Pages

Kamis, 18 Desember 2014

Bu Arini Dan Prof. Budi Dharma

Saya baru saja menutup kuliah di Prodi S2 PTK saat sebuah SMS masuk. "Ass.wrwb,yth ibu Luthfi,sy pengin telp ibu terkait dg literasi,ibu berkenan jam brp?maturnuwun(bu Arini Perpust Kota Sby)"

Saya langsung membalas: "Monggo, Bu...."

Begitu keluar dari kelas, ponsel berdering. Pasti dari Bu Arini. Saya sepintas membaca nomor telepon dengan kode wilayah 031. Bu Arini menelepon dengan pesawat telepon kantor Badan Perpustakaan Kota Surabaya. Beliau adalah kepala kantor itu.

"Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam..." Suara di seberang. "Prof. Luthfi, saya Arini...maaf, mengganggu, Prof..."

Kami terlibat obrolan yang lumayan panjang. Bu Arini merasa sangat berkesan dan bahagia sekali diundang untuk menjadi narasumber dalam Talkshow Literasi tanggal 13 Desember, di PPPG Unesa beberapa hari yang lalu. Kata beliau: "Saya senang sekali, Bu, dan saya semakin berani untuk melangkah mengembangkan Surabaya sebagai kota literasi. Teman saya banyak ternyata. Saya juga sudah melapor ke Ibu Wali, dan beliau merespon dengan sangat baik. Tapi beliau memberi tugas tambahan lagi ke kami, Bu. Beliau minta, kami tidak hanya menyasar SD, tapi juga madrasah dan pondok pesantren. Haduh, Bu....padahal madrasah dan pondok pesantren itu jumlahnya sekitar 350, SD 1500, lha kan 2000, Bu...." Begitu curhat Bu Arini.

"Bagus sekali itu, Bu..." Tukas saya.

"Iya, Bu. Saya bilang ke Bu Wali, Ya Bu, semoga berhasil... Tapi Bu Wali njawabnya begini, Bu: "Jangan semoga berhasil... Harus berhasil."

Saya spontan tertawa. Bu Walikota Tri Rismaharini ini memang luar biasa. Beliau tidak hanya lihai menyulap Surabaya menjadi penuh taman, dan menutup Dolly dengan gagah perkasa, tapi juga demen mengembangkan literasi. Suerr. Perempuan sederhana yang tak takut pada apa pun demi kebenaran itu, sepak terjangnya begitu mengagumkan. Keren abis.

Waktu Bu Arini bilang kepada Bu Risma, bahwa menembus madrasah dan ponpes itu sulit sekali, dengan tegas Bu Risma menjawab: "Biar saya nanti yang nembus madrasah dan ponpes."

Menurut Bu Arini, beliau sudah pernah bersurat pada Rektor Unesa, Prof. Warsono, beberapa bulan yang lalu. Isi suratnya adalah tawaran kerjasama dalam program literasi. Tapi sampai saat ini, bu Arini belum menerima balasan surat itu, dan malah mendapat kabar, kalau Prof. Warsono belum pernah menerima surat tersebut. Bisa jadi, surat itu ketlisut, entah di mana....

"Saya ingin mengundang ibu untuk diskusi bagaimana sebaiknya membumikan program literasi ini ke sekolah-sekolah, Bu. Supaya kami bisa melibatkan para mahasiswa dalam program ini. Nanti kita diskusikan bersama Pak Satria Darma juga. Apa Ibu berkenan nggih, Bu?"

Saya spontan menjawab: "Tentu saja, Bu Arini, saya sangat bersedia. Kami senang kalau kami bisa berkontribusi dalam program literasi. Bukankah itu menjadi bagian tugas perguruan tinggi juga? Kalau ada sinergi dengan program Ibu, tentu saja itu akan lebih baik."

Bu Arini juga bilang, "Saya sudah membaca buku Bu Luthfi. Buku yang menceritakan kunjungan Ibu ke pelosok-pelosok itu..."

Saya tertawa. "Itu hanya buku sederhana, Bu Arini....catatan-catatan ringan saja. Bacaan sebelum tidur..."

"Saya juga sudah baca tulisan Ibu, lho..." Tukas saya. "Luar biasa, Ibu ternyata pandai menulis juga. Bagus tulisannya." Saya mengomentari tulisan Bu Arini di buku "Menuju Wujud Surabaya sebagai Kota Literasi". Buku yang berisi 46 kisah para pegiat perpustakaan kota Surabaya. Ada tulisan Ketua IGI, Satria Darma juga.

"Itu kalau nggak didorong-dorong sama Bu Wali gitu....saya nggak pede, Bu.."

Kami menutup pembicaraan yang manis itu. Saya menuju ruang dosen, karena ada kencan dengan beberapa mahasiswa yang akan berkonsultasi. Siang yang mendung justeru membuat hati saya berbunga-bunga. Kesan tentang sosok Arini Pakistyaningsih yang 'sulit disentuh' karena sewaktu mengundang untuk menjadi narasumber musti melalui beberapa lapis birokrasi, hilang sudah. Dia perempuan cantik yang ramah dan rendah hati. Mungkin Arini yang tempo hari itu bukan Arini yang saat ini. Sudah bermetamorfosis setelah bertemu dengan para pegiat literasi dan bagawan sastra Unesa yang begitu hebat kiprahnya namun tetap rendah hati dan ramah sikapnya. Siapa lagi kalau bukan Budi Darma.

Budi Darma. Dada saya terasa 'mak deg' begitu membuka pintu ruang dosen pasca. Ada Prof. Budi Darma di situ. Betapa tidak. Saya belum selesai membayangkan sosok legendaris itu dalam benak saya, dan tiba-tiba saat ini saya sudah berada di depannya. Senyum ramahnya langsung mengembang. Dia berdiri, mengulurkan tangan, menyambut saya, meninggalkan dua mahasiswa yang baru saja berkonsultasi.

"Apa kabar, Mbak Ella?"
Saya tersipu-sipu. Mbak Ella. Bahkan beliau memanggil saya dengan nama kecil saya itu.

"Alhamdulilah, Bapak. Sehat. Bapak juga nggih?"

Beliau menyilakan saya duduk di sofa, bersebelahan dengan beliau. Lantas beliau bercerita, sewaktu talkshow literasi tempo hari, beliau sebenarnya sedang agak 'nggliyeng'. Jam 02.00 dini baru datang dari Tiongkok, dan pagi langsung ke PPPG. Lantas beliau memuji saya, yang blusukan ke mana-mana, dan membuat catatan perjalanan di setiap tempat. Juga memuji karena saya masih sempat menulis cerpen.

"Cerpen menopo, Bapak?"
"Itu...cerpen tentang...Mbak Ella ada di suatu tempat yang dingin....kemudian ada seseorang yang menyatakan...."

Saya semakin tersipu. "Itu cerpen jelek, Bapak....malu saya.."

"Tidak...itu luar biasa....Mbak Ella masih sempat nulis cerpen. Juga cerpen yang tentang laut itu...ya, saya sudah membacanya juga..."

Haduh, saya gobyos. Mungkin muka saya merah padam, entah karena senang, entah karena malu. Ternyata yang beliau maksud adalah cerpen saya di antologi cerpen 'Ndoro, Saya Ingin Bicara" itu.

"Waduh, Bapak, itu cerpen sekadar mengisi waktu luang saja... Saya menulisnya di sini ini lho, Bapak...." Saya menunjukkan BB jelek saya..."Malu saya Bapak membaca cerpen jelek saya itu..."

Dan Prof. Budi cerita tentang betapa bangganya beliau pada teman-teman para pegiat literasi. Beberapa nama beliau sebut. Satria Darma, Sirikit Syah, Much. Khoiri....

"Inggih, Bapak, alhamdulilah, saya berada di antara mereka. Saya jadi ketularan. Tapi saya masih belajar...."

Hari ini agenda saya begitu padat. Dari jam ke jam. Mengajar dari pagi sampai siang, terus ke Gedung I6 untuk menghadiri acara Presentasi Ekspedisi New Zealand Himapala, dan lanjut ke Gedung Gema menghadiri acara Dzikir Bersama Anak Yatim dalam Rangka Dies Natalis Unesa. Semua acara begitu menyenangkan. Namun yang lebih menyenangkan, adalah selingan peristiwa di antara acara-acara itu, ngobrol dengan Bu Arini dan Prof. Budi Darma.

Surabaya, 18 Desember 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...