Pages

Selasa, 23 Desember 2014

Sumtim 2: PAUD Amanah

PAUD Amanah. 
Supported by SM-3T. 

Tulisan itu menghiasi sebuah papan nama kecil berwarna dasar kuning. Membelakangi sebuah bangunan berukuran sekitar 4x6 meter yang sebenarnya berfungsi sebagai Posyandu. Sederhana sekali. Ukuran sisi-sisi papan nama itu hanya sekitar 1,20 cm. Namun di balik kesederhanaannya, dia menyimpan sebuah cerita tentang ketangguhan dan kesabaran. 

Kalau ada yang bertanya, adakah sesuatu yang monumental dari program SM-3T di Salura? Maka, papan nama kecil itulah salah satunya. Hanya salah satunya. Karena tentu saja banyak yang telah diukir dan diwariskan oleh para peserta SM-3T sejak angkatan pertama, sejak tahun 2011. Termasuk meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan dan terbangunnya semangat cinta belajar. Terbukti anak-anak semakin hari semakin banyak yang rajin datang ke sekolah. Termasuk di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) di Pulau Salura, yang selalu ramai dipenuhi anak-anak, sejak selepas ashar sampai Isya.

Pulau Salura, satu-satunya pulau di Kabupaten Sumba Timur yang mayoritas penduduknya muslim, merupakan kampung nelayan dengan jumlah KK sekitar 130-an, dan jumlah jiwa sekitar 560-an. Kampung kecil itu seperti penuh sesak oleh anak-anak yang kurang terurus. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga nelayan. Kebanyakan keluarga memiliki anak lebih dari lima, bahkan ada yang belasan. Anak-anak mereka pada umumnya adalah anak-anak usia balita sampai usia sekolah (PAUD sampai SMA). 

Sebelumnya, Pulau Salura hanya memiliki SD saja, kemudian berkembang menjadi sekolah satu atap (satap), SD dan SMP. Bangunan sekolah SD masih sangat sederhana, hanya memilliki tiga ruang kelas, sehingga pembelajaran dilaksanakan dengan sistem kelas rangkap. Guru-gurunya, sebenarnya, ada empat orang yang PNS,  namun mereka jarang sekali datang ke sekolah, termasuk kepala sekolahnya. Guru honorer rata-rata hadir dua orang sehari, dan merekalah yang menangani kelas satu sampai enam.

Kondisi itu sudah jauh lebih baik dibanding saat Panca, satu-satunya peserta SM-3T angkatan pertama (2011), ditugaskan di tempat itu. Pada saat itu, di Salura baru ada SD saja. Tidak ada layanan kesehatan sama sekali atau puskesmas. Tidak ada tenaga medis. Sempat sebelum berangkat ke Salura, saat pelepasan di Gedung Nasional Waingapu, Panca bertanya pada saya.
"Ibu, di Salura, tidak ada puskesmas. Bagaimana kalau saya sakit?"
Saya tidak bisa menjawab, sempat was-was juga, ya, bagaimana kalau Panca sakit?
"Saya baru saja sakit, Ibu, dan masih pada tahap pemulihan." Jelas Panca.
Tapi tiba-tiba saja saya menemukan jawaban yang tepat. "Kamu jangan sakit ya? Kamu harus sehat. Tidak boleh sakit."
Dan berangkatlah Panca naik oto dengan iringan lambaian tangan dan doa saya.

Itu tiga tahun yang lalu. Saat ini, Salura sudah memiliki puskesmas, dan ada seorang bidan desa dan perawat pembantu.

Namun murid-murid di sekolah dasar itu, aduh, sedih melihatnya. Penampilan mereka, maaf, kotor, dengan baju seragam yang juga kotor dan bahkan koyak-moyak, sebuah buku dan pensil. Belum lagi kemampuan baca tulis mereka, sangat memprihatinkan. Saya sempat melihat anak-anak itu belajar dan melihat buku catatan mereka. Benar-benar prihatin sekali melihat kondisi mereka.

Murid-murid SMP, penampilan mereka lebih bersih. Mereka berseragam, pada umumnya cukup rapi. Meski kelas mereka terbatas, hanya dua lokal, dan pembelajaran juga dengan kelas rangkap, tapi mereka mempunyai lab mini, alat-alat olah raga, dan kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Ruang kelas yang hanya ada dua ruang itu, satu kelas untuk kelas 7 dan 8, satu ruang untuk kelas 9, digabung dengan lab mini dan perpustakaan mini.

Kepala sekolah SMP, Bapak Heri, merupakan figur kepala sekolah yang rajin dan penuh komitmen. Dia berasal dari Muncar, Banyuwangi, dan keluarganya sampai saat ini masih tinggal di Pasuruan. Dia tinggal bersama seorang guru bantu (Pak Yanus), dan empat orang guru SM-3T, di mes sekolah yang merangkap menjadi kantor sekolah. 

Mes itu sebenarnya bukan mes sekolah. Dia adalah rumah petak berukuran sekitar 4 x 6 meter, milik penduduk setempat, berdinding kayu dan berlantai tanah. Rumah itu disekat-sekat untuk kamar, dapur, dan ruang multifungsi. Dua orang guru SM-3T perempuan menempati satu kamar, sedang para lelaki menempati ruang multifungsi. Kerja di situ, makan di situ, tidur di situ. Ada sebuah tikar yang digelar, dan di sepanjang dinding kayu rumah itu bertumpuk buku-buku, pakaian, bahan makanan, dan dos-dos entah berisi apa. 

Jadi di rumah kecil itu, ada enam orang penghuni, dua guru perempuan, dan empat guru laki-laki. Sungguh tak terbayangkan bagaimana mereka bisa hidup dalam kondisi semacam itu selama setahun.

Kunjungan saya ke Salura, selain dalam rangka monev SM-3T, juga untuk melihat perkembangan pendidikan di pulau kecil ini. Sekaligus memastikan kondisi anak-anak kami, para peserta SM-3T. Mereka adalah Wahyudi, Nugroho, Pratiwi dan Abidah. Mereka dari prodi Pendidikan Fisika, Pendidikan Bahasa Inggris, dan PAUD.

Kegiatan guru-guru SM-3T itu begitu padat. Meski pun Pratiwi dan Abidah dari Prodi PAUD, mereka tidak hanya mengajar di PAUD yang masuknya setiap hari mulai Senin sampai Jumat. Selesai mengajar di PAUD sekitar pukul 10.00, mereka ikut membantu mengajar di SD sampai pukul 13.00. Setelah itu, lepas ashar, mereka berempat berbagi tugas mengajar mengaji di TPA, dan bersama-sama salat maghrib dan isya berjamaah.

Sore itu, saya ikut bergabung di TPA. Ikut mengajari anak-anak Salura mengaji. Hampir semuanya masih mengenali saya, yang sekitar setahun yang lalu berkunjung di tempat ini. Alhamdulilah, bapak ibu saya mewajibkan saya mengaji setiap hari, dan beliau berdualah guru mengaji saya sejak kecil. Sehingga insyaallah saya layak membantu Abidah dan kawan-kawan mengajari mengaji anak-anak Salura ini. 

Sekitar lima puluh anak itu terbagi dalam dua kelompok. Satu kelompok anak-anak yang mengaji Juz Amma, kelompok lainnya sudah pada level berikutnya. Tapi pada umumnya, anak-anak tingkat lanjut itu mengajinya masih sampai pada surat Al Baqarah. 

Mereka belajar mengaji sejak pukul 17.00 sampai Isya. Jeda untuk salat maghrib dan isya berjamaah. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing, belajar atau langsung tidur. Ditemani debur ombak dan desauan angin laut yang mendesis-desis. Begitulah sampai pagi menjelang, dan semuanya kembali beraktifitas. Para anak ke sekolah, para orang tua ke laut atau mengurus rumah.

Bila musim cumi, anak-anak sekolah banyak yang membolos. Benar. Inilah salah satu kendala pendidikan di daerah-daerah tertinggal pada umumnya. Banyak anak usia sekolah yang drop out karena masalah ekonomi. Atau setidaknya, banyak anak sekolah yang membolos pada saat musim tanam, hari pasar, atau musim panen, termasuk panen cumi seperti di Salura. Masalah ekonomi, memang menjadi salah satu kendala terbesar dalam program pemberantasan buta huruf dan wajib belajar. Kondisi ini diperparah karena kesadaran masyarakat yang masih rendah akan pentingnya pendidikan. Mereka lebih suka anak-anak bekerja dan membantu mencari nafkah untuk keluarga.

Ya, meski kesadaran masyarakat terhadap pendidikan meningkat dengan sangat signifikan, namun kendala-kendala tersebut masih terus dijumpai. Hal ini merupakan salah satu tantangan yang terus dihadapi oleh para guru SM-3T di mana pun berada.

Kembali ke PAUD Amanah. Sekolah itu dirintis oleh peserta SM-3T Unesa. Benar-benar hasil rintisan peserta SM-3T. Mereka menghimpun anak-anak kecil usia PAUD yang berserakan di mana-mana di kampung nelayan itu, mencarikan tempat bagi mereka untuk bermain dan belajar bersama. 

Tentu tidak mudah pada awalnya. Namun dengan kegigihan dan kesabaran, dengan sepenuh upaya mereka mengetuk hati para orang tua, serta meyakinkan para perangkat desa, akhirnya PAUD amanah itu bisa terbentuk. Dirintis oleh Heri Sampurna dan kawan-kawan (angkatan 2012), dilajutkan oleh Kartika Sari dan kawan-kawan (angkatan 2013), dan akhirnya terus belanjut serta semakin jelas wujudnya oleh kehadiran Abidah dan kawan-kawan (angkatan 2014).

Pagi itu, sebelum ke SD dan SMP, saya mengunjungi PAUD Amanah, dan bermain bersama dengan sekitar empat puluh anak-anak polos yang manis-manis itu. Bersama Abidah dan Pratiwi serta tiga orang bunda yang lain. Tiga orang bunda itu adalah para gadis remaja lulusan SMP yang dikader oleh Abidah dan Pratiwi untuk mengelola PAUD Amanah. Dengan demikian, bila tidak ada guru-guru SM-3T, PAUD Amanah tetap bisa hidup dan bahkan bisa lebih maju.

Saat ini, ketika matahari mulai memancarkan kehangatannya, kita tidak lagi melihat anak-anak kecil berkeliaran di kampung nelayan yang ramai itu. Anak-anak ingusan (dalam arti sebenarnya, karena hidung mereka pada umumnya beringus), kotor, kurang terurus, yang bermain pasir atau berlari-lari di sepanjang pantai. Mereka semua saat ini sudah rapi sejak pagi, dan siap berangkau ke sekolah, belajar bersama teman-teman, di bawah bimbingan para bunda, di PAUD Amanah.

Sedang mentari tetap saja memancarkan kehangatannya
Tersenyum menyaksikan celoteh anak-anak kampung yang riang
Mereka berdendang dan menari bersama
Berlomba mengukir mimpi dan berebut meraih bintang 
Oh, indahnya
Gemerlap mata bening itu adalah gemerlap masa depan...

Pulau Salura, 3 Desember 2014

Wassalam,
LN
  

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...