Minggu, 31 Juli 2011.
Tidak seperti makan malam sebelumnya yang kami nikmati selepas sholat isya, malam ini, kami bersantap selepas maghrib. Ini adalah malam pertama tarawih, oleh sebab itu makan malam disediakan selepas sholat maghrib, supaya tidak terlalu malam waktu bersantap makan malamnya.
Di Madinah, adzan maghrib berkumandang pada 07.05. Sedangkan isya pada 09.05. Bisa dibayangkan bila kami bersantap malam setelah tarawih. Dengan 23 rakaat termasuk witir, dan bacaan surat-surat panjang dan lama, dilengkapi doa qunut yang juga puanjanggg, tarawih berakhir sekitar pukul 11.00, terlalu malam untuk makan malam.
Tadi pagi sampai siang menjelang dhuhur, kami berziarah ke masjid Quba. Sholat takhiyatul masjid dan dhuha. Kata Nabi, sholat 2 rakaat di masjid Quba pahalanya sama dengan umroh. Dari Quba diteruskan ke pasar kurma yang jaraknya tidak terlalu jauh, berburu bermacam-macam jenis kurma, cokelat, kacang-kacangan, dan lain-lain oleh-oleh khas Madinah. Setelah itu berkunjung ke masjid Kiblatain, dan terakhir ke gunung Uhud. Ketika perjalanan mau diteruskan ke jabal magnet dan percetakan Al Quran, dengan berbagai pertimbangan, terutama mengejar waktu sholat dhuhur berjamaah di Nabawi (karena jamaah yang mengambil program umroh sebulan harus mengejar arbain), maka kunjungan di kedua tempat tersebut dibatalkan. Disimpan dulu untuk kunjungan umroh yang akan datang, insyaallah....
Begitu padatnya acara sejak kami datang di Madinah sehari sebelumnya, membuat tubuh terasa pegal-pegal, mata bawaannya pingin tidur saja, dan tenggorokan terasa kering, lebih-lebih dengan suhu yang sangat tinggi. Menurut Achmad, muthawif yang mendampingi rombongan kami sejak dari Jeddah, suhu mendekati 50 derajat Celcius. Juli dan Agustus memang sedang panas-panasnya. Pantas saja kami serasa sauna di alam bebas bila keluar dari hotel atau dari masjid. Bahkan baju-baju yang kami pakai pun, serasa panas layaknya baju yang baru saja diseterika. Hampir semua barang yang kami pegang di toko-toko di sekeliling Nabawi dan di sepanjang jalan pulang pergi dari hotel, hangat atau bahkan panas. Air mineral yang kami beli pun, dalam botol 5 liter-an, menjadi air mineral yang hangat. Sinar matahari yang setiap kali menerpa wajah dan kulit kami, terasa begitu menyengat. Kalau ada dingin yang menusuk tulang, maka inilah panas yang juga menusuk sampai ke tulang sumsum.
Arga sudah mulai mimisan, karena panas tinggi di luar dan udara dingin AC di dalam ruangan sepanjang waktu. Anak itu, seperti yang tak pernah kubayangkan, tampak sangat menikmati dan menghayati setiap moment. Dengan rambut gondrongnya (sampai saat ini dia masih belum mau memotong rambutnya, katanya ada pekerjaan shooting utk film indie karya temannya, dan dia sudah telanjur menyanggupi untuk menjadi salah satu pemerannya, dengan rambut gondrongnya itu. Duh....), dia rajin pulang pergi ke masjid, melakukan berbagai sholat sunnat, termasuk qiyamul lail, dan berebut syafaat di rawdhah. Kata abahnya, dia bahkan menangis terisak-terisak ketika sholat dan berdoa di rawdhah....entah apa yang ada dalam benaknya. Saat kami bertanya apa yang dia munajatkan di rawdhah, jawabnya,
semuanya yang terbaik, untuk abah dan ibu, utk keluarga, untuk teman-temanku, untuk aku sendiri. Semuanya yang terbaik.....
Apa pun yang kami lakukan, muaranya adalah masjid Nabawi, sholat berjamaah, dgn imam masjid. Istirahat setelah makan siang misalnya, nyaris tidak bisa kami gunakan untuk tidur meskipun sangat ingin, karena sebelum adzan berkumandang, kita berusaha sudah berada di masjid. Menunaikan berbagai sholat sunnat, mengaji, sholat wajib berjamaah, sholat ghaib (yang selalu dilakukan setelah sholat wajib), dan dzikir. Seringkali sambil terkantuk-kantuk. Bila kami memasuki masjid waktunya terlalu pas dengan saat sholat, misalnya setelah adzan dikumandangkan, maka kami sdh berebut tempat, di dalam maupun di luar ruangan masjid. Berjejal-jejal, seringkali sampai tidak bisa sujud sempurna atau duduk sempurna. Kalau sudah seperti itu, yang namanya etika dan sopan santun kadang-kadang ditanggalkan (tapi insyaallah bukan termasuk jamaah Indonesia), seperti berjalan seenaknya di depan orang yang lagi solat, melangkahi orang-orang yang lagi sujud, melangkahi Al Quran atau kitab-kitab lain yang di dalamnya tertulis Asma Allah dan Rasulullah, dan memaksakan diri menerobos shaf yang sebetulnya sudah sangat rapat-pat!
Meskipun dengan tubuh yang pegal-pegal, kami memastikan diri untuk menyediakan energi mengikuti sholat tarawih. Begitu selesai makan malam, kami bergegas ke masjid. Seperti yang sudah kami duga, jamaah membludak, baru di halaman masjid saja sudah penuh sesak. Aku berpisah di pintu 22, seperti biasa, dengan mas Ayik dan Arga, dan kami menuju tempat sholat masing-masing. Asykar yang biasanya hanya berjaga di ambang pintu masuk, kali ini bertambah tidak hanya di tempat itu, tetapi di depan teras masjid. Mereka meminta siapa pun untuk berbalik, tidak boleh masuk ke masjid, karena masjid sudah penuh sesak. Ketika aku berhasil mencapai ruang masjid, aku mundur teratur, menyadari bahwa aku tidak akan mendapatkan tempat di dalam ruangan, atau akan ketinggalan sholat berjamaah, mengingat adzan sudah berkumandang, dan tentu sebentar lagi akan dikumandangkan iqomah, sehingga tidak cukup waktu bagiku untuk mencari tempat sholat di dalam ruangan masjid. Aku beringsut di teras, bersama orang-orang berbadan besar-besar, berkulit putih, sebagian berkulit hitam, yang hanya menunggu asykar berhenti meneriaki kami untuk turun ke halaman masjid. Belajar dari pengalaman, akhirnya asykar-asykar itu akan membiarkan saja kami sholat di tempat itu, begitu sholat jamaah dimulai. Dalam keadaan seperti itu, alhamdulilah, aku masih bisa melakukan sholat takhiyatul masjid dan sunnat rowatib qobliyah.
Maka tarawihlah aku di teras masjid Nabawi yang tetap terasa kesejukannya meski penuh sesak. Rakaat demi rakaat aku lalui bersama orang-orang yang berbadan besar-besar itu. Surat-surat panjang yang dibaca imam, mengalun indah, kadangkala terdengar seperti suara dari tempat yang sangat jauh. Menggetarkan hati setiap jiwa yang menghayati lantunannya. Memang begitu Maha Luar Biasanya Allah, dan begitu kuatnya daya tarik Rasul-Nya. Apakah yang sebenarnya dicari oleh orang-orang ini, yang "tumplek bleg" dari seluruh penjuru dunia, kecuali ridho Allah dan syafaat Rasul-Nya? Subhanallaahh....aku merinding setiap kali memikirkan hal itu, dan melihat betapa setiap orang dari segala arah berbondong-bondong menuju ke satu titik: masjid Nabawi; semuanya seperti tergesa-gesa, seolah takut tidak kebagian ridho dan syafaat yang sebenarnya melimpah-ruah itu....
Tarawih dan witir akhirnya selesailah sudah. Aku langsung melakukan sujud syukur. Tubuhku lunglai, dan mataku terasa sangat berat. Meski ada sebotol air zam-zam yang senantiasa kusanding di sisi tempatku sholat, dan aku bisa meneguknya di antara waktu-waktu sholat, lelah fisik benar-benar kurasakan. Hanya karena keinginan kuat sajalah, yaitu melaksanakan sholat tarawih pertama di Nabawi ini, insyaallah aku, dan juga banyak orang, bisa melaluinya dengan baik.
Beberapa jam lagi waktu makan sahur. Setelah itu masih ada kesempatan berebut ridho dan syafaat melalui qiyamul lail, subuh, dan ibadah-ibadah lainnya. Besok, selepas dhuhur, rombongan kami akan bergerak meninggalakan Madinah, menuju Makkah Al Mukarromah...
Zulhulaifah, Baitullah, bukit shofa dan marwa, Tan'im, Ji'ronah, Hudaibiyah, multazam, Hijir Ismail, Maqom Ibrahim, masjidil harom.....semuanya, terbayang-bayang di benakku....
Di sinilah sejatinya inti dari ibadah umroh ini....
Semoga Allah SWT meridhoi...
Amin ya robbal alamin
Wassalam,
LN