Pages

Minggu, 17 November 2013

Literasi, Pemodelan, dan Konsekuensi

Oleh: Luthfiyah Nurlaela
 
"Saat Anda ingin mengajak seseorang untuk melakukan sesuatu, maka Anda harus melakukannya dulu untuk diri Anda sendiri." 

Itulah yang terjadi dengan ajakan saya pada para mahasiswa saya, agar mereka mau menulis. Saya harus melakukannya dulu. Saya musti menjadi contoh bagi mereka sebagai orang yang cinta menulis. Tidak hanya sekedar mengajak atau mendorong. Kalau cuma nyuruh-nyuruh, siapa sih yang nggak bisa? Menyuruh, konsekuensinya, memberi contoh. Mendorong, konsekuensinya, menjadi model. 

Apakah literasi? Secara sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar.

Dalam sebuah laporan 'Literacy: Profile of America’s Young Adult' yang ditulis oleh Kirsch (1986), literasi kontemporer didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.

Budi Darma, bagawan sastra dari Unesa, saat bicara tentang pentingnya literasi pada acara Kampanye Literasi di Auditorium PPPG Unesa, Kampus Lidah Wetan, 29 Juni 2013 yang lalu, mengemukakan bahwa seorang yang 'literate', berarti bisa membaca. Kebalikan dari 'iliterate', tidak bisa membaca. Membaca dalam pengertian ini tentu saja dalam arti luas, termasuk membaca lingkungan, membaca momentun, membaca kesempatan, harus kritis, dan mampu memecahkan masalah.

Literasi juga sangat berkaitan dengan bagaimana mengekspresikan pikiran, yaitu menulis. Pikiran seseorang akan lebih tertata bila diekspresikan dalam bentuk tulisan. Orang yang pandai menulis biasanya lebih kritis, karena dia harus banyak membaca untuk bisa menulis dengan baik. Atau setidaknya, dia harus melakukan proses berpikir dulu sebelum atau selama menulis. 

Sekarang ini, generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000), Direktur International Literacy Institute (ILI), University of Pennsylvania,  menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga hal tersebut merupakan sebagian  indikator rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM). 

IPM, terjemahan dari Human Development Index (HDI), sebagaimana yang kita ketahui, merupakan pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh Indonesia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang, dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Berdasarkan laporan UNDP (United Nations Development Programme), IPM Indonesia pada saat ini meningkat. Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang kuat dalam setiap indikator IPM pada beberapa tahun terakhir. Peningkatan IPM ini membawa Indonesia pada posisi 121 di seluruh dunia, meningkat tipis dari tahun sebelumnya yang menempati urutan 124.

Namun, meskipun demikian, nilai IPM Indonesia masih di bawah rata-rata negara dengan IPM menengah. Bahkan masih jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata IPM negara di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik.

Melek huruf atau melek aksara, sebagai salah satu indikator IPM, sangat dekat dengan literasi. Unesco mendefinisikan melek huruf sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan, dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. Kemampuan baca-tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dan hal ini berkaitan langsung dengan kemampuan seseorang untuk memperoleh pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.

Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar.


PemodelanKeinginan saya sih sebetulnya supaya mahasiswa tidak sekedar mau menulis, tapi rajin menulis. Tapi berat nian. Alih-alih rajin menulis, mereka mau menulis saja sudah sangat ruarrr biasa. 

Betul. Tidak banyak mahasiswa yang mau menulis, apa lagi rajin menulis. Lihat saja tugas-tugas makalah mereka. Apa yang mereka buat lebih sebagai produk 'copy-paste', bukan makalah. Mereka sekedar mengumpulkan bahan-bahan dari internet, untuk bisa ditampilkan saat presentasi. Seringkali sumber referensinya juga kurang credible, misalnya diambil dari blog, tulisan-tulisan yang anonim, atau dari wikipedia. Masih mending kalau mereka mengambilnya dari artikel journal-online atau e-book, misalnya. Tapi yang terjadi, tidaklah seperti itu. 

Ya, internet memberikan kemudahan bagi mereka untuk membuat makalah dengan cara potong kompas. Dengan hanya duduk di depan komputer atau laptop satu-dua jam saja, bahan apa pun bisa mereka dapatkan dengan cepat. Namanya internet, apa pun bisa masuk. Tulisan-tulisan sampah pun tersedia. Makanya kalau kita tidak pintar memilih, maka sampahlah yang akan kita dapat. Termasuk artikel-artikel yang tidak jelas penulis dan sumber referensinya.

Mahasiswa kebanyakan juga tidak melakukan pengkajian atas bahan-bahan yang mereka peroleh. Tidak meramunya sedemikian rupa supaya menjadi sebuah hasil kajian atas berbagai konsep dan teori beserta analisisnya. Apa yang mereka hasilkan bukanlah sebuah karya tulis sebagai wujud proses berpikir kritis. Sekedar ambil, himpun, jadilah. Seperti membuat kliping saja.

Kalau dikaitkan dengan domain kognitifnya Bloom, kegiatan mahasiswa dalam menulis makalah, lebih banyak pada level berpikir tingkat rendah (lower order thinking/LOT). Hanya berkisar pada to remeber dan tounderstand, dan sedikit  to apply. Belum menjangkau kepada tingkat berpikir yang lebih tinggi (higher order thinking/HOT), misalnya pada level to analyze dan to evaluate, apalagi ke level to create. Nyaris tidak ada proses berpikir kreatif di sana.
    
Kembali ke soal ajakan saya. Oleh karena saya menginginkan mahasiswa saat menulis makalah benar-benar melakukan proses berpikir rasional yang mendasarkan pada landasan teori yang kuat, maka saya harus menunjukkan, seperti apa makalah atau artikel yang baik. Selain berupa artikel jurnal dari internet, saya juga membawakan contoh-contoh jurnal ilmiah cetak (saya benar-benar khawatir, mahasiswa tidak paham apa itu jurnal ilmiah). Tidak tanggung-tanggung, dalam jurnal itu, saya harus memastikan, ada tulisan saya di sana. Saya juga meminta mereka untuk membuka laman pribadi saya, yaitu www.luthfiyah.com, dan menemukan berbagai artikel ilmiah di sana. Tentu saja, adalah artikel ilmiah tulisan saya sendiri.

Contoh atau model. Ya. Hal ini begitu pentingnya hampir dalam pembelajaran apa pun. Albert Bandura (Slavin, 2002), seorang tokoh teori belajar sosial, memastikan bahwa seseorang bisa belajar dengan cara mengamati (observational learning). Dalam proses belajar melalui pengamatan ini, maka model menjadi sangat penting. Model, bisa berupa orang (guru, siswa, praktisi misalnya), dan bisa berupa media pembelajaran (media visual, audio, audio-visual, multimedia, buku, dan bahan-bahan tercetak yang lain).

Pemodelan (modelling), juga menjadi ciri khas metode pembelajaran langsung serta menjadi salah satu komponen penting dalam model pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran langsung yang dalam pengelolaan lingkungan belajarnya memerlukan peran sepenuhnya dari guru, mensyaratkan adanya presentasi dan atau demonstrasi pengetahuan/keterampilan dari guru atau model. Siswa akan menaruh perhatian atau atensi atas apa yang ditampilkan guru/model, baru melakukan latihan di bawah bimbingan guru berdasarkan apa yang telah dilihatnya (belajar melalui pengamatan). Modelling membuka peluang lebih besar terjadinya atensi, retensi dan produksi pada diri siswa. Di ujung tahap ini, peran guru adalah memotivasi dan memberi penguatan (Joyce and Weil, 1992).

Pemodelan juga akan memperbesar peluang terjadinya tingkat pemrosesan informasi yang optimal. Apa yang dilihat dan dipelajari oleh siswa, akan lebih bisa bertahan lama, karena pengetahuan atau keterampilan itu disimpan dalam memori jangka panjang, yang dapat dipanggil kembali sewaktu-waktu jika diperlukan.

Kembali ke soal pemodelan. Dosen seharusnya menjadi model untuk pembelajaran apa pun, terutama untuk mata kuliah yang diampunya. Seorang dosen seni musik, hanya akan menjadi bahan tertawaan mahasiswanya kalau dia bermain piano dasar saja tidak bisa. Seorang dosen tata boga, akan sangat tidak elok kalau dia masak nasi saja gosong-gosong melulu. Maka, kalau Anda mengajak mahasiswa untuk menulis, betapa tidak adilnya jika Anda sendiri bukan orang yang mampu memberikan contoh bagaimana menulis. 

Konsekuensi Sekarang apa hubungan literasi dengan konsekuensi? Sebenarnya bukan literasi itu sendiri, namun ajakan untuk berliterasi itulah yang mengandung konsekuensi. 

Sebagai Direktur Program Pendidikan Profesi Guru (PPPG) Unesa dan Koordinator Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T) dan Jatim Mengajar, saya mewajibkan peserta SM-3T dan PPG untuk menulis. Tulisan mereka adalah tentang pengalaman yang paling berkesan selama menjalankan tugas pengabdian di daerah 3T atau selama menempuh PPG. 

Syukurlah, dari angkatan pertama (2011), saat ini telah dihasilkan dua tulisan: "Ibu Guru, Saya Ingin Membaca" dan "Jangan Tinggalkan Kami". Dalam waktu dekat, akan terbit sebuah buku "Setahun Hatiku untuk Sumba Timur". Tidak seperti dua buku sebelumnya yang ditulis secara borongan, buku ini merupakan karya tunggal Ali Asy'ari, seorang peserta SM-3T dari Program Studi Pendidikan, Jasmani dan Kesehatan, Unesa. 

Saya ingin bercerita tentang buku Ali Asy'ari ini. Saya pernah mengirimkannya pada Eko Prasetyo, seorang penulis, editor, instruktur menulis, dan pegiat literasi. Saya ingin penulis muda berbakat itu mengeditnya. Tapi, setelah beberapa hari saya mengirimkannya, dengan halus dia 'menolak', dan memberikan masukan untuk tulisan itu supaya lebih layak diterbitkan. Dia katakan, "gaya tulisan Ali begitu genuine, berkarakter. Tapi Ali harus memperkaya diksi-diksi dan bisa mendaur lebih banyak informasi'. Eko Prasetyo juga menyarankan, supaya naskah Ali dijadikan semacam novel yang berbasis true story (semacam Laskar Pelangi). 

Tdak ada pilihan, saya akhirnya mengambil keputusan untuk mengeditnya sendiri, dibantu Rukin Firda. Namun dalam perjalanannya, saya praktis mengeditnya sendiri, karena Rukin Firda tidak kunjung ada waktu untuk menyentuhnya sampai deadline buku itu harus naik cetak. Berbulan-bulan saya 'ngerjain' buku Ali yang tebalnya lebih dari 300 halaman itu, di antara kesibukan saya mengajar, membimbing, tugas-tugas tambahan yang lain, termasuk menulis dan mengedit buku saya sendiri. Apa boleh buat. Harga sebuah konsekuensi. 

Saat ini, saya juga 'terpaksa' mengambil keputusan untuk melakukan penyeleksian dan pengeditan buku tentang pengalaman mengikuti PPG, yang ditulis oleh para peserta PPG angkatan pertama. Ada lebih dari dua ratus tulisan, namun, tentu saja, tulisan itu tidak semuanya layak untuk dibukukan. Bahkan, Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos yang selama ini menjadi langganan kami untuk mengedit naskah-naskah buku yang akan kami terbitkan, sudah angkat bendera putih. Menyerah. Dia katakan, tulisan-tulisan itu 'terlalu berat' untuk dibukukan. Ceritanya hampir sama, monoton, kurang menarik.

Tapi tidak. Saya harus tetap membukukan tulisan-tulisan itu, tentu saja setelah saya memilih dan mengeditnya. Ini bukan hanya urusan 'kalah janji'. Tapi juga menyangkut bagaimana memberi apresiasi. Bagaimana pun, anak-anak muda itu telah berusaha, dan seperti apa pun hasilnya, usaha itu musti diapresiasi. Saya masih melihat ada beberapa tulisan panjang yang bisa diedit lantas dihimpun begitu saja, dan dibukukan, sebagai 'Pernak-Pernik PPG Unesa'. Memang tidak bisa memenuhi harapan PR I yang menginginkan tulisan-tulisan mereka dapat dikelompokkan dalam tema-tema. Tidak bisa. Cukuplah dengan memilih tulisan yang cukup layak, dan kemudian mengeditnya, menghimpunnya, lantas menerbitkannya. Lupakan tema-tema. 

Inilah yang saya maksud konsekuensi. Setiap ajakan mengandung konsekuensi. Karena saya telah mengajak mereka untuk menulis dan menjanjikan akan membukukan tulisan-tulisan mereka, maka pada saat di mana saya sudah tidak bisa lagi meminta bantuan orang lain untuk mengedit naskah-naskah itu, maka saya harus melakukannya sendiri. Lagi pula, saya sedang tidak bermaksud menerbitkan sebuah  buku yang layak jual, namun semata sebuah buku yang akan menandai dan menjadi tonggak sejarah pembudayaan literasi di PPPG. Buku itu akan menjadi contoh hasil karya bagi para peserta PPG angkatan selanjutnya, dan akan memotivasi mereka untuk menulis dan menghasilkan buku-buku yang lebih baik. Sekali lagi, adalah harga sebuah konsekuensi. 

Tapi untunglah, saya menikmati konsekuensi tersebut. Meski tidak bisa secepat kilat saya mengerjakan pengeditan sebuah naskah buku, namun pada akhirnya selesai juga. Ya, karena saya akan memasang tugas itu sebagai salah satu prioritas, di antara prioritas yang lain. Prioritas itu mengandung tanggung jawab. Tidak hanya pada diri sendiri, namun juga pada para mahasiswa dan lembaga. Juga tanggung jawab pada dunia pendidikan, khususnya pada pengembangan budaya literasi. Dan, tentu saja, tanggung jawab pada Allah Yang Maha Memberi Ilmu dan Kemampuan.

Tuban, 17 November 2013

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...