Pages

Senin, 15 Desember 2014

Penghuni Kapal Selam, Sebuah Oase

Penghuni Kapal Selam. Begitulah judul pertunjukan teater yang digelar pada tanggal 9-10 Desember di Gedung Pertunjukan Cak Durasim, Surabaya. Sebuah hiburan padat nutrisi yang disuguhkan oleh Teater Kanvas, Jakarta. Menikmati suguhan selama sekitar dua jam, membuka mata setiap penonton, betapa karya tersebut tidak dikerjakan secara sambil lalu. Adalah sebuah karya yang utuh, di mana seni, kerja keras, religiusitas, ketangguhan, dan idealisme, berbaur dengan begitu indah dan sarat makna.

Sebagaimana pengakuan Zak Sorga, selaku penulis naskah dan sutradara, "karya teater yang baik selalu lahir dari pergulatan hidup dan cita-cita seniman di tengah masyarakatnya. Melalui pengamatan dan perenungannya tentang kehidupan, dipadu dengan berbagai macam rintihan sosial, gejolak politik, ketidakadilan, kebobrokan keluarga, kekonyolan laku manusia, penyelewengan sejarah, kerinduan pada Tuhan, atau harapan yang indah tentang masa depan, maka lahirlah sebuah karya teater". 

Zak Sorga sejatinya bukanlah orang baru dalam dunia teater. Setidaknya, dia telah lebih dari tiga puluh tahun menggeluti bidang yang menjadi tumpuan hidup berkeseniannya itu, sejak masih duduk di sekolah menengah, di SMA 1 Tuban, dan berlanjut saat dia mengambil kuliah di departemen Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Lantas lahirlah Teater Kanvas dari tangan dinginnya, pada 1987. Bukti keseriusan berkeseniannya antara lain adalah keberhasilannya meraih predikat sebagai sutradara terbaik Festival Teater Jakarta tiga tahun berturut-turut (1991, 1992, 1993). Belasan naskah drama telah dihasilkannya sejak tahun 1985. Beberapa film televisi juga telah disutradarainya. Bukti lain, lebih dari 100 skenario TV juga telah ditulisnya dan ditayangkan di berbagai stasiun TV.

Tulisan ini tak hanya menceritakan tentang sosok Zak Sorga. Tapi juga tentang salah satu karyanya 'Penghuni Kapal Selam'. Sebuah kisah para aktivis yang hilang, yang diculik oleh para penguasa, dan dijebloskan dalam kapal selam. Kisah yang menceritakan tentang kedhaliman para tiran atas lawan-lawan politiknya. Kisah yang menyajikan pergulatan batin diri pribadi para penghuni kapal selam itu, friksi di antara mereka, serta kesalehan yang terus bertahan dalam terpaan intrik dan tipu daya.

Cobalah simak salah satu cuplikan dialog yang menggambarkan kedhaliman para tiran itu. 

"Rupanya mereka lebih suka aku jadi perampok daripada jadi orang baik-baik. Orang rajin ke masjid kok ditangkap. Aku ditanya macam-macam, dipukuli, dipojokkan ke tembok. Rambutku dia betot sekeras-kerasnya, tetapi aku tetap tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Aku memang tidak tahu apa-apa. Lalu aku dicambuki, mataku dicongkel.
  
Sebanyak empat belas pelaku menjadikan kisah itu begitu penuh letupan-letupan. Sesekali mencekam, sesekali menampar kesadaran, tidak jarang juga megundang gelak tawa. Lengkap. Mereka adalah Abdul Ghofar (seorang guru agama), Muthalib (politikus tua yang stres berat), Jerio (orator dan aktivis politik yang ambisius tapi cengeng), Yon (aktivis dakwah yang labil), Kukuh (mahasiswa yang hampir  gila karena siksaan), Pii (mantan penjual es yang telah dipenjara sejak anak-anak), Prawoto (mantan pemimpin perampok yang sudah bertobat), Sokle (tukang bengkel elektronik yang dituduh menggerakkan massa), Sipir Kepala yang merasa berkuasa dan kuat, Juru Runding yang licik, Si Kutu Buku, Penyusup, seseorang yang selalu salat, dan para sipir penjaga. 

Dua jam, tentulah bukan rentang waktu yang mudah untuk menampilkan sebuah suguhan 'kelas berat' semacam teater dengan jalan cerita yang 'tidak populer' semacam itu. Ya, hanya orang-orang yang mempunyai daya apresiasi saja yang bisa menikmatinya dengan sepenuh hati. Tentu saja ini membutuhkan kepiawaian Sang Sutradara untuk membuat mata dan pikiran para penikmat tetap terfokus pada lakon yang dikemasnya.

Tapi cobalah lihat ratusan penonton yang memenuhi setiap kursi di dalam gedung Cak Durasim itu. Mereka kebanyakan adalah anak muda. Sepanjang dua jam lebih, para anak muda itu sepenuhnya khidmat menyimak. Tidak ada yang 'clometan' atau melontarkan komentar ''asal nyeplos', tak bermutu, merendahkan, sebagaimana kekhasan anak muda bila menonton sebuah hiburan. Mereka tidak hanya dari kalangan mahasiswa jurusan seni, namun dari berbagai kalangan. Bahkan juga banyak yang dari kalangan orang awam seperti saya. Hanya sekedar didorong rasa ingin tahu, rasa penasaran, dan rasa dahaga atas sebuah tontonan yang tidak hanya 'begitu-begitu' saja.

Bagi saya pribadi, dan juga saya yakin bagi semua penonton, pertunjukan ini layak dikatakan "sesuatu banget." Di antara kejenuhan atas berbagai tontonan 'murahan', kehadiran Teater Kanvas dengan "Penghuni Kapal Selam"-nya, seperti menjadi oase. Bahkan bagi orang awam yang tidak terlalu pilih-pilih hiburan. Kisah yang dilakonkan, sebagaimana ungkapan saya di atas, begitu penuh nutrisi, tentunya bagi jiwa. Ada nilai-nilai hidup yang tergali, ada ironi, ada pelajaran tentang makna sejati sebuah perjuangan. Sebuah tontonan seni sarat pesan bagi siapa pun yang masih percaya bahwa 'kejujuran di atas segalanya'. 

Coba kita simak pada ending cerita. Abdul Ghafar, orang yang paling konsisten di penjara itu, dan tak pernah bergeming pada bujuk rayu sipir dan juru runding, adalah satu-satunya orang yang masih bisa bangkit meski tertatih-tatih, pasca penjara itu dirobohkan untuk mengubur hidup-hidup semua penghuninya. Nilai hidup yang bisa dipetik, perjuangan demi kebenaran tetaplah 'indah pada waktunya'.

Seorang mahasiswa saya, mahasiswa PPPG Unesa. menulis kesan di wall FB-nya setelah menonton pertunjukan itu: "kesabaran tidak pernah memiliki batas, ia bahkan lebih luas dari samudra." Seorang lagi berkomentar; "ia bangkit atas keteguhan imannya." Yang lain menullis: "pengen nonton lagi... Pesan moralnya bagus banget." Komentar lain, yang begitu apresiatif dan penuh harapan: "Bersyukur masih banyak komunitas yang mau membingkai nila-nilai ketuhanan, keilmuan, kepedulian, kritis, optimis, dan kesabaran dalam karya seni teatrikal. Semoga terus mengalir, menumbuhkan jiwa-jiwa positif di setiap tempat yang dialirinya,"

Zak, orang yang kebetulan saya kenal cukup baik sejak awal mula dia belajar teater, adalah orang yang total menjalani hidup yang menjadi pilihannya. Teater mungkin adalah jalan sunyi. Namun dia telah bertekad untuk terus bertahan di jalan sunyi itu, berjuang demi sebuah kecintaannya pada seni dan kehidupan. Hidup, menurutnya, haruslah memiliki tema. Banyak orang yang sudah menjadi pemimpin sekali pun, keberadaan mereka tidak membawa perubahan apa-apa sebab hidup mereka tanpa tema. 

Kedudukan tema, begitu menurut Zak, sama pentingnya dengan keindahan seni teater. Melalui ketajaman memilih tema dalam sebuah zaman, seorang sutradara bisa diukur visi dan misi kehidupannya. 

Dan Zak Sorga, telah menunjukkan kelasnya tersendiri dalam percaturan dunia seni di Tanah Air, karena visi dan misi kehidupannya itu.

Surabaya, 15 Desember 2014

Wassalam,
LN

0 komentar

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...