Pagi ini, tanggal 4 November 2014, adalah Melbourne Cup Day. Musim festival pacuan kuda, yang menawarkan lebih dari sekadar menonton kuda-kuda berlari. Puluhan ribu warga Melbourne dan warga dari kota-kota lain di Australia datang menyaksikan pertandingan kuda tersebut.
Mereka tampil dengan sangat modis dengan gaun-gaun, jas, dan pakaian tren terkini.
Penampilan orang-orang yang sangat indah itu kami lihat malam harinya, setelah acara tersebut usai, dan kami mencoba jalan malam untuk melihat kehidupan malam kota Melbourne. Di mana-mana, di sembarang tempat, orang berbusana modis dan eksentrik. Para perempuan lengkap dengan topi-topi lebarnya, blus punggung terbuka, berleher rendah, dan sepatu hak tinggi. Ketika mereka berjalan, sepertinya seluruh anggota tubuh mereka bergoyang.
Mengenai hal ini, saya jadi ingat film-film di TV, yang seringkali memberi tabir atau blur untuk menyamarkan bagian dada atau bagian bawah para perempuan yang terbuka. Di Melbourne ini, asli, mereka semua tidak bertabir. Tidak di-blur. Buka blak. Dan setiap orang bisa melihatnya sepuas hati terutama kalau Anda ingin dinilai telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan..haha.
Sementara orang-orang modern itu memenuhi arena pacuan kuda, kami lebih memilih tempat lain untuk mengisi waktu. Tempat itu adalah Sovereign Hill dan State Rose Garden. Tentang kedua tempat ini, saya akan menceritakannya nanti.
Pukul 08.00, kami sudah dijemput Mas Toro, orang Jawa Barat yang sudah menjadi permanet resident (PR) di Melbourne. Dia yang akan membawa kami ke Sovereign Hill dan ke State Rose Garden dengan mobil boss-nya. Dia adalah driver di sebuah perusahaan yang menyewakan mobil, yang kebetulan pemiliknya adalah orang Indonesia juga.
Mas Toro datang pertama kali di Melbourne sekitar tujuh tahun silam. Ditugaskan oleh perusahaannya di Jakarta (Grup Bakri), selama setahun. Selesai tugas, perusahaannya bangkrut, begitu menurutnya, dan dia memutuskan kembali ke Melbourne, demi segala kenyamanan yang sudah diperolehnya di sana selama setahun itu.
Setelah setahun di Melbourne, dia lantas membawa istri dan anaknya. Di awal-awal bulan, anak dan istrinya sempat tidak kerasan, tapi lama-lama kerasan dan justeru tidak mau pulang. Mereka sekeluarga akhirnya menjadi permanent resident (PR), dan segala kenyamanan yang tersedia membuat mereka malas pulang.
"Waktu kita di Bogor, kita susah cari waktu bersama keluarga. Saya berangkat kerja ke Jakarta selepas subuh, pulang sudah malam. Anak sudah tidur, saya sudah capek. Di sini, kami bisa sering bersama. Anak tidak stress di sekolah. Pelajarannya sedikit, lebih banyak seperti main-main. Tidak harus tes saat mau masuk ke high school. Cari uang mudah. Tidak ada macet. Beribadah lebih tenang. Kita juga mendapatkan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan semuanya, yang sama seperti citizen. Bedanya hanya, kita tidak bisa vote ketika pemilu."
"Sekarang, begitu pulang ke Indonesia, anak istri saya sudah merasa tidak kerasan setelah seminggu dua minggu di sana. Di mana-mana macet, mau ke mana-mana susah. Kalau sakit, biayanya mahal." Begitu kata Mas Toro.
Saya coba bertanya, apakah ada kemungkinan dia sekeluarga pindah kewarganegaan. Dia menjawab, untuk saat ini, keinginan itu tidak ada. Dia masih ingin kembali ke Indonesia setelah pensiun nanti.
Untuk saat ini, seperti itulah rencananya. Tapi tidak tahu bagaimana nanti. Menurut pengamatannya, beberapa orang yang sudah pernah tinggal di Melbourne dan menjadi PR, lantas berencana pulang dan menetap kembali ke Indonesia, banyak yang akhirnya mondar-mandir saja. Beberapa bulan di Indonesia, beberapa bulan kembali lagi ke Australia.
"Bagaimana pun, subsidi yang diberikan oleh pemerintah Australia bagi para warga yang sudah memasuki usia pensiun, tak peduli dia pegawai pemerintah atau bukan, menjanjikan kehidupan yang lebih aman dan nyaman. Ditambah dengan layanan kesehatan yang jauh lebih baik dan murah. Juga kenyamanan-kenyamanan yang lain."
Saya mendengarkan cerita Mas Toro dengan perasaan seperti ditampar-tampar. Saya bayangkan negara saya tercinta. Tentang jalan-jalannya yang macet, layanan pendidikan dan kesehatan yang mahal dan kadang-kadang kurang manusiawi, minimnya jaminan hari tua bahkan bagi para pegawai negeri sipil, dan sebagainya. Sahabat saya, Tiwik, merasa bersyukur karena saat dia sakit dan memerlukan pengobatan yang serius, dia sedang berada di Australia. Dia mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas kesehatan sekali pun dia bukan PR. Sahabat saya yang lain di Indonesia, dengan sakit yang sama, terpaksa harus membuka tabungan yang sedianya untuk keperluan penting lainnya, agar bisa berobat dan menjalani proses penyembuhan. Sampai-sampai ada ungkapan 'orang miskin dilarang sakit', untuk menggambarkan betapa mahalnya biaya kesehatan di Indonesia.
Belum lagi dalam bidang pendidikan. Haduh. Tak bisa berkata-kata. Cerita Tiwik tentang Adzra dengan berbagai keceriaannya saat di sekolah, dan sekarang ditambah cerita Mas Toro, semakin membuat saya seperti seekor lalat yang berada di pinggir mangkuk dan hanya bisa melihat kelezatan es teler di dalam mangkuk itu. Ngiler.
Iseng-iseng, saya bertanya pada Mbak Silfia.
"Mbak, kalau disuruh memilih, suka tinggal di mana? Di Indonesia apa di Melbourne?"
"Saya saat di Melbourne, di tahun pertama saja suka, Bu. Di Tahun kedua, saya sudah mulai bosan. Semua serba teratur, serba nyaman. Di Indonesia, itulah the real life."
"Tapi, kalau saya ada kesempatan kembali ke sini, mungkin saya akan kembali." Tambahnya.
"Untuk sementara, atau untuk menetap?"
"Kalau ada kesempatan untuk menetap, boleh juga. Mungkin akan saya pertimbangkan."
Saya termangu. Saya membayangkan ibu saya, saudara-saudara saya, tetangga-tetangga saya, kampus saya, mahasiswa-mahasiswa saya, tukang bakso dan tahu campur langganan, nasi pecel, nasi uduk, serabi, laut, gunung....
"Kalau ada kesempatan untuk saya bisa menetap di Melbourne, saya tak akan ambil kesempatan itu. Saya punya banyak hal yang jauh lebih penting dan berarti di Tanah Air, daripada sekadar berbagai kenyamanan di sini." Begitu gumam saya.
"Kalau begitu, Mbak Silfia lebih suka tinggal di Melbourne dong, daripada di Indonesia? Tentu saja kalau ada pilihan itu. Ya kan? Kalau sekarang, kan tidak ada pilihan...." Tukas saya.
Mbak Silfia tertawa. "Bisa jadi ya, Bu?"
Pilihan. Ya, hidup adalah pilihan. Mana pun yang kita pilih, pasti bergantung pada situasi, kondisi, dan juga harapan serta cara kita memaknai hidup dan kehidupan itu sendiri. Kemudahan, keamanan, kenyamanan yang tersaji di depan kita, ternyata belum tentu membuat kita menjatuhkan pilihan kita pada semuanya itu.
Tiwik, suatu saat pernah berujar: "Saya ingin cepat selesai, La. Saya pikir, buat apa saya lama-lama di sini. Saya mulai mengurangi aktivitas saya dan lebih fokus pada disertasi. Saya ingin pulang segera, saya ingin Ramadhan nanti, kami semua sudah berpuasa di rumah, di Indonesia."
Padahal Tiwik punya pilihan, dia sekeluarga tidak harus kembali ke Tanah Air kalau mau. Tapi dia memiliki banyak hal yang jauh lebih penting, yang tak akan tergantikan, bahkan oleh berbagai kenyamanan yang akan dia dapatkan dengan tinggal di Melbourne.
Melbourne, 4 November 2014
Wassalam,
LN
Mereka tampil dengan sangat modis dengan gaun-gaun, jas, dan pakaian tren terkini.
Penampilan orang-orang yang sangat indah itu kami lihat malam harinya, setelah acara tersebut usai, dan kami mencoba jalan malam untuk melihat kehidupan malam kota Melbourne. Di mana-mana, di sembarang tempat, orang berbusana modis dan eksentrik. Para perempuan lengkap dengan topi-topi lebarnya, blus punggung terbuka, berleher rendah, dan sepatu hak tinggi. Ketika mereka berjalan, sepertinya seluruh anggota tubuh mereka bergoyang.
Mengenai hal ini, saya jadi ingat film-film di TV, yang seringkali memberi tabir atau blur untuk menyamarkan bagian dada atau bagian bawah para perempuan yang terbuka. Di Melbourne ini, asli, mereka semua tidak bertabir. Tidak di-blur. Buka blak. Dan setiap orang bisa melihatnya sepuas hati terutama kalau Anda ingin dinilai telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan..haha.
Sementara orang-orang modern itu memenuhi arena pacuan kuda, kami lebih memilih tempat lain untuk mengisi waktu. Tempat itu adalah Sovereign Hill dan State Rose Garden. Tentang kedua tempat ini, saya akan menceritakannya nanti.
Pukul 08.00, kami sudah dijemput Mas Toro, orang Jawa Barat yang sudah menjadi permanet resident (PR) di Melbourne. Dia yang akan membawa kami ke Sovereign Hill dan ke State Rose Garden dengan mobil boss-nya. Dia adalah driver di sebuah perusahaan yang menyewakan mobil, yang kebetulan pemiliknya adalah orang Indonesia juga.
Mas Toro datang pertama kali di Melbourne sekitar tujuh tahun silam. Ditugaskan oleh perusahaannya di Jakarta (Grup Bakri), selama setahun. Selesai tugas, perusahaannya bangkrut, begitu menurutnya, dan dia memutuskan kembali ke Melbourne, demi segala kenyamanan yang sudah diperolehnya di sana selama setahun itu.
Setelah setahun di Melbourne, dia lantas membawa istri dan anaknya. Di awal-awal bulan, anak dan istrinya sempat tidak kerasan, tapi lama-lama kerasan dan justeru tidak mau pulang. Mereka sekeluarga akhirnya menjadi permanent resident (PR), dan segala kenyamanan yang tersedia membuat mereka malas pulang.
"Waktu kita di Bogor, kita susah cari waktu bersama keluarga. Saya berangkat kerja ke Jakarta selepas subuh, pulang sudah malam. Anak sudah tidur, saya sudah capek. Di sini, kami bisa sering bersama. Anak tidak stress di sekolah. Pelajarannya sedikit, lebih banyak seperti main-main. Tidak harus tes saat mau masuk ke high school. Cari uang mudah. Tidak ada macet. Beribadah lebih tenang. Kita juga mendapatkan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan semuanya, yang sama seperti citizen. Bedanya hanya, kita tidak bisa vote ketika pemilu."
"Sekarang, begitu pulang ke Indonesia, anak istri saya sudah merasa tidak kerasan setelah seminggu dua minggu di sana. Di mana-mana macet, mau ke mana-mana susah. Kalau sakit, biayanya mahal." Begitu kata Mas Toro.
Saya coba bertanya, apakah ada kemungkinan dia sekeluarga pindah kewarganegaan. Dia menjawab, untuk saat ini, keinginan itu tidak ada. Dia masih ingin kembali ke Indonesia setelah pensiun nanti.
Untuk saat ini, seperti itulah rencananya. Tapi tidak tahu bagaimana nanti. Menurut pengamatannya, beberapa orang yang sudah pernah tinggal di Melbourne dan menjadi PR, lantas berencana pulang dan menetap kembali ke Indonesia, banyak yang akhirnya mondar-mandir saja. Beberapa bulan di Indonesia, beberapa bulan kembali lagi ke Australia.
"Bagaimana pun, subsidi yang diberikan oleh pemerintah Australia bagi para warga yang sudah memasuki usia pensiun, tak peduli dia pegawai pemerintah atau bukan, menjanjikan kehidupan yang lebih aman dan nyaman. Ditambah dengan layanan kesehatan yang jauh lebih baik dan murah. Juga kenyamanan-kenyamanan yang lain."
Saya mendengarkan cerita Mas Toro dengan perasaan seperti ditampar-tampar. Saya bayangkan negara saya tercinta. Tentang jalan-jalannya yang macet, layanan pendidikan dan kesehatan yang mahal dan kadang-kadang kurang manusiawi, minimnya jaminan hari tua bahkan bagi para pegawai negeri sipil, dan sebagainya. Sahabat saya, Tiwik, merasa bersyukur karena saat dia sakit dan memerlukan pengobatan yang serius, dia sedang berada di Australia. Dia mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas kesehatan sekali pun dia bukan PR. Sahabat saya yang lain di Indonesia, dengan sakit yang sama, terpaksa harus membuka tabungan yang sedianya untuk keperluan penting lainnya, agar bisa berobat dan menjalani proses penyembuhan. Sampai-sampai ada ungkapan 'orang miskin dilarang sakit', untuk menggambarkan betapa mahalnya biaya kesehatan di Indonesia.
Belum lagi dalam bidang pendidikan. Haduh. Tak bisa berkata-kata. Cerita Tiwik tentang Adzra dengan berbagai keceriaannya saat di sekolah, dan sekarang ditambah cerita Mas Toro, semakin membuat saya seperti seekor lalat yang berada di pinggir mangkuk dan hanya bisa melihat kelezatan es teler di dalam mangkuk itu. Ngiler.
Iseng-iseng, saya bertanya pada Mbak Silfia.
"Mbak, kalau disuruh memilih, suka tinggal di mana? Di Indonesia apa di Melbourne?"
"Saya saat di Melbourne, di tahun pertama saja suka, Bu. Di Tahun kedua, saya sudah mulai bosan. Semua serba teratur, serba nyaman. Di Indonesia, itulah the real life."
"Tapi, kalau saya ada kesempatan kembali ke sini, mungkin saya akan kembali." Tambahnya.
"Untuk sementara, atau untuk menetap?"
"Kalau ada kesempatan untuk menetap, boleh juga. Mungkin akan saya pertimbangkan."
Saya termangu. Saya membayangkan ibu saya, saudara-saudara saya, tetangga-tetangga saya, kampus saya, mahasiswa-mahasiswa saya, tukang bakso dan tahu campur langganan, nasi pecel, nasi uduk, serabi, laut, gunung....
"Kalau ada kesempatan untuk saya bisa menetap di Melbourne, saya tak akan ambil kesempatan itu. Saya punya banyak hal yang jauh lebih penting dan berarti di Tanah Air, daripada sekadar berbagai kenyamanan di sini." Begitu gumam saya.
"Kalau begitu, Mbak Silfia lebih suka tinggal di Melbourne dong, daripada di Indonesia? Tentu saja kalau ada pilihan itu. Ya kan? Kalau sekarang, kan tidak ada pilihan...." Tukas saya.
Mbak Silfia tertawa. "Bisa jadi ya, Bu?"
Pilihan. Ya, hidup adalah pilihan. Mana pun yang kita pilih, pasti bergantung pada situasi, kondisi, dan juga harapan serta cara kita memaknai hidup dan kehidupan itu sendiri. Kemudahan, keamanan, kenyamanan yang tersaji di depan kita, ternyata belum tentu membuat kita menjatuhkan pilihan kita pada semuanya itu.
Tiwik, suatu saat pernah berujar: "Saya ingin cepat selesai, La. Saya pikir, buat apa saya lama-lama di sini. Saya mulai mengurangi aktivitas saya dan lebih fokus pada disertasi. Saya ingin pulang segera, saya ingin Ramadhan nanti, kami semua sudah berpuasa di rumah, di Indonesia."
Padahal Tiwik punya pilihan, dia sekeluarga tidak harus kembali ke Tanah Air kalau mau. Tapi dia memiliki banyak hal yang jauh lebih penting, yang tak akan tergantikan, bahkan oleh berbagai kenyamanan yang akan dia dapatkan dengan tinggal di Melbourne.
Melbourne, 4 November 2014
Wassalam,
LN