya bisa mengobrol sepanjang perjalanan menuju sekolahnya. 
Tidak terlalu sulit mencapai sekolah tempat Anas bertugas. Meski harus menembus hutan jati, dengan kondisi jalan terbuat dari rabat semen yang sudah pecah-pecah dan rusak di mana-mana, naik-turun, sangat curam, namun tidak  ada jurang di kanan-kiri jalan, tidak seperti di Sumba Timur. Meski begitu, kita harus tetap ekstra hati-hati dan pandai-pandai memilih jalan kalau tidak ingin jatuh terjerembab atau tergelincir di jalan-jalan yang menanjak dan menurun dengan tingkat ketinggian dan kecuraman yang lumayan ekstrim.

Kondisi SDN Jatipandak 2 jauh lebih baik dibanding SDN Jatipandak 1. Ada sepetak halaman, memang lebih kecil, namun lebih bersih. Dari luar, bangunannya yang juga bercat oranye, nampak lebih terawat. Namun saat saya melongok ke bagian dalamnya melalui jendela kaca, kondisinya tidak berbeda jauh dengan sekolah yang kami lihat tadi. Beralas tanah, dengan papan tulis dan dinding-dinding yang kusam. Debu di mana-mana. Anas bilang, setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, anak-anak harus menyirami kelasnya dulu, agar selama pelajaran, debu tidak beterbangan.

Sekolah itu memiliki tiga kelas, dengan 22 siswa, dan 6 guru, termasuk kepala sekolah dan Anas. Kepala sekolahnya sama dengan kepala sekolah SDN Jatipandak 1, yaitu pak Matlan. Tiga guru sudah PNS, sudah senior semua, salah satunya bahkan menderita asma. Seorang guru yang lain, pak Ma'un, tiga hari bertugas di sekolah tersebut, tiga hari yang lain di sekolah satunya. Dua yang lain guru GTT. Satu lagi, adalah Anas.

Sama dengan SDN Jatipandak 1, sekolah yang berdiri sejak 1983 ini, juga menerapkan kelas rangkap. Kelas I dan II bergabung. Selebihnya, kelas IV, V dan VI, bergabung. Kelas III tidak ada siswanya. Kelas I siswanya ada 6 orang, kelas II ada 3 orang, kelas IV ada 5, kelas V ada 6, dan kelas VI ada 3 orang. 

Setiap pagi, Anas datang ke sekolah paling pagi. Mengkondisikan kelas-kelas dan siswa. Jam 07.00 tepat, dia  memukul lonceng sekolah. Sambil menunggu kepala sekolah dan guru-guru datang, dia mengisi kelas-kelas. 

Saya sempat bertanya-tanya, kenapa SDN Jatipandak 1 dan 2 tidak dimerger saja. Tapi pertanyaan itu saya jawab sendiri. Dengan jarak tempuh yang cukup jauh, dan medan yang tidak terlalu mudah, mungkin inilah jalan terbaik. 

Senja semakin gelap. Adzan maghrib berkumandang. Kami singgah di tempat tinggal Anas, di dekat sekolah itu. Dia menumpang di rumah pak Ponaji, seorang guru juga. Masih muda, baru empat tahun PNS. Istrinya, ibu rumah tangga, aslinya dari Lawang. Putranya satu, masih kecil. Pak Ponaji adalah putra daerah, asli Jatipandak. 

Kami tidak lama di rumah itu, karena kami harus segera melanjutkan perjalanan kembali ke desa Kandangan, tempat mobil kami parkir di ujung jembatan, di depan rumah penduduk. Sebelum gelap benar-benar jatuh, dan menyulitkan pandangan kami berkendara membelah hutan yang gulita.
  
Di tengah menempuh perjalanan yang terjal itu, pikiran saya melayang-layang. Kami hanya perlu waktu sekitar 3,5 jam untuk menjangkau tempat ini.
Dari Surabaya, lewat Menganti, Balungpanggang, Mantup, Sambeng. Dengan mengandalkan google map di tab saya. GPS di mobil lupa tidak di-charge baterainya, jadi mati di tengah jalan menjelang masuk Balungpanggang. Tiga setengah jam, bukan waktu yang lama. Ini Lamongan, kabupaten yang masih berdekatan dengan Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur. Bukan di NTT, Maluku atau Papua. Namun sensasinya tidak kalah dengan tempat-tempat yang disebut 3T itu. Kondisi sekolahnya, juga kondisi medannya. Bedanya, kami melewati beberapa perkampungan yang padat. Namun hutan-hutan dan jalan-jalan yang terjal dan curam menjadi suguhan yang tak kalah menantangnya.

Wisata edukasi sore ini tuntas. Diteruskan besok saja. Sudah terlalu malam untuk mencapai tempat Arif, salah satu peserta Jatim Mengajar juga, meski di kecamatan yang sama. Tempat tugasnya, di SDN Kedungbanjar, masih lebih dari satu jam waktu tempuh untuk menjangkaunya. Kami hanya bertemu Arif dan temannya, seorang guru honorer di sekolah yang sama, di depan UPT Kecamatan Sambeng. Mengobrol di pinggir jalan.

Kemudian kami berpisah. Saya berjanji untuk mengabarinya besok jika kami akan datang mengunjunginya. Melanjutkan wisata edukasi kami. Mengisi satu dua hari di akhir pekan ini.

Selamat menjalankan puasa arafah. Selamat berkurban. Semoga Allah SWT meridhoi ibadah kita. Amin Ya Rabbal Alamin.

Lamongan, 12 Oktober 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 11 Oktober 2013

Duka untuk Romkisar

Saya termangu-mangu membaca status FB Restika Okatavina. Bunyi status itu seperti ini:  

"9 Oktober 2013"
Satu sms masuk ke hpku. Tak kusangka sms itu datangnya dari Saumlaki (ibu kota kab. Maluku Tenggara Barat) yang isinya aku disuruh telpon.
ku pencet nomor tersebut dan tersambung.
"Halo, selamat pagi, ibu guru ada bikin apa disana" suara seorang perempuan menyapaku. Itu suara mama tua Glen, kak Eti namanya.
"Ibu, Glen ada mau bicara deng ibu" lanjutnya.
"Halo, ibu Vina, ibu ada buat apa di Jawa?" suara mungil menyapaku. 
Itu suara Glen, salah satu muridku di SDN Romkisar, Maluku Barat Daya.
"Ibu baru selesai bacuci baju, Glen" jawabku.
"Glen, pi (pergi) Saumlaki ada buat apa? seng (tidak) sekolah kah?" tanyaku penasaran.
"Ibu, beta seng sekolah. Sekolah ada TUTUP. seng ada guru yang ajar" jawabnya ringan.

"Sekolah TUTUP." 
Ya Alloh, ingin rasanya aku kembali kesana. Mengajar, mendidik dan merangkul mereka. Menemani mereka menggapai cita-cita tertinggi. 
Semoga kata-kata itu tak ku dengar lagi. 
Ingin ku melihat senyum lebar mereka lagi."

Tak terasa, air mata saya meleleh. Saya tak mampu menahan kesedihan  mendengar kabar sebuah sekolah tutup karena tidak ada gurunya. Dan sekolah itu ada di Romkisar, Maluku Barat Daya (MBD). Tempat tugas Romlah, Vina dan Yuni, para peserta SM-3T Unesa angkatan kedua, yang baru meninggalkan tempat itu sekitar sebulan yang lalu.  

Padahal, dalam surat yang pernah dikirimkan ke saya, Romlah sudah memohon-mohon supaya sepeninggal dia dan teman-temannya, SDN Romkisar tetap mendapatkan guru SM-3T sebagai penggantinya. Bahkan dia juga sudah pesan, kalau bisa, guru yang ditugaskan di sana, adalah laki-laki. Romkisar adalah sebuah tempat yang sangat sulit dicapai, musti menyeberangi laut yang  gelombangnya hampir selalu tinggi. Jalan darat harus menembus hutan samun selama berjam-jam dan sangat berbahaya. Belum lagi hal-hal lain seperti masih kentalnya unsur magic dan berbagai keyakinan masyarakatnya yang masih sangat tradisional.

Saya seketika diliputi rasa bersalah. Ya, saya menjadi orang yang paling bersalah. Saya seharusnya memastikan, dengan sebenar-benarnya, bahwa Romkisar dan sekolah-sekolah lain yang sudah pernah ditempati guru-guru SM-3T, akan mendapatkan guru-guru lagi. Tidak sekedar percaya dan pasrah pada kebijakan dinas Dikpora. 

Meski saat rapat koordinasi dengan kepala dikpora di Jakarta, saya sudah meminta supaya sekolah-sekolah yang sudah pernah ditempati guru-guru SM-3T agar diberi guru SM-3T lagi, namun rasa bersalah itu sangat membebani saya. Juga, saat di kegiatan prakondisi di Kodikmar, saya sudah kembali mengingatkan staf dikpora yang waktu itu hadir, untuk tetap menugaskan para guru SM-3T di sekolah-sekolah yang sudah pernah ditempati.

"Ya, ibu. Nanti yang dari UNP akan kami tugaskan di Mdona Hyera dan beberapa tempat yang dulu ditempati guru-guru dari Unesa. Sedangkan Unesa kami tempatkan di Pulau Babar dan sekitarnya." Begitu kata pak Victor, staf dikporaMBD waktu itu.

Maka saya pun tenang. Namun status di FB Vina malam ini membuat hati saya pedih. Ditambah lagi dengan komentar kawan-kawan Vina yang menambah kesedihan di hati. Salah satunya dari Romlah sendiri.

"Sy dan tmn2, bsrta warga Romksar sdh brusaha smampu kami. Mulai dr menyurati ibu lutfi, memohon k kepala UPTD Mdona Hyera, sampai sdikit mgompori peserta dr LPTK Padang (sarjana Pgsd, tapi realitanya dtmpatkan d SMP), namun memang, gusti Allah msh blum mengiyakan. Peserta dr LPTK Unesa mengabdi d wilayah babar n skitarx. Sdgkan LPTK univ. Padang k daerah LeMoLa (leti-moa-lakor) + Mdona Hyera yg rasanya memang ditmptkan untk sekolah menengah. Kepsek kami jg msh smpat menahan 1 guru bntu untk brthan d Romksar sampai kepsek pulang (dr kuliah d Kisar). Namun trxta, sang guru bantu yg sdh punya SK mutasi k Luang sjak bulan Juli pun sepertix tak mampu menepati janjix k kepsek shg hrus buru2 pindah krn alasan administrasi d SD yg bru.. d Tiakur (ibu kota kabupaten) dpt guru SM3T. Memang lbh merata penyebranx drpda yg dlu. Tapi pemerataan ini malah hrus mengorbankan 1 sekolah yg mmg bth guru. DEMI PEMERATAAN. Pengambil kbjakan dari Dikpora MBD sudah ketuk palu.. *saya hanya bs mengelus dada"

Ketika Mustofa Kamal, teman Romlah berkomentar, "inilah potret pendidikan di luar jawa", Romlah menanggapi:  "La mau biking bgaimana, dong bilang lbh baik pi Tual jual kambing deng papa dari pada d kampung seng biking apa2. Ibu guru balik bole..", "bu guru e, Romkisar seng dpat guru dr jawa lai. Kami su krim surat k bupati par minta guru, tapi seng ad jwban. Skolah su tutup, bu guru Leha yg dpasrahi tinggal oleh kepala sekolah su pi d sekolah baru,seng tunggu ibu kepsek dtang lai", (ketakutanku slama ini, takut klau Angga, Andres, Mersi, Erdin, Monalisa, smua murid2 yg su mulai brharap kmbli mengubur asa mereka) *brtanya-tanya ttg jln kluar. "bu guru su senang d jawa, su lupa katong kapa? d Romkisar su seng ada guru lai. Bu guru balik do, la katong belajar" (haaaaa rasanya ingin kmbli...)"

Malam ini pun, saya langsung ber-SMS ke kepala Dikpora. "Bapak, sedih mendengar cerita Romkisar. Kenapa tdk ada guru yg dikirimkan ke sana utk menggantikan guru2 SM3T yang bertugas di Romkisar? Saya dengar sekolah tutup karena tdk ada guru? Mohon, bapak, ada perhatian utk SDN Romkisar. Terima kasih."

Saya tidak tahu entah kapan SMS saya akan dibaca dan dibalas. Besok saya akan mencoba menghubungi pak kadis via telepon. Meski keterbatasan sinyal telepon di MBD membuat hati saya ciut, tapi saya akan tetap berusaha. Saya juga berkoordinasi dengan Bapen (bapak pendeta) Abraham Beresaby melalui FB message meski beliau jelas-jelas tidak sedang online. Tapi saya berharap, SMS saya ke kadis dan message saya ke bapen, entah besok, entah lusa, akan terbaca oleh beliau-beliau, dan semoga segera ditanggapi. Tentu saja, yang saya harapkan, semoga ada jalan keluar untuk Romkisar.

Malam ini saya tidak bersemangat untuk ngapa-ngapain. Tumpukan berkas skripsi dan tesis mahasiswa tidak saya sentuh sama sekali. Tak berselera. Wajah Romlah dan kawan-kawan berkelebat-kelebat di kepala saya. Senyum anak-anak sekolah berkulit hitam yang terpampang di status FB Vina serasa mengiris-iris ulu hati. Sekolah tutup karena guru tidak ada. Anak-anak seperti itik kehilangan induk. Seperti layang-layang yang putus talinya. Tak punya siapa-siapa lagi untuk sekedar mengajari menulis dan membaca. Adakah yang lebih menyedihkan dari ini semua? 

Seperti inikah potret pendidikan di MBD, dan juga di banyak tempat lain di Indonesia ini? Setelah lebih dari enam puluh tahun merdeka? Betapa memprihatinkan.

Duka saya untuk Romkisar. Duka kami semua untuk dunia pendidikan.

Surabaya, dini hari, 12 Oktober 2013.

Wassalam,
LN